Share

BAB 5. Kami Sudah Bercerai.

Kancing terakhir long coat Jessica pakai, menjadi sebuah perjuangan hebat saat dengan hati yang kacau menyadarkannya.

Pada akhirnya, menyerahkan keperawanan pun tidak lantas dapat membuat semuanya baik-baik saja.

Pernikahannya sudah terlanjur rusak, semua yang dibangun dengan pondasi kesalahan maka selamanya tidak akan bisa diperbaiki. Dengan langkah lebar, Jessica menarik dua koper besarnya.

Ia turuni anak tangga rumah mantan suaminya dan dengan perjuangan ia mengangkat koper besar itu untuk masuk ke dalam mobil rongsok yang selama ini menjadi kemuflase untuknya melindungi diri.

Jessica segera menyalakan mesin mobil tersebutdan segera keluar dari pekarangan rumah tersebut.

“Nyonya, ini masih subuh, anda mau ke mana?” tanya tukang kebun yang tampak sudah semakin menua.

“Selamat tinggal, Bono. Hanya kau satu-satunya orang yang paling baik selama aku tinggal di sini.”

“Jika suatu saat kau ingin resign dan mencari pekerjaan baru yang lebih ringan dengan bayaran yang lebih tinggi, jangan ragu untuk menghubungi aku,” ucap Jessi tersenyum ramah, seraya memberikan kartu namanya.

“Ba-baik, Nyonya,” jawab tukang kebun tersebun sambil menunduk hormat pada Jessica sambil menatap prihatin saat mobil itu meninggalkan jejak asap hitamnya.

Air mata menjadi bagian terakhir dari dirinya saat meninggalkan rumah tersebut. Sampailah Jessi di depan sebuah mansion yang tampak sangat megah dengan pagar menjulang tinggi.

Jessica menatap camera dan dengan jengah ia meminta kakaknya untuk membukakan pagar yang baru saja diganti kodenya.

“Xairuz, ini aku. Tolong buka pagar,” pinta Jessica dan tidak lama kemudian pintu pagar tersebut terbuka secara otomatis.

Ia memasuki pekarangan mansionnya dan memarkir mobilnya. Kakinya melangkah tidak seperti biasanya, menahan rasa nyeri saat menaiki tangga membuatnya tampak meringis dan menarik perhatian kakaknya.

“Apa yang terjadi sampai kau meringis seperti itu.” Suara bariton Xairuz membuat Jessica menghentikan langkah.

“Aku, baik-baik saja, Kak. Aku ingin membersihkan diri dan segera bersiap menuju ke kantor,” jawab Jessica, tersenyum kecut dan kembali berjalan melewati Xai yang menatapnya dingin.

“Apa suamimu tau, kalau pagi ini kau pulang ke rumahmu?” tanya Xairuz penuh selidik.

“Aku sudah bercerai dengannya, Kak.” Jessica kembali melangkah lebar dan tanpa ragu untuk masuk ke dalam mansion mewahnya.

“Benarkah? Kalau begitu, kau harus merayakannya denganku malam ini.” Xairuz langsung memeluk adiknya dari belakang.

Jessica tidak kuasa menahan diri untuk tidak tersenyum menatap kakaknya. Saat pelukan hangat saudaranya itu melingkar di tubuhnya, saat itu juga rasa sesak di dada Jessica menyeruak hebat dan terlampiaskan dalam bentuk sebuah tangisan pilu.

Luka tak berdarah dirasakan oleh Xairuz. “Tenangkan dirimu, berhentilah menangis dan siapkan dirimu. Sudah tiga tahun kau mengabaikan tugasmu sebagai CEO Perusahaan keluarga kita.” Jessica segera mengangguk.

“Baiklah, aku akan segera bersiap,” jawabnya.

“Dan, aku akan tetap menjemputmu nanti di Perusahaan. Kalau kau menolak, ini adalah perintah dari komisaris perusahaanmu.” Xairuz lantas segera mengacak rambut adiknya.

Sementara Jessica dengan berendam sambil mengingat kembali, apa yang telah ia lakukan bersama Juan. Pria yang kini sudah menjadi mantan suaminya itu terbangun dengan ranjang kosong di sisi kirinya.

Perlahan ia buka matanya, dengusan serta senyuman tipis menghiasi wajahnya sejenak. Sampai pada akhirnya ia sadar kalau dirinya hanya seorang diri di kamarnya.

Kedua koper besar yang semalam berisi penuh dan tampak berat itu sudah tidak terlihat. Ia langsung mengusap wajahnya dan segera bangun dari ranjang.

Tubuhnya bahkan masih polos tanpa sehelai benang pun, kamar mandi adalah tujuan pertama mencari keberadaannya Jessica. Tapi, wanita itu tidak ada di sana.

