"Kau serius?"
Tuan besar George mengangguk. "Iya, aku serius! Maafkan Daddy-mu ini, Nak." Sambil menahan rasa haru mereka mendekat satu sama lain dan berpelukan.Saat itu juga Naura keluar. "Hon, aku ..." Ucapannya terhenti saat melihat dua pria itu berpelukan. Dirinya yang baru saja selesai mandi kehilangan suaminya yang tidak ada di kamar, oleh karena itu Naura keluar untuk memastikan dimana Sean berada.Mendengar suara Naura datang mereka segera melepas pelukannya. Keduanya terlihat malu."Em, Babby. Kau sudah selesai mandi?" Naura menggeleng heran kenapa tuan George ada di sini. Kenapa mereka berpelukan, apakah mereka sudah baikan? Lalu apa tuan George mau menerima dirinya?Banyak sekali pertanyaan yang menaungi pikiran Naura saat ini."Kalian sedang apa di sini?""Kemari." Sean menyuruh Naura mendekat, tapi sepertinya dia masih ragu."Babby kemari." Wanita itu tidak melangkahkan kakinya sama sekali."Kalian berdua sudah siap?""Tunggu sebentar, Honey." Naura berdiri sesaat melihat bangunan tua rumahnya. Rumah sederhana itu penuh dengan kenangan bersama sang ayah yang telah lama tiada. Hari ini dia harus ikut Sean ke kota untuk tinggal di istananya.Naura tak mungkin meninggalkan ibunya sendirian oleh karena itu dia mengajak bu Ningrum juga ikut ikut tinggal di sana.Sementara Jhoni sudah menunggu di dalam mobil. Sean mendekatinya dan memeluk Naura dari samping. "Aku tau ini tidak mudah untukmu, tapi aku yakin kalau Ayah pasti setuju dengan keputusanku." Naura menunduk sambil menahan air mata yang akan terjatuh."Kita berangkat sekarang." Karena Sean merasa dia akan lebih mudah untuk mengawasi dan melindungi keluarga barunya ini. Naura dan ibunya akan aman tinggal bersamanya.Mereka lalu berangkat ke istana Alexander dalam satu mobil yang dikendarai oleh Jhoni.Sekitar 15 menit mereka sampai di sana. Bu Ningrum membelalakkan matanya saat melintasi sebuah istana yang begitu besar
"Ke mana sih, kenapa Adnan belum juga datang," ucap Naura sesekali melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sebal menunggu sang tunangan yang tak kunjung datang. Padahal Adnan sendiri yang meminta dia untuk ketemuan di sebuah cafe. Tapi lama menunggu pemuda tampan itu tak kunjung menampakan batang hidungnya. "Kalau tau gini aku juga nggak mau datang! Percuma kan, cuma buang-buang waktu. Aku juga jadi terlambat berangkat ke kampus!" Dengan kesal Naura beranjak dari tempat duduknya untuk pergi. Namun sial. Dirinya yang berjalan tanpa memandang ke depan tak sengaja menabrak seseorang bertubuh besar yang membuat dia sedikit terpental ke belakang. "Eh, aduh!" Pria berusia sekitar 30 tahun itu tak juga melepas ponsel di telinganya sambil menelepon seseorang dan itu membuat Naura semakin kesal. "Astagfirullah! Pelan-pelan bisa nggak kalau jalan?" Tapi pria itu tak perduli dengan ucapan itu, dia terus saja berjalan ke depan. Merasa tidak dihiraukan, Naura kembali meng
"Sial! Apa itu bujang lapuk. Kalau semuanya sudah bisa aku dapatkan, untuk apa aku menikah!" "Wanita hanya bisa membuatku pusing. Lebih baik aku beli setelah itu aku bisa membuangnya!" Tapi perasaannya tak bisa dibohongi, semakin di mengelak semakin yakin kalau Sean memang jatuh cinta pada Naura. Dia memikirkan sesuatu. "Aku harus mencari sesuatu." Pria gagah itu mengendap-endap masuk ke dalam kamar Natasya dan mencari petunjuk yang mengarah pada gadis itu. Sean membuka lemari bufet dan menemukan sebuah foto terselip di tengah lembaran buku tebal perlahan dia mengambilnya. Ditatap lah wajah cantik yang hanya terlihat matanya saja. Manik mata coklat dengan bulu mata lentik membuat dia tanpa sadar tersenyum pada foto itu. Suara bising Natasya yang semakin mendekat membuat dia segera menyimpan foto tersebut di balik saku jasnya. Guprak! "Na_Natasya!" "Kakak, sedang apa kau di sini?" Sean segera mencari alasan. "Em, aku ..., aku mencari changer hand phone apa kau mel
"Mau apa juragan datang kemari?""Mana ayahmu? Ayahmu punya utang kepadaku. Bayar sekarang atau aku hancurkan rumah ini!"Naura bertanya-tanya dalam hati untuk apa ayahnya memiliki hutang pada juragan Sastra. Juragan yang tamak dan kerap menikah dengan beberapa wanita.Usai mengatakan itu juragan Sastra seolah menemukan berlian. Memandang Naura dengan tatapan nakal, dia semakin mendekat. "Oh, sepertinya aku tau. Kamu lebih menarik untuk dijadikan jaminan hutang ayahmu.""Jangan ganggu dia!" Adnan seketika merentangkan kedua tangannya di depan Naura mencegah agar juragan Sastra berhenti melangkah. "Siapa kamu? Minggir! Aku nggak punya urusan denganmu!"Tiba-tiba saja bu Ningrum keluar dari rumahnya. Wanita tua itu berlari dan menghentikan posisi Adnan di depan putrinya. "Jangan, Juragan. Saya mohon jangan sakiti putri saya." Juragan Sastra memicingkan matanya."Tolong beri kami sedikit waktu. Kami pasti bisa melunasi semua hutang itu, Juragan."Juragan Sastra tersenyum miring. "Bayar?
