“Aku sudah muak, Jessica. Satu bulan ini adalah satu bulan terpanjang dalam hidupku! Kalau saja kau tidak menabrak calon istriku, aku tidak akan terjebak dalam pernikahan bodoh ini,” desis Juan dan segera meletakkan surat gugatan cerai tersebut di atas meja riasnya Jessica.
Dengan tegas Jessica menggeleng. “Berikan aku kesempatan untuk membuatmu jatuh cinta padaku, Juan. Selama ini, kau selalu baik padaku. Kau tidak pernah memperlakukan aku seburuk ini. Tapi, kenapa semuanya berubah,” tangis Jessica.
“Aku baik denganmu karena kau adalah bawahanku. Aku baik dengan semua pegawaiku, kau salah pengertian!”
“Aku tidak sangka, kau memanfaatkan nyawa kekasihku untuk memenjarakan aku dalam pernikahan ini!” teriak Juan lalu memukul cermin lemari dan membuat tangannya berdarah.
Melihat kemarahan tersebut, Jessica menghela nafas dan gelisah. Ia berjalan sambil menggigit bibir bawahnya. Sekuat tenaga berusaha menahan butiran bening yang sudah mulai tergenang di pelupuk matanya.
“Ja-jangan sakiti dirimu, Juan. Kita sudah mengikat janji, jika aku memberikan darah pada kekasihmu maka kau akan bertahan dalam pernikahan ini setidaknya empat tahun kedepan. Ijinkan aku untuk bersamamu selama itu,”
“Jika memang hubungan ini ternyata tidak berhasil, maka aku ikhlas untuk melepaskanmu. Asalkan, kita mencobanya, Juan. Aku mohon,” lirih Jessica yang merasa sangat hina sebagai pengemis cinta pria di hadapannya ini.
Juan hendak meninggalkan Jessica seperti biasanya. Tapi, Jessica berusaha menahannya dengan memegang pergelangan tangan Juan.
“Biar aku obati, lukamu itu,” pinta Jessica yang bergegas mengambil kotak obat.
“Tidak perlu,” tolak Juan sambil menghempaskan tangan Jessica.
“Aku mohon, biarkan aku mengobatimu. Jangan keluar dalam keadaan seperti itu, atau mama akan marah lagi padaku,” cegah Jessica.
Perkataannya membuat Juan langsung salah paham. Ia memicingkan kedua matanya. “Sekarang kau mau mengadu domba aku dengan mamaku?”
“Mamaku adalah makhluk Tuhan yang tidak pernah marah sekali pun. Tidak mungkin dia memarahimu, apakah berbohong dan memfitnah memang merupakan karakter aslimu?” Juan muak menatap Jessica.
“Satu lagi, siapa pria yang menjemputmu dengan mobil BMW tadi?” cecar Juan dan seketika pertanyaan itu membuat Jessica mengunci bibirnya.
“Katakan!” teriak Juan membuat kepala yang sejak tadi tertunduk itu langsung spontan terangkat.
“Kau meminta untuk bertahan di pernikahan ini, tapi kau pulang dengan pakaian tembus pandang,”
“Lihatlah, betapa menjijikkannya dirimu, memakai pakaian sangat terbuka, diantar oleh pria lain yang tidak aku kenal. Itu namanya apa Jesica, kalau bukan perempuan murahan?” tuduhan Juan secara sadis membuat dada Jessica semakin sesak.
“JAWAB!” bentak Juan dan spontan Jessica langsung terjingkat di tempatnya.
“Kenapa kau harus berteriak untuk menuntut jawab dariku?”
“Aku bisa menjawabnya tanpa harus kau bentak seperti itu, dia hanyalah sahabat kecilku. Tidak lebih dari itu,” terang Jessica yang tidak mungkin mengatakan siapa pria itu sebenarnya.
Kalau tidak, Juan bisa curiga mengenai latar belakangnya. “Oh jadi sahabat boleh yah melihat seluruh lekuk tubuhmu! Apa kau tidak lihat, bagaimana banyak pria menelan salivanya dengan susah payah saat kau datang menggunakan gaunmu itu?!”
Sekarang Juan kembali mempermasalahkan gaun yang dipakai oleh Jessica. Walau Jessica sudah mengatakan kalau gaun ini adalah gaun yang diberikan oleh kakak iparnya, tapi Juan tetap saja tidak percaya.
