"Sial! Apa itu bujang lapuk. Kalau semuanya sudah bisa aku dapatkan, untuk apa aku menikah!"
"Wanita hanya bisa membuatku pusing. Lebih baik aku beli setelah itu aku bisa membuangnya!" Tapi perasaannya tak bisa dibohongi, semakin di mengelak semakin yakin kalau Sean memang jatuh cinta pada Naura. Dia memikirkan sesuatu. "Aku harus mencari sesuatu." Pria gagah itu mengendap-endap masuk ke dalam kamar Natasya dan mencari petunjuk yang mengarah pada gadis itu. Sean membuka lemari bufet dan menemukan sebuah foto terselip di tengah lembaran buku tebal perlahan dia mengambilnya. Ditatap lah wajah cantik yang hanya terlihat matanya saja. Manik mata coklat dengan bulu mata lentik membuat dia tanpa sadar tersenyum pada foto itu. Suara bising Natasya yang semakin mendekat membuat dia segera menyimpan foto tersebut di balik saku jasnya. Guprak! "Na_Natasya!" "Kakak, sedang apa kau di sini?" Sean segera mencari alasan. "Em, aku ..., aku mencari changer hand phone apa kau melihatnya, Tasya?" "Changer Hand phone? Tidak, aku tidak tau, Kak. Memangnya kau taruh di mana?" "Kalau aku tau, aku tidak mungkin menanyakannya padamu. Permisi." balas Sean berlalu pergi. Natasya hanya mengangkat bahunya karena dirasa sepupunya itu sangat aneh. Di dalam kamar Sean kembali memandangi foto tersebut mendadak dia mempunyai gagasan untuk mencari tau lebih lanjut siapa si gadis bercadar itu. Dia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang di seberang sana. "Halo, cari informasi seseorang, fotonya aku kirim sekarang juga!" "Baik, Tuan," balas orang tersebut. Hanya dengan sekali klik foto tersebut berpindah ke layar ponsel yang membuat orang tersebut menyeringai. * * * "Naura, Naura, tunggu!" Adnan berlari menghampiri dan berusaha meraih tangan Naura, tapi dia menepisnya. "Apalagi sih? Kalau nggak niat ketemuan harusnya jangan ngajak-ngajak! Kamu tau kalau aku paling benci dengan yang namanya menunggu!" "Iya, aku minta maaf. Aku nggak datang karena satu alasan!" "Alasan? Alasan apa? Kamu pasti sengaja ngerjain aku kan?" Naura seketika membalikkan badan menghadap ke Adnan. "Eh, mana ada. Aku benar-benar ada alasan. Aku harus mengantar Ibu ke rumah sakit." Adnan menunduk lesu. "Apa? Jadi ibumu sakit? Adnan mengangguk. "Ya Allah, kenapa kamu nggak memberitahuku! Harusnya kamu bisa telepon dan bilang alasan kamu ini!" Lagi-lagi pemuda itu minta maaf, "Iya, aku minta maaf. Aku sudah membuat kamu kecewa, tapi aku janji. Lain kali tidak akan terjadi lagi seperti ini," ucapnya sambil mengangkat jari kelingkingnya. "Adnan, aku itu bukan orang lain! Kita sudah bertunangan dan sebentar lagi menikah. Aku mau kita terbuka satu sama lain." "Iya, Sayang. Aku tau itu. Oleh karena itu aku datang kemari untuk menjelaskan semuanya padamu." "Kalau begitu antar aku untuk menemui ibumu di rumah sakit." "Kamu yakin?" Pasalnya beberapa kali Adnan mengajak Naura untuk bertemu dengan orang tuanya, Naura selalu menolak dengan alasan malu bertemu calon mertua. Tapi sekarang gadis itu justru yang mengajaknya. "Loh, kenapa tidak! Ibu kamu sudah seperti ibuku sendiri, jadi apa salahnya jika aku menemuinya?" Tentu dengan senang hati Adnan menuruti apa yang Naura katakan. Belum sampai masuk ke rumah, Naura pergi kembali dengan Adnan ke rumah sakit. Dan benar saja, seorang wanita tua tergeletak di atas berankar sambil memejamkan matanya. Rasanya tak tega melihat bu Mima terbaring dengan beberapa selang menempel di bagian tubuhnya. Perlahan Naura dan Adnan menghampirinya, memelankan langkanya agar tidak menimbulkan suara yang bisa didengar