Kancing terakhir long coat Jessica pakai, menjadi sebuah perjuangan hebat saat dengan hati yang kacau menyadarkannya.
Pada akhirnya, menyerahkan keperawanan pun tidak lantas dapat membuat semuanya baik-baik saja. Pernikahannya sudah terlanjur rusak, semua yang dibangun dengan pondasi kesalahan maka selamanya tidak akan bisa diperbaiki. Dengan langkah lebar, Jessica menarik dua koper besarnya. Ia turuni anak tangga rumah mantan suaminya dan dengan perjuangan ia mengangkat koper besar itu untuk masuk ke dalam mobil rongsok yang selama ini menjadi kamuflase untuknya melindungi diri. Jessica segera menyalakan mesin mobil tersebut dan segera keluar dari pekarangan rumah tersebut. “Nyonya, ini masih subuh, anda mau ke mana?” tanya tukang kebun yang tampak sudah semakin menua. “Selamat tinggal, Bono. Hanya kau satu-satunya orang yang paling baik selama aku tinggal di sini.” “Jika suatu saat kau ingin resign dan mencari pekerjaan baru yang lebih ringan dengan bayaran yang lebih tinggi, jangan ragu untuk menghubungi aku,” ucap Jessi tersenyum ramah, seraya memberikan kartu namanya. “Ba-baik, Nyonya,” jawab tukang kebun tersebut sambil menunduk hormat pada Jessica sambil menatap prihatin saat mobil itu meninggalkan jejak asap hitamnya. Air mata menjadi bagian terakhir dari dirinya saat meninggalkan rumah tersebut. Sampailah Jessi di depan sebuah mansion yang tampak sangat megah dengan pagar menjulang tinggi. Jessica menatap camera dan dengan jengah ia meminta kakaknya untuk membukakan pagar yang baru saja diganti kodenya. “Xairuz, ini aku. Tolong buka pagar,” pinta Jessica dan tidak lama kemudian pintu pagar tersebut terbuka secara otomatis. Ia memasuki pekarangan mansionnya dan memarkir mobilnya. Kakinya melangkah tidak seperti biasanya, menahan rasa nyeri saat menaiki tangga membuatnya tampak meringis dan menarik perhatian kakaknya. “Apa yang terjadi sampai kau meringis seperti itu.” Suara bariton Xairuz membuat Jessica menghentikan langkah. “Aku, baik-baik saja, Kak. Aku ingin membersihkan diri dan segera bersiap menuju ke kantor,” jawab Jessica, tersenyum kecut dan kembali berjalan melewati Xai yang menatapnya dingin. “Apa suamimu tau, kalau pagi ini kau pulang ke rumahmu?” tanya Xairuz penuh selidik. “Aku sudah bercerai dengannya, Kak.” Jessica kembali melangkah lebar dan tanpa ragu untuk masuk ke dalam mansion mewahnya. “Benarkah? Kalau begitu, kau harus merayakannya denganku malam ini.” Xairuz langsung memeluk adiknya dari belakang. Jessica tidak kuasa menahan diri untuk tidak tersenyum menatap kakaknya. Saat pelukan hangat saudaranya itu melingkar di tubuhnya, saat itu juga rasa sesak di dada Jessica menyeruak hebat dan terlampiaskan dalam bentuk sebuah tangisan pilu. Luka tak berdarah dirasakan oleh Xairuz. “Tenangkan dirimu, berhentilah menangis dan siapkan dirimu. Sudah tiga tahun kau mengabaikan tugasmu sebagai CEO Perusahaan keluarga kita.” Jessica segera mengangguk. “Baiklah, aku akan segera bersiap,” jawabnya. “Dan, aku akan tetap menjemputmu nanti di Perusahaan. Kalau kau menolak, ini adalah perintah dari komisaris perusahaanmu.” Xairuz lantas segera mengacak rambut adiknya. Sementara Jessica dengan berendam sambil mengingat kembali, apa yang telah ia lakukan bersama Juan. Pria yang kini sudah menjadi mantan suaminya itu terbangun dengan ranjang kosong di sisi kirinya. Perlahan ia buka matanya, dengusan serta senyuman tipis menghiasi wajahnya sejenak. Sampai pada akhirnya ia sadar kalau dirinya hanya seorang diri di