"Halo, siapa ini?"
"Sayang, ini aku Adnan." Suara Adnan dari sambungan telepon. "Adnan, kamu pakai nomer baru?" "Iya, Sayang. Hari ini aku mulai kerja, tolong doakan aku supaya pekerjaanku lancar." Sedikit lega perasaan Naura setelah mendengar suara orang terkasih walau setelah ini dia kembali harus dihadapkan dengan pil pahit mengenai keluarganya. "Pasti, aku pasti mendoakan yang terbaik untuk kamu. Kamu hati-hati dalam bekerja yah." "Terima kasih, sekarang aku sudah sampai di tempat kerja. Nanti aku hubungi lagi saat jam istirahat." Pria tampan ini berdiri dan menatap bangunan tinggi sebuah hotel tempat dia bekerja. Dengan penuh keyakinan Adnan melangkahkan kakinya masuk dan mulai kerja dengan beberapa temannya. Mengenakan seragam cleaning service sambil membawa sapu dan beberapa alat pembersih hotel. "Permisi, Mas Adnan. Tolong buatkan teh hangat untuk Mommy Jihan, bawa teh itu ke ruang kerjanya." ucap salah satu pelayan wanita. "Baik, Mba." Dalam sekejap secangkir teh hangat siap disajikan Adnan mengantar ke ruangan Jihan. Tok! Tok! "Permisi." "Masuk," jawab seorang wanita bersuara serak basah di dalam. "Permisi, Nyonya. Saya mengantarkan teh hangat untuk Nyonya." "Terima kasih," ucapnya sambil menerima secangkir teh tersebut dan menyeruputnya. Tatapan mata yang membelalak tersamarkan dengan hembusan asap hangat dari teh membuat wajah putih itu kian terlihat memerah. "Kamu pegawai baru di sini?" "Iya, Nyonya. Saya Adnan, cleaning service baru di sini." "Oh, Adnan. Nama yang bagus." Wanita berambut pirang mengombak yang memakai atasan blouse berwarna putih, berbelahan dada rendah itu bangun dari duduknya dan menghampiri Adnan dengan langkah manjanya. "Kalau begitu panggil saya, Mommy. Saya pemilik hotel ini dan semua karyawan memanggilku dengan sebutan, Mommy." Suara lembut yang mengalun indah tepat di telinga sampai nafas hangatnya kian terasa yang membuat Adnan kesulitan menelan salivanya sendiri. "Oh, ba_baik, Mo_Mommy." "Saya bisa kasih kamu bonus besar kalau kinerja kamu bagus di sini, apa kau senang bekerja di sini?" Adnan mengangguk. "Bagus, jadi selamat bekerja. Kamu boleh melanjutkan tugasmu. Adnan." "Terima kasih, Mo_Mommy. Sa_saya permisi." Langkah seribu Adnan ambil dengan dada yang berdebar hebat. Pasalnya baru kali ini dia didekati wanita dengan penampilan terbuka. "Astagfirullah hal adzim! Ingat Naura, Adnan. Kamu di sini untuk bekerja, jadi kamu harus fokus bekerja," gumamnya dalam hati. Semua temannya memandang berbeda saat Adnan kembali membaur dengan raut wajahnya yang gugup. Bahkan salah satu dari mereka menggeleng seolah tau apa yang baru saja terjadi. "Kamu kenapa, Nan?" tanya Nino penasaran. "Hem? Aku? Aku nggak apa-apa." "Yakin? Jangan bohong." Nino lalu mendekatinya. "Beruntung kalau bisa mendapatkan wanita seksi seperti Mommy Jihan. Dia janda kesepian." Adnan terperanjat kaget. Sepertinya teman yang satu ini sudah tau banyak tentang atasannya itu. Nino memang sudah lama bekerja di hotel ini bahkan semua pelayan sudah mengenal siapa dirinya. "Ja_janda?" "Iya janda. Andai dia mau sama aku, aku tentu mau. Tapi ya ..." "Ah sudahlah, kita lupakan saja masalah ini." Sampai tiba waktunya pulang kerja Adnan kembali menelepon Naura. Namun wanita muslimah itu tak mendengar ponselnya berbunyi. Melihat ponsel anaknya berdering, bu Ningrum mengambil lalu mengangkatnya. "Halo, siapa ini?" "Tante ini aku, Adnan." "Nak Adnan." "Iya aku Adnan, Tante. Maaf Nauranya ada?" Belum sempat bu Ningrum menjawab, Adnan memicingkan matanya saat mendengar suara monitor yang membuat dia bertanya-tanya. "Naura, ada. Dia sedang