Share

BAB 3. Kesabaran Yang Telah Usai.

“Kau memecatku karena mama minta aku untuk menjadi istri rumahan?” tanya Jessica tidak percaya.

Padahal setau Jessica, Juan sangat menyukai wanita cerdas dan pekerja keras. Juan pernah bercerita kalau dirinya bukanlah dari kalangan keluarga kaya. Untuk sampai ke titik ini, Juan bekerja keras dan giat.

“Iya, mamaku ingin kau menjadi istri rumahan. Itu semua menjadi pilihanmu, Jessica. Kalau kau memilih untuk tetap bekerja di sini, maka tanda tangani surat cerai yang sudah aku berikan semalam.”

“Tapi, kalau kau masih mau mempertahankan kesepakatan kita, belajarlah untuk menjadi istri yang taat pada suamimu.” Juan kembali ke meja kerjanya, ia bekerja seolah tidak ada Jessica di ruangannya.

Jessica hanya bisa tertunduk dan segera berbalik meninggalkan ruangan suaminya serta kembali ke bilik kerjanya.

Di sana ia membereskan seluruh barang-barangnya, dimasukkannya semua ke dalam sebuah kotak kerdus.

Dengan susah payah ia berjalan sambil memegang kerdus yang membuatnya kesulitan melihat jalan.

Bukannya membantu, seorang pegawai usil melonjorkan kakinya di koridor dan membuat Jessica tersungkur. Ia menjatuhkan seluruh barang bawaannya.

Banyak yang menertawakan kemalangannya Jessica saat itu. Hanya ada dua orang pegawai magang yang datang bergegas monolongnya. “Kau, tidak apa?” tanya mereka.

“Aku, baik-baik saja,” jawab Jessica sambil tersenyum kecut.

Maka pulanglah Jessica ke rumah suaminya dengan terpaksa. Baru saja ia memarkir kembali mobilnya di dalam garasi dan masuk lewat pintu samping, ibu mertuanya langsung menyambutnya dengan melempar panci dan wajan kotor hingga mengenai kakinya.

“Akh!” pekik Jessica saat menatap bingung dengan sikap mertuanya itu.

“Ma? Ada apa? Kenapa, Mama melemparku dengan barang-barang ini?” tanya Jessica keheranan.

“Ada apa kau bilang?! Itu artinya bersihkan! Cuci semua panci kotor itu! Kau itu di sini hanya menjadi beban keluargaku.”

“Harusnya anakku akan menikah dengan wanita yang berada dan tidak menikahimu yang sangat licik dan miskin!” teriak ibunya Juan.

Jessica terdiam dan berusaha untuk sabar. Ia lalu melepaskan sepatu heals yang dipakainya untuk ke kantor.

Lalu diambilnya baju apron, dan ia segera memunguti seluruh panci dan wajan yang tergeletak di lantai tersebut.

Kejadian ini, awal dari dari segala penyiksaan secara mental yang Jessica rasakan. Tiga tahun sudah ia menikah dengan Juan. Kini, dirinya memiliki julukan baru di rumah itu yaitu perempuan mandul.

Bahkan kali ini, mertua dan kakak iparnya secara terang-terangan menunjukkan kebenciannya di hadapan Juan.

“Hai, mandul! Mau sampai kapan kau tidak memberikan aku seorang cucu, hem?! Kau memang wanita tidak berguna, sudah miskin, pengangguran.”

“Kerja di rumah juga tidak becus! Lantas, apa bisamu selain ngangkang saja di tempat tidur menggoda anakku, hem?!” desis mertuanya.

Jessica yakin Juan mendengar hinaan yang dilontarkan oleh lidah tajam ibunya itu. Tapi, Juan tetap bersikap dingin saat menuruni anak tangga rumahnya. Rasa lelah dan jengah mulai melanda seluruh jiwa raganya Jessi.

“Ini, minumlah jus jeruknya, Juan. Aku mohon, kali ini saja,” pinta Jessica yang menyodorkan gelas tersebut dengan menahan getaran di tangannya.

Ada sedikit rasa iba pada sorot matanya saat memandang Jessica yang kini sudah berwajah polos tanpa make up minimalis seperti dulu.

Mengingat julukan baru ibunya, ia sedikitnya merasa iba karena tidak mungkin Jessica bisa hamil kalau dirinya tidak pernah menyentuh wanita ini.

Demi mempertahankan sisi menusiawinya, Juan segera mengambil gelas dari tangan Jessica dan meneguk jus jeruk tersebut sampai tandas dari gelasnya.

Dikembalikannya gelas kosong tersebut, hingga merekahlah senyuman di wajah Jessica yang tampak pucat. “Terima kasih, Juan,” ucap Jessi tanpa dijawab oleh suaminya.

Betapa bahagianya hari ini, untuk pertama kalinya Juan mau meminum jus buatannya. “Juan, jam berapa hari ini kau akan pulang?”

“Aku akan membuatkan kue black forrest kesukaanmu. Bukankah, ini adalah hari ulang tahunmu?” Juan hanya menoleh sejenak.

“Kau, akan membuatkanku kue black forrest?” tanya Juan. Mendengar suara itu, jantung Jessica langsung berdebar kencang.

“I-iya, akankah kau pulang cepat malam ini?” Jessica kembali bertanya.

Juan hanya diam dan menatapnya datar. “Entahlah, aku tidak bisa menjanjikan apapun.”

