Sean menunjuk ke luar yang ternyata membuat tuan Erdo kesulitan menelan salivanya sendiri.
Sebuah mobil jeep berhenti di area parkiran, Jhoni datang dengan beberapa temannya dan berjaga di depan cafe, bersiap dengan kemungkinan buruk yang terjadi pada bosnya. Anak buah andalan itu memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Jhoni tau tugasnya tanpa harus diperintah Sean terlebih dahulu. "Sial!" Reaksi wajah tuan Erdo kalang kabut seketika, sedikit banyaknya dia merasa malu karena sempat menganggap Sean kecil. "Kita pergi dari sini!" Pengusaha culas itu berdiri dari duduknya bersama anak buah yang siap mengikutinya. "Awas saja! Urusan kita belum selesai. Akan ku buat kau menyesal telah menolak kerja sama denganku!" Sean hanya menyerkitkan bibirnya. Ancaman seperti itu sudah biasa baginya, bukan hanya dari tuan Erdo tapi dari pengusaha lainnya yang tak cocok dengannya. Kini hanya tinggal dirinya dan Bertha yang berada di tempat itu. Mendadak Sean mempunyai keinginan untuk pergi ke suatu tempat yang sudah lama tidak dikunjungi olehnya, dari semenjak dia lulus kuliah dulu. "Bertha, kau pulanglah dengan mereka. Jhoni kau ikut denganku!" * * * Sementara di kampus Natasya dan Naura terlihat keluar dari kelasnya, mereka berdua berhenti di tepi jalan raya, menunggu taksi yang akan mengantar Naura ke tempat tujuan. "Nau, setelah ini kau langsung pulang?" "Nggak, aku ada kegiatan lain sebelum pulang ke rumah. Kamu mau ikut?" Natasya menggeleng. Dia tau kegiatan apa yang Naura maksudkan. Beberapa kali gadis pirang itu diajak Naura ke tempat latihan dan mencoba, tapi nyatanya bakat Natasya tidak seperti Naura yang begitu fokus dalam memanah. "Nggak, aku nggak punya bakat sepertimu." Naura tersenyum. "Aku salut denganmu, Nau. Kau begitu titis dalam memanah. Luar biasa." Natasya bertepuk tangan lirih sambil tertawa. Namun tawa mereka redup ketika sebuah mobil datang dan berhenti tepat di hadapan mereka. Mengetahui siapa yang datang Natasya mengerutkan alisnya penasaran. "Siapa dia, Sya? Apa kamu mengenalnya?" tanya Naura penasaran, tapi Natasya tidak menjawabnya sampai kaca mobil dibuka. "Mau apa kau kemari?" "Pulang denganku sekarang!" Naura dibuat bingung dengan sikap Sean yang tiba-tiba menyuruh Natasya pulang dengannya, tapi dia tak mau ambil pusing karena dari awal dia tau bagaimana sikap pria itu. Sudah tidak heran Naura dengan sikap Sean yang keras kepala. "Astaga, ada apa kau ini, Kak. Kenapa kau memaksaku untuk pulang, aku bisa pulang sendiri!" "Jangan membantah! Pulang denganku atau kau aku pulangkan ke New York!" Ancaman itu cukup menakutkan untuk Natasya. Mau tidak mau Natasya menuruti apa yang Sean katakan. Gadis itu bersungut-sungut masuk ke dalam mobil kakak sepupunya. Naura melirik sebelum Sean melajukan mobilnya tanpa di sengaja pria itu pun sedang memandangnya. Mata mereka saling beradu pandang untuk beberapa detik. Merasa bukan muhrimnya Naura segera menunduk sambi berfikir masih ada orang sedingin itu, bahkan cara bicara dia tidak ada senyumnya sama sekali. Apa bisa dia ramah dengan orang lain? "Hufh, sudahlah. Lebih baik aku berangkat sekarang." ucapnya sambil berlalu pergi, berjalan kaki sembari menunggu taksi lewat. Sesampainya di tempat latihan Naura duduk sambil bersiap sebelum memulai. Tapi pikirannya membayangkan tatapan mata Sean yang terlihat berbeda, walau nada bicara dia