"Mau apa juragan datang kemari?"
"Mana ayahmu? Ayahmu punya utang kepadaku. Bayar sekarang atau aku hancurkan rumah ini!" Naura bertanya-tanya dalam hati untuk apa ayahnya memiliki hutang pada juragan Sastra. Juragan yang tamak dan kerap menikah dengan beberapa wanita. Usai mengatakan itu juragan Sastra seolah menemukan berlian. Memandang Naura dengan tatapan nakal, dia semakin mendekat. "Oh, sepertinya aku tau. Kamu lebih menarik untuk dijadikan jaminan hutang ayahmu." "Jangan ganggu dia!" Adnan seketika merentangkan kedua tangannya di depan Naura mencegah agar juragan Sastra berhenti melangkah. "Siapa kamu? Minggir! Aku nggak punya urusan denganmu!" Tiba-tiba saja bu Ningrum keluar dari rumahnya. Wanita tua itu berlari dan menghentikan posisi Adnan di depan putrinya. "Jangan, Juragan. Saya mohon jangan sakiti putri saya." Juragan Sastra memicingkan matanya. "Tolong beri kami sedikit waktu. Kami pasti bisa melunasi semua hutang itu, Juragan." Juragan Sastra tersenyum miring. "Bayar? Mau bayar pakai apa kamu, hah? Bahkan rumah ini tidak cukup untuk membayar hutang kamu." Dari arah yang berbeda pak Danu meringis sambil memegangi dadanya yang terasa sakit. Laki-laki yang telah divonis oleh dokter menderita serangan jantung itu tak bisa mengontrol kesehatannya, terlebih saat juragan Sastra datang dan membuat keributan dadanya mendadak terasa sesak. "Ok, aku beri waktu kalian satu bulan! Kalau kalian tidak bisa membayar hutang itu, jangan salahkan aku jika aku mengambil anak gadismu yang cantik ini." Sambil tertawa juragan Sastra dan anak buahnya pergi dari tempat itu. Kini mereka dapat bernafas dengan lega. Tetapi ada yang mengganjal di pikiran Naura sedari tadi. "Yah, Ayah. Naura mau bicara dengan Ibu dan Ayah." Laki-laki tua yang kini dipapah oleh bu Ningrum pun berhenti melangkah seketika saat Naura memanggilnya. "Kamu mau bicara apa, Naura?" Wajah mereka terlihat cemas. Pasalnya selama ini mereka sengaja menyembunyikan masalah ini dari Naura, tetapi kini apa yang mereka khawatirkan terjadi juga. "Untuk apa Ayah berhutang pada Juragan Sastra?" Bu Ningrum dan pak Danu saling pandang sesaat. "Jawab, kenapa kalian diam?" "Nak, Ibu melakukan itu karena terpaksa." Bu Ningrum lalu menceritakan semuanya pada Naura. "Ibu melakukan itu untuk biaya kuliah kamu. Ibu dan Ayah ingin melihat kamu sukses. Semula hutang itu tak seberapa tapi kami tidak bisa membayarnya. Juragan Sastra mengambil bunga yang sangat besar sehingga hutang kami semakin menumpuk." "Astagfirullah hal adzim! Jadi karena itu? Kalau saja aku tau dari awal mungkin aku lebih memilih untuk berhenti kuliah. Tapi sekarang ..." "Kami tak meminta padamu untuk ikut berfikir, Nak. Tugas kamu belajar yang benar dan menjadi calon istri yang baik untuk Adnan." "Tapi, Yah." "Kita berdoa saja semoga semuanya baik-baik saja." * * * "Bagaimana? Apa kau sudah menemukan informasi itu?" Jhoni menemui Sean di ruang kerjanya. "Menurut informasi yang saya dapatkan kalau gadis itu sudah memiliki tunangan, Tuan." Brak! "Sial!" Darah Sean seperti mendidih mendengar gadis incarannya hampir dimiliki orang lain, dia spontan menggebrak meja sambil memandang sadis ke depan. Sorot matanya yang tajam dengan rahang mengeras sempurna seolah tak terima dengan kenyataan yang ada. Nafasnya memburu dengan