mengaji, Adnan." "Mengaji? Tante apa semuanya baik-baik saja?" Perasannya mendadak tak enak. "Kami baik-baik saja, Nak. Tapi Om Danu harus dirawat di rumah sakit." Degh! "Apa? Om Danu sakit? Astagfirullah hal adzim, jadi sekarang Tante ada di rumah sakit?" "Iya, Tante dan Naura sedang menemani Om Danu di rumah sakit." "Kalau begitu aku ke sana sekarang, Tante." Padahal Naura berniat untuk tidak memberitahu pada tunangannya ini tapi ternyata Adnan tau dari bu Ningrum. Membawa parcel buah-buahan segar Adnan membesuk calon mertuanya yang kini masih terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Suara lantunan ayat suci Al-Quran yang Naura bacakan seakan membuatnya tenang sampai pak Danu enggan untuk membuka matanya. Tok! Tok! "Assalamu'alaikum." "Waalaikumsalam," jawab bu Ningrum dan Naura serentak. "Adnan, kamu tau dari mana kalau kita di sini?" Naura segera bangun dari duduknya sebelum pembicaraan mereka didengar oleh ayahnya. Wanita muslimah itu membawa Adnan sedikit menjauh dan bicara di depan kamar rawat. "Kamu tau dari mana kalau aku ada di sini?" "Ibu kamu yang cerita. Kenapa kamu tidak bilang padaku tentang semua ini? Kamu sendiri yang bilang kalau kita harus terbuka." Naura hanya merasa akan manjadi beban jika Adnan tau yang sesungguhnya. Tapi dia tak punya cara lain selain membawa tunangannya itu masuk ke dalam masalahnya, Naura lalu bercerita. "Astagfirullah hal adzim," ucap Adnan sambil mengusap wajahnya kasar. "Kalau begitu kita harus segera melakukan operasi, Sayang. Aku takut terjadi sesuatu pada Ayah kamu." "Tapi uang dari mana untuk biaya operasi itu, Adnan?" Adnan berfikir sejenak, mendadak pikirannya mengarah pada seseorang yang bisa membantunya. "Kamu jangan khawatir, soal biaya aku pasti bisa mendapatkannya." BERSAMBUNG."Kamu serius? Nggak, aku nggak mau membebani kamu, Nan."Adnan jongkok di depan Naura sembari memandang lekat wanita yang dia sayang. "Kamu percaya padaku, orang tuamu sudah seperti orang tuaku sendiri. Apapun yang terjadi kita akan lalui bersama-sama."Mendadak Naura seperti punya kekuatan setelah mendapat dukungan dari kekasihnya. Sesekali dia menoleh ke atas menahan bulir bening yang sudah di pelupuk matanya."Makasih, Nan. Aku nggak tau musti ngomong apa sama kamu.""Sudah, lebih baik kita temui dokter dan bilang padanya untuk segera melakukan operasi pemasangan ring." Naura mengangguk yakin.Tanpa mereka sadari bu Ningrum menguping di balik pintu dan mendengar semua obrolan mereka. Betapa terharunya dia mendengar ucapan calon menantunya yang begitu tulus.Tak salah bu Ningrum dan pak Danu memilihkan jodoh untuk putrinya."Syukurlah, akhirnya kalian menentukan pilihan. Baik, kalau Mba dan Mas setuju, silahkan isi for
Sebuah foto kebersamaan Adnan dengan wanita yang baru saja terjadi tadi sore terkirim ke ponsel milik Naura. Entah siapa pengirimnya, hanya tertera nomer baru dari si pengirim.Darah Naura mendidih seketika dengan emosi yang memuncak, bagaimana bisa calon suami yang dia percaya ternyata tega melakukan itu di belakangnya."Apa ini? Jadi begini cara kamu mencari uang untuk Ayah, hah?" ucapnya dengan dada bergemuruh. Adnan tidak mengerti apa yang dikatakan oleh calon istrinya kenapa tiba-tiba ekspresinya berubah.Plak!Amplop coklat tersebut Naura hempaskan secara kasar di tangan Adnan sambil berlalu pergi."Naura, apa maksud kamu?" Adnan berusaha mengejar Naura yang kini pergi sambil menitikkan air mata."Aku nggak sudi menerima uang haram darimu, Adnan. Lepas!""Uang haram apa? Aku nggak ngerti maksud kamu." "Lihat ini?" Foto tersebut Naura tunjukan pada Adnan yang membuat matanya membelalak sempurna."