masih terlihat ingin. Dia bertanya-tanya dalam hati ada apa dengan sepupu temannya itu, Naura sempat menduga-duga tetapi segera dia tepis dan berfikir kalau apa yang dia bayangkan itu tidak benar. "Naura kamu sudah siap?" teriak pelatih dari tengah lapangan. Naura membulatkan dua jari jempol dan telunjuk yang menandakan kalau dia sudah siap. "Hufh! Sudah. Fokus, fokus, Naura. Kamu harus fokus," pekiknya memberi semangat pada diri sendiri. Dia bergegas ke tengah lapangan dan mengambil satu paket alat memanah. Bersiap membidik arah sasaran dan melesakkan anak panah. "Dalam hitungan ke tiga kita mulai." Pelatih memberi instruksi. "Satu, dua, tiga." Jleb! Tapi kali ini dia gagal, lesatan anak panah itu melenceng ke pinggir titik yang membuat pelatih menggeleng tak seperti biasanya. "Maaf, Kak." "Ok, kita ulangi sekali lagi. Satu, dua, tiga!" Jleb! Lesakkan untuk yang kedua kalinya pun Naura lakukan dan hasilnya sama, anak panah itu tidak menancap pada titik di tengah target. "Kamu kenapa, Nau? Nggak seperti biasanya. Kamu ada masalah?" "Nggak, Kak. Aku juga nggak tau. Padahal aku udah berusaha fokus tapi ..." "Ya sudah, lebih baik kita istirahat dulu. Setelah ini kita mulai lagi." Naura mengangguk. Dia menepi dan membuka tasnya untuk mengambil air minum di dalamnya. Baru sekali tegukan air itu melewati tenggorokannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Susah payah dia mengambil ponsel yang terselip di antara tumpukan buku-buku tugas kampusnya dan berhasil dia dapatkan. Naura memicingkan matanya saat melihat nama yang tertera di atas layar ponselnya. BERSAMBUNG."Ibu, ada apa Ibu meneleponku." Diangkatlah ponsel tersebut ke telinganya."Iya, Bu. Ada apa?""Naura, kamu ada dimana, Nak?" Suara bu Ningrum terdengar cemas."Aku ada di tempat latihan, Bu. Ada apa?" Perasaan Naura mendadak tidak enak. Dia bangun dari duduknya dengan perasaan khawatir."Ayah kamu, Nak. Jantung Ayah kamu kambuh lagi.""Apa?" Lemas sudah tubuh Naura seketika. Kakinya serasa tak punya tulang penyangga dia pun terduduk lunglai membayangkan bagaimana kondisi ayahnya sekarang."Iya, Nak. Ibu sedang membawanya ke rumah sakit. Kamu susul Ibu sekarang!""Iya, Bu. Aku ke sana sekarang!"Tanpa membuang waktu lama Naura segera menyusul ibunya. Bahkan tak terpikir olehnya untuk pamit pada pelatih yang membuat pelatih bertanya-tanya.Kenapa dia pergi begitu saja tanpa menyelesaikan latihannya.Sekitar 10 menit menggunakan taksi kini Naura sampai di rumah sakit dan mendapati ibunya yang ten
"Halo, siapa ini?""Sayang, ini aku Adnan." Suara Adnan dari sambungan telepon."Adnan, kamu pakai nomer baru?""Iya, Sayang. Hari ini aku mulai kerja, tolong doakan aku supaya pekerjaanku lancar."Sedikit lega perasaan Naura setelah mendengar suara orang terkasih walau setelah ini dia kembali harus dihadapkan dengan pil pahit mengenai keluarganya."Pasti, aku pasti mendoakan yang terbaik untuk kamu. Kamu hati-hati dalam bekerja yah.""Terima kasih, sekarang aku sudah sampai di tempat kerja. Nanti aku hubungi lagi saat jam istirahat."Pria tampan ini berdiri dan menatap bangunan tinggi sebuah hotel tempat dia bekerja. Dengan penuh keyakinan Adnan melangkahkan kakinya masuk dan mulai kerja dengan beberapa temannya.Mengenakan seragam cleaning service sambil membawa sapu dan beberapa alat pembersih hotel."Permisi, Mas Adnan. Tolong buatkan teh hangat untuk Mommy Jihan, bawa teh itu ke ruang kerjanya." uc
