Seorang perempuan berdiri di jendela kamar memandang keindahan cahaya peraduan yang menerangi langit malam. Kiran Nawasena, namanya memiliki arti indah, anak istimewa yang bercahaya dan mempunyai masa depan cerah. Selama 23 tahun, Kiran merasa hidup bagaikan kapal tanpa nakhoda, terombang-ambing dalam lautan kegelapan. Kepergian orang tuanya menjadi titik balik yang menghancurkan, membuatnya kehilangan arah dan mempertanyakan makna eksistensinya. Sejak saat itu, ia menjalani hari-hari dengan rasa hampa, seolah hanya menanti waktu untuk berlalu Trauma masa lalu atau pengalaman pahit menjadi alasan di balik sikap pendiam dan tertutup Kiran. Ia membangun tembok pelindung untuk menghindari rasa sakit yang pernah ia alami. Keengganannya untuk bergantung pada orang lain merupakan cara baginya untuk merasa aman dan terkendali. Kiran sadar bahwa masalahnya begitu berat hingga sulit untuk dipahami orang lain. Dia khawatir jika orang-orang akan menjauh darinya. Kiran meyakini bahwa dunia ini
“Kamu tahu dari siapa?” bisiknya, ketakutan meluap. Tidak ada yang tahu Ria sudah bersuami. Ria mengajukan berkas ke Pengadilan Agama beberapa hari lalu dan surat balasan tiba kemarin pagi. Ria tidak sengaja membawa suratnya sebab tidak sempat dibuka di rumah dan lupa dibawa pulang alias tertinggal di laci mesin semalaman. “Aku janji gak akan bilang siapa-siapa,” ujar Kiran meyakinkan. Dia mengerti betul betapa pentingnya menjaga privasi soal perceraian ini. Informasi sensitif seperti ini bisa menyebar dengan sangat cepat, apalagi di era digital sekarang. Kiran merasa tidak etis untuk menyebarkan informasi pribadi orang lain. Kiran mengaduk es kopinya pelan-pelan, matanya sesekali melirik Ria. Aura ceria yang biasanya menghiasi wajah Ria kini tampak redup. Dia tahu pasti Ria sedang merasa sedih. “Aku harap kalian bisa menemukan jalan keluar terbaik untuk kalian berdua.” Mendapat kalimat dukungan yang searah dengan keinginannya, Ria terharu sampai matanya berkaca-kaca. Wajah Kiran
Kiran menyaksikan kekacauan itu dengan senyum licik. Ia menoleh ke Ria, “Menarik, bukan?” Suaranya dingin menusuk. “Ngawur kamu!” tukas Ria, namun Kiran tetap diam. Tatapannya kosong, seolah tengah menatap ke dalam jiwa yang asing. Gataka, entitas yang kini menguasai tubuhnya, perlahan mulai mengambil alih kendali. Di dalam kegelapan Gedung A1, hanya ada mereka berdua dan keheningan mencekam yang semakin menekan. Gataka menyeringai puas. "Sekian lama aku menunggu ..." “Bicara apa kamu, ayo ke luar!" Ria dibuat merinding, dia sangat benci semua hal menakutkan apalagi dunia perhantuan. Setelah Ria berhasil menyeret paksa Kiran ke luar gedung berkumpul bersama yang lain, para atasan mengadakan briefieng dan memutuskan memulangkan karyawan lebih cepat karena kerusakan jaringan listrik. Ria amati ada yang aneh dari Kiran. Sebelumnya memang sudah aneh dan sekarang makin aneh. Bahkan senyum tipis Kiran terlihat misterius. “Tunggu di sini, aku ambil tas kita di loker.” Ria masuk meng
"Jangan terlalu dekat dengan Kiran.” Itu terdengar ancaman daripada saran. Ria mengerutkan kening, matanya menyipit curiga. “Memangnya kenapa? Kiran bahaya buat aku? Gini deh, kamu boleh bilang begitu kalau kalian saling kenal. Tapi, siapa kamu melarang aku berteman dengan Kiran? "Mungkin bukan sekarang ucapan saya terbukti. Kalau penasaran maksud perkataan saya, silakan terus berteman." Ranu tersenyum miring, matanya berkilat tajam. Sebelum Ranu berbalik, Ria melihat lelaki itu tersenyum mencurigakan. "Gila ya.” Suaranya sedikit bergetar. *~* Kiran terbangun dengan kepala terasa berat, tubuh lemas. Ingatan terakhirnya adalah beradu pandang dengan Gataka di pabrik. Saat itu, hawa aneh menyeruak, dan seketika ingatannya menjadi gelap. Tulisan tangan “purnama” di kalender seakan menjadi petunjuk samar, menguatkan dugaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Kiran mengerang frustasi di bawah selimut, lalu tidak lama dia mendengar teriakan keras seseorang memanggil namanya dari luar.