tangan mengepal sempurna seakan memiliki saingan yang teramat berat. "Tapi aku rasa bertunangan itu bukan suatu masalah, Tuan. Selama mereka belum menikah." Pandangannya mendadak teralih pada anak buahnya itu. "Kau benar, Jhoni. Kalau begitu lakukan sesuatu untukku!" "Tuan tidak perlu khawatir. Aku punya rencana matang agar tuan bisa mendapatkan gadis itu." Jhoni lalu membisikan sesuatu di telinga yang membuat Sean menyeringai yakin. "Bagus, aku setuju dengan caramu. Kau bereskan semua ini." Baru saja mereka selesai bicara Natasya tiba-tiba datang dan tak sengaja samar-samar mendengar obrolan mereka. Tapi Tasya tak mau ambil pusing karena tujuannya datang ke tempat itu bukan untuk ikut campur urusan sepupunya. "Tasya, mau apa kau kemari?" Beberapa kali Sean mengingatkan Tasya untuk mengetuk pintu sebelum masuk tetapi sepertinya gadis itu tak memperdulikannya, dia justru menyelonong masuk begitu saja. "Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya dia sambil meletakkan ponselnya di atas meja. "Itu bukan urusanmu," jawab Sean khawatir sepupunya itu mendengar. "Baiklah, itu memang bukan urusanku. Aku cuma mau ngomong, Kak. Tolong beri aku uang, aku butuh untuk membayar kuliahku." "Uang?" Sean memicingkan matanya. Pasalnya baru pertama kali ini Natasya meminta uang padanya. "Iya, uang. Papa belum mengirimkan uang untukku." Tanpa menunggu waktu lama Sean mengambil ponselnya dan mengirimkan sejumlah uang ke rekening Tasya lewat m-banking nya. Bunyi notifikasi yang menandakan uang itu sudah masuk membuat Natasya bersorak bahagia. Gadis itu membalikkan badan untuk pergi, tapi dia lupa meninggalkan sesuatu di atas meja. * * * "Kemana aku harus mencari uang untuk membantu Ayah. Mana mungkin aku membiarkannya begitu saja." Pikiran Naura menyeleksi satu-persatu temannya yang dirasa bisa membantunya. "Tasya, Iya, Tasya pasti bisa membantuku. Lebih baik aku hubungi dia sekarang." Bak pucuk dicinta, ulam pun tiba. Sean mengerutkan alisnya saat ponsel Tasya yang tertinggal di meja itu berdering. Tampak sebuah nama yang membuat jantungnya mendadak berdegup kencang. "Naura." "Siapa, Tuan?" Jhoni penasaran. Tapi Sean hanya diam. "Gadis itu?" Sean mengangguk. "Angkat, Tuan. Ini kesempatan baik untuk Tuan." Sean mengumpulkan keberanian untuk mengangkat panggilan itu, namun ketika tombol hijau digeser ternyata ... "Halo! Astaga, apa yang dia lakukan." BERSAMBUNG.Bertepatan Naura menutup teleponnya, dari arah seberang Sean mengangkat. "Nggak, rasanya kurang sopan jika aku bicara dengan Natasya lewat telepon. Lebih baik aku bicara langsung dengannya."Bunyi tut tut yang menandakan panggilan itu terputus membuat Sean mengerutkan alisnya. Hampir saja dia mendengar suara jernih dari si gadis bercadar tapi ternyata panggilan itu telah berakhir. Naura bergegas ke kampus dan menemui Natasya yang kini tengah makan di kantin, gadis berambut pirang itu dengan lahapnya makan sambil mengangkat satu kakinya ke kursi. "Hem, Nau. kau baru datang?" Naura mengangguk lesu. "Kau kenapa? Sepertinya ada yang sedang kau pikirkan?" "Sya. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu." "Mau ngomong apa? Ngomong aja." Tapi Naura ragu untuk bicara, dia justru terdiam walau Naura sendiri yakin kalau Natasya pasti bisa membantunya. "Hei kenapa kau diam! Apa yang mau kamu katakan?" "Aku ..., em aku ..." "Iya, aku?" Ucapan Naura yang tak kunjung usai membuat Natasya semakin