kamarnya. Kedua koper besar yang semalam berisi penuh dan tampak berat itu sudah tidak terlihat. Ia langsung mengusap wajahnya dan segera bangun dari ranjang. Tubuhnya bahkan masih polos tanpa sehelai benang pun, kamar mandi adalah tujuan pertama mencari keberadaannya Jessica. Tapi, wanita itu tidak ada di sana. Mungkinkah dia ada di bawah, menyiapkan sarapan seperti biasanya? Sungguh Juan tidak sabar untuk turun dan segera bertemu dengan wanita yang meninggalkan jejak bercak darah kesuciannya di atas ranjang beralaskan kain berwarna putih tersebut. “Mama, di mana Jessica?” tanya Juan sambil mengedarkan seluruh pandangannya di seisi rumahnya. “Bukankah, harusnya mama yang bertanya di mana perempuan mandul itu padamu? Dia tidak turun membantuku hari ini.” Wajah wanita paruh baya itu tampak gusar. “Dan, mobil rongsoknya juga tidak ada. Pak Bono bilang istrimu sudah pergi meninggalkan rumah kita, Juan. Bukankah itu berita yang sangat bagus?” Cherris menaikkan sudut bibirnya, menunjukkan jeri payahnya selama tiga tahun akhirnya terbayarkan sudah, dengan perginya adik iparnya itu. Kedua tangan Juan mengepal keras hingga seluruh buku-buku pada jarinya tampak memutih. Terlihat rahang tegasnya semakin mengeras dan suara gemelutuk membuat kedua wanita yang sedang berdiri di hadapannya bungkam seketika. “Juan, baiknya … kau sarapan dulu. Jangan terlalu memikirkan wanita sialan itu, hem? Nanti malam, pergilah makan malam bersama Amber. Dia menanyakanmu tadi pagi, katanya dia tidak tidur semalaman karena menunggumu datang ke apartemennya,” tutur mamanya. “Aku, tidak lapar,” balas Juan dan segera pergi dari rumahnya dengan hati yang panas. Selama di dalam mobil, ia menahan rasa marahnya dan keinginannya untuk menghubungi Jessica. Begitu dirinya sampai di kantornya, ia langsung mengabaikan asisten pribadinya dan segera melempar tas kerjanya ke sembarang tempat seraya mengambil ponsel dari saku celananya. Tujuan pertama adalah menghubungi Jessica. Dan, saat itu juga dengan emosi yang memenuhi isi kepalanya ia mencoba menghubungi Jessica. Sayang, justru suara operator yang didengarnya. “Tommy, bisakah kau cari keberadaan Jessica?” titahnya pada asistennya saat ia masuk ke dalam ruang kerjanya. “Tuan? Hari ini saya harus mengatur persiapan rapat penting anda dengan Menteri Pembangunan. Rapat tersebut akan diadakan tepat pukul tiga sore nanti, Tuan.” Tommy menolak secara halus tugas baru dari CEO-nya itu. “For your information, Tuan. Akan ada perusahaan Xairuz Company yang bergabung. Kalau anda tidak datang sore nanti, maka proyek senilai seratus lima puluh juta dollar itu akan jatuh ke perusahaan yang menjadi musuh bebuyutan Mhyron Company sejak lima tahun yang lalu,” desah Tommy menyadarkan Juan yang langsung menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. “Sialan!” amuk Juan yang tidak punya pilihan selain mempersiapkan diri untuk menghadiri rapat penting tersebut. “Pergilah Tommy, aku tidak menerima tamu hari ini.” Juan segera kembali ke meja kerjanya dan menunggu kapan jarum jam pendek menunjukkan pukul dua siang. “Tuan, saatnya kita untuk rapat.” Ini adalah panggilan yang ditunggunya sejak tadi. “Hem,” jawab Juan dengan dingin dan ia segera berjalan menuju ke ruang rapatnya. Tampak, staf khusus Menteri sudah menunggu. “Apa kita bisa memulai rapatnya sekarang?” Juan bertanya seraya bersalaman. “Kita tunggu lima menit lagi,” jawab pria berkaca mata tersebut pada Juan. Tepat di menit ke empat, saat itu juga pintu terbuka. Wajah pria