"Ibu, ada apa Ibu meneleponku." Diangkatlah ponsel tersebut ke telinganya.
"Iya, Bu. Ada apa?" "Naura, kamu ada dimana, Nak?" Suara bu Ningrum terdengar cemas. "Aku ada di tempat latihan, Bu. Ada apa?" Perasaan Naura mendadak tidak enak. Dia bangun dari duduknya dengan perasaan khawatir. "Ayah kamu, Nak. Jantung Ayah kamu kambuh lagi." "Apa?" Lemas sudah tubuh Naura seketika. Kakinya serasa tak punya tulang penyangga dia pun terduduk lunglai membayangkan bagaimana kondisi ayahnya sekarang. "Iya, Nak. Ibu sedang membawanya ke rumah sakit. Kamu susul Ibu sekarang!" "Iya, Bu. Aku ke sana sekarang!" Tanpa membuang waktu lama Naura segera menyusul ibunya. Bahkan tak terpikir olehnya untuk pamit pada pelatih yang membuat pelatih bertanya-tanya. Kenapa dia pergi begitu saja tanpa menyelesaikan latihannya. Sekitar 10 menit menggunakan taksi kini Naura sampai di rumah sakit dan mendapati ibunya yang tengah berdiri di depan ruang IGD. Wanita paruh baya itu terlihat gelisah mondar mandir tak tentu arah. Melihat anaknya datang bu Ningrum segera menyambut kedatangan anaknya. "Naura, syukurlah kamu sudah datang, Ibu takut sendirian di sini." "Kenapa bisa kambuh lagi, Bu? Bukannya Dokter mengatakan kondisi Ayah baik-baik saja?" Memang benar apa yang dikatakan oleh Naura kalau dokter sempat mengatakan kondisi pak Danu semakin membaik pasca sakit satu tahun yang lalu. Tapi sekarang pria tua itu kembali membuat cemas keluarganya. "Ibu juga tidak tau, Nak. Tiba-tiba saja Ayah kamu kesakitan di dadanya." "Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa dengan Ayah." Cukup lama mereka menunggu dokter di dalam yang sedang melakukan tindakan, beberapa menit kemudian dokter keluar dengan wajah lusuhnya. Naura dan bu Ningrum segera menghampiri dokter tersebut. "Dokter, bagaimana keadaan suami saya, Dok?" Dokter menghela nafas kasar sebelum bicara. "Maaf, Bu. Apa Ibu bisa ikut ke ruangan saya? Ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan anda." Ucapan dokter semakin membuat Naura dan ibunya khawatir. Di tengah kehidupan ekonomi yang menghimpitnya mereka harus di hadapkan dengan pernyataan tentang penyakit orang tersayang. Naura dan bu Ningrum mengikuti di belakang dokter berjalan. "Kenapa, Dok? Ada apa dengan Ayah saya?" "Maaf, Bu, Mba. Saya harus mengatakan sesuatu pada kalian bahwa penyakit jantung yang pak Danu derita semakin parah, kita harus melakukan tindakan serius." "Astagfirullah hal adzim." ucap Naura dan bu Ningrum serentak. Bu Ningrum spontan menutup mulut dengan kedua tangannya. Matanya berkaca-kaca dengan wajah memancarkan kekhawatiran terhadap suaminya. "Apa, Dok? Ya Allah, Ayah. Apa ada jalan keluar terbaik untuk Ayah saya, Dok?" Naura berusaha menguatkan diri. "Ada dua cara untuk mengatasinya, Mba. Yang pertama dengan cara melakukan operasi pemasangan ring di jantungnya." Degh! "Apa, operasi?" gumam Naura dalam hati. Dia berfikir uang dari mana untuk biaya operasi ayahnya, sedang biaya itu tentulah tidak sedikit. Dokter kembali bicara. "Dan yang kedua dengan mengganti jantung yang sehat, tentunya kita butuh donor jantung untuk Pak Danu." "Jadi bagaimana, tindakan apa yang akan kalian ambil?" Sejenak tidak ada suara dari mereka, ketiganya sibuk dengan pikirannya masing-masing. "Beri waktu kami untuk berfikir, Dok. Kami akan memikirkan keputusan apa yang akan kami ambil." "Baik, Mba. Silahkan, tapi saya minta jangan terlalu lama karena Pak Danu membutuhkan penanganan cepat." "Baik, Dok. Kami akan segera memberikan keputusan. Kami permisi, Dok." Dengan langkah gontai kedua wanita itu keluar dari ruangan dokter. Kembali menemui pak Danu yang terbaring lemah di atas berankar dengan