olehnya. "Kasihan Ibu kamu, Adnan. Dia pasti lelah sekali." Adnan menghela nafas kasar. ''Itulah, Nau. Aku ingin punya pekerjaan yang tetap agar bisa menggantikan posisi Ibu dalam bekerja. Aku nggak tega melihat dia banting tulang untuk membiayai kuliahku. Aku merasa cuma bisa jadi beban ibuku aja. Nau, apa kamu punya pandangan kerja untuk'ku?" Naura berfikir sesaat dan menggeleng. "Aku nggak tau, Adnan. Tapi kamu jangan putus asa. Aku yakin kita pasti bisa lalui semua ini. "Kamu benar, Nau. Aku pun nggak akan berhenti untuk cari kerja buat masa depan kita. Makasih udah mau menerima aku apa adanya." Pandangan mata Adnan begitu sendu pada wanita yang kini berdiri di sampingnya. Mendengar mereka bicara bu Mima membuka matanya. Dia tersenyum melihat calon menantunya kini ada di hadapannya. "Naura, kamu ada di sini, Nak?" "Ibu, maaf kami menggangu istirahatmu." Diraih lah tangan yang mulai keriput itu dan dicium lah oleh Naura sebagai rasa hormat terhadap calon mertuanya. "Ibu senang melihat kalian seperti ini. Semoga hubungan kalian awet sampai menikah nanti. Sampai menjadi Kakek dan Nenek. Sampai maut yang memisahkan kalian." "Aamiin, tapi Ibu harus sembuh. Ibu harus melihat kita menikah." Bu Mima tersenyum dan mengangguk. Sekitar satu jam berada di rumah sakit kini saatnya Naura pulang karena dirasa sudah terlalu lama pergi. Dia khawatir dengan kedua orang tuanya yang kemungkinan cemas memikirkannya. "Em, Ibu. Aku antar Naura pulang dulu. Habis itu aku ke sini lagi untuk temani Ibu." "Iya, Nak. Kalian hati-hati. Sampaikan salam Ibu untuk kedua orang tuanya Naura." "Aku permisi, Bu." Naura kembali menyalami tangan keriput itu sebelum pergi. Mengendarai motor bututnya Adnan mengantar Naura pulang. Walau sudah bertunangan tapi Naura selalu menjaga jarak di antara tubuh mereka agar tak bersentuhan. Tiba-tiba saja sebuah motor sport berjalan begitu kencang dari arah belakang dan membunyikan klakson tepat di samping motor Adnan yang membuat mereka kaget. Bib! "Astagfirullah hal adzim! Woi, kalau jalan hati-hati!" teriak Naura. "Kamu kenal dia?" "Nggak lah, mana mungkin aku kenal orang seperti itu!" Perjalanan mereka lanjutkan kembali sampai di rumah, tampak dua orang laki-laki bertubuh besar berdiri menghadap ke pintu. "Siapa mereka?" tanya Adnan penasaran. "Aku juga nggak tau." Karena penasaran Adnan dan Naura turun dari motor dan menghampiri dua orang tersebut. "Maaf, siapa kalian?" Begitu mereka membalikkan badan, Naura dan Adnan mengerutkan alisnya karena bukan orang asing melainkan ... "Untuk apa kamu datang kemari?" BERSAMBUNG."Mau apa juragan datang kemari?""Mana ayahmu? Ayahmu punya utang kepadaku. Bayar sekarang atau aku hancurkan rumah ini!"Naura bertanya-tanya dalam hati untuk apa ayahnya memiliki hutang pada juragan Sastra. Juragan yang tamak dan kerap menikah dengan beberapa wanita.Usai mengatakan itu juragan Sastra seolah menemukan berlian. Memandang Naura dengan tatapan nakal, dia semakin mendekat. "Oh, sepertinya aku tau. Kamu lebih menarik untuk dijadikan jaminan hutang ayahmu.""Jangan ganggu dia!" Adnan seketika merentangkan kedua tangannya di depan Naura mencegah agar juragan Sastra berhenti melangkah. "Siapa kamu? Minggir! Aku nggak punya urusan denganmu!"Tiba-tiba saja bu Ningrum keluar dari rumahnya. Wanita tua itu berlari dan menghentikan posisi Adnan di depan putrinya. "Jangan, Juragan. Saya mohon jangan sakiti putri saya." Juragan Sastra memicingkan matanya."Tolong beri kami sedikit waktu. Kami pasti bisa melunasi semua hutang itu, Juragan."Juragan Sastra tersenyum miring. "Bayar?