berambut coklat gelap dengan tulang pipi yang tinggi dan rahang kokohnya serta bibirnya yang tidak begitu tipis masuk ke dalam ruangan tersebut. Wajahnya juga tampak dingin, tapi ramah. Ia menyapa Juan begitu juga dengan staf Menteri yang hadir. Namun, bukan pria itu yang mengusik Juan dan membuat jantungnya hendak meledak saat itu. Melainkan wanita dengan pakaian semi formal, beralaskan make up natural yang telah tiga tahun tidak melekat dikulitnya. Kini tampak sangat memancarkan aura kecantikan yang luar biasa. Ia menatap Juan, seperti orang asing dan Juan benci dengan sikap serta tatapan dingin wanita tersebut. “Jessica?! Kenapa kau mematikan ponselmu, hem?!” desis Juan sambil berbisik saat mereka bersalaman. “Tuan Myer, duduklah di kursi anda. Rapat akan segera dimulai,”“Tuan Myer, duduklah di kursi anda. Rapat akan segera dimulai.” Jessica langsung menarik tangannya dan bersikap sangat formal. Ia segera mengambil kursi tepat di sisinya Xai yang menatap tajam Juan. Bukan Juan namanya yang terima ditatap sedemikian rupa oleh orang lain. Dia tidak pernah takut atau merasa terancam dengan orang yang lebih berkuasa darinya sekali pun. “Tentu saja,” jawab Juan yang segera menarik ujung jas dan dirinya kembali tampak sangat sempurna. Rahangnya mengetat saat mendengarkan Jessica menerangkan pemaparan hasil rencana anggaran biaya untuk project yang saat ini mereka perebutkan. Konsentrasinya buyar saat melihat sikap tenangnya Jessica, yang tidak biasa. “Demikian penawaran dan verifikasi serta penjelasan teknis yang kami rancangkan, Sir,” tutup Jessica saat mengakhiri persentasenya. Staff khusus Menteri Pembangunan tersebut tampak puas mendengar pemaparannya Jessica. “Tuan Juan, sebelumnya saya juga sudah mendengar pemaparan dari Sir Tommy.” “Rancangan ka
Tangan Cerris melayang dan saat ia hampir saja mengenai pipi Jessica, tangan Jessica langsung menahan dan memegang pergelangan tangannya Cerris. “Tidak akan aku biarkan kau menyentuhku lagi, aku sudah cukup lama menoleransi sikap kampunganmu ini.” Jessica tampak dingin dan tenang. Ketegasan di sorot matanya menggetarkan perasaannya Cerris. Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Tampak beberapa orang menatapnya sambil bergunjing. Cerris pun segera menarik tangannya dengan kasar. “Kau! Aku akan membalas rasa malu ku ini! Kau lihat saja, dasar wanita miskin! Murahan, cuih!” Ludah Cerris hampir saja mengenai kaki putihnya Jessica kalau Jessi tidak dengan cepat menghindar. Saat ia hendak beranjak dari tempatnya Jessica, seorang pria tampan yang juga sering muncul di televisi menarik perhatiannya dan segera mencegah langkahnya. Ia semakin menatap sinis wajah Jessica sambil mengejek. “Oh, ternyata bisa datang ke restoran mewah ini karena dibayari bos tampan ini,” “Wah, ternyata kau selalu men
Beberapa saat yang lalu, Jessica berjalan sambil menggandeng Xai menuju ke parkiran. “Kau tidak apa?” tanya Xai menepuk punggung tangan adiknya. “Aku baik-baik saja, aku sudah lama menantikannya. Sungguh, hatiku sangat puas,” desah Jessica lalu membuka pintu mobil porche milik Xairuz. “Puas? Kau sudah menahannya sekian lama?” tanya Xairuz menatap tajam Jessica yang selama ini berbohong padanya. “Bukankah kau bilang kalau ipar dan mertuamu selalu memperlakukanmu dengan baik, hem? Jadi, kau berbohong padaku?!” cecar Xairus belum menyalakan mobilnya. “Aku harus, Kak. Tapi, saat ini sudah tidak ada lagi alasan aku untuk menyembunyikannya,” desah Jessica lalu memasang sabuk pengaman dan menoleh pada Xai. “Sudahlah, nyalakan mesinnya. Malam ini aku akan menginap di apartemen lamaku. Lalu mengenai Perusahaan, bisakah Kakak membantuku sebentar lagi.” Xairuz mendengus dan segera menyalakan mesin mobilnya. “Untuk terus merangkap jabatan sebagai CEO dan komisaris perusahaanmu? Yang benar sa