beberapa selang menempel di tubuhnya. Suara tut tut alat monitor semakin membuat suasana terasa mencekam. Tak hentinya Naura bicara pada diri sendiri bagaimana cara mengatasi semuanya. Sebagai anak sulung tentu dia menjadi harapan untuk kedua orang tuanya. "Ya Allah, bagaimana ini. Uang dari mana untuk operasi Ayah," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Melihat ibunya yang duduk di samping sang ayah sembari menggenggam erat tangan keriput itu rasanya tak tega apalagi membiarkan ayahnya merasakan sakit yang tak berkesudahan. "Aku harus melakukan sesuatu, aku harus kuat. Aku tidak boleh lemah seperti ini," pekiknya menyemangati diri sendiri. Naura memilih untuk keluar dan duduk seorang diri di depan ruang rawat ayahnya. Dering ponsel membuyarkan lamunannya, dia segera melihat siapa yang menelepon. Dan ternyata nomer baru yang membuat dia mengerutkan alisnya. "Nomer siapa ini?" ... BERSAMBUNG."Halo, siapa ini?""Sayang, ini aku Adnan." Suara Adnan dari sambungan telepon."Adnan, kamu pakai nomer baru?""Iya, Sayang. Hari ini aku mulai kerja, tolong doakan aku supaya pekerjaanku lancar."Sedikit lega perasaan Naura setelah mendengar suara orang terkasih walau setelah ini dia kembali harus dihadapkan dengan pil pahit mengenai keluarganya."Pasti, aku pasti mendoakan yang terbaik untuk kamu. Kamu hati-hati dalam bekerja yah.""Terima kasih, sekarang aku sudah sampai di tempat kerja. Nanti aku hubungi lagi saat jam istirahat."Pria tampan ini berdiri dan menatap bangunan tinggi sebuah hotel tempat dia bekerja. Dengan penuh keyakinan Adnan melangkahkan kakinya masuk dan mulai kerja dengan beberapa temannya.Mengenakan seragam cleaning service sambil membawa sapu dan beberapa alat pembersih hotel."Permisi, Mas Adnan. Tolong buatkan teh hangat untuk Mommy Jihan, bawa teh itu ke ruang kerjanya." uc
"Kamu serius? Nggak, aku nggak mau membebani kamu, Nan."Adnan jongkok di depan Naura sembari memandang lekat wanita yang dia sayang. "Kamu percaya padaku, orang tuamu sudah seperti orang tuaku sendiri. Apapun yang terjadi kita akan lalui bersama-sama."Mendadak Naura seperti punya kekuatan setelah mendapat dukungan dari kekasihnya. Sesekali dia menoleh ke atas menahan bulir bening yang sudah di pelupuk matanya."Makasih, Nan. Aku nggak tau musti ngomong apa sama kamu.""Sudah, lebih baik kita temui dokter dan bilang padanya untuk segera melakukan operasi pemasangan ring." Naura mengangguk yakin.Tanpa mereka sadari bu Ningrum menguping di balik pintu dan mendengar semua obrolan mereka. Betapa terharunya dia mendengar ucapan calon menantunya yang begitu tulus.Tak salah bu Ningrum dan pak Danu memilihkan jodoh untuk putrinya."Syukurlah, akhirnya kalian menentukan pilihan. Baik, kalau Mba dan Mas setuju, silahkan isi for
Sebuah foto kebersamaan Adnan dengan wanita yang baru saja terjadi tadi sore terkirim ke ponsel milik Naura. Entah siapa pengirimnya, hanya tertera nomer baru dari si pengirim.Darah Naura mendidih seketika dengan emosi yang memuncak, bagaimana bisa calon suami yang dia percaya ternyata tega melakukan itu di belakangnya."Apa ini? Jadi begini cara kamu mencari uang untuk Ayah, hah?" ucapnya dengan dada bergemuruh. Adnan tidak mengerti apa yang dikatakan oleh calon istrinya kenapa tiba-tiba ekspresinya berubah.Plak!Amplop coklat tersebut Naura hempaskan secara kasar di tangan Adnan sambil berlalu pergi."Naura, apa maksud kamu?" Adnan berusaha mengejar Naura yang kini pergi sambil menitikkan air mata."Aku nggak sudi menerima uang haram darimu, Adnan. Lepas!""Uang haram apa? Aku nggak ngerti maksud kamu." "Lihat ini?" Foto tersebut Naura tunjukan pada Adnan yang membuat matanya membelalak sempurna."