Apalagi saat kakaknya terus menyangkal. “Sudahlah Juan, berhentilah marah seperti itu padaku.” Jessica mulai lelah menanggapi emosi Juan yang sudah lari ke mana-mana.
“Mungkin aku memang salah, karena memakai gaun ini di hadapan banyak orang. Aku hanya ingin, kau mau memandangku sebagai istrimu.”
“Sudah satu bulan kita menikah, tapi kau sama sekali tidak pernah menjamahku. Aku ini adalah istrimu, Juan,” tuntut Jessica.
Juan lantas mendekati Jessica, ia menarik Jessica dengan kasar hingga tubuh Jessica menempel di dadanya.
Tatapannya intens, baru kali ini Juan menatap kedua kornea berwarna biru dengan lekat di hadapannya tanpa berkedip sekali pun.
Jantung Jessica berdebar kencang, andrelaninnya terpacu saat ia merasakan tangan Juan menyentuh punggungnya yang terbuka dan tidak tertutup kain sama sekali.
Sentuhan itu perlahan naik hingga ke tengkuk Jessica dan Juan memegang leher jenjang Jessica dengan kelima jemari kokohnya.
Nafas keduanya tersengal, apalagi saat jempol Juan menyeka bibir Jessica yang tampak merah merona akibat lipstick yang dipakainya.
Sedikit kasar ia menyapu lipstick itu. “Aku ingin menyentuh dan menyetubuhimu.”
“Tapi, penampilanmu tak ubahnya seperti wanita jalang yang tidak ada harganya bagiku.”
“Kau sangat menjijikkan, jangan pernah bermimpi untuk aku sentuh, Jessica. Itu, tidak akan pernah terjadi!” suara dingin dan tenang itu membuat Jessica pun tercekat, tenggorokkannya serasa tercekik, saat mendengar penghinaan ini.
Ia hanya bisa jatuh dan luruh di atas lantai saat Juan pergi dan meninggalkannya begitu saja. Tubuhnya terasa lengket, dengan kaki yang berusaha melangkah dengan berat ke kamar mandi.
Jessi membersihkan dirinya dan segera naik ke atas ranjangnya. Air matanya luruh saat ia memejamkan kedua matanya.
Getaran ponsel yang diletakkan di atas nakas membuat Jessica mengambil ponsel tersebut dengan malas.
Ia melihat ada sebuah nama yang sangat familiar di layar ponselnya. “Halo,” jawab Jessica dengan suara yang parau.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya suara bariton di seberang sana.
“Aku, baik-baik saja, Kak,” jawab Jessica memaksakan seulas senyum di wajahnya, walau tidak ada yang melihatnya.
“Pulanglah, Jessica. Kau baru menikah selama satu bulan, tapi aku tidak melihatmu bahagia seperti pengantin baru pada umumnya.” Jessica menghela nafas.
“Aku, baik-baik saja, Kak. Aku akan berusaha untuk bertahan, Kak. Ijinkan aku untuk mengejar cintaku dan ijinkan aku untuk menyelesaikan masalahku sendiri untuk kali ini saja,” pinta Jessica.
“Kau mau aku beritahu ke papa? Aku, tidak akan tinggal diam melihatmu diperlakukan tidak baik oleh keluarga suamimu itu!” desis pria yang adalah kakak kandungnya Jessica.
“Jangan Kak, mereka tidak tau siapa aku. Seluruh pegawai perusahaan juga tidak tau siapa aku.”
“Biarkan saja seperti ini dulu. Aku mohon, Kak,” mohon Jesicca dan akhirnya pria di seberang sana pun menyerah dengan sikap keras kepala adiknya ini.
“Kau memang keras kepala!” sambungan telepon pun langsung terputus.
Jessica kembali menghela nafas dan berusaha untuk tidur. Keesokan harinya, ia bergegas menyiapkan diri menuju ke kantor setelah menyelesaikan pekerjaan rumah.
Ia mengendarai mobil rongsok yang sengaja dibelinya sejak pertama kali masuk ke cabang Mhyron Capital yang berada di Chicago.
Saat dirinya sampai di lantai lima, seluruh mata memandangnya dengan tatapan penuh kebencian.
