"Jangan terlalu dekat dengan Kiran.”
Itu terdengar ancaman daripada saran. Ria mengerutkan kening, matanya menyipit curiga. “Memangnya kenapa? Kiran bahaya buat aku? Gini deh, kamu boleh bilang begitu kalau kalian saling kenal. Tapi, siapa kamu melarang aku berteman dengan Kiran? "Mungkin bukan sekarang ucapan saya terbukti. Kalau penasaran maksud perkataan saya, silakan terus berteman." Ranu tersenyum miring, matanya berkilat tajam. Sebelum Ranu berbalik, Ria melihat lelaki itu tersenyum mencurigakan. "Gila ya.” Suaranya sedikit bergetar. *~* Kiran terbangun dengan kepala terasa berat, tubuh lemas. Ingatan terakhirnya adalah beradu pandang dengan Gataka di pabrik. Saat itu, hawa aneh menyeruak, dan seketika ingatannya menjadi gelap. Tulisan tangan “purnama” di kalender seakan menjadi petunjuk samar, menguatkan dugaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Kiran mengerang frustasi di bawah selimut, lalu tidak lama dia mendengar teriakan keras seseorang memanggil namanya dari luar. “KIRAN!!” Kiran menyingkap selimut. “Mirip suara Ria.” Ia melompat dari atas kasur dan melangkah ke pintu depan. Indera pendengaran Kiran tidak salah. Ria betul-betul ada di rumahnya dan terlihat sangat bahagia dan ceria. Energi yang Ria pancarkan mengalahkan cahaya mentari. Ria melambaikan tangan semangat menyapa Kiran yang menuruni anak tangga menuju pagar untuk bertemu dengannya. Kiran membuka kunci dalam pagar kemudian bertanya, “Kok kamu tahu rumah aku di sini?” “Kamu sendiri yang nunjuk jalan semalam,” sahut Ria mengerjap heran, cepat sekali dia lupa. “Kosan aku di depan sana tuh,” sambungnya, menunjuk ujung jalan yang tidak terlalu jauh. Pasti Kiran terlihat bodoh karena ternyata dirinya sendiri yang menunjukkan rumahnya. Dugaan kuat bahwa Kiran dirasuki ternyata benar. Sekarang sudah jelas Ria berinteraksi dengan entitas jahat bernama Gataka yang merasuki tubuhnya semalam, tapi Ria tidak sadar. “Ingat semalam aku jadi takut masuk kerja nanti. Ih, merinding!" Ria memeluk tubuhnya sendiri seraya mengusap lengan. "Merinding kenapa?" Kiran memegang kepalanya dengan satu tangan sedikit meremas rambut gusar terjadi hal buruk. "Baru kali ini lampu dalam gedung pada kedip-kedip terus pecah.” Kalau diingat lagi, mereka seperti sedang syuting film horor. “Pe-pecah?” Alis Ria bertaut rapat membuat gelisah lawan bicara. “Tapi, Kiran ... semalam kamu aneh.” Keanehan itu sulit dijelaskan. Ria lebih tidak mempermasalahkan sebab pada dasarnya anak itu sudah aneh. “Aku gak apa-apain orang lain, kan?” tanya Kiran jaga-jaga. Ria terkekeh bergurau, “Kenapa juga kamu apa-apain orang lain, cuma aku teman kamu.” Rasanya Kiran ingin bersujud syukur tidak melukai orang lain. Ria ingin pamit, namun tingkah laku Kiran semakin membuatnya bingung. Dia sama sekali tidak membahas tentang Ranu seolah-olah pertemuan mereka tadi malam tidak pernah terjadi. "Kiran, sejak kapan kamu kenal Ranu?” Kiran mengulang nama yang Ria sebutkan. “Ranu siapa?” “Asisten Manajer Operasional gedung kita, Gedung A1, Pak Ranu.” Ria menerangkan jabatannya. “Atasan yang sering bolak-balik cek line kita? Aku gak kenal,” elak Kiran terus terang. Mengapa Ria bertanya soal Ranu kepada Kiran yang tidak kenal siapa pun di pabrik, apalagi asisten manajer. Dengan leader-nya sendiri saja Kiran jarang berinteraksi. Sebagai pemilik rumah, Kiran tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Silsilah pertemanan dari kecil hingga beranjak dewasa bisa dihitung satu sampai dua saja. Tidak pernah ia kenal