Sean menunjuk ke luar yang ternyata membuat tuan Erdo kesulitan menelan salivanya sendiri.Sebuah mobil jeep berhenti di area parkiran, Jhoni datang dengan beberapa temannya dan berjaga di depan cafe, bersiap dengan kemungkinan buruk yang terjadi pada bosnya. Anak buah andalan itu memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Jhoni tau tugasnya tanpa harus diperintah Sean terlebih dahulu."Sial!" Reaksi wajah tuan Erdo kalang kabut seketika, sedikit banyaknya dia merasa malu karena sempat menganggap Sean kecil."Kita pergi dari sini!" Pengusaha culas itu berdiri dari duduknya bersama anak buah yang siap mengikutinya. "Awas saja! Urusan kita belum selesai. Akan ku buat kau menyesal telah menolak kerja sama denganku!" Sean hanya menyerkitkan bibirnya.Ancaman seperti itu sudah biasa baginya, bukan hanya dari tuan Erdo tapi dari pengusaha lainnya yang tak cocok dengannya.Kini hanya tinggal dirinya dan Bertha yang berada di tempat itu. Mendadak Sean mempunyai keinginan untuk pergi ke suatu t
"Ibu, ada apa Ibu meneleponku." Diangkatlah ponsel tersebut ke telinganya."Iya, Bu. Ada apa?""Naura, kamu ada dimana, Nak?" Suara bu Ningrum terdengar cemas."Aku ada di tempat latihan, Bu. Ada apa?" Perasaan Naura mendadak tidak enak. Dia bangun dari duduknya dengan perasaan khawatir."Ayah kamu, Nak. Jantung Ayah kamu kambuh lagi.""Apa?" Lemas sudah tubuh Naura seketika. Kakinya serasa tak punya tulang penyangga dia pun terduduk lunglai membayangkan bagaimana kondisi ayahnya sekarang."Iya, Nak. Ibu sedang membawanya ke rumah sakit. Kamu susul Ibu sekarang!""Iya, Bu. Aku ke sana sekarang!"Tanpa membuang waktu lama Naura segera menyusul ibunya. Bahkan tak terpikir olehnya untuk pamit pada pelatih yang membuat pelatih bertanya-tanya.Kenapa dia pergi begitu saja tanpa menyelesaikan latihannya.Sekitar 10 menit menggunakan taksi kini Naura sampai di rumah sakit dan mendapati ibunya yang ten
"Halo, siapa ini?""Sayang, ini aku Adnan." Suara Adnan dari sambungan telepon."Adnan, kamu pakai nomer baru?""Iya, Sayang. Hari ini aku mulai kerja, tolong doakan aku supaya pekerjaanku lancar."Sedikit lega perasaan Naura setelah mendengar suara orang terkasih walau setelah ini dia kembali harus dihadapkan dengan pil pahit mengenai keluarganya."Pasti, aku pasti mendoakan yang terbaik untuk kamu. Kamu hati-hati dalam bekerja yah.""Terima kasih, sekarang aku sudah sampai di tempat kerja. Nanti aku hubungi lagi saat jam istirahat."Pria tampan ini berdiri dan menatap bangunan tinggi sebuah hotel tempat dia bekerja. Dengan penuh keyakinan Adnan melangkahkan kakinya masuk dan mulai kerja dengan beberapa temannya.Mengenakan seragam cleaning service sambil membawa sapu dan beberapa alat pembersih hotel."Permisi, Mas Adnan. Tolong buatkan teh hangat untuk Mommy Jihan, bawa teh itu ke ruang kerjanya." uc