Banyak sekali yang mencibirnya dan melengos saat bertemu tatap dengannya. “Jessica Kimberly Romanov, ini adalah surat yang baru ditanda tangani sama CEO baru kita. Beresi semua barang-barangmu, kau tidak perlu bekerja lagi di sini.”
Jessica bingung, bagaimana mungkin dia bisa dipecat begitu saja. Ia lantas berjalan menuju ke ruangannya Juan dan mengetuk pintu dengan tergesa.
“Juan, ini apa? Kenapa kau memecatku?” Jessica tidak habis pikir melihat wajah dingin Juan.
“Pulanglah jika kau ingin mempertahankan pernikahan ini. Mamaku memintamu untuk menjadi istri rumahan,”
“Lagi pula kau hanya akuntan magang di perusahaan ini. Kau tidak akan bisa mengejar karir dengan status pegawai magang yang tidak seberapa.”
“Kau memecatku karena mama minta aku untuk menjadi istri rumahan?” tanya Jessica tidak percaya. Padahal setau Jessica, Juan sangat menyukai wanita cerdas dan pekerja keras. Juan pernah bercerita kalau dirinya bukanlah dari kalangan keluarga kaya. Untuk sampai ke titik ini, Juan bekerja keras dan giat. “Iya, mamaku ingin kau menjadi istri rumahan. Itu semua menjadi pilihanmu, Jessica. Kalau kau memilih untuk tetap bekerja di sini, maka tanda tangani surat cerai yang sudah aku berikan semalam.” “Tapi, kalau kau masih mau mempertahankan kesepakatan kita, belajarlah untuk menjadi istri yang taat pada suamimu.” Juan kembali ke meja kerjanya, ia bekerja seolah tidak ada Jessica di ruangannya. Jessica hanya bisa tertunduk dan segera berbalik meninggalkan ruangan suaminya serta kembali ke bilik kerjanya. Di sana ia membereskan seluruh barang-barangnya, dimasukkannya semua ke dalam sebuah kotak kerdus. Dengan susah payah ia berjalan sambil memegang kerdus yang membuatnya kesulitan melihat
“Kau sangat membenciku, Juan. Kau tidak pernah menginginkanku, lepaskan aku,” lirih Jessi menatap sendu pria yang menatapnya tanpa berkedip dengan pancaran penuh kekuasaan, yang memaksa agar Jessi menundukkan kepalanya seperti yang biasa Jessi lakukan.Tunduk terhadap pria yang teramat dicintainya hingga dirinya kehilangan akal sehatnya. Membuang semua privilege yang ada pada dirinya, demi memenangkan hati yang tak kunjung ia raih.Semuanya sia-sia … maka keinginan untuk dimilikinya malam ini pun akan menjadi sebuah cerita yang sia-sia belaka dalam perjalanan hidupnya Jessi.“Apa kau tadi bertemu dengan Amber?” Suara Jessi bergetar, sebuah kecemburuan menyeruak hingga membuat kerongkongannya tercekat dan kering.Dengusan nafas Juan menyapu wajah Jessi yang tampak sembab, aroma alcohol membuat tubuh Jessi bergejolak.Ia tidak pernah sedekat ini dengan suaminya. Wajah pria itu tidak pernah serapat ini dengan wajahnya. “Berhentilah bertanya dan membahas nama orang lain!” Tangan Juan lant
Kancing terakhir long coat Jessica pakai, menjadi sebuah perjuangan hebat saat dengan hati yang kacau menyadarkannya. Pada akhirnya, menyerahkan keperawanan pun tidak lantas dapat membuat semuanya baik-baik saja. Pernikahannya sudah terlanjur rusak, semua yang dibangun dengan pondasi kesalahan maka selamanya tidak akan bisa diperbaiki. Dengan langkah lebar, Jessica menarik dua koper besarnya. Ia turuni anak tangga rumah mantan suaminya dan dengan perjuangan ia mengangkat koper besar itu untuk masuk ke dalam mobil rongsok yang selama ini menjadi kamuflase untuknya melindungi diri. Jessica segera menyalakan mesin mobil tersebut dan segera keluar dari pekarangan rumah tersebut. “Nyonya, ini masih subuh, anda mau ke mana?” tanya tukang kebun yang tampak sudah semakin menua. “Selamat tinggal, Bono. Hanya kau satu-satunya orang yang paling baik selama aku tinggal di sini.” “Jika suatu saat kau ingin resign dan mencari pekerjaan baru yang lebih ringan dengan bayaran yang lebih tinggi,
