Bunyi tut tut yang menandakan panggilan itu terputus membuat Sean mengerutkan alisnya. Hampir saja dia mendengar suara jernih dari si gadis bercadar tapi ternyata panggilan itu telah berakhir.
Naura bergegas ke kampus dan menemui Natasya yang kini tengah makan di kantin, gadis berambut pirang itu dengan lahapnya makan sambil mengangkat satu kakinya ke kursi. "Hem, Nau. kau baru datang?" Naura mengangguk lesu. "Kau kenapa? Sepertinya ada yang sedang kau pikirkan?" "Sya. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu." "Mau ngomong apa? Ngomong aja." Tapi Naura ragu untuk bicara, dia justru terdiam walau Naura sendiri yakin kalau Natasya pasti bisa membantunya. "Hei kenapa kau diam! Apa yang mau kamu katakan?" "Aku ..., em aku ..." "Iya, aku?" Ucapan Naura yang tak kunjung usai membuat Natasya semakin penasaran. Bahkan dia sampai menghentikan makannya sejenak hanya untuk mendengarkan temannya ini bicara. "SAYANG!" Panggilan suara yang tidak asing membuat kedua wanita itu spontan menoleh pada Adnan yang kini berlari menghampiri mereka. Wajahnya terlihat bahagia dengan berita yang dia bawa. "Adnan, kamu kenapa? Sepertinya kamu senang sekali hari ini?" "Sayang, kamu tau nggak?" Naura menggeleng. "Aku diterima kerja." Naura membelalakkan matanya bahagia. Dia merasa kalau Allah telah mengabulkan doanya. "Serius? Kerja dimana?" Tapi Adnan menunduk sebelum menjawab pertanyaan kekasihnya. "Kerja di ..., di hotel sebagai cleaning service." Ada rasa khawatir pada diri Adnan kalau Naura bakal keberatan mendengar kata hotel, tapi kenyataannya tidak seperti apa yang dia pikirkan. "Alhamdulillah, Nan. Apapun pekerjaannya yang penting itu halal, mau di mana pun. Di pasar, di hotel sekalipun yang penting jaga hati kamu hanya untuk'ku." "Jadi kamu nggak keberatan? Kalau soal itu kamu tidak usah khawatir!" Semangat Adnan mulai bangkit kembali. "Kenapa harus keberatan? Kalau tujuan kamu hanya untuk bekerja, bukan?" Adnan mengangguk senang. "Aku bahagia, Sayang. Akhirnya Allah mengabulkan doa kita. Aku janji akan menjadi calon suami yang baik untuk kamu. Mulai sekarang aku akan menyuruh ibu untuk berhenti bekerja." Naura mengangguk bangga. Di banding dengan Natasya yang memutar bola matanya malas mendengar ucapan mereka yang terlihat basi. "Kenapa kamu?" Naura memicingkan matanya. "Hufh! Pusing aku lihat kalian seperti ini." "Hem, jadi kamu cemburu? Makanya punya cowok dong! Atau nggak kamu terima aja tuh cintanya si Tarjo." Sontak Natasya mengerutkan bibirnya, membayangkan sosok pemuda culun yang memakai celana bertali dan kaca mata tebal dengan giginya yang sedikit mencuat. Tarjo yang selama ini terlihat suka pada Natasya tapi malu untuk mengatakannya lantaran fisik mereka jauh berbeda. Hanya dari tatapan matanya saja kalau cowok culun itu menunjukan rasa sukanya. "Astaga, Nau. Kau menjodohkanku dengan si Tarjo? Memangnya seburuk apa aku ini." Ucapan Natasya spontan membuat Naura dan Adnan tertawa lepas. "Puas kalian? Puas bikin aku kesal? Menyebalkan!" "Udah, ah. Aku pergi dulu. Kalian cuma menganggap aku kambing congek di sini!" "Loh, mau kemana kamu?" "Ke perpus," jawabnya sambil berjalan. * * * "Bertha, kau ikut denganku." "Siap, Tuan." Wanita bertubuh tambun itu mengikuti di belakang Sean sambil membawa beberapa berkas untuk bertemu dengan partner bisnisnya. "Tuan." "Hem," jawabnya singkat. "Tuan Erdo sudah datang." Bertha menunjuk pada laki-laki bertubuh Gemoy yang memakai jas berwarna coklat. Tuan Erdo berjalan sambil menghisap cerutu bersama beberapa anak buahnya. "Selamat datang, Tuan Erdo." Sean mengulurkan