Kiran berhenti tepat di depan pintu. "Aku tahu kamu di luar. Apa yang kamu rencanakan?"
Fuadi berada di hadapannya, hanya saja terhalang pintu besar. Kiran tetap bisa melihatnya dari celah."Membunuh mereka semua ..."Duarrr!Teriakan bersahutan memenuhi telinga. Salah satu mesin meledak hingga dua orang terdekat terpental.Duarr!Disusul mesin lainnya terdengar ledakan. Semburan api menambah kepanikan orang-orang."Api! Api!"Kiran coba menggeser pintu. "Buka! Buka pintunya!" Digembok dari luar.Ini tidak bagus. Mereka semua saling mendorong berusaha ke luar dari gedung untuk menyelamatkan diri."Kamu pikir membunuh orang lain menuntaskan dendam kamu? Kamu salah.""Ini satu-satunya cara agar pria pemilik batu cempaka biru muncul. Hahaha!""Siapa dia!!" Kiran berteriak marah.Duarr!Kiran menutup kedua telinga. "Berhenti!!!"Alangkah tFuadi lari sekencang angin ribut sebelum tertangkap saksi mata. Roh jahat mengelabui Kiran dengan cara ke luar dari raganya kemudian merasuk lagi. Tap! Tap! Tap! Suara langkah sepatu bersahutan di lapangan titik kumpul. Fuadi dikejar oleh pria bermasker pemilik batu cempaka biru, Raka. Raka segera ke luar dari tempat persembunyian setelah mendapat info adanya penerobosan. Tidak lama Raka bersiap turun, alarm kebakaran dari pos depan berbunyi kencang. Dia menghubungi pemadam kebakaran kemudian menghubungi nomor Ranu. Melihat asap hitam muncul dari gedung A1, Raka berlari menuju ke sana. Di jalan antara gedung A1 dan A2 Raka berpapasan dengan Fuadi. Tanpa meminta keterangan siapa penyusupnya, Raka bisa merasakan energi roh jahat dalam diri Fuadi. Fuadi berputar arah ketahuan oleh Raka. Raka mempercepat langkahnya semakin dekat dengan Fuadi. Hap! Dengan kecepatan larinya, tak butuh waktu lama mengejar Fuadi. Raka menarik kerah belakang jaket Fuadi sehingga dia berhenti. Raka mem
Raka duduk di kursinya sembari mengangkat kedua kaki ke atas meja. Selama 4 tahun terakhir ia cuma mengawasi Kiran dari jauh. Sangat jauh. Kiran pun tak sadar diawasi olehnya. Sedari awal batu cempaka biru diberikan padanya sudah bermasalah. Sebisa mungkin keberadaan batu cempaka biru tidak diketahui roh jahat. Masalah yang ditimbulkan batu berenergi kuat ini mengakibatkan kesalahpahaman luar biasa. Meski berdampak buruk, Raka sedikit lega Vilas menyerahkan jimatnya. 4 tahun silam Raka menemukan keterlibatan Vilas dalam kematian Aina, sahabat mereka sekaligus kekasihnya. Rencana jahat pria tua bangka itu belum sirna sejak muda. Mengingat perdebatan antara anak dan ayah sangat membuat Raka jijik. "Kiran gak mungkin membunuh sahabatnya. Ayah, bukan? Ayah gak setuju aku dengan Aina, itu cukup menjadi alasan menyingkirkan dia." "Jaga mulut kamu, Raka! Apa sopan meninggikan suara di depan ayahmu sendiri! Hanya karena satu gadis pergi, kamu menuduh ayah melakukan hal mengerikan. Buat a
"Mau ke mana?" Ipda Aswin mendongakkan kepala melihat Cakra bangkit dari kursi memakai jaket. "Pergi lah," sahut Cakra melihat jam di meja menunjukkan pukul empat sore lebih lima belas menit. Ketua dari anak-anak nakal ikut bertanya, "Kamu sering bepergian." Antara heran dan menyindir. Harsa berdiri meletakkan kedua tangannya di pinggang. "Kasus PT SH sudah selesai. Apa ada yang masih mengganjal?" tanya Aswin. Dia mengadu ke Harsa, "Bapak tahu karakter Iptu Cakra. Dia suka bergerak sendiri tiap kasus yang kita tangani selesai. Beberapa hari kemudian, dia bawa orang gak dikenal dan orang itu dipenjara." Mereka rekan-rekan kantor sudah sekian kali menerima pelaku kriminal yang "tersembunyi" dalam setiap kasusnya dinyatakan tuntas. Aswin tertawa ingat dua bulan yang lalu Cakra menyeret peracik nark*ba ke polres dan mempertemukannya ke pengedar yang sudah tertangkap. "Mereka akhirnya ribut di persidangan. Haha." Harsa menyahut, "Bagi kamu lucu?" Alisnya terangkat. Aswin mengatupkan
"Siapa yang dia kejar?" Cakra melihat Kiran sedang mengikuti jejak seorang pria. Terakhir pria itu berbelok ke luar pintu yang tertutup tiang dalam lobi, cepat-cepat Cakra hentikan langkahnya. Cakra berdiri di hadapannya sehingga menghalangi pandangan. "Kasir bilang, buku yang kamu tanyakan bisa jadi sampel dari penulis yang gak terbit. Buku apa sih?" "Novel." "Ngapain kamu kejar dia?" "Kamu lihat?" "Dia teman kamu." "Mas Ranu??" Sedang apa dia di sini, tidak memberitahu dan bertingkah menghindarinya. "Postur badannya jelas dia. Saya bisa langsung tahu karena sering mencocokkan pelaku dari cctv. Sejauh apa pun objeknya, saya bisa lihat. Julukan saya mata elang." Kiran mendelik. "Kamu pikir Mas Ranu sama seperti pelaku kejahatan!" Cakra balas melotot dimarahi oleh anak kecil. "Kamu tahu dikira anak saya sama dua kasir di atas?" "Mereka anggap kamu tua, haha!" "Saya perhatikan kamu dan Ranu selalu bersama. Kalian secara kebetulan ada di sini juga. Dia pergi pas kamu datang. S