"Kamu serius? Nggak, aku nggak mau membebani kamu, Nan."Adnan jongkok di depan Naura sembari memandang lekat wanita yang dia sayang. "Kamu percaya padaku, orang tuamu sudah seperti orang tuaku sendiri. Apapun yang terjadi kita akan lalui bersama-sama."Mendadak Naura seperti punya kekuatan setelah mendapat dukungan dari kekasihnya. Sesekali dia menoleh ke atas menahan bulir bening yang sudah di pelupuk matanya."Makasih, Nan. Aku nggak tau musti ngomong apa sama kamu.""Sudah, lebih baik kita temui dokter dan bilang padanya untuk segera melakukan operasi pemasangan ring." Naura mengangguk yakin.Tanpa mereka sadari bu Ningrum menguping di balik pintu dan mendengar semua obrolan mereka. Betapa terharunya dia mendengar ucapan calon menantunya yang begitu tulus.Tak salah bu Ningrum dan pak Danu memilihkan jodoh untuk putrinya."Syukurlah, akhirnya kalian menentukan pilihan. Baik, kalau Mba dan Mas setuju, silahkan isi for
Sebuah foto kebersamaan Adnan dengan wanita yang baru saja terjadi tadi sore terkirim ke ponsel milik Naura. Entah siapa pengirimnya, hanya tertera nomer baru dari si pengirim.Darah Naura mendidih seketika dengan emosi yang memuncak, bagaimana bisa calon suami yang dia percaya ternyata tega melakukan itu di belakangnya."Apa ini? Jadi begini cara kamu mencari uang untuk Ayah, hah?" ucapnya dengan dada bergemuruh. Adnan tidak mengerti apa yang dikatakan oleh calon istrinya kenapa tiba-tiba ekspresinya berubah.Plak!Amplop coklat tersebut Naura hempaskan secara kasar di tangan Adnan sambil berlalu pergi."Naura, apa maksud kamu?" Adnan berusaha mengejar Naura yang kini pergi sambil menitikkan air mata."Aku nggak sudi menerima uang haram darimu, Adnan. Lepas!""Uang haram apa? Aku nggak ngerti maksud kamu." "Lihat ini?" Foto tersebut Naura tunjukan pada Adnan yang membuat matanya membelalak sempurna."
"Turun!"Natasya yang kini duduk di ruang tamu sembari membaca buku melihat samar-samar temannya datang dari balik tirai transparan. Untuk memastikan apakah itu benar-benar Naura atau bukan, Natasya keluar menemuinya."Naura.""Sya ..." Seketika Naura menangis dalam pelukan temannya."Astaga, ada apa, Nau? Masuk masuk!" Wanita berambut pirang itu membawa Naura ke dalam kamarnya."Hei, ada apa? Kenapa kau menangis? Coba cerita padaku?" Tapi Naura hanya diam. Natasya mengira kalau sepupunya itu yang telah membuat temannya menangis, gadis itu keluar kamar dan menemui Sean yang kini duduk sambil menyilangkan satu kakinya."Kak, apa yang terjadi pada Naura? Kenapa dia seperti itu? Sean hanya menghela nafas kasar tanpa menjawab."Kak, kau tidak bisa seperti ini. Kau apakan Naura?""Apa kau sudah gila? Kau bisa tanyakan langsung padanya!"Degh!Dengan langkah cepat Natasya kembali masuk untuk menenang
"Apa sih!""Nau, aku minta maaf. Sungguh aku nggak kenal siapa dia, dia cuma tamu hotel." Tapi tidak semudah itu membujuk Naura untuk percaya."Kamu pikir aku percaya? Semua laki-laki itu sama, dia hanya bisa mempermainkan perasaan perempuan, termasuk kamu!""Astaghfirullah hal adzim! Aku tidak seperti itu! Kamu percaya sama aku."Kepala Natasya terasa pusing menyaksikan kedua temannya berdebat di hadapannya, namun ikut campur pun serasa bukan wewenang dia karena urusan pribadi pasangan yang sudah bertunangan.Melihat keributan yang terjadi di luar bu Mima penasaran, dia keluar untuk melihat apa yang terjadi dengan anak dan calon menantunya."Ada apa ini? Kenapa kalian berantem seperti ini?" Naura sudah tak bisa lagi bersandiwara di depan calon mertuanya.Wajahnya memerah menahan air mata yang hampir terjatuh tapi tetap dia tahan agar terlihat kuat di depan calon mertuanya.Tapi Adnan justru yang bicara. "Ibu, e