tangannya. "Apa kabar, Tuan Sean? Senang bertemu dengan anda lagi di sini." Tuan Erdo membalas uluran tangan tersebut. Kedua pengusaha itu lalu duduk berhadapan di meja VIP di dampingi oleh bawahannya masing-masing. Dua pria memakai jas hitam lengkap dengan kaca mata hitamnya berdiri dengan gagahnya di belakang tuan Erdo. "Jadi apa tujuan Anda mengundang saya?" "Jadi begini, Tuan Sean Alexander yang terhormat. Saya akan mengajak Anda untuk bekerja sama. Saya yakin kalau Anda pasti senang bekerja sama dengan saya." Begitu percaya dirinya tuan Erdo. "Bekerja sama?" Sean memicingkan matanya. "Iya, bekerja sama. Jadi begini, aku mempunyai bisnis jual beli dan pembuatan senjata api, bisnis ini hasil legal dan masih kami sembunyikan. Kami butuh dukungan dari pengusaha lain seperti Anda, apa Anda mau kerja sama dengan kami?" Sean menyunggingkan senyum malasnya. Karena dia bukan pengusaha dari bidang persenjata apian, melihat kegagahan dari pemuda ini tuan Erdo mengira kalau Sean bekerja dalam segala bidang, termasuk dalam bidang yang sedang dia geluti saat ini. "Jadi bagaimana, Tuan Sean. Apa anda setuju untuk bergabung dengan kami?" Terang saja Sean menolaknya. "Maaf, tapi saya tidak bisa." Tuan Erdo seketika menegakkan badannya. Penolakan itu serasa merendahkan harga dirinya. Karena selama ini apa yang dia inginkan harus bisa dia dapatkan. Tuan Erdo lupa dengan siapa kali ini dia bicara. "Jangan sok suci Anda! Kami tau Anda mempunyai bisnis produksi minuman keras bukan? Apa bisnis Anda itu sudah resmi? Saya yakin bisnis itu masih legal!" Tatapan tuan Erdo menunjukan kekecewaan yang besar terhadap Sean. Sebisa mungkin dia menjatuhkan agar Sean luluh, dan memilih bergabung dengannya tapi tak semudah itu. Melihat lawannya yang mulai kesal, Sean dengan santainya duduk sambil menuang whiskey ke dalam gelas lalu meminumnya. "Bisnis saya tentu sudah resmi dan mendapat sertifikat, jadi Anda tidak perlu menghawatirkan tentang perusahaan saya." "Sombong sekali Anda ini! Anda pikir saya tidak tau sepak terjang Anda dalam berbisnis? Mau saya buka aib Anda di sini, hah? Ikuti perintahku atau ku habisi Anda sekarang juga!" Krek! Kedua pria memakai jas hitam seketika menopang senjata apinya dan mengarahkan pistol tersebut pada Sean, tapi tak membuat dia gentar sama sekali. Sepertinya Sean sudah hafal dengan manipulasi pengusaha culas seperti tuan Erdo ini. "Jadi Anda mau menghabisiku? Jangan bodoh! Aku mati kalian pun harus mati. Kalian bisa lihat di luar sana!" BERSAMBUNG.Sean menunjuk ke luar yang ternyata membuat tuan Erdo kesulitan menelan salivanya sendiri.Sebuah mobil jeep berhenti di area parkiran, Jhoni datang dengan beberapa temannya dan berjaga di depan cafe, bersiap dengan kemungkinan buruk yang terjadi pada bosnya. Anak buah andalan itu memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Jhoni tau tugasnya tanpa harus diperintah Sean terlebih dahulu."Sial!" Reaksi wajah tuan Erdo kalang kabut seketika, sedikit banyaknya dia merasa malu karena sempat menganggap Sean kecil."Kita pergi dari sini!" Pengusaha culas itu berdiri dari duduknya bersama anak buah yang siap mengikutinya. "Awas saja! Urusan kita belum selesai. Akan ku buat kau menyesal telah menolak kerja sama denganku!" Sean hanya menyerkitkan bibirnya.Ancaman seperti itu sudah biasa baginya, bukan hanya dari tuan Erdo tapi dari pengusaha lainnya yang tak cocok dengannya.Kini hanya tinggal dirinya dan Bertha yang berada di tempat itu. Mendadak Sean mempunyai keinginan untuk pergi ke suatu t