“Tuan Myer, duduklah di kursi anda. Rapat akan segera dimulai.” Jessica langsung menarik tangannya dan bersikap sangat formal. Ia segera mengambil kursi tepat di sisinya Xai yang menatap tajam Juan. Bukan Juan namanya yang terima ditatap sedemikian rupa oleh orang lain. Dia tidak pernah takut atau merasa terancam dengan orang yang lebih berkuasa darinya sekali pun. “Tentu saja,” jawab Juan yang segera menarik ujung jas dan dirinya kembali tampak sangat sempurna. Rahangnya mengetat saat mendengarkan Jessica menerangkan pemaparan hasil rencana anggaran biaya untuk project yang saat ini mereka perebutkan. Konsentrasinya buyar saat melihat sikap tenangnya Jessica, yang tidak biasa. “Demikian penawaran dan verifikasi serta penjelasan teknis yang kami rancangkan, Sir,” tutup Jessica saat mengakhiri persentasenya. Staff khusus Menteri Pembangunan tersebut tampak puas mendengar pemaparannya Jessica. “Tuan Juan, sebelumnya saya juga sudah mendengar pemaparan dari Sir Tommy.” “Rancangan ka
Tangan Cerris melayang dan saat ia hampir saja mengenai pipi Jessica, tangan Jessica langsung menahan dan memegang pergelangan tangannya Cerris. “Tidak akan aku biarkan kau menyentuhku lagi, aku sudah cukup lama menoleransi sikap kampunganmu ini.” Jessica tampak dingin dan tenang. Ketegasan di sorot matanya menggetarkan perasaannya Cerris. Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Tampak beberapa orang menatapnya sambil bergunjing. Cerris pun segera menarik tangannya dengan kasar. “Kau! Aku akan membalas rasa malu ku ini! Kau lihat saja, dasar wanita miskin! Murahan, cuih!” Ludah Cerris hampir saja mengenai kaki putihnya Jessica kalau Jessi tidak dengan cepat menghindar. Saat ia hendak beranjak dari tempatnya Jessica, seorang pria tampan yang juga sering muncul di televisi menarik perhatiannya dan segera mencegah langkahnya. Ia semakin menatap sinis wajah Jessica sambil mengejek. “Oh, ternyata bisa datang ke restoran mewah ini karena dibayari bos tampan ini,” “Wah, ternyata kau selalu men
Beberapa saat yang lalu, Jessica berjalan sambil menggandeng Xai menuju ke parkiran. “Kau tidak apa?” tanya Xai menepuk punggung tangan adiknya. “Aku baik-baik saja, aku sudah lama menantikannya. Sungguh, hatiku sangat puas,” desah Jessica lalu membuka pintu mobil porche milik Xairuz. “Puas? Kau sudah menahannya sekian lama?” tanya Xairuz menatap tajam Jessica yang selama ini berbohong padanya. “Bukankah kau bilang kalau ipar dan mertuamu selalu memperlakukanmu dengan baik, hem? Jadi, kau berbohong padaku?!” cecar Xairus belum menyalakan mobilnya. “Aku harus, Kak. Tapi, saat ini sudah tidak ada lagi alasan aku untuk menyembunyikannya,” desah Jessica lalu memasang sabuk pengaman dan menoleh pada Xai. “Sudahlah, nyalakan mesinnya. Malam ini aku akan menginap di apartemen lamaku. Lalu mengenai Perusahaan, bisakah Kakak membantuku sebentar lagi.” Xairuz mendengus dan segera menyalakan mesin mobilnya. “Untuk terus merangkap jabatan sebagai CEO dan komisaris perusahaanmu? Yang benar sa