"Turun!"Natasya yang kini duduk di ruang tamu sembari membaca buku melihat samar-samar temannya datang dari balik tirai transparan. Untuk memastikan apakah itu benar-benar Naura atau bukan, Natasya keluar menemuinya."Naura.""Sya ..." Seketika Naura menangis dalam pelukan temannya."Astaga, ada apa, Nau? Masuk masuk!" Wanita berambut pirang itu membawa Naura ke dalam kamarnya."Hei, ada apa? Kenapa kau menangis? Coba cerita padaku?" Tapi Naura hanya diam. Natasya mengira kalau sepupunya itu yang telah membuat temannya menangis, gadis itu keluar kamar dan menemui Sean yang kini duduk sambil menyilangkan satu kakinya."Kak, apa yang terjadi pada Naura? Kenapa dia seperti itu? Sean hanya menghela nafas kasar tanpa menjawab."Kak, kau tidak bisa seperti ini. Kau apakan Naura?""Apa kau sudah gila? Kau bisa tanyakan langsung padanya!"Degh!Dengan langkah cepat Natasya kembali masuk untuk menenang
"Apa sih!""Nau, aku minta maaf. Sungguh aku nggak kenal siapa dia, dia cuma tamu hotel." Tapi tidak semudah itu membujuk Naura untuk percaya."Kamu pikir aku percaya? Semua laki-laki itu sama, dia hanya bisa mempermainkan perasaan perempuan, termasuk kamu!""Astaghfirullah hal adzim! Aku tidak seperti itu! Kamu percaya sama aku."Kepala Natasya terasa pusing menyaksikan kedua temannya berdebat di hadapannya, namun ikut campur pun serasa bukan wewenang dia karena urusan pribadi pasangan yang sudah bertunangan.Melihat keributan yang terjadi di luar bu Mima penasaran, dia keluar untuk melihat apa yang terjadi dengan anak dan calon menantunya."Ada apa ini? Kenapa kalian berantem seperti ini?" Naura sudah tak bisa lagi bersandiwara di depan calon mertuanya.Wajahnya memerah menahan air mata yang hampir terjatuh tapi tetap dia tahan agar terlihat kuat di depan calon mertuanya.Tapi Adnan justru yang bicara. "Ibu, e
"Siapa kamu? Aku tidak punya urusan dengan kamu!""Euh!" Tanpa menjawab siapa dirinya Sean menghempas tangan juragan Sastra dengan kasar."Kurang ajar! Hiiatt!" Namun mudah bagi Sean untuk menaklukkan juragan culas ini. Hanya menggunakan satu tangan saja, tubuhnya yang gagah mampu meraih kepalan tangan itu lalu memutarnya hingga kini posisi juragan Sastra berada dalam dekapannya.Naura bergidik ngeri melihat gerakan Sean yang spontan tapi tepat sasaran."Pergi, atau ku habisi kau sekarang juga?" Bisiknya di telinga juragan Sastra yang membuat dia kaget.Melihat bosnya ditikam oleh Sean, anak buah juragan Sastra berlari menyerang."Hiiaaattt!"Bugh!Satu tendangan dari kaki yang panjang membuat anak buah itu terpental sembari memegangi dadanya yang terasa sakit."Pergi kau dari sini!" ucap Sean sembari mendorong juragan Sastra lepas dari dekapannya. Juragan Sastra terhuyung sambil mengusap kepalan tangan