"Diam kamu!! Aku bukan putranya!!" Ditolak sebagai ayah oleh anaknya sendiri membuat Vilas belum membunuh Ranu atas apa yang dilakukannya selama ini walau di luar batas. Vilas membutuhkan Ranu karena Raka memintanya tetap berada di keluarga mereka. Dada Ranu sangat sesak hingga ia kesulitan bernapas. Perkataan Raka sangat berefek dalam tubuhnya. Raka sudah berjanji takkan mengungkit statusnya, mengapa dia sangat kejam padanya. "Dia pingsan?" gumam Raka. "Angga, bawa dia ke kamar." "Baik, Tuan." Angga memapah Ranu yang tak sadarkan diri menuju kamar pribadinya di bagian ujung. Selama ini Ranu ke rumah Raka jika ada sesuatu yang mendesak. Dominan terisi pertengkaran kakak beradik. "Anak itu sangat keterlaluan." Vilas tertatih kembali duduk memikirkan Ranu. Ekspresi maut Raka hanya bisa terlihat di belakang Vilas. Bagaimanapun kebencian pada Vilas tetap ada. Kedua putranya membenci Vilas dengan cara lain. Ranu sulit mengontrol emosi sedangkan Raka bermuka dua agar mengambil perha
Awal bekerja di PT SH, Ranu mempelajari tugasnya sebagai asisten manajer sangat cepat. Seluruh keturunan marga Hirawan memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan mampu beradaptasi dengan baik. Ranu sangat tidak percaya pada keluarganya yang sekarang. Baginya, Vilas dan Raka sama-sama gila. Jauh lebih berharga orang tuanya yang membesarkan dari kecil. Mereka menyayangi sepenuh hati, mereka bertiga tak pernah bertengkar. Lain halnya ketika Ranu disuruh kembali ke asal oleh orang tua angkatnya. Mulai dari dirinya menginjakkan kaki di rumah berlantai marmer dan dikelilingi interior mewah, semua kebahagiannya yang terkumpul lebih dari 21 tahun seolah direnggut. Larangan kecil hingga besar membuat Ranu berpikir susahnya menggapai hidup sempurna di mata orang luar. Reputasi keluarga harus dijaga baik-baik. Ranu mengekang permintaan pertama Vilas. Ayah kandungnya yang bermuka tebal itu hampir mengumumkan anak sulungnya kembali di rapat dewan pada tahun 2018. Bayangkan jika itu terjadi. Ran
Angga mengekori Vilas sepulang bekerja dari kantor pusat ke PT SH, lebih spesifiknya ke rumah Raka. Bertepatan Raka sedang menuruni tangga dikelilingi alunan biola dari pengeras yang terpasang tiap sudut agar lebih bersemangat menjelang jam akhir kerja. Pihak pertama yang menghampiri Raka di bawah tangga adalah Vilas. Raka memiringkan kepala, sebelah alisnya naik memandang serius Angga sembunyi di belakang punggung Vilas. Ia sama sekali tidak dapat kabar menjelang matahari terbenam bahwa Vilas mau datang ke rumah. Ranu mematikan musiknya melalui handphone yang terhubung ke speaker satu rumah. Angga menunduk kecolongan sibuk mengurus bosnya hingga lupa dia bekerja untuk siapa. "Seorang ayah bisa melihat putranya kapan saja," ujar Vilas. Raka tersenyum palsu, dalam hatinya mengumpat. "Jangan berdiri saja. Duduklah." "Gak usah, ayah cuma mengingatkan jangan ke luar rumah malam ini." "Memangnya aku pernah ke luar malam hari?" singgungnya kala Vilas berbalik setelah memberi pering
Cakra melongok ke semua bangku mobil, bahkan bagasi belakang, tak ada wujud Fuadi. Dia tidak ada di bangku kemudi maupun bangku penumpang apabila terpental usai mobil bertabrakan. Benar-benar kosong. Petugas divisi lalu lintas, sebut saja Ahmad, berlari kecil dari garis pembatas TKP yang sudah dipasang menuju ke posisi Cakra berdiri. "Pak Cakra, ada saksi yang melihat tersangka melarikan diri." "Ke mana?" tanya Cakra akan bergegas. "Tersangka belok ke jalan kanan." "Saya minta kerjasama kalian. Tetap jaga situasi di sini barangkali tersangka kembali." "Baik, Pak." Cakra bimbang harus pergi ke kanan atau kiri. Fuadi pergi ke lawan arah dari tempat tinggal Kiran, sementara dirinya cemas mengetahui Fuadi mengincar Kiran. Opsi pertama Cakra memastikan keadaan Kiran dengan cara menelepon langsung. Baru saja panggilan tersambung, Cakra menyerobot pertanyaan. "Kamu di mana? Di rumah?" Jarak antar alis Kiran berkerut heran tiba-tiba Cakra bertanya posisinya. "Bukan. Di perpustakaan u