"Kau akan apa, hem? Kau memang suka sekali mengusikku," racau Jessica lalu kembali memejamkan matanya. Juan menjadi sangat frustasi melihat wajah polos dan tidak berdosanya Jessica. "Mimpi yang aneh, memuakkan!" racau Jessica yang mengira dirinya masih bermimpi saat itu. Cukup sudah bagi Juan, ia berdiri dan mengangkat tubuh Jessica dengan tangan kiri dibalik lutut Jessica dan tangan kanan di tengkuknya. Ia rebahkan Jessica dengan hati-hati dan segera mencium singkat bibir Jessica. Dikiranya, Jessica hanya akan diam tanpa membalasnya. Salah, bibir Jessica menyambut ciuman itu dengan lembut. Ia juga melumat bibir Juan dan terdengar suara desahan dalam setiap nafas Jessica yang tampak tersengal berat. "Jess ... apa yang sudah kau lakukan dengan Xairus, hem?" bisik Juang, suaranya paraunya tertahankan saat dadanya terasa ngilu. Namun, Jessica tidak menjawabnya dan justru melingkarkan kedua tangannya di tengkuk Juan. Entah siapa yang membuka pakaian siapa, malam itu. Baik
“Seharusnya akulah yang bertanya, siapa kau sebenarnya?” balas Juan menatap tidak percaya dan sedikit merasakan sensasi pusing di kepalanya. Jessica kembali tertegun, ia tidak yakin untuk menjawab pertanyaannya Juan. Dirinya lalu berdiri dan segera berbalik, langkahnya tampak angkuh saat ia menuju ke kamar mandi. “Dengarkan aku, Juan. Aku hanyalah mantan istimu. Wanita menyedihkan yang tidak pernah kau anggap ada selama ini, pertahankan saja kenyataan tersebut.” “Kau, tidak perlu kembali bertanya, siapa aku dan ini atau itu. Karena sejatinya, semua ini sudah tidak penting lagi untuk kita berdua,” “Bukankah, seharusnya percakapan ini terjadi beberapa tahun yang lalu? Pulanglah, anggap saja tidak terjadi apapun di antara kita,” “Semuanya hanyalah kesalahan, kalau pun kau sampai bisa masuk ke dalam apartemenku ini. Maka aku pun akan menganggapnya kalau yang bersalah adalah aku. Aku tidak mengganti kode pintu masuk unitku,” “Jadi, semuanya sudah clear yah, Juan,” tutup Jessica lalu s
"Hei, kenapa dengan wajahmu, Hem? Kau ini, sudah seperti melihat mayat bangkit dari kubur saja," kekeh pria tersebut sambil menyugar rambutnya ke belakang. Jessica, langsung berjalan mendekatinya dan memeluknya erat. "Maxton, ini adalah sebuah kejutan yang menyebalkan," dengus Jessica lalu tersenyum menatap pria bernama Maxton tersebut. "Apa kau, baik-baik saja? Kau belum menjawab pertanyaan aku. Ada apa dengan wajahmu," tuturnya sambil menyeledik raut wajah Jessica yang tampak palsu. Ia memberikan sebuah senyuman kecut. "I'm okay, Maxton. Sudahlah, ayo kita ke mansionnya Xairuz," ajak Jessica lalu melingkarkan tangannya di lengan sahabat kakaknya itu. "Jessica!" Suara bariton yang terdengar dalam itu membuat Jess dan Max, spontan menoleh. "Oh, ada Juan Myers? Hai, kau kenal dengan Jessica?" Maxton, menangkap ada aura gelap di antara Juan dan Jessica saat itu. "Dia adalah istriku, Tuan Maxton-" "Mantan istri, aku harap kau tidak lupa itu,'' tekan Jessica membuat wajah Jus