"Ibu, ada apa Ibu meneleponku." Diangkatlah ponsel tersebut ke telinganya."Iya, Bu. Ada apa?""Naura, kamu ada dimana, Nak?" Suara bu Ningrum terdengar cemas."Aku ada di tempat latihan, Bu. Ada apa?" Perasaan Naura mendadak tidak enak. Dia bangun dari duduknya dengan perasaan khawatir."Ayah kamu, Nak. Jantung Ayah kamu kambuh lagi.""Apa?" Lemas sudah tubuh Naura seketika. Kakinya serasa tak punya tulang penyangga dia pun terduduk lunglai membayangkan bagaimana kondisi ayahnya sekarang."Iya, Nak. Ibu sedang membawanya ke rumah sakit. Kamu susul Ibu sekarang!""Iya, Bu. Aku ke sana sekarang!"Tanpa membuang waktu lama Naura segera menyusul ibunya. Bahkan tak terpikir olehnya untuk pamit pada pelatih yang membuat pelatih bertanya-tanya.Kenapa dia pergi begitu saja tanpa menyelesaikan latihannya.Sekitar 10 menit menggunakan taksi kini Naura sampai di rumah sakit dan mendapati ibunya yang ten
"Halo, siapa ini?""Sayang, ini aku Adnan." Suara Adnan dari sambungan telepon."Adnan, kamu pakai nomer baru?""Iya, Sayang. Hari ini aku mulai kerja, tolong doakan aku supaya pekerjaanku lancar."Sedikit lega perasaan Naura setelah mendengar suara orang terkasih walau setelah ini dia kembali harus dihadapkan dengan pil pahit mengenai keluarganya."Pasti, aku pasti mendoakan yang terbaik untuk kamu. Kamu hati-hati dalam bekerja yah.""Terima kasih, sekarang aku sudah sampai di tempat kerja. Nanti aku hubungi lagi saat jam istirahat."Pria tampan ini berdiri dan menatap bangunan tinggi sebuah hotel tempat dia bekerja. Dengan penuh keyakinan Adnan melangkahkan kakinya masuk dan mulai kerja dengan beberapa temannya.Mengenakan seragam cleaning service sambil membawa sapu dan beberapa alat pembersih hotel."Permisi, Mas Adnan. Tolong buatkan teh hangat untuk Mommy Jihan, bawa teh itu ke ruang kerjanya." uc
"Kamu serius? Nggak, aku nggak mau membebani kamu, Nan."Adnan jongkok di depan Naura sembari memandang lekat wanita yang dia sayang. "Kamu percaya padaku, orang tuamu sudah seperti orang tuaku sendiri. Apapun yang terjadi kita akan lalui bersama-sama."Mendadak Naura seperti punya kekuatan setelah mendapat dukungan dari kekasihnya. Sesekali dia menoleh ke atas menahan bulir bening yang sudah di pelupuk matanya."Makasih, Nan. Aku nggak tau musti ngomong apa sama kamu.""Sudah, lebih baik kita temui dokter dan bilang padanya untuk segera melakukan operasi pemasangan ring." Naura mengangguk yakin.Tanpa mereka sadari bu Ningrum menguping di balik pintu dan mendengar semua obrolan mereka. Betapa terharunya dia mendengar ucapan calon menantunya yang begitu tulus.Tak salah bu Ningrum dan pak Danu memilihkan jodoh untuk putrinya."Syukurlah, akhirnya kalian menentukan pilihan. Baik, kalau Mba dan Mas setuju, silahkan isi for
Sebuah foto kebersamaan Adnan dengan wanita yang baru saja terjadi tadi sore terkirim ke ponsel milik Naura. Entah siapa pengirimnya, hanya tertera nomer baru dari si pengirim.Darah Naura mendidih seketika dengan emosi yang memuncak, bagaimana bisa calon suami yang dia percaya ternyata tega melakukan itu di belakangnya."Apa ini? Jadi begini cara kamu mencari uang untuk Ayah, hah?" ucapnya dengan dada bergemuruh. Adnan tidak mengerti apa yang dikatakan oleh calon istrinya kenapa tiba-tiba ekspresinya berubah.Plak!Amplop coklat tersebut Naura hempaskan secara kasar di tangan Adnan sambil berlalu pergi."Naura, apa maksud kamu?" Adnan berusaha mengejar Naura yang kini pergi sambil menitikkan air mata."Aku nggak sudi menerima uang haram darimu, Adnan. Lepas!""Uang haram apa? Aku nggak ngerti maksud kamu." "Lihat ini?" Foto tersebut Naura tunjukan pada Adnan yang membuat matanya membelalak sempurna."
