Share

Chapter 6.

"Ibu, ada apa Ibu meneleponku." Diangkatlah ponsel tersebut ke telinganya.

"Iya, Bu. Ada apa?"

"Naura, kamu ada dimana, Nak?" Suara bu Ningrum terdengar cemas.

"Aku ada di tempat latihan, Bu. Ada apa?" Perasaan Naura mendadak tidak enak. Dia bangun dari duduknya dengan perasaan khawatir.

"Ayah kamu, Nak. Jantung Ayah kamu kambuh lagi."

"Apa?" Lemas sudah tubuh Naura seketika. Kakinya serasa tak punya tulang penyangga dia pun terduduk lunglai membayangkan bagaimana kondisi ayahnya sekarang.

"Iya, Nak. Ibu sedang membawanya ke rumah sakit. Kamu susul Ibu sekarang!"

"Iya, Bu. Aku ke sana sekarang!"

Tanpa membuang waktu lama Naura segera menyusul ibunya. Bahkan tak terpikir olehnya untuk pamit pada pelatih yang membuat pelatih bertanya-tanya.

Kenapa dia pergi begitu saja tanpa menyelesaikan latihannya.

Sekitar 10 menit menggunakan taksi kini Naura sampai di rumah sakit dan mendapati ibunya yang tengah berdiri di depan ruang IGD.

Wanita paruh baya itu terlihat gelisah mondar mandir tak tentu arah. Melihat anaknya datang bu Ningrum segera menyambut kedatangan anaknya.

"Naura, syukurlah kamu sudah datang, Ibu takut sendirian di sini."

"Kenapa bisa kambuh lagi, Bu? Bukannya Dokter mengatakan kondisi Ayah baik-baik saja?"

Memang benar apa yang dikatakan oleh Naura kalau dokter sempat mengatakan kondisi pak Danu semakin membaik pasca sakit satu tahun yang lalu. Tapi sekarang pria tua itu kembali membuat cemas keluarganya.

"Ibu juga tidak tau, Nak. Tiba-tiba saja Ayah kamu kesakitan di dadanya."

"Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa dengan Ayah."

Cukup lama mereka menunggu dokter di dalam yang sedang melakukan tindakan, beberapa menit kemudian dokter keluar dengan wajah lusuhnya.

Naura dan bu Ningrum segera menghampiri dokter tersebut. "Dokter, bagaimana keadaan suami saya, Dok?"

Dokter menghela nafas kasar sebelum bicara. "Maaf, Bu. Apa Ibu bisa ikut ke ruangan saya? Ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan anda."

Ucapan dokter semakin membuat Naura dan ibunya khawatir. Di tengah kehidupan ekonomi yang menghimpitnya mereka harus di hadapkan dengan pernyataan tentang penyakit orang tersayang.

Naura dan bu Ningrum mengikuti di belakang dokter berjalan.

"Kenapa, Dok? Ada apa dengan Ayah saya?"

"Maaf, Bu, Mba. Saya harus mengatakan sesuatu pada kalian bahwa penyakit jantung yang pak Danu derita semakin parah, kita harus melakukan tindakan serius."

"Astagfirullah hal adzim." ucap Naura dan bu Ningrum serentak.

Bu Ningrum spontan menutup mulut dengan kedua tangannya. Matanya berkaca-kaca dengan wajah memancarkan kekhawatiran terhadap suaminya.

"Apa, Dok? Ya Allah, Ayah. Apa ada jalan keluar terbaik untuk Ayah saya, Dok?" Naura berusaha menguatkan diri.

"Ada dua cara untuk mengatasinya, Mba. Yang pertama dengan cara melakukan operasi pemasangan ring di jantungnya."

Degh!

"Apa, operasi?" gumam Naura dalam hati. Dia berfikir uang dari mana untuk biaya operasi ayahnya, sedang biaya itu tentulah tidak sedikit.

Dokter kembali bicara. "Dan yang kedua dengan mengganti jantung yang sehat, tentunya kita butuh donor jantung untuk Pak Danu."

"Jadi bagaimana, tindakan apa yang akan kalian ambil?"

Sejenak tidak ada suara dari mereka, ketiganya sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Beri waktu kami untuk berfikir, Dok. Kami akan memikirkan keputusan apa yang akan kami ambil."

"Baik, Mba. Silahkan, tapi saya minta jangan terlalu lama karena Pak Danu membutuhkan penanganan cepat."

"Baik, Dok. Kami akan segera memberikan keputusan. Kami permisi, Dok." Dengan langkah gontai kedua wanita itu keluar dari ruangan dokter.

Kembali menemui pak Danu yang terbaring lemah di atas berankar dengan beberapa selang menempel di tubuhnya.

Suara tut tut alat monitor semakin membuat suasana terasa mencekam.

Tak hentinya Naura bicara pada diri sendiri bagaimana cara mengatasi semuanya. Sebagai anak sulung tentu dia menjadi harapan untuk kedua orang tuanya.

"Ya Allah, bagaimana ini. Uang dari mana untuk operasi Ayah," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Melihat ibunya yang duduk di samping sang ayah sembari menggenggam erat tangan keriput itu rasanya tak tega apalagi membiarkan ayahnya merasakan sakit yang tak berkesudahan.

"Aku harus melakukan sesuatu, aku harus kuat. Aku tidak boleh lemah seperti ini," pekiknya menyemangati diri sendiri.

Naura memilih untuk keluar dan duduk seorang diri di depan ruang rawat ayahnya.

Dering ponsel membuyarkan lamunannya, dia segera melihat siapa yang menelepon. Dan ternyata nomer baru yang membuat dia mengerutkan alisnya.

"Nomer siapa ini?" ...

BERSAMBUNG.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status