"Siapa kamu? Aku tidak punya urusan dengan kamu!""Euh!" Tanpa menjawab siapa dirinya Sean menghempas tangan juragan Sastra dengan kasar."Kurang ajar! Hiiatt!" Namun mudah bagi Sean untuk menaklukkan juragan culas ini. Hanya menggunakan satu tangan saja, tubuhnya yang gagah mampu meraih kepalan tangan itu lalu memutarnya hingga kini posisi juragan Sastra berada dalam dekapannya.Naura bergidik ngeri melihat gerakan Sean yang spontan tapi tepat sasaran."Pergi, atau ku habisi kau sekarang juga?" Bisiknya di telinga juragan Sastra yang membuat dia kaget.Melihat bosnya ditikam oleh Sean, anak buah juragan Sastra berlari menyerang."Hiiaaattt!"Bugh!Satu tendangan dari kaki yang panjang membuat anak buah itu terpental sembari memegangi dadanya yang terasa sakit."Pergi kau dari sini!" ucap Sean sembari mendorong juragan Sastra lepas dari dekapannya. Juragan Sastra terhuyung sambil mengusap kepalan tangan
"Selamat pagi, Nona Naura.""Pagi, kamu ..., kamu teman kakaknya Natasya kan?" Jhoni tersenyum."Lebih tepatnya saya anak buah Tuan Sean, Nona.""Tuan Sean? Jadi kamu memanggil dia Tuan Sean?""Iya, Nona. Saya ditugaskan Tuan untuk menjemput Nona di sini dan memastikan Nona selamat sampai kampus.""Tapi aku bisa berangkat sendiri.""Please, Nona. Jangan membuat Tuan Sean marah padaku."Naura berfikir sesaat. Tak ingin anak buahnya itu mendapat hukuman, Naura akhirnya mau berangkat dengan Jhoni. Jhoni membukakan pintu mobil selayaknya majikan sendiri.Di dalam mobil mereka hanya diam sembari Naura mencari pokok pembahasan di antara mereka berdua."Oh iya, saya mau tanya sama kamu. Kenapa Tuan kamu itu begitu dingin?" Jhoni tersenyum sebelum menjawab."Sudah karakter Tuan Sean, Nona. Tapi Tuan Sean orang yang baik.""Orang baik?" Naura berfikir baik dari mana dia lupa kalau kemaren baru
"Atau jangan-jangan kau belum bisa move one darinya?" Naura dibuat salah tingkah oleh ucapan Sean. "Apa maksud kamu? Aku bukan berniat untuk mengingat Adnan lagi tapi ..., tapi wanita itu_" ucapannya itu seperti tercekat di tenggorokan. Sean semakin penasaran. "Wanita? Siapa yang kau maksudkan?" Sambil menahan sebak di dada Naura berusaha mengatakan semuanya pada Sean. "Tadi ada seorang wanita datang ke sini dan mengatakan kalau kamu ada hubungannya dengan foto Adnan dan seorang wanita di hotel waktu itu. Tapi aku tidak tau siapa namanya." Sean menyerkitkan bibirnya. Rupanya masih ada yang ingin bermain-main dengannya. Dia berusaha mendekati Naura dengan halus, berharap tidak ada perlawanan lagi darinya. "Baby kau dengar. Banyak sekali orang di luaran sana yang berusaha menjatuhkan kita. Jadi aku harap kau jangan mudah percaya dengannya." Naura sadar kalau masa l