Mata Nyonya Dania Myer terbelalak lebar, bibirnya sampai menganga mendengar perkataan kasar yang terlontar dari bibirnya Maxton. “Siapa yang kau usir, anak muda?! Hei! Tidak taukah kau siapa aku, hem?!” teriak Dania tidak terima dengan tangan yang memegang pinggangnya dengan wajah sinis dan penuh kebencian. Max tidak menanggapi omelan Dania dan hanya merangkul bahu Jessi, saat beberapa security datang menghampiri Dania dan memintanya untuk keluar dari butik mewah tersebut. Tidak terima ibunya diperlakukan tidak adil, Cherris datang dan segera mendorong tubuh Jessica dengan kasar. Untung saja, Max sejak tadi merangkulnya dan bisa dengan sigap menangkap tubuh Jessi yang terjungkal ke depan. “Are you out of your mind?!” bentak Max dan Jessica langsung menyibakkan rambutnya yang tampak sedikit berantakkan. “Tuan, jangan ikut campur urusan keluarga kami! Wanita ini adalah wanita mandul pembawa sial! Dia sudah kurang ajar terhadap aku dan ibuku! Dia hanya pegawai magang rendahan ya
Jessica masih memilih untuk tidak menggubris Juan. Amber menangis tapi ia tersenyum mengejek saat Jessica menatapnya dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Juan. "Kakiku sakit sekali, Kak," rintih Amber membuat Jessica tertawa sinis. "Mengapa kau sejahat ini, Jess!" desis Juan yang tidak suka menatap wajah sinis mantan istrinya. "Kau yakin, kalau aku yang mendorongnya? Di sini memang sepi, tapi lihat itu," ucap Jessica sambil menunjuk CCTV di sudut atap. "Sebelum kau menghakimi aku, cari taulah lebih dulu. Menyentuhnya saja, aku enggan. Apalagi mendorongnya," jawab Jessica lalu kembali menatap Amber yang terbelalak dan memucat. Ia tidak memikirkan sejauh itu, agar dirinya terselamatkan Amber mengambil jalan aman. Tiba-tiba saja tubuhnya langsung rebah dan tergeletak di lantai. "Tuan, Nona itu pingsan!" pekik salah satu pegawai butik dan Juan langsung berbalik untuk menggendong Amber. "Yah, Tuhan. Hebat sekali," kekeh Jessica membuat Juan menatapnya nyalang. Langk
"Amber, apa yang kau lakukan?" Juan segera berdiri dari kursi taman tersebut. Melihat reaksi Juan, air mata Amber berderai tak tertahankan. "Jawab pertanyaanku, bukan justru balik bertanya! Bukankah, kau berkata bahwa kau hanya mencintaiku?! Lantas ini apa?!" Amarah Amber meledak, dia terisak menyaksikan kemesraan keduanya. Bukan hanya Amber yang melihat kemesraan Juan dan Jessica. Ada kakak dan ibunya, yang juga turut berafa tidak jauh dari lokasi Amber dan Juan berdebat. "Juan! Apa yang kau lakukan malam ini sudah keterlaluan!" amuk ibunya yang turut menyudutkan Juan tanpa perduli akan situasi dan tempat saat ini mereka berada. "Pulang sekarang, Juan!" tegas kakaknya kembali menimpali. Wajah Juan semakin mengetat, kedua tangannya bahkan tampak mengepal erat. Dia menoleh menatap tajam wajah Cherris. "Lebih baik saat ini, kau dan mama pulang, Cherris. Aku, tidak sedang ingin berdebat denganmu. Melihat rekaman video kalian yang terekam dengan cctv saja sudah membuat aku mu
"Menghamilimu, mungkin akan merubah segalanya," batin Juan yang menatap Jessica dengan rasa lapar. "Aku, akan berusaha untuk mengubah keadaan ini," jawab Juan, lalu membungkam bibir Jessica dengan bibirnya. Setelahnya, mereka melakukannya lagi. Meneguk kembali manisnya percintaan di atas ranjang. Tubuh Jessica sudah menjadi sentral pikirannya Juan. Dia, merasa candu. Sejak pagi itu, baik Juan maupun Jessica, sama-sama berusaha menahan diri untuk tidak terjebak dalam perdebatan yang tidak perlu. Sore itu, Juan teringat akan sesuatu yang paling disukai oleh Jessica. "Apa kau mau, jalan-jalan ke pasar malam?" tanya Juan, membuat Jessica terkejut. "Pasar malam?" ulangnya sambil menelan ludahnya. "Tiga kali kau mengajakku ke pasar malam. Tapi, aku selalu sibuk dengan urusan pekerjaanku. Bagaimana kalau malam ini?" usul Juan membu