"Kau akan apa, hem? Kau memang suka sekali mengusikku," racau Jessica lalu kembali memejamkan matanya. Juan menjadi sangat frustasi melihat wajah polos dan tidak berdosanya Jessica. "Mimpi yang aneh, memuakkan!" racau Jessica yang mengira dirinya masih bermimpi saat itu. Cukup sudah bagi Juan, ia berdiri dan mengangkat tubuh Jessica dengan tangan kiri dibalik lutut Jessica dan tangan kanan di tengkuknya. Ia rebahkan Jessica dengan hati-hati dan segera mencium singkat bibir Jessica. Dikiranya, Jessica hanya akan diam tanpa membalasnya. Salah, bibir Jessica menyambut ciuman itu dengan lembut. Ia juga melumat bibir Juan dan terdengar suara desahan dalam setiap nafas Jessica yang tampak tersengal berat. "Jess ... apa yang sudah kau lakukan dengan Xairus, hem?" bisik Juang, suaranya paraunya tertahankan saat dadanya terasa ngilu. Namun, Jessica tidak menjawabnya dan justru melingkarkan kedua tangannya di tengkuk Juan. Entah siapa yang membuka pakaian siapa, malam itu. Baik
“Seharusnya akulah yang bertanya, siapa kau sebenarnya?” balas Juan menatap tidak percaya dan sedikit merasakan sensasi pusing di kepalanya. Jessica kembali tertegun, ia tidak yakin untuk menjawab pertanyaannya Juan. Dirinya lalu berdiri dan segera berbalik, langkahnya tampak angkuh saat ia menuju ke kamar mandi. “Dengarkan aku, Juan. Aku hanyalah mantan istimu. Wanita menyedihkan yang tidak pernah kau anggap ada selama ini, pertahankan saja kenyataan tersebut.” “Kau, tidak perlu kembali bertanya, siapa aku dan ini atau itu. Karena sejatinya, semua ini sudah tidak penting lagi untuk kita berdua,” “Bukankah, seharusnya percakapan ini terjadi beberapa tahun yang lalu? Pulanglah, anggap saja tidak terjadi apapun di antara kita,” “Semuanya hanyalah kesalahan, kalau pun kau sampai bisa masuk ke dalam apartemenku ini. Maka aku pun akan menganggapnya kalau yang bersalah adalah aku. Aku tidak mengganti kode pintu masuk unitku,” “Jadi, semuanya sudah clear yah, Juan,” tutup Jessica lalu s
"Amber, apa yang kau lakukan?" Juan segera berdiri dari kursi taman tersebut. Melihat reaksi Juan, air mata Amber berderai tak tertahankan. "Jawab pertanyaanku, bukan justru balik bertanya! Bukankah, kau berkata bahwa kau hanya mencintaiku?! Lantas ini apa?!" Amarah Amber meledak, dia terisak menyaksikan kemesraan keduanya. Bukan hanya Amber yang melihat kemesraan Juan dan Jessica. Ada kakak dan ibunya, yang juga turut berafa tidak jauh dari lokasi Amber dan Juan berdebat. "Juan! Apa yang kau lakukan malam ini sudah keterlaluan!" amuk ibunya yang turut menyudutkan Juan tanpa perduli akan situasi dan tempat saat ini mereka berada. "Pulang sekarang, Juan!" tegas kakaknya kembali menimpali. Wajah Juan semakin mengetat, kedua tangannya bahkan tampak mengepal erat. Dia menoleh menatap tajam wajah Cherris. "Lebih baik saat ini, kau dan mama pulang, Cherris. Aku, tidak sedang ingin berdebat denganmu. Melihat rekaman video kalian yang terekam dengan cctv saja sudah membuat aku mu
"Menghamilimu, mungkin akan merubah segalanya," batin Juan yang menatap Jessica dengan rasa lapar. "Aku, akan berusaha untuk mengubah keadaan ini," jawab Juan, lalu membungkam bibir Jessica dengan bibirnya. Setelahnya, mereka melakukannya lagi. Meneguk kembali manisnya percintaan di atas ranjang. Tubuh Jessica sudah menjadi sentral pikirannya Juan. Dia, merasa candu. Sejak pagi itu, baik Juan maupun Jessica, sama-sama berusaha menahan diri untuk tidak terjebak dalam perdebatan yang tidak perlu. Sore itu, Juan teringat akan sesuatu yang paling disukai oleh Jessica. "Apa kau mau, jalan-jalan ke pasar malam?" tanya Juan, membuat Jessica terkejut. "Pasar malam?" ulangnya sambil menelan ludahnya. "Tiga kali kau mengajakku ke pasar malam. Tapi, aku selalu sibuk dengan urusan pekerjaanku. Bagaimana kalau malam ini?" usul Juan membu