"Turun!"Natasya yang kini duduk di ruang tamu sembari membaca buku melihat samar-samar temannya datang dari balik tirai transparan. Untuk memastikan apakah itu benar-benar Naura atau bukan, Natasya keluar menemuinya."Naura.""Sya ..." Seketika Naura menangis dalam pelukan temannya."Astaga, ada apa, Nau? Masuk masuk!" Wanita berambut pirang itu membawa Naura ke dalam kamarnya."Hei, ada apa? Kenapa kau menangis? Coba cerita padaku?" Tapi Naura hanya diam. Natasya mengira kalau sepupunya itu yang telah membuat temannya menangis, gadis itu keluar kamar dan menemui Sean yang kini duduk sambil menyilangkan satu kakinya."Kak, apa yang terjadi pada Naura? Kenapa dia seperti itu? Sean hanya menghela nafas kasar tanpa menjawab."Kak, kau tidak bisa seperti ini. Kau apakan Naura?""Apa kau sudah gila? Kau bisa tanyakan langsung padanya!"Degh!Dengan langkah cepat Natasya kembali masuk untuk menenang
"Apa sih!""Nau, aku minta maaf. Sungguh aku nggak kenal siapa dia, dia cuma tamu hotel." Tapi tidak semudah itu membujuk Naura untuk percaya."Kamu pikir aku percaya? Semua laki-laki itu sama, dia hanya bisa mempermainkan perasaan perempuan, termasuk kamu!""Astaghfirullah hal adzim! Aku tidak seperti itu! Kamu percaya sama aku."Kepala Natasya terasa pusing menyaksikan kedua temannya berdebat di hadapannya, namun ikut campur pun serasa bukan wewenang dia karena urusan pribadi pasangan yang sudah bertunangan.Melihat keributan yang terjadi di luar bu Mima penasaran, dia keluar untuk melihat apa yang terjadi dengan anak dan calon menantunya."Ada apa ini? Kenapa kalian berantem seperti ini?" Naura sudah tak bisa lagi bersandiwara di depan calon mertuanya.Wajahnya memerah menahan air mata yang hampir terjatuh tapi tetap dia tahan agar terlihat kuat di depan calon mertuanya.Tapi Adnan justru yang bicara. "Ibu, e
"Siapa kamu? Aku tidak punya urusan dengan kamu!""Euh!" Tanpa menjawab siapa dirinya Sean menghempas tangan juragan Sastra dengan kasar."Kurang ajar! Hiiatt!" Namun mudah bagi Sean untuk menaklukkan juragan culas ini. Hanya menggunakan satu tangan saja, tubuhnya yang gagah mampu meraih kepalan tangan itu lalu memutarnya hingga kini posisi juragan Sastra berada dalam dekapannya.Naura bergidik ngeri melihat gerakan Sean yang spontan tapi tepat sasaran."Pergi, atau ku habisi kau sekarang juga?" Bisiknya di telinga juragan Sastra yang membuat dia kaget.Melihat bosnya ditikam oleh Sean, anak buah juragan Sastra berlari menyerang."Hiiaaattt!"Bugh!Satu tendangan dari kaki yang panjang membuat anak buah itu terpental sembari memegangi dadanya yang terasa sakit."Pergi kau dari sini!" ucap Sean sembari mendorong juragan Sastra lepas dari dekapannya. Juragan Sastra terhuyung sambil mengusap kepalan tangan