“Tidak apa.” Jessica kembali tersenyum lebar sampai kakak iparnya datang membawakan telepon genggamnya dan memberikannya pada Juan.

Wajahnya tampak sumringah dan tiba-tiba saja, perasaan Jessica tidak enak saat itu. “Juan, Amber menghubungiku dan mengatakan akan tiba di Chicago nanti malam.”

“Dia akan datang ke perusahaanmu dan menjemputmu saat jam pulang kerjamu nanti,” ucap kakaknya Juan dengan wajah sangat cerah.

“Dia sudah sembuh total?” tanya Juan dengan kedua tatapan mata yang cerah dan memancarkan kebahagiaan sekaligus kerinduan tak tergambarkan.

“Iya, dia telah datang setelah sembuh total dan selamat dari wanita jalang yang sudah mencuri kehidupannya.” Cherris, kakaknya Juan sengaja menyindir tajam Jessica yang hanya terdiam dan mematung di tempat.

“Katakan padanya, aku bersedia menemuinya.” Juan tidak memiliki rasa sungkan sedikit pun di hadapan istrinya.

“Okay!” Cherris tampak sangat bahagia.

Juan segera pergi meninggalkan Jessica dan segera berjalan menuju ke garasi. Dari belakang Jessica berlari, mengejar Juan dan memeluk Juan dengan erat.

Ia lingkarkan kedua tangannya di pinggang Juan dan disandarkannya kepala di punggung Juan sambil terisak.

“Aku mohon, please … pulanglah, jangan pergi dengan siapapun. Selesai kerja pulanglah,” lirih Jessica.

Tangan Juan langsung melepaskan tautan tangan Jessica yang melingkar di perutnya. “Lepaskan, Jessica. Kau tidak berhak melarangku,” tegas Juan sambil mengeraskan rahangnya.

“Tapi, aku ini istrimu, Juan,” balas Jessica tidak mau menyerah.

“Kalau kau tidak suka, tanda tangani saja surat cerai itu dan pergilah dari rumahku. Kau, sama sekali tidak berhak melarangku atau mengaturku.”

“Ingatlah pernikahan ini adalah neraka juga bagiku. Bukan hanya bagimu, maka akhiri saja neraka ini dengan menandatangi surat cerai itu!”

Juan membentak Jessica yang sudah berderai air mata sambil mengepalkan kedua tangannya. Ia mendengar deru kendaraan Juan meninggalkannya bagai seonggok makhluk tidak berguna.

“Mampus! Kau pikir dengan segelas jus jeruk, bisa membuat adikku luluh padamu, hem?! Mimpi!” ejek Cherris lalu meninggalkan Jessica begitu saja.

Ia seorang diri di rumah itu, sedangkan ipar dan mertuanya tampak berdandan sangat cantik untuk menyambut kedatangan wanita dari masa lalunya Juan.

Jessica pun berlari menuju ke kamarnya, kesabarannya sudah di ambang batas normal. Ia masih menunggu Juan pulang seperti biasanya.

Namun, Juan tidak juga kunjung pulang. Hatinya seketika merasa cukup dan dengan teguh ia mengambil sebuah pena dari tasnya.

Ia lihat surat cerai yang sudah terbengkalai selama hampir tiga tahun di atas meja riasnya, seolah memohon untuk segera di tanda tangani.

Secepat keteguhan hatinya, secepat itu pula tangannya menuntun pena hitam menari di atas kertas dan menulis lengkap namanya.

Jessica lantas mengambil foto surat cerai yang sudah mendapatkan persetujuannya itu. Dan ia kirimkan pada Juan. “Kita, sudah resmi bercerai. Aku akan pergi dari rumahmu.”

Pesan itu langsung dibalas dengan cepat. ”Tunggu sampai aku pulang!” titah Juan dan Jessica masih memiliki hati untuk menunggu Juan yang pulang tepat pukul dua belas malam.

Ia masuk ke dalam kamar dengan langkah terhuyung menatap Jessica dengan tatapan bengis dan benci.

“Kau menyetujui perceraian ini setelah sekian lama? Apa rencanamu yang sebenarnya, hah?!”

“Kau tidak akan semudah itu melepaskanku! Kau pasti mengincar harta gono gini kan?!” tuduh Juan membuat kepala Jessica mundur ke belakang.

“Kau bau alcohol, Juan. Aku tidak akan bicara denganmu dalam keadaan mabuk seperti ini,” jawab Jessica dan segera berdiri hendak menarik koper yang sudah disiapkannya.

Amarah Juan memuncak. Ia buka dengan kasar kemeja yang dipakai oleh Jessica hingga membuat seluruh kancing bajunya bergelimpangan dengan malang di atas lantai.

“Juan, apa yang kau lakukan?!” tanya Jessica menatap ngeri pria di hadapannya ini.

Juan langsung mendorong Jessica ke atas ranjang dan untuk pertama kalinya, ia menatap tubuh indah Jessica.

Tangan kokohnya menarik tengkuk Jessica, dilumatnya bibir Jessica dengan rakus dan dilucutinya seluruh kain yang menutupi tubuh indah Jessi yang tidak pernah dijamahnya selama ini.

“Hentikan, ini adalah kesalahan. Hentikan, Juan,” cegah Jessi.

“Aku tidak akan melepaskanmu sebelum menjadikanmu selayaknya seorang istri. Aku menginginkanmu!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status