Bertepatan Naura menutup teleponnya, dari arah seberang Sean mengangkat. "Nggak, rasanya kurang sopan jika aku bicara dengan Natasya lewat telepon. Lebih baik aku bicara langsung dengannya."Bunyi tut tut yang menandakan panggilan itu terputus membuat Sean mengerutkan alisnya. Hampir saja dia mendengar suara jernih dari si gadis bercadar tapi ternyata panggilan itu telah berakhir. Naura bergegas ke kampus dan menemui Natasya yang kini tengah makan di kantin, gadis berambut pirang itu dengan lahapnya makan sambil mengangkat satu kakinya ke kursi. "Hem, Nau. kau baru datang?" Naura mengangguk lesu. "Kau kenapa? Sepertinya ada yang sedang kau pikirkan?" "Sya. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu." "Mau ngomong apa? Ngomong aja." Tapi Naura ragu untuk bicara, dia justru terdiam walau Naura sendiri yakin kalau Natasya pasti bisa membantunya. "Hei kenapa kau diam! Apa yang mau kamu katakan?" "Aku ..., em aku ..." "Iya, aku?" Ucapan Naura yang tak kunjung usai membuat Natasya semakin
Sean menunjuk ke luar yang ternyata membuat tuan Erdo kesulitan menelan salivanya sendiri.Sebuah mobil jeep berhenti di area parkiran, Jhoni datang dengan beberapa temannya dan berjaga di depan cafe, bersiap dengan kemungkinan buruk yang terjadi pada bosnya. Anak buah andalan itu memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Jhoni tau tugasnya tanpa harus diperintah Sean terlebih dahulu."Sial!" Reaksi wajah tuan Erdo kalang kabut seketika, sedikit banyaknya dia merasa malu karena sempat menganggap Sean kecil."Kita pergi dari sini!" Pengusaha culas itu berdiri dari duduknya bersama anak buah yang siap mengikutinya. "Awas saja! Urusan kita belum selesai. Akan ku buat kau menyesal telah menolak kerja sama denganku!" Sean hanya menyerkitkan bibirnya.Ancaman seperti itu sudah biasa baginya, bukan hanya dari tuan Erdo tapi dari pengusaha lainnya yang tak cocok dengannya.Kini hanya tinggal dirinya dan Bertha yang berada di tempat itu. Mendadak Sean mempunyai keinginan untuk pergi ke suatu t
"Ibu, ada apa Ibu meneleponku." Diangkatlah ponsel tersebut ke telinganya."Iya, Bu. Ada apa?""Naura, kamu ada dimana, Nak?" Suara bu Ningrum terdengar cemas."Aku ada di tempat latihan, Bu. Ada apa?" Perasaan Naura mendadak tidak enak. Dia bangun dari duduknya dengan perasaan khawatir."Ayah kamu, Nak. Jantung Ayah kamu kambuh lagi.""Apa?" Lemas sudah tubuh Naura seketika. Kakinya serasa tak punya tulang penyangga dia pun terduduk lunglai membayangkan bagaimana kondisi ayahnya sekarang."Iya, Nak. Ibu sedang membawanya ke rumah sakit. Kamu susul Ibu sekarang!""Iya, Bu. Aku ke sana sekarang!"Tanpa membuang waktu lama Naura segera menyusul ibunya. Bahkan tak terpikir olehnya untuk pamit pada pelatih yang membuat pelatih bertanya-tanya.Kenapa dia pergi begitu saja tanpa menyelesaikan latihannya.Sekitar 10 menit menggunakan taksi kini Naura sampai di rumah sakit dan mendapati ibunya yang ten
"Halo, siapa ini?""Sayang, ini aku Adnan." Suara Adnan dari sambungan telepon."Adnan, kamu pakai nomer baru?""Iya, Sayang. Hari ini aku mulai kerja, tolong doakan aku supaya pekerjaanku lancar."Sedikit lega perasaan Naura setelah mendengar suara orang terkasih walau setelah ini dia kembali harus dihadapkan dengan pil pahit mengenai keluarganya."Pasti, aku pasti mendoakan yang terbaik untuk kamu. Kamu hati-hati dalam bekerja yah.""Terima kasih, sekarang aku sudah sampai di tempat kerja. Nanti aku hubungi lagi saat jam istirahat."Pria tampan ini berdiri dan menatap bangunan tinggi sebuah hotel tempat dia bekerja. Dengan penuh keyakinan Adnan melangkahkan kakinya masuk dan mulai kerja dengan beberapa temannya.Mengenakan seragam cleaning service sambil membawa sapu dan beberapa alat pembersih hotel."Permisi, Mas Adnan. Tolong buatkan teh hangat untuk Mommy Jihan, bawa teh itu ke ruang kerjanya." uc