"Kamu serius? Nggak, aku nggak mau membebani kamu, Nan."Adnan jongkok di depan Naura sembari memandang lekat wanita yang dia sayang. "Kamu percaya padaku, orang tuamu sudah seperti orang tuaku sendiri. Apapun yang terjadi kita akan lalui bersama-sama."Mendadak Naura seperti punya kekuatan setelah mendapat dukungan dari kekasihnya. Sesekali dia menoleh ke atas menahan bulir bening yang sudah di pelupuk matanya."Makasih, Nan. Aku nggak tau musti ngomong apa sama kamu.""Sudah, lebih baik kita temui dokter dan bilang padanya untuk segera melakukan operasi pemasangan ring." Naura mengangguk yakin.Tanpa mereka sadari bu Ningrum menguping di balik pintu dan mendengar semua obrolan mereka. Betapa terharunya dia mendengar ucapan calon menantunya yang begitu tulus.Tak salah bu Ningrum dan pak Danu memilihkan jodoh untuk putrinya."Syukurlah, akhirnya kalian menentukan pilihan. Baik, kalau Mba dan Mas setuju, silahkan isi for
Sebuah foto kebersamaan Adnan dengan wanita yang baru saja terjadi tadi sore terkirim ke ponsel milik Naura. Entah siapa pengirimnya, hanya tertera nomer baru dari si pengirim.Darah Naura mendidih seketika dengan emosi yang memuncak, bagaimana bisa calon suami yang dia percaya ternyata tega melakukan itu di belakangnya."Apa ini? Jadi begini cara kamu mencari uang untuk Ayah, hah?" ucapnya dengan dada bergemuruh. Adnan tidak mengerti apa yang dikatakan oleh calon istrinya kenapa tiba-tiba ekspresinya berubah.Plak!Amplop coklat tersebut Naura hempaskan secara kasar di tangan Adnan sambil berlalu pergi."Naura, apa maksud kamu?" Adnan berusaha mengejar Naura yang kini pergi sambil menitikkan air mata."Aku nggak sudi menerima uang haram darimu, Adnan. Lepas!""Uang haram apa? Aku nggak ngerti maksud kamu." "Lihat ini?" Foto tersebut Naura tunjukan pada Adnan yang membuat matanya membelalak sempurna."
"Turun!"Natasya yang kini duduk di ruang tamu sembari membaca buku melihat samar-samar temannya datang dari balik tirai transparan. Untuk memastikan apakah itu benar-benar Naura atau bukan, Natasya keluar menemuinya."Naura.""Sya ..." Seketika Naura menangis dalam pelukan temannya."Astaga, ada apa, Nau? Masuk masuk!" Wanita berambut pirang itu membawa Naura ke dalam kamarnya."Hei, ada apa? Kenapa kau menangis? Coba cerita padaku?" Tapi Naura hanya diam. Natasya mengira kalau sepupunya itu yang telah membuat temannya menangis, gadis itu keluar kamar dan menemui Sean yang kini duduk sambil menyilangkan satu kakinya."Kak, apa yang terjadi pada Naura? Kenapa dia seperti itu? Sean hanya menghela nafas kasar tanpa menjawab."Kak, kau tidak bisa seperti ini. Kau apakan Naura?""Apa kau sudah gila? Kau bisa tanyakan langsung padanya!"Degh!Dengan langkah cepat Natasya kembali masuk untuk menenang
"Apa sih!""Nau, aku minta maaf. Sungguh aku nggak kenal siapa dia, dia cuma tamu hotel." Tapi tidak semudah itu membujuk Naura untuk percaya."Kamu pikir aku percaya? Semua laki-laki itu sama, dia hanya bisa mempermainkan perasaan perempuan, termasuk kamu!""Astaghfirullah hal adzim! Aku tidak seperti itu! Kamu percaya sama aku."Kepala Natasya terasa pusing menyaksikan kedua temannya berdebat di hadapannya, namun ikut campur pun serasa bukan wewenang dia karena urusan pribadi pasangan yang sudah bertunangan.Melihat keributan yang terjadi di luar bu Mima penasaran, dia keluar untuk melihat apa yang terjadi dengan anak dan calon menantunya."Ada apa ini? Kenapa kalian berantem seperti ini?" Naura sudah tak bisa lagi bersandiwara di depan calon mertuanya.Wajahnya memerah menahan air mata yang hampir terjatuh tapi tetap dia tahan agar terlihat kuat di depan calon mertuanya.Tapi Adnan justru yang bicara. "Ibu, e