"Mencari aku? Untuk apa kamu mencari aku?"Kate kembali menyunggingkan senyumnya. "Kau memang bodoh! Bisa-bisanya kau tertipu oleh suamimu sendiri."Degh!"Apa maksud kamu?" Perasaan Naura semakin tidak enak. Wajahnya seketika memucat dengan nafas memburu karena merasa wanita ini tau banyak tentang Sean."Asal kau tau! Demi mendapatkan-mu Sean rela melakukan apa saja, termasuk menuduh kekasihmu itu.""Kekasihku?" Pikiran Naura mengingat kembali kekasih siapa yang Kate maksudkan. Sedang dia hanya punya satu mantan kekasih yaitu Adnan."Iya, kekasihmu yang sudah mati itu!"Tidak salah lagi, yang Kate maksudkan adalah si Adnan. "Adnan, me_memang apa yang sudah Sean lakukan pada Adnan?" Suara Naura bergetar. "Kau ini benar-benar bodoh! Coba kau pikir secara logika apa mungkin kekasihmu itu melakukan itu dengan wanita lain?" Jauh dari lubuk hati Naura memang dia menolak kenyataan itu karena dia tau bagaimana sifat A
Pagi hari Sean yang masih menutup matanya sambil tengkurap menggerayangi tempat tidur mencari istrinya, tapi Naura tidak ada di sampingnya.Penasaran apa yang sedang dilakukan oleh istrinya Sean pun membuka matanya dan segera beranjak turun.Dia mengendus, menghirup bau masakan yang tidak pernah terhirup di pagi harim"Hem, wangi sekali masakan ini."Dalam hatinya sudah menebak-nebak kalau yang masak di dapur adalah Naura. Walau Sean suka dengan aroma masakan itu tetapi dia mengerutkan keningnya.Dia tidak pernah mengizinkan orang yang disayang terjun langsung ke dapur dan mempercayakan pada kedua asisten rumah tangganya yakni Hilda dan Yusa.Sean turun. "Pagi, Honey," sapa Naura sambil tangannya tak berhenti memegang pekerjaan dapur."Sedang apa kau di sini?""Bikin nasi goreng! Kamu pasti suka nasi goreng buatanku.""Nasi goreng?" Rasanya nama itu tidak asing bagi Sean tapi dia belum pernah memakannya
"Kalian berdua sudah siap?""Tunggu sebentar, Honey." Naura berdiri sesaat melihat bangunan tua rumahnya. Rumah sederhana itu penuh dengan kenangan bersama sang ayah yang telah lama tiada. Hari ini dia harus ikut Sean ke kota untuk tinggal di istananya.Naura tak mungkin meninggalkan ibunya sendirian oleh karena itu dia mengajak bu Ningrum juga ikut ikut tinggal di sana.Sementara Jhoni sudah menunggu di dalam mobil. Sean mendekatinya dan memeluk Naura dari samping. "Aku tau ini tidak mudah untukmu, tapi aku yakin kalau Ayah pasti setuju dengan keputusanku." Naura menunduk sambil menahan air mata yang akan terjatuh."Kita berangkat sekarang." Karena Sean merasa dia akan lebih mudah untuk mengawasi dan melindungi keluarga barunya ini. Naura dan ibunya akan aman tinggal bersamanya.Mereka lalu berangkat ke istana Alexander dalam satu mobil yang dikendarai oleh Jhoni.Sekitar 15 menit mereka sampai di sana. Bu Ningrum membelalakkan matanya saat melintasi sebuah istana yang begitu besar
"Kau serius?" Tuan besar George mengangguk. "Iya, aku serius! Maafkan Daddy-mu ini, Nak." Sambil menahan rasa haru mereka mendekat satu sama lain dan berpelukan.Saat itu juga Naura keluar. "Hon, aku ..." Ucapannya terhenti saat melihat dua pria itu berpelukan. Dirinya yang baru saja selesai mandi kehilangan suaminya yang tidak ada di kamar, oleh karena itu Naura keluar untuk memastikan dimana Sean berada.Mendengar suara Naura datang mereka segera melepas pelukannya. Keduanya terlihat malu."Em, Babby. Kau sudah selesai mandi?" Naura menggeleng heran kenapa tuan George ada di sini. Kenapa mereka berpelukan, apakah mereka sudah baikan? Lalu apa tuan George mau menerima dirinya?Banyak sekali pertanyaan yang menaungi pikiran Naura saat ini."Kalian sedang apa di sini?""Kemari." Sean menyuruh Naura mendekat, tapi sepertinya dia masih ragu."Babby kemari." Wanita itu tidak melangkahkan kakinya sama sekali.
