Share

Chapter 3.

"Mau apa juragan datang kemari?"

"Mana ayahmu? Ayahmu punya utang kepadaku. Bayar sekarang atau aku hancurkan rumah ini!"

Naura bertanya-tanya dalam hati untuk apa ayahnya memiliki hutang pada juragan Sastra. Juragan yang tamak dan kerap menikah dengan beberapa wanita.

Usai mengatakan itu juragan Sastra seolah menemukan berlian. Memandang Naura dengan tatapan nakal, dia semakin mendekat. "Oh, sepertinya aku tau. Kamu lebih menarik untuk dijadikan jaminan hutang ayahmu."

"Jangan ganggu dia!" Adnan seketika merentangkan kedua tangannya di depan Naura mencegah agar juragan Sastra berhenti melangkah.

"Siapa kamu? Minggir! Aku nggak punya urusan denganmu!"

Tiba-tiba saja bu Ningrum keluar dari rumahnya. Wanita tua itu berlari dan menghentikan posisi Adnan di depan putrinya. "Jangan, Juragan. Saya mohon jangan sakiti putri saya." Juragan Sastra memicingkan matanya.

"Tolong beri kami sedikit waktu. Kami pasti bisa melunasi semua hutang itu, Juragan."

Juragan Sastra tersenyum miring. "Bayar? Mau bayar pakai apa kamu, hah? Bahkan rumah ini tidak cukup untuk membayar hutang kamu."

Dari arah yang berbeda pak Danu meringis sambil memegangi dadanya yang terasa sakit.

Laki-laki yang telah divonis oleh dokter menderita serangan jantung itu tak bisa mengontrol kesehatannya, terlebih saat juragan Sastra datang dan membuat keributan dadanya mendadak terasa sesak.

"Ok, aku beri waktu kalian satu bulan! Kalau kalian tidak bisa membayar hutang itu, jangan salahkan aku jika aku mengambil anak gadismu yang cantik ini."

Sambil tertawa juragan Sastra dan anak buahnya pergi dari tempat itu. Kini mereka dapat bernafas dengan lega. Tetapi ada yang mengganjal di pikiran Naura sedari tadi.

"Yah, Ayah. Naura mau bicara dengan Ibu dan Ayah."

Laki-laki tua yang kini dipapah oleh bu Ningrum pun berhenti melangkah seketika saat Naura memanggilnya.

"Kamu mau bicara apa, Naura?" Wajah mereka terlihat cemas. Pasalnya selama ini mereka sengaja menyembunyikan masalah ini dari Naura, tetapi kini apa yang mereka khawatirkan terjadi juga.

"Untuk apa Ayah berhutang pada Juragan Sastra?" Bu Ningrum dan pak Danu saling pandang sesaat.

"Jawab, kenapa kalian diam?"

"Nak, Ibu melakukan itu karena terpaksa." Bu Ningrum lalu menceritakan semuanya pada Naura. "Ibu melakukan itu untuk biaya kuliah kamu. Ibu dan Ayah ingin melihat kamu sukses. Semula hutang itu tak seberapa tapi kami tidak bisa membayarnya. Juragan Sastra mengambil bunga yang sangat besar sehingga hutang kami semakin menumpuk."

"Astagfirullah hal adzim! Jadi karena itu? Kalau saja aku tau dari awal mungkin aku lebih memilih untuk berhenti kuliah. Tapi sekarang ..."

"Kami tak meminta padamu untuk ikut berfikir, Nak. Tugas kamu belajar yang benar dan menjadi calon istri yang baik untuk Adnan."

"Tapi, Yah."

"Kita berdoa saja semoga semuanya baik-baik saja."

* * *

"Bagaimana? Apa kau sudah menemukan informasi itu?" Jhoni menemui Sean di ruang kerjanya.

"Menurut informasi yang saya dapatkan kalau gadis itu sudah memiliki tunangan, Tuan."

Brak!

"Sial!" Darah Sean seperti mendidih mendengar gadis incarannya hampir dimiliki orang lain, dia spontan menggebrak meja sambil memandang sadis ke depan.

Sorot matanya yang tajam dengan rahang mengeras sempurna seolah tak terima dengan kenyataan yang ada.

Nafasnya memburu dengan tangan mengepal sempurna seakan memiliki saingan yang teramat berat.

"Tapi aku rasa bertunangan itu bukan suatu masalah, Tuan. Selama mereka belum menikah."

Pandangannya mendadak teralih pada anak buahnya itu. "Kau benar, Jhoni. Kalau begitu lakukan sesuatu untukku!"

"Tuan tidak perlu khawatir. Aku punya rencana matang agar tuan bisa mendapatkan gadis itu." Jhoni lalu membisikan sesuatu di telinga yang membuat Sean menyeringai yakin.

"Bagus, aku setuju dengan caramu. Kau bereskan semua ini."

Baru saja mereka selesai bicara Natasya tiba-tiba datang dan tak sengaja samar-samar mendengar obrolan mereka. Tapi Tasya tak mau ambil pusing karena tujuannya datang ke tempat itu bukan untuk ikut campur urusan sepupunya.

"Tasya, mau apa kau kemari?"

Beberapa kali Sean mengingatkan Tasya untuk mengetuk pintu sebelum masuk tetapi sepertinya gadis itu tak memperdulikannya, dia justru menyelonong masuk begitu saja.

"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya dia sambil meletakkan ponselnya di atas meja.

"Itu bukan urusanmu," jawab Sean khawatir sepupunya itu mendengar.

"Baiklah, itu memang bukan urusanku. Aku cuma mau ngomong, Kak. Tolong beri aku uang, aku butuh untuk membayar kuliahku."

"Uang?" Sean memicingkan matanya. Pasalnya baru pertama kali ini Natasya meminta uang padanya.

"Iya, uang. Papa belum mengirimkan uang untukku."

Tanpa menunggu waktu lama Sean mengambil ponselnya dan mengirimkan sejumlah uang ke rekening Tasya lewat m-banking nya.

Bunyi notifikasi yang menandakan uang itu sudah masuk membuat Natasya bersorak bahagia.

Gadis itu membalikkan badan untuk pergi, tapi dia lupa meninggalkan sesuatu di atas meja.

* * *

"Kemana aku harus mencari uang untuk membantu Ayah. Mana mungkin aku membiarkannya begitu saja." Pikiran Naura menyeleksi satu-persatu temannya yang dirasa bisa membantunya. "Tasya, Iya, Tasya pasti bisa membantuku. Lebih baik aku hubungi dia sekarang."

Bak pucuk dicinta, ulam pun tiba. Sean mengerutkan alisnya saat ponsel Tasya yang tertinggal di meja itu berdering.

Tampak sebuah nama yang membuat jantungnya mendadak berdegup kencang.

"Naura."

"Siapa, Tuan?" Jhoni penasaran. Tapi Sean hanya diam.

"Gadis itu?" Sean mengangguk.

"Angkat, Tuan. Ini kesempatan baik untuk Tuan."

Sean mengumpulkan keberanian untuk mengangkat panggilan itu, namun ketika tombol hijau digeser ternyata ...

"Halo! Astaga, apa yang dia lakukan."

BERSAMBUNG.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status