Mungkinkah dia ada di bawah, menyiapkan sarapan seperti biasanya? Sungguh Juan tidak sabar untuk turun dan segera bertemu dengan wanita yang meninggalkan jejak bercak darah kesuciannya di atas ranjang beralaskan kain berwarna putih tersebut.

“Mama, di mana Jessica?” tanya Juan sambil mengedarkan seluruh pandangannya di seisi rumahnya.

“Bukankah, harusnya mama yang bertanya di mana perempuan mandul itu padamu? Dia tidak turun membantuku hari ini.” Wajah wanita paruh baya itu tampak gusar.

“Dan, mobil rongsoknya juga tidak ada. Pak Bono bilang istrimu sudah pergi meninggalkan rumah kita, Juan. Bukankah itu berita yang sangat bagus?”

Cherris menaikkan sudut bibirnya, menunjukkan jeri payahnya selama tiga tahun akhirnya terbayarkan sudah, dengan perginya adik iparnya itu.

Kedua tangan Juan mengepal keras hingga seluruh buku-buku pada jarinya tampak memutih. Terlihat rahang tegasnya semakin mengeras dan suara gemelutuk membuat kedua wanita yang sedang berdiri di hadapannya bungkam seketika.

“Juan, baiknya … kau sarapan dulu. Jangan terlalu memikirkan wanita sialan itu, hem? Nanti malam, pergilah makan malam bersama Amber. Dia menanyakanmu tadi pagi, katanya dia tidak tidur semalaman karena menunggumu datang ke apartemennya,” tutur mamanya.

“Aku, tidak lapar,” balas Juan dan segera pergi dari rumahnya dengan hati yang panas.

Selama di dalam mobil, ia menahan rasa marahnya dan keinginannya untuk menghubungi Jessica.

Begitu dirinya sampai di kantornya, ia langsung mengabaikan asisten pribadinya dan segera melempar tas kerjanya ke sembarang tempat seraya mengambil ponsel dari saku celananya.

Tujuan pertama adalah menghubungi Jessica dan saat itu juga dengan emosi yang memenuhi isi kepalanya ia mencoba menghubungi Jessica.

Sayang, justru suara operator yang didengarnya. “Tommy, bisakah kau cari keberadaan Jessica?” titahnya pada asistennya saat ia masuk ke dalam ruang kerjanya.

“Tuan? Hari ini saya harus mengatur persiapan rapat penting anda dengan Menteri Pembangunan. Rapat tersebut akan diadakan tepat pukul tiga sore nanti, Tuan.” Tommy menolak secara halus tugas baru dari CEO-nya itu.

“For your information, Tuan. Akan ada perusahaan Xairuz Company yang bergabung. Kalau anda tidak datang sore nanti, maka prosek senilai seratuslima puluh juta dollar itu akan jatuh ke perusahaan yang menjadi musuh bebuyutan Mhyron Company sejak lima tahun yang lalu,” desah Tommy menyadarkan Juan yang langsung menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.

 “Sialan!” amuk Juan yang tidak punya pilihan selain mempersiapkan diri untuk menghadiri rapat penting tersebut.

“Pergilah Tommy, aku tidak menerima tamu hari ini.” Juan segera kembali ke meja kerjanya dan menunggu kapan jarum jam pendek menunjukkan pukul dua siang.

“Tuan, saatnya kita untuk rapat.” Ini adalah panggilan yang ditunggunya sejak tadi.

“Hem,” jawab Juan dengan dingin dan ia segera berjalan menuju ke ruang rapatnya.

Tampak, staf khusus Menteri sudah menunggu. “Apa kitab isa memulai rapatnya sekarang?” Juan bertanya seraya bersalaman.

“Kita tunggu lima menit lagi,” jawab pri berkaca mata tersebut pada Juan.

Tepat di menit ke empat, saat itu juga pintu terbuka. Wajah pria berambut coklat gelap dengan tulang pipi yang tinggi dan rahang kokohnya serta bibirnya yang tidak begitu tipis masuk ke dalam ruangan tersebut.

Wajahnya juga tampak dingin, tapi ramah. Ia menyapa Juan begitu juga dengan staf Menteri yang hadir.

Namun, bukan pria itu yang mengusik Juan dan membuat jantungnya hendak meledak saat itu. Melainkan wanita dengan pakaian semi formal, beralaskan make up natural yang telah tiga tahun tidak melekat dikulitnya.

Kini tampak sangat memancarkan aura kecantikan yang luar biasa. Ia menatap Juan, seperti orang asing dan Juan benci dengan sikap serta tatapan dingin wanita tersebut.

“Jessica?! Kenapa kau mematikan ponselmu, hem?!” desis Juan sambil berbisik saat mereka bersalaman.

“Tuan Myer, duduklah di kursi anda. Rapat akan segera dimulai,”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status