"Uncle, kau di sini?" Lucas terlihat gelagapan memandang wajah tuan besar George yang terlihat tak bersahabat. Sepertinya dia tau kalau hari ini putranya menikah padahal Sean sengaja tidak memberitahukannya."Dimana Sean?" Lucas hanya diam. Dia menoleh sesaat pada Natasya yang juga bingung harus berbuat apa. Terpaksa tuan George mengulang pertanyaannya kembali sambil menunjuk ke wajah Lucas."Aku bilang dimana Sean? Kau jangan coba-coba menyembunyikan dia dariku. Aku tau sekarang dia ada dimana." Pria tua itu bergegas untuk pergi, Lucas dan Natasya berusaha mencegah, berusaha bicara baik-baik dengannya tapi tuan George sama sekali tidak menghiraukan panggilan itu.Mereka hanya takut kalau tuan besar George berbuat semena-mena di sana dan mengganggu kebahagiaan pengantin baru."Eh, Uncle. Tunggu! Kau mau kemana?""Uncle dengarkan aku dulu!""Kalian dan Sean sama saja! Aku benci pada kalian. Aku yakin kalian pasti tau dimana Sean.
"Sssttt! Hei, kenapa kau berteriak?" Sean menyunggingkan senyumnya. Wajah Naura tampak memucat saat Sean mendekatkan wajahnya untuk mencium. Dia begitu grogi dihadapkan dengan seorang laki-laki dalam satu kamar.Secepat mungkin dia mencari alasan untuk menutupi kegugupannya itu. "Aku tadi ..., aku anu ..., em aku ..., aku mau ke toilet dulu. Iya, ke toilet dulu." Tanpa permisi wanita itu beranjak dari hadapan Sean dan masuk ke dalam kamar mandi. Sean tertawa sambil menggeleng karena tau kalau istrinya itu sedang salah tingkah.Dengan nafas yang memburu Naura berdiri di depan cermin sambil melihat pantulan dirinya sendiri. Menahan senyumnya saat merasakan sentuhan jari kokoh di lengan tangannya."Ya Allah, bagimana ini. Apa aku harus ..." Padahal dia tau kalau itu kewajiban istri terhadap suaminya. Naura merapikan dirinya sebelum keluar menemui suaminya."Hufh! Bismillah, aku pasti bisa!"Dengan malu-malu dia keluar kamar mandi, tapi yang
"Saya terima nikah dan kawinnya, Naura binti Bapak Danu Atmaja dengan mas kawin tersebut dibayar. Tunai." "Bagaimana saksi. Sah?" Hanya sekali tarikan nafas Sean berhasil mengucapkan ijab qobul dengan suara lantang terdengar sampai ke dalam kamar. Naura menghela nafas lega dengan mata yang berkaca-kaca. "Alhamdulillah ya Allah. Alhamdulillah engkau mudahkan semua urusan kita. Semua yang terjadi atas kehendak mu, ya Allah." Selalu saja wanita itu melibatkan Tuhannya dalam segala urusan dia. Perias masuk dan meminta Naura untuk keluar, dia mengikuti di belakang sambil membawakan buntut gaun yang menjuntai. "Shit!" ucap Sean sambil menyerkitkan bibirnya melihat istrinya datang bak bidadari yang turun dari syurga. Gaun putih dengan cadar transparan berwarna senada membuat dia terlihat begitu cantik sampai membuat Sean mengeluarkan keringat dingin. Wanita itu duduk di samping sang ma
"Kalau begitu Aunty tentukan saja tanggal pernikahannya, aku pasti setuju.""Izinkan Ibu untuk bicara dengan Pak Kyai Hanif terlebih dahulu untuk menentukan tanggal kalian menikah." Sean mengangguk, tak sabar rasanya menunggu hari itu datang.Pak Kyai Hanif mengatakan, lebih cepat lebih baik, bukankah Sean sudah punya segalanya? Lalu untuk apa mereka mengulur waktu yang hanya akan membuat fitnah untuk Sean dan Naura.Maka pesta pernikahan itu akan di laksanakan dua hari lagi. Sean dan Naura begitu bersemangat mempersiapkan segala sesuatunya."Kau tau Babby? Kalau aku sudah tidak sabar menunggu dua hari lagi," ucap Sean pada sambungan telepon."Serius?""Apa kau masih tak percaya denganku?" Mereka terdengar begitu romantis."Setelah kau resmi menjadi istriku, aku akan membawamu dan mertuaku pulang ke rumahku."Tiba saat itu datang dimana di kediaman pak Danu sudah dihiasi dengan dekorasi pernikahan bernuansa puti