"Selamat pagi, Nona Naura.""Pagi, kamu ..., kamu teman kakaknya Natasya kan?" Jhoni tersenyum."Lebih tepatnya saya anak buah Tuan Sean, Nona.""Tuan Sean? Jadi kamu memanggil dia Tuan Sean?""Iya, Nona. Saya ditugaskan Tuan untuk menjemput Nona di sini dan memastikan Nona selamat sampai kampus.""Tapi aku bisa berangkat sendiri.""Please, Nona. Jangan membuat Tuan Sean marah padaku."Naura berfikir sesaat. Tak ingin anak buahnya itu mendapat hukuman, Naura akhirnya mau berangkat dengan Jhoni. Jhoni membukakan pintu mobil selayaknya majikan sendiri.Di dalam mobil mereka hanya diam sembari Naura mencari pokok pembahasan di antara mereka berdua."Oh iya, saya mau tanya sama kamu. Kenapa Tuan kamu itu begitu dingin?" Jhoni tersenyum sebelum menjawab."Sudah karakter Tuan Sean, Nona. Tapi Tuan Sean orang yang baik.""Orang baik?" Naura berfikir baik dari mana dia lupa kalau kemaren baru
Rupanya wanita itu yang sudah Sean sediakan untuk menemaninya berlayar seperti setiap yang sudah-sudah dia lakukan. Sean menyuruh anak buahnya untuk menyediakan wanita seksi."Sial! Hari ini aku tidak berselera," ucapnya sambil mendorong wanita yang sudah melorot tali bra-nya. Wanita itu terjengkang sambil membenarkan atasan busananya yang sempat terbuka.Merasa tidak dibutuhkan, wanita itu pergi dari hadapan Sean.Dia lebih memilih untuk sendiri dan menemui Bertha guna membahas soal pekerjaan.Sampai tiba di suatu pulau Sean disambut oleh beberapa mobil yang terparkir di tepi pantai. Tampak seorang pria memakai setelan jas berwarna putih lengkap dengan topi pork pie dikawal oleh beberapa anak buahnya."Selamat datang, Tuan Sean Alexander. Senang bertemu dengan Anda di sini.""Selamat siang, Tuan Gultaf. Apa kabar?""Ya, seperti yang anda lihat kali ini." Walau sudah berusia setengah abad tapi pengusaha itu terlihat mas
"Terima kasih untuk makan malamnya, Tuan Gultaf.""Tidak perlu berterima kasih, Tuan. Kami senang, Tuan Sean bisa mampir ke sini."Dan ketika Sean hendak masuk ke dalam mobil, tak sengaja matanya memandang ke atas pada tingkat lantai utama rumah tuan Gultaf, Helena berdiri sambil memandang dengan senyum kecilnya. Tapi Sean tidak tertarik sama sekali dengan senyum itu, dia justru bergegas masuk dan menyusun Jhoni untuk segera pergi.Sempat terpikir di dalam perjalanan namun fokusnya dia kembalikan pada si gadis bercadar.* * * "Hufh! Aku bosan sekali. Kemana, Kak Sean. Kenapa dia pergi tanpa memberitahu aku."Klenting!Natasya yang sendirian di meja makan merasa kesepian tanpa ada yang menemani sarapan seperti hari-hari biasanya. Pisau kecil bekas iris roti dia banting kena piring hingga menimbulkan suara.Saat itu juga Hilda si pelayan melintas sembari membawa tumpukan baju kotor yang hendak di cuci."