"Jessica," panggil Juan yang terbangun dan tidak mendapati tubuh istri di sisinya. Sontak saja dia langsung terjingkat dari ranjang. Melangkah dengan lebar ke kamar mandi, tapi tidak didapatinya Jessica. Dibukanya pintu walk in closet, sama nihilnya. Dia segera membuka pintu kamar dan betapa leganya Juan melihat Jessica sedang memakai apron dan tampak sedang memasak. Wanita itu tampak sangat memikat saat wajahnya serius seperti ini. Seketika Juan merasa bersalah. "Seperti inilah dia selama tiga tahun, dan aku tidak pernah menyentuh apapun yang dibuatnya. selain, jus jeruk sebelum prahara terjadi diantara kami," gumam Juan. Tidak, bukan sebelum prahara terjadi. Prahara rumah tangganya sudah terjadi sejak pertama kali dia menikahi wanita ini. Dengan merasa bersalah, Juan menghampiri dan melingkarkan kedua tangan di perut ratanya Jessica. Ia cium mesra tengkuk Jessi dengan lembut. Sebuah senyuman merekah dj wajah Jessica bercampur haru. "Good Morning, bersihkan dulu dirimh
Juan langsung menoleh, melihat panggilan masuk dari Amber. Ponsel yang sudah di mode silent itu terus saja berkedap-kedip. Ia mendesah sesaat. Dirinya berjalan, mengambil ponsel dengan gerakan yang sangat terukur. Membuat mata Jessica mulai mengembun. Sudah menduga jika apa yang dia pikirkan selalu akan terjadi. Namun, untuk pertama kalinya. Juan justru menonaktifkan ponselnya. Malam itu, Jessica terkejut melihat apa yang bisa Juan lakukan untuknya. "Sudah aku katakan. Waktu kita hanya dua hari, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu singkat ini," tutur Juan dengan tenang dan segera masuk menggandeng tangan Jessica untuk masuk ke dalam kamar mereka. Walau masih ragu karena terlalu dini dan demi harga dirinya. Jessica tidak mau terlalu terbawa suasana sana. Bahagia sesaat itu, menyakitkan. Dia tidak mau sakit lagi. Juan segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Sedangkan Jessica yang sudahe
Juan terdiam sejenak, ia tatap kedua manik tegas Jessica. Wanita di hadapannya ini tidak pernah menuntut apapun darinya. "Juan, Apa kau mendengarku? Aku sedang bertanya padamu," tuntut Jessica padanya, untuk pertama kali. Selama ini yang ia lihat dari kepribadian Jessica hanyalah kerapuhan. Tapi malam itu, yang melihat sebuah ketegasan pada sorot mata wanita yang tidak pernah dianggapnya selama ini. "Untuk apa aku harus bertanya kepadanya. Itu hanya akan memperpanjang masalah. Aku cukup tahu apa yang sudah dia lakukan." Juan menghindar dari pertanyaan istrinya. Bukan karena dia tidak ingin memuaskan Jessica. Tapi Juan mengatakan yang sebenarnya, sikapnya bahkan sudah berubah pada Amber. Sudah tidak ada lagi kehangatan seperti sedia kala, hanya satu yang masih mengganjal di hati Juan. Amber selama ini hidup dalam keadaan yang tidak sehat. Juan hanya merasa kasihan dan ada rasa bersalah yang menghantuinya. Wanita itu, sampai sekarang masih menunggu Juan dengan setia. "Ah