"Jessica," panggil Juan yang terbangun dan tidak mendapati tubuh istri di sisinya. Sontak saja dia langsung terjingkat dari ranjang. Melangkah dengan lebar ke kamar mandi, tapi tidak didapatinya Jessica. Dibukanya pintu walk in closet, sama nihilnya. Dia segera membuka pintu kamar dan betapa leganya Juan melihat Jessica sedang memakai apron dan tampak sedang memasak. Wanita itu tampak sangat memikat saat wajahnya serius seperti ini. Seketika Juan merasa bersalah. "Seperti inilah dia selama tiga tahun, dan aku tidak pernah menyentuh apapun yang dibuatnya. selain, jus jeruk sebelum prahara terjadi diantara kami," gumam Juan. Tidak, bukan sebelum prahara terjadi. Prahara rumah tangganya sudah terjadi sejak pertama kali dia menikahi wanita ini. Dengan merasa bersalah, Juan menghampiri dan melingkarkan kedua tangan di perut ratanya Jessica. Ia cium mesra tengkuk Jessi dengan lembut. Sebuah senyuman merekah dj wajah Jessica bercampur haru. "Good Morning, bersihkan dulu dirimh
Juan langsung menoleh, melihat panggilan masuk dari Amber. Ponsel yang sudah di mode silent itu terus saja berkedap-kedip. Ia mendesah sesaat. Dirinya berjalan, mengambil ponsel dengan gerakan yang sangat terukur. Membuat mata Jessica mulai mengembun. Sudah menduga jika apa yang dia pikirkan selalu akan terjadi. Namun, untuk pertama kalinya. Juan justru menonaktifkan ponselnya. Malam itu, Jessica terkejut melihat apa yang bisa Juan lakukan untuknya. "Sudah aku katakan. Waktu kita hanya dua hari, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu singkat ini," tutur Juan dengan tenang dan segera masuk menggandeng tangan Jessica untuk masuk ke dalam kamar mereka. Walau masih ragu karena terlalu dini dan demi harga dirinya. Jessica tidak mau terlalu terbawa suasana sana. Bahagia sesaat itu, menyakitkan. Dia tidak mau sakit lagi. Juan segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Sedangkan Jessica yang sudahe
Juan terdiam sejenak, ia tatap kedua manik tegas Jessica. Wanita di hadapannya ini tidak pernah menuntut apapun darinya. "Juan, Apa kau mendengarku? Aku sedang bertanya padamu," tuntut Jessica padanya, untuk pertama kali. Selama ini yang ia lihat dari kepribadian Jessica hanyalah kerapuhan. Tapi malam itu, yang melihat sebuah ketegasan pada sorot mata wanita yang tidak pernah dianggapnya selama ini. "Untuk apa aku harus bertanya kepadanya. Itu hanya akan memperpanjang masalah. Aku cukup tahu apa yang sudah dia lakukan." Juan menghindar dari pertanyaan istrinya. Bukan karena dia tidak ingin memuaskan Jessica. Tapi Juan mengatakan yang sebenarnya, sikapnya bahkan sudah berubah pada Amber. Sudah tidak ada lagi kehangatan seperti sedia kala, hanya satu yang masih mengganjal di hati Juan. Amber selama ini hidup dalam keadaan yang tidak sehat. Juan hanya merasa kasihan dan ada rasa bersalah yang menghantuinya. Wanita itu, sampai sekarang masih menunggu Juan dengan setia. "Ah
Jessica takut jika ia mengijinkannya, maka ia akan terjerat kembali dalam pesona Juan selamanya. Dirinya sudah bertekad untuk bisa bersikap tegas dan menolak segala perasaan bodoh yang terus melemahkan dirinya. "Jess, apa kau tidak menginginkannya? Setalah dua hari, kau bebas melakukan apapun. Termasuk mengabaikan aku, bahkan membalaskan dendammu padaku," rayu Juan dengan seribu satu cara. Jessica terkunci dalam tatapan gelapnya Juan yang dalam. Bahkan tidak ada perlawanan yang berarti saat tangan Juan mulai menjelajah setiap lekuk tubuh Jessica. Dengan jelas Juan melihat tubuh Jessica meremang. Ia merasa dirinya bisa saja menang dan menaklukkan wanita cantik di hadapannya ini. "Jess, ku mohon," lirih Juan lalu menyapu wajahnya ke pipi Jessica. Jelas terdengar suara debaran jantung kedua anak manusia yang sedang tarik ulur. Dengan niatan yang bertolak belakang dengan akal sehat mereka. Saat bibir Juan mendarat di bibir Jessica, ia kembali berbisik. "Aku akan membawamu k