Bertepatan Naura menutup teleponnya, dari arah seberang Sean mengangkat. "Nggak, rasanya kurang sopan jika aku bicara dengan Natasya lewat telepon. Lebih baik aku bicara langsung dengannya."Bunyi tut tut yang menandakan panggilan itu terputus membuat Sean mengerutkan alisnya. Hampir saja dia mendengar suara jernih dari si gadis bercadar tapi ternyata panggilan itu telah berakhir. Naura bergegas ke kampus dan menemui Natasya yang kini tengah makan di kantin, gadis berambut pirang itu dengan lahapnya makan sambil mengangkat satu kakinya ke kursi. "Hem, Nau. kau baru datang?" Naura mengangguk lesu. "Kau kenapa? Sepertinya ada yang sedang kau pikirkan?" "Sya. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu." "Mau ngomong apa? Ngomong aja." Tapi Naura ragu untuk bicara, dia justru terdiam walau Naura sendiri yakin kalau Natasya pasti bisa membantunya. "Hei kenapa kau diam! Apa yang mau kamu katakan?" "Aku ..., em aku ..." "Iya, aku?" Ucapan Naura yang tak kunjung usai membuat Natasya semakin
Sean menunjuk ke luar yang ternyata membuat tuan Erdo kesulitan menelan salivanya sendiri.Sebuah mobil jeep berhenti di area parkiran, Jhoni datang dengan beberapa temannya dan berjaga di depan cafe, bersiap dengan kemungkinan buruk yang terjadi pada bosnya. Anak buah andalan itu memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Jhoni tau tugasnya tanpa harus diperintah Sean terlebih dahulu."Sial!" Reaksi wajah tuan Erdo kalang kabut seketika, sedikit banyaknya dia merasa malu karena sempat menganggap Sean kecil."Kita pergi dari sini!" Pengusaha culas itu berdiri dari duduknya bersama anak buah yang siap mengikutinya. "Awas saja! Urusan kita belum selesai. Akan ku buat kau menyesal telah menolak kerja sama denganku!" Sean hanya menyerkitkan bibirnya.Ancaman seperti itu sudah biasa baginya, bukan hanya dari tuan Erdo tapi dari pengusaha lainnya yang tak cocok dengannya.Kini hanya tinggal dirinya dan Bertha yang berada di tempat itu. Mendadak Sean mempunyai keinginan untuk pergi ke suatu t
"Ibu, ada apa Ibu meneleponku." Diangkatlah ponsel tersebut ke telinganya."Iya, Bu. Ada apa?""Naura, kamu ada dimana, Nak?" Suara bu Ningrum terdengar cemas."Aku ada di tempat latihan, Bu. Ada apa?" Perasaan Naura mendadak tidak enak. Dia bangun dari duduknya dengan perasaan khawatir."Ayah kamu, Nak. Jantung Ayah kamu kambuh lagi.""Apa?" Lemas sudah tubuh Naura seketika. Kakinya serasa tak punya tulang penyangga dia pun terduduk lunglai membayangkan bagaimana kondisi ayahnya sekarang."Iya, Nak. Ibu sedang membawanya ke rumah sakit. Kamu susul Ibu sekarang!""Iya, Bu. Aku ke sana sekarang!"Tanpa membuang waktu lama Naura segera menyusul ibunya. Bahkan tak terpikir olehnya untuk pamit pada pelatih yang membuat pelatih bertanya-tanya.Kenapa dia pergi begitu saja tanpa menyelesaikan latihannya.Sekitar 10 menit menggunakan taksi kini Naura sampai di rumah sakit dan mendapati ibunya yang ten