Jessica takut jika ia mengijinkannya, maka ia akan terjerat kembali dalam pesona Juan selamanya. Dirinya sudah bertekad untuk bisa bersikap tegas dan menolak segala perasaan bodoh yang terus melemahkan dirinya. "Jess, apa kau tidak menginginkannya? Setalah dua hari, kau bebas melakukan apapun. Termasuk mengabaikan aku, bahkan membalaskan dendammu padaku," rayu Juan dengan seribu satu cara. Jessica terkunci dalam tatapan gelapnya Juan yang dalam. Bahkan tidak ada perlawanan yang berarti saat tangan Juan mulai menjelajah setiap lekuk tubuh Jessica. Dengan jelas Juan melihat tubuh Jessica meremang. Ia merasa dirinya bisa saja menang dan menaklukkan wanita cantik di hadapannya ini. "Jess, ku mohon," lirih Juan lalu menyapu wajahnya ke pipi Jessica. Jelas terdengar suara debaran jantung kedua anak manusia yang sedang tarik ulur. Dengan niatan yang bertolak belakang dengan akal sehat mereka. Saat bibir Juan mendarat di bibir Jessica, ia kembali berbisik. "Aku akan membawamu k
Tangan Xairuz terhenti di udara, ia tatap tidak percaya pada adiknya. Dilepaskannya tangan kerah baju Juan dan didorongnya tubuh Juan dengan kuat. "Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu? Kau mau kembali jatuh di lubang yang sama, Jess?" desis Xairuz menatap Jessica khawatir sambil memegang kedua bahunya. "Aku, akan baik-baik saja, Kak," bisik Jessica, menatap yakin wajah kakaknya. Ia lalu memeluk Xairuz dan mengusap punggung Xairuz, menenangkan kakaknya. "Aku akan baik-baik saja," bisik Jessica dan Juan tampak panas melihat kelakuan Jessica. Wanita yang sebenarnya sudah resmi menjadi mantan istrinya. Putusannya bahkan sudah turun tiga hari yang lalu, hanya saja, akta perceraian memang baru bisa diambil dua hari lagi. Xairuz menatap sendu pada Jessica dan Jessica menggeleng. "Tolong jangan, Kak. Ini hanya dua hari, setelahnya aku akan kembali ke mansion ini." Kembali Jessica meyakinkan kakaknya. "Kalau sampai dua hari kau tidak kembali, aku akan menghubungi papa, Jess," anc
Juan menggeleng dengan tegas. "Apa maksudmu hanya terbawa suasana?!" tuntut Juan tidak terima atas penilaiannya Jessica terhadap dirinya. "Aku, harus istirahat, Juan. Kumohon, pulanglah," pinta Jessica, lalu menarik turun tubuhnya dan berbaring sambil memejamkan kedua matanya. Juan kalut, ia tidak mau kalau Jessica mengabaikannya seperti ini. Hingga dirinya tersadar, jika selama ini, dialah yang selalu mengabaikan Jessica. Bersikap dingin dan bahkan tidak perduli jika Jessica menangis di tengah malam. Menganggap remeh perbuatan keluarganya pada Jessica. "Ternyata, diabaikan sangatlah tidak nyaman," gumam Juan yang terdengar di telinganya Jessica. Sambil melonggarkan kemejanya, Juan menghembuskan nafasnya kasar. "Jess, pulanglah denganku. Bukan ke rumahku. Tapi, ke apartemenku. Cukup dua hari saja, sampai kita mengambil akta perceraian kita, jika jalan untuk rujuk kembali kau tolak mentah-mentah." "Maaf, tapi aku tidak bisa," tolak Jessica masih dengan mata yang terpejam. "Kalau b
Tangan Juan langsung melayang dan bertemu dengan pintu. Ia masih sopan, mengetuknya walau dadanya sedang mengamuk bagai tsunami yang siap menyapu bersih apa saja yang ada di hadapannya. "Permisi, Tuan dan Nona, saya sudah mengantarkan tamu anda," ucap pelayan tersebut sambil menatap kesal pada Juan yang dianggapnya lancang mengetuk pintu, seharusnya dirinyalah yang mengetuk pintu tersebut. Jessica menoleh dan mengangguk anggun. Xairuz tampak berdiri di sisi ranjang Jessica bagaikan seekor anjing penjaga. Sungguh! Pemandangan yang jauh lebih memuakkan lagi bagi Juan. "Bisakah, kita bicara berdua?" Juan menatap Jessica dengan sejuta kerinduan dan kekhawatiran. Tatapan manis yang selama ini tidak pernah dilihat oleh Jessica. Tatapan seperti ini, biasanya hanya untuk Amber seorang, lalu kini ia pun mendapatkan tatapan yang justru membuatnya kesulitan bernafas. Seluruh tulang belulangnya terasa lunak dan otot tubuhnya lemas tak bertenaga dengan desiran darah yang mengalir kencang membu