"Kalau begitu jangan nolak kalau saya mau kenalan sama kamu,” jawab Ranu tak kalah cepat. Kiran mengamati Ranu dengan seksama, mencoba membaca pikiran di balik kunjungan ini. “Kamu enggak ingat kejadian semalam, kan?” Ranu menyeringai, matanya berbinar senang. Udara di antara mereka menegang. Kiran tak menyangka pria di depannya mengetahui rahasia itu. “Dia dirasuki roh jahat,” bisik Ranu kepada Ria, membocorkan rahasia yang selama ini Kiran sembunyikan. Ria mengarahkan pandangan ke mana telunjuk Ranu menunjuk Kiran yang tidak menjawab maupun menyangkal ucapannya. Mata Kiran membelalak terkejut, bingung, bagaimana pria itu bisa tahu. Ria sudah berusaha semaksimal mungkin menahan tawa, tapi Ranu sungguh konyol. “HAHAHA! Apa kamu bilang??” Perutnya sampai kram tertawa terlalu kencang. Kiran mengerjap ketika Ranu ikut tertawa mengimbangi Ria hingga ia bertanya-tanya siapa yang waras dan siapa yang gila. Ranu menepuk bahu Ria dan lanjut bicara. “Kamu ketawa karena merasa semalam
19 tahun silam sewaktu Kiran berumur 4 tahun. Ia dan Sang Ayah, Tarendra Nawasena, sedang berada di halaman bermain Taman Kanak-Kanak. Kiran duduk tenang di ayunan sambil menyedot susu kotak mengamati Tarendra yang berdiri sedikit jauh darinya sedang menjawab telepon. “Apa enggak ada cara lain?” Suaranya terdengar berat, menggambarkan kegelisahannya. Kaca kelas itu seperti sebuah jendela ke dunia lain bagi Kiran. Ia melihat ayahnya dengan jelas, namun bayangan dirinya sendiri seperti menghilang. Rasa penasaran yang besar mulai tumbuh di benak balita itu. “Ayah ..” “Nanti saya telepon lagi.” Tarendra langsung mengakhiri panggilan, lalu menghampiri dan berjongkok di depan Kiran. “Kenapa? Kamu butuh sesuatu?” Tarendra tersenyum lembut, pancaran matanya penuh kasih sayang. Kiran mengangkat wajah cemberut menunjuk lurus kaca kelas. “Kenapa cuma bayangan Ayah yang ada di sana?” Keheningan menyelimuti mereka. Tarendra menunduk sejenak, mencari jawaban yang tepat di dalam dirinya. Per
“Lama tidak jumpa.” “Sampai kapan penderitaan Kiran harus berlanjut?” Tarendra berbisik lirih, tatapannya kosong ke depan. “Aku mohon tinggalkan Kiran ...” “Kamu juga tahu akibatnya kalau aku pergi dari tubuhnya. Anggap saja simbiosis mutualisme. Kiran akan terus hidup, aku pun begitu.” “Tolong beritahu cara lain supaya Kiran bisa tetap hidup,” lirih Tarendra putus asa. “Selama aku menyerap energi Kiran, kami tetap bersama. Tidak ada yang mati. Menguntungkan, bukan?” Tarendra terbelalak tak percaya. Gataka, menyedot energi Kiran? Kemarahannya membuncah, bagai api yang siap melahap segalanya. Ingin sekali ia menyergap makhluk itu, namun tubuhnya terasa lumpuh, terbelenggu oleh kepedihan yang mendalam. “Apa kesalahan Kiran, sampai kamu ... Hahh!” Air mata Tarendra mengalir deras, dia bersimpuh tak berdaya di bawah kaki roh jahat. “Kalau begitu ganti jaminannya. Bagaimana kalau diganti ... Hm, nyawa Anda, Tuan Tarendra Nawasena?” Wajah Tarendra mendongak, saat mata mereka beradu p