Tangan Xairuz terhenti di udara, ia tatap tidak percaya pada adiknya. Dilepaskannya tangan kerah baju Juan dan didorongnya tubuh Juan dengan kuat. "Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu? Kau mau kembali jatuh di lubang yang sama, Jess?" desis Xairuz menatap Jessica khawatir sambil memegang kedua bahunya. "Aku, akan baik-baik saja, Kak," bisik Jessica, menatap yakin wajah kakaknya. Ia lalu memeluk Xairuz dan mengusap punggung Xairuz, menenangkan kakaknya. "Aku akan baik-baik saja," bisik Jessica dan Juan tampak panas melihat kelakuan Jessica. Wanita yang sebenarnya sudah resmi menjadi mantan istrinya. Putusannya bahkan sudah turun tiga hari yang lalu, hanya saja, akta perceraian memang baru bisa diambil dua hari lagi. Xairuz menatap sendu pada Jessica dan Jessica menggeleng. "Tolong jangan, Kak. Ini hanya dua hari, setelahnya aku akan kembali ke mansion ini." Kembali Jessica meyakinkan kakaknya. "Kalau sampai dua hari kau tidak kembali, aku akan menghubungi papa, Jess," anc
Juan menggeleng dengan tegas. "Apa maksudmu hanya terbawa suasana?!" tuntut Juan tidak terima atas penilaiannya Jessica terhadap dirinya. "Aku, harus istirahat, Juan. Kumohon, pulanglah," pinta Jessica, lalu menarik turun tubuhnya dan berbaring sambil memejamkan kedua matanya. Juan kalut, ia tidak mau kalau Jessica mengabaikannya seperti ini. Hingga dirinya tersadar, jika selama ini, dialah yang selalu mengabaikan Jessica. Bersikap dingin dan bahkan tidak perduli jika Jessica menangis di tengah malam. Menganggap remeh perbuatan keluarganya pada Jessica. "Ternyata, diabaikan sangatlah tidak nyaman," gumam Juan yang terdengar di telinganya Jessica. Sambil melonggarkan kemejanya, Juan menghembuskan nafasnya kasar. "Jess, pulanglah denganku. Bukan ke rumahku. Tapi, ke apartemenku. Cukup dua hari saja, sampai kita mengambil akta perceraian kita, jika jalan untuk rujuk kembali kau tolak mentah-mentah." "Maaf, tapi aku tidak bisa," tolak Jessica masih dengan mata yang terpejam. "Kalau b
Tangan Juan langsung melayang dan bertemu dengan pintu. Ia masih sopan, mengetuknya walau dadanya sedang mengamuk bagai tsunami yang siap menyapu bersih apa saja yang ada di hadapannya. "Permisi, Tuan dan Nona, saya sudah mengantarkan tamu anda," ucap pelayan tersebut sambil menatap kesal pada Juan yang dianggapnya lancang mengetuk pintu, seharusnya dirinyalah yang mengetuk pintu tersebut. Jessica menoleh dan mengangguk anggun. Xairuz tampak berdiri di sisi ranjang Jessica bagaikan seekor anjing penjaga. Sungguh! Pemandangan yang jauh lebih memuakkan lagi bagi Juan. "Bisakah, kita bicara berdua?" Juan menatap Jessica dengan sejuta kerinduan dan kekhawatiran. Tatapan manis yang selama ini tidak pernah dilihat oleh Jessica. Tatapan seperti ini, biasanya hanya untuk Amber seorang, lalu kini ia pun mendapatkan tatapan yang justru membuatnya kesulitan bernafas. Seluruh tulang belulangnya terasa lunak dan otot tubuhnya lemas tak bertenaga dengan desiran darah yang mengalir kencang membu