"Halo, siapa ini?""Sayang, ini aku Adnan." Suara Adnan dari sambungan telepon."Adnan, kamu pakai nomer baru?""Iya, Sayang. Hari ini aku mulai kerja, tolong doakan aku supaya pekerjaanku lancar."Sedikit lega perasaan Naura setelah mendengar suara orang terkasih walau setelah ini dia kembali harus dihadapkan dengan pil pahit mengenai keluarganya."Pasti, aku pasti mendoakan yang terbaik untuk kamu. Kamu hati-hati dalam bekerja yah.""Terima kasih, sekarang aku sudah sampai di tempat kerja. Nanti aku hubungi lagi saat jam istirahat."Pria tampan ini berdiri dan menatap bangunan tinggi sebuah hotel tempat dia bekerja. Dengan penuh keyakinan Adnan melangkahkan kakinya masuk dan mulai kerja dengan beberapa temannya.Mengenakan seragam cleaning service sambil membawa sapu dan beberapa alat pembersih hotel."Permisi, Mas Adnan. Tolong buatkan teh hangat untuk Mommy Jihan, bawa teh itu ke ruang kerjanya." uc
"Kamu serius? Nggak, aku nggak mau membebani kamu, Nan."Adnan jongkok di depan Naura sembari memandang lekat wanita yang dia sayang. "Kamu percaya padaku, orang tuamu sudah seperti orang tuaku sendiri. Apapun yang terjadi kita akan lalui bersama-sama."Mendadak Naura seperti punya kekuatan setelah mendapat dukungan dari kekasihnya. Sesekali dia menoleh ke atas menahan bulir bening yang sudah di pelupuk matanya."Makasih, Nan. Aku nggak tau musti ngomong apa sama kamu.""Sudah, lebih baik kita temui dokter dan bilang padanya untuk segera melakukan operasi pemasangan ring." Naura mengangguk yakin.Tanpa mereka sadari bu Ningrum menguping di balik pintu dan mendengar semua obrolan mereka. Betapa terharunya dia mendengar ucapan calon menantunya yang begitu tulus.Tak salah bu Ningrum dan pak Danu memilihkan jodoh untuk putrinya."Syukurlah, akhirnya kalian menentukan pilihan. Baik, kalau Mba dan Mas setuju, silahkan isi for
Sebuah foto kebersamaan Adnan dengan wanita yang baru saja terjadi tadi sore terkirim ke ponsel milik Naura. Entah siapa pengirimnya, hanya tertera nomer baru dari si pengirim.Darah Naura mendidih seketika dengan emosi yang memuncak, bagaimana bisa calon suami yang dia percaya ternyata tega melakukan itu di belakangnya."Apa ini? Jadi begini cara kamu mencari uang untuk Ayah, hah?" ucapnya dengan dada bergemuruh. Adnan tidak mengerti apa yang dikatakan oleh calon istrinya kenapa tiba-tiba ekspresinya berubah.Plak!Amplop coklat tersebut Naura hempaskan secara kasar di tangan Adnan sambil berlalu pergi."Naura, apa maksud kamu?" Adnan berusaha mengejar Naura yang kini pergi sambil menitikkan air mata."Aku nggak sudi menerima uang haram darimu, Adnan. Lepas!""Uang haram apa? Aku nggak ngerti maksud kamu." "Lihat ini?" Foto tersebut Naura tunjukan pada Adnan yang membuat matanya membelalak sempurna."
"Turun!"Natasya yang kini duduk di ruang tamu sembari membaca buku melihat samar-samar temannya datang dari balik tirai transparan. Untuk memastikan apakah itu benar-benar Naura atau bukan, Natasya keluar menemuinya."Naura.""Sya ..." Seketika Naura menangis dalam pelukan temannya."Astaga, ada apa, Nau? Masuk masuk!" Wanita berambut pirang itu membawa Naura ke dalam kamarnya."Hei, ada apa? Kenapa kau menangis? Coba cerita padaku?" Tapi Naura hanya diam. Natasya mengira kalau sepupunya itu yang telah membuat temannya menangis, gadis itu keluar kamar dan menemui Sean yang kini duduk sambil menyilangkan satu kakinya."Kak, apa yang terjadi pada Naura? Kenapa dia seperti itu? Sean hanya menghela nafas kasar tanpa menjawab."Kak, kau tidak bisa seperti ini. Kau apakan Naura?""Apa kau sudah gila? Kau bisa tanyakan langsung padanya!"Degh!Dengan langkah cepat Natasya kembali masuk untuk menenang