Hanya sempat memejamkan mata selama 4 jam, Kiran buru-buru berangkat kerja 10 menit lebih awal. Niatnya, mampir dulu ke warung kopi langganannya. Namun, tak disangka, sosok Ria sudah berdiri di depan gang, mata mereka membulat terkejut. Sewaktu melihatnya, Ria tersenyum ceria menghampiri Kiran. Dia mengalungkan tangannya di lengan Kiran lalu mengajak berangkat bersama. “Aku mau mampir beli kopi dulu,” ucap Kiran selagi melangkah beriringan. Ria mengangkat totebag transparan yang berisi tumbler dan bekal makan. “Aku sudah bawa. Kalau bilang aku bikinin sekalian.” Setelah Kiran membeli es kopi, Ria ketahuan sedang memperhatikan jalan. “Nunggu siapa?” tanya Kiran, jika ia tak bersuara mungkin Ria belum sadar Kiran berdiri di sampingnya. Matanya ikut melihat motor karyawan berlalu lalang memasuki gerbang pabrik. Ria terlihat agak terkejut tatkala Kiran bertanya, namun dengan cepat dia menggelengkan kepala. “Enggak nunggu siapa-siapa,” sangkalnya jalan lebih dahulu. Bagaimana pun R
“Aku yang akan urus sisanya. Kalian pergilah dari sana.”Cakra hanya menjawab singkat, “Hm, aku paham.” Usai percakapan usai, dia kembali menatap Angga. “Raka bilang dia akan mengurus sisanya. Kita harus pergi dari sini,” ucap Cakra, suaranya terdengar parau. Angga hanya mengangguk, matanya kosong. Mereka kembali ke mobil masing-masing, melaju meninggalkan tempat kejadian, meninggalkan semua masalah di belakang.Pintu bangsal terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sagara yang sedang bersama Putri. Mereka selesai melakukan perawatan ringan akibat menghirup banyak asap.Sagara tersenyum lemah saat melihat Cakra dan Angga. “Terima kasih kalian sudah datang,” ujarnya lirih. Angga tersenyum singkat. Cakra berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati interaksi antara Sagara dan Angga. Dia menyadari, ada ikatan yang kuat di antara mereka.Putri melangkah mendekati Angga, tangannya mengepal erat. Dengan cepat, dia melayangkan tamparan keras ke pipi Angga hingga meninggalkan bekas merah.
Anwalira duduk di tepi kasur, matanya menatap keluar jendela. Cahaya matahari menembus celah tirai, menerangi wajahnya yang pucat. “Aku sudah memutuskan. Malam ini, aku akan pergi.” Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati. “Aku lelah menderita. Aku ingin bebas. Mungkin ini jalan keluar terbaik.” Jari-jarinya meremas sprei kasur dengan erat, seakan-akan ingin mencengkeram harapan terakhir.Anwalira tersenyum tipis. Rasanya baru pertama kali dia bangun tanpa harus buru-buru menyiapkan diri untuk bekerja. Biasanya, dia akan merasa terbebani dengan semua tugas yang menumpuk. Tapi hari ini, hatinya terasa ringan. Namun, di balik rasa senangnya itu, ada juga sedikit keanehan. Kenapa orang tuanya tidak membangunkannya seperti biasa? Apakah ada sesuatu yang terjadi?Anwalira menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sekuat tenaga menarik gagang pintu. “Tidak mungkin!” gumamnya, kecewa. Dia menggedor-gedor pintu, suaranya bergema di dalam rumah. “Buka pintunya! Kenapa kalian men
Perjanjian awal, tahun 2000...“Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban.Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya.Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga.Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan.“Mengapa tidak memilih sec
Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb
Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem
Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.