"Turun!"Natasya yang kini duduk di ruang tamu sembari membaca buku melihat samar-samar temannya datang dari balik tirai transparan. Untuk memastikan apakah itu benar-benar Naura atau bukan, Natasya keluar menemuinya."Naura.""Sya ..." Seketika Naura menangis dalam pelukan temannya."Astaga, ada apa, Nau? Masuk masuk!" Wanita berambut pirang itu membawa Naura ke dalam kamarnya."Hei, ada apa? Kenapa kau menangis? Coba cerita padaku?" Tapi Naura hanya diam. Natasya mengira kalau sepupunya itu yang telah membuat temannya menangis, gadis itu keluar kamar dan menemui Sean yang kini duduk sambil menyilangkan satu kakinya."Kak, apa yang terjadi pada Naura? Kenapa dia seperti itu? Sean hanya menghela nafas kasar tanpa menjawab."Kak, kau tidak bisa seperti ini. Kau apakan Naura?""Apa kau sudah gila? Kau bisa tanyakan langsung padanya!"Degh!Dengan langkah cepat Natasya kembali masuk untuk menenang
"Apa sih!""Nau, aku minta maaf. Sungguh aku nggak kenal siapa dia, dia cuma tamu hotel." Tapi tidak semudah itu membujuk Naura untuk percaya."Kamu pikir aku percaya? Semua laki-laki itu sama, dia hanya bisa mempermainkan perasaan perempuan, termasuk kamu!""Astaghfirullah hal adzim! Aku tidak seperti itu! Kamu percaya sama aku."Kepala Natasya terasa pusing menyaksikan kedua temannya berdebat di hadapannya, namun ikut campur pun serasa bukan wewenang dia karena urusan pribadi pasangan yang sudah bertunangan.Melihat keributan yang terjadi di luar bu Mima penasaran, dia keluar untuk melihat apa yang terjadi dengan anak dan calon menantunya."Ada apa ini? Kenapa kalian berantem seperti ini?" Naura sudah tak bisa lagi bersandiwara di depan calon mertuanya.Wajahnya memerah menahan air mata yang hampir terjatuh tapi tetap dia tahan agar terlihat kuat di depan calon mertuanya.Tapi Adnan justru yang bicara. "Ibu, e
"Siapa kamu? Aku tidak punya urusan dengan kamu!""Euh!" Tanpa menjawab siapa dirinya Sean menghempas tangan juragan Sastra dengan kasar."Kurang ajar! Hiiatt!" Namun mudah bagi Sean untuk menaklukkan juragan culas ini. Hanya menggunakan satu tangan saja, tubuhnya yang gagah mampu meraih kepalan tangan itu lalu memutarnya hingga kini posisi juragan Sastra berada dalam dekapannya.Naura bergidik ngeri melihat gerakan Sean yang spontan tapi tepat sasaran."Pergi, atau ku habisi kau sekarang juga?" Bisiknya di telinga juragan Sastra yang membuat dia kaget.Melihat bosnya ditikam oleh Sean, anak buah juragan Sastra berlari menyerang."Hiiaaattt!"Bugh!Satu tendangan dari kaki yang panjang membuat anak buah itu terpental sembari memegangi dadanya yang terasa sakit."Pergi kau dari sini!" ucap Sean sembari mendorong juragan Sastra lepas dari dekapannya. Juragan Sastra terhuyung sambil mengusap kepalan tangan
"Selamat pagi, Nona Naura.""Pagi, kamu ..., kamu teman kakaknya Natasya kan?" Jhoni tersenyum."Lebih tepatnya saya anak buah Tuan Sean, Nona.""Tuan Sean? Jadi kamu memanggil dia Tuan Sean?""Iya, Nona. Saya ditugaskan Tuan untuk menjemput Nona di sini dan memastikan Nona selamat sampai kampus.""Tapi aku bisa berangkat sendiri.""Please, Nona. Jangan membuat Tuan Sean marah padaku."Naura berfikir sesaat. Tak ingin anak buahnya itu mendapat hukuman, Naura akhirnya mau berangkat dengan Jhoni. Jhoni membukakan pintu mobil selayaknya majikan sendiri.Di dalam mobil mereka hanya diam sembari Naura mencari pokok pembahasan di antara mereka berdua."Oh iya, saya mau tanya sama kamu. Kenapa Tuan kamu itu begitu dingin?" Jhoni tersenyum sebelum menjawab."Sudah karakter Tuan Sean, Nona. Tapi Tuan Sean orang yang baik.""Orang baik?" Naura berfikir baik dari mana dia lupa kalau kemaren baru
Rupanya wanita itu yang sudah Sean sediakan untuk menemaninya berlayar seperti setiap yang sudah-sudah dia lakukan. Sean menyuruh anak buahnya untuk menyediakan wanita seksi."Sial! Hari ini aku tidak berselera," ucapnya sambil mendorong wanita yang sudah melorot tali bra-nya. Wanita itu terjengkang sambil membenarkan atasan busananya yang sempat terbuka.Merasa tidak dibutuhkan, wanita itu pergi dari hadapan Sean.Dia lebih memilih untuk sendiri dan menemui Bertha guna membahas soal pekerjaan.Sampai tiba di suatu pulau Sean disambut oleh beberapa mobil yang terparkir di tepi pantai. Tampak seorang pria memakai setelan jas berwarna putih lengkap dengan topi pork pie dikawal oleh beberapa anak buahnya."Selamat datang, Tuan Sean Alexander. Senang bertemu dengan Anda di sini.""Selamat siang, Tuan Gultaf. Apa kabar?""Ya, seperti yang anda lihat kali ini." Walau sudah berusia setengah abad tapi pengusaha itu terlihat mas