Raka yang melihat keterkejutan Ranu, mengerutkan kening. “Kenapa?” tanyanya, suaranya sedikit meninggi. “Cepat pergi ke sana!” Raut wajahnya serius, mencerminkan keheranannya melihat Kiran berdiri di depan rumah mereka. “Kamu sudah tahu Raka anak Vilas tapi masih di sisinya?” Ketus Kiran, suaranya menusuk seperti belati. Raka menunduk, kepalan tangannya mengepal erat. Setiap kata yang terlontar terasa seperti tamparan keras di hatinya. Ranu mencoba menenangkan Kiran, mengajaknya bicara di luar. Namun, Kiran menepis tangannya kasar. “Kamu lupa perbuatan Vilas?” “Aku ingat semuanya,” jawab Ranu, suaranya terdengar lemah. “Kamu ingat, tapi apa ini?” Kiran menunjuk ke arah Raka. “Raka gak salah,” bela Ranu, menghela napas berat. “Dia tetap diam mengetahui perbuatan keji ayahnya, dan kamu tetap membelanya?” Mendengar mereka beradu argumen, hati Raka terasa seperti diiris-iris. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mengancam jatuh. Ranu menoleh, matanya dipenuhi ras
Mentari tepat di atas kepala saat Raka melangkah keluar rumah. Pakaiannya yang rapi kontras dengan suasana pagi yang tenang. Ranu yang memperhatikan dari balik tirai, hanya bisa menggelengkan kepala. Tanpa pikir panjang, Ranu menyalakan mobil dan mengikuti Raka dari belakang. Jalanan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Sesampainya di tujuan, Ranu memilih tempat parkir yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Huruf-huruf ‘Hirawan Group’ yang berkilau di gedung pencakar langit itu seakan-akan menjanjikan kemewahan tak terbatas. Di layar kaca, kehidupan keluarga kaya raya selalu digambarkan sempurna. Namun, kenyataan yang mereka alami jauh berbeda. Kehidupan di balik merek besar itu bagai naskah drama yang sudah dihafalkan, membosankan dan penuh kepalsuan. Kacamata gelap dan masker telah menyamarkan wajahnya, rambutnya yang biasanya rapi kini dibuat acak-acakan. Ranu merasa yakin takkan ada yang mengenalnya. Namun, saat tubuhnya condong untuk membuka pintu mobil,
Cakra adalah sosok yang kuat dan bertanggung jawab, namun di balik itu semua, dia juga memiliki hati yang lembut. Dia pernah merasakan kehilangan seperti Kiran, dan ia percaya Cakra akan menjaga Ria dengan sepenuh hati. Saat melintasi jalan, Kiran berjalan berlawanan arah dengan seorang pria dewasa. Setiap langkahnya terasa begitu nyata, seolah gema langkahnya bergema di telinganya. Dan kemudian, ia melihatnya—sebuah cahaya biru samar mengelilingi mereka berlima, berkedip redup seperti kunang-kunang. Dari mana cahaya itu berasal? Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Pria dewasa itu memancarkan aura yang berbeda. Perisai cahaya biru itu seolah menempel erat pada dirinya, mengikuti setiap langkahnya. “Mungkin aku salah lihat,” gumam Cakra, “Pria tadi mirip dengan Sagara.” Dia pernah melihat foto masa muda Sagara Paramayoga di buku terbitan Bianca Rezmee Kiran tersentak, langsung membalikkan badan ingin mengejar. Namun, Cakra menahannya, “Mau ke mana? Lampu hijau tinggal