dengan lelaki bernama Ranu itu. Ria mau menggoda tapi sepertinya Kiran sangat bingung diajak bicara. “Kayaknya dia modus, cari perhatian ke kamu." "Apa?" Tangan kanan Kiran berpegangan ke pagar, tangan kirinya memegang perut tertawa mendengar itu. "Buat apa, haha." Suara langkah kaki seseorang terdengar semakin dekat. Mereka saling bertukar pandang mencari sumber suara. Kiran mengeryit, heran ada orang jogging jam 2 siang. Herannya bertambah saat melihat reaksi Ria berlebihan. Mulutnya menganga lebar, rahangnya hampir lepas dari tempatnya. "Kondisikan muka kamu," bisik Kiran tepat di telinga Ria. "Ranu!” teriak Ria sumringah. Giliran Kiran menutup mulutnya yang menganga waktu Ria mengenali dan memanggil nama lelaki itu. Rupa pria yang baru saja dibahas telah ada di hadapan mereka. Celana jogger, kaos oblong abu-abu, sepatu putih, dan wajah menawan membuat mata Ria meningkat tajam tidak bosan memandanginya. Ranu berdiri di depan mereka lalu menjentikkan jari di depan wajah Ria agar sadar dari lamunan. “Ada apa panggil saya?” Ria tersadar setelah punggungnya ditepuk Kiran. "Eh?” Dirinya lantas berusaha akrab padahal baru dua kali pertemuan. “Kenapa gak ajak jogging bareng?” Pertanyaan itu membuat Kiran menggeleng heran. “Biasanya perempuan susah diajak olahraga," balas Ranu apa adanya. “Aku gampang, kok!” “Ayo, saya masih tiga putaran lagi.” Ranu mengajaknya langsung di tempat selagi bertemu secara kebetulan. Jika dihitung, tiga putaran setara tiga kilometer. Kiran seketika memperingatkan sahabatnya supaya mengurungkan niat. “Lumayan jauh itu. Jogging tiga kilometer lutut kamu pasti gak kuat.” Masalah itu Ria juga tahu. “Aku cuma basa-basi, mana tahu diajak betulan.” Selagi mereka berkumpul, Kiran melontarkan pertanyaan. “Ria cerita kamu semalam nunggu di depan rumah aku. Ada apa ya?” Sorot tajam Ranu ke arah Kiran. “Nunggu kamu." “Kita bahkan gak saling kenal,” jelas Kiran dengan cepat menjawab. "Kalau begitu jangan nolak kalau saya mau kenalan sama kamu,” jawab Ranu tak kalah cepat. Bersambung..."Kalau begitu jangan nolak kalau saya mau kenalan sama kamu,” jawab Ranu tak kalah cepat. Kiran mengamati Ranu dengan seksama, mencoba membaca pikiran di balik kunjungan ini. “Kamu enggak ingat kejadian semalam, kan?” Ranu menyeringai, matanya berbinar senang. Udara di antara mereka menegang. Kiran tak menyangka pria di depannya mengetahui rahasia itu. “Dia dirasuki roh jahat,” bisik Ranu kepada Ria, membocorkan rahasia yang selama ini Kiran sembunyikan. Ria mengarahkan pandangan ke mana telunjuk Ranu menunjuk Kiran yang tidak menjawab maupun menyangkal ucapannya. Mata Kiran membelalak terkejut, bingung, bagaimana pria itu bisa tahu. Ria sudah berusaha semaksimal mungkin menahan tawa, tapi Ranu sungguh konyol. “HAHAHA! Apa kamu bilang??” Perutnya sampai kram tertawa terlalu kencang. Kiran mengerjap ketika Ranu ikut tertawa mengimbangi Ria hingga ia bertanya-tanya siapa yang waras dan siapa yang gila. Ranu menepuk bahu Ria dan lanjut bicara. “Kamu ketawa karena merasa semalam
19 tahun silam sewaktu Kiran berumur 4 tahun. Ia dan Sang Ayah, Tarendra Nawasena, sedang berada di halaman bermain Taman Kanak-Kanak. Kiran duduk tenang di ayunan sambil menyedot susu kotak mengamati Tarendra yang berdiri sedikit jauh darinya sedang menjawab telepon. “Apa enggak ada cara lain?” Suaranya terdengar berat, menggambarkan kegelisahannya. Kaca kelas itu seperti sebuah jendela ke dunia lain bagi Kiran. Ia melihat ayahnya dengan jelas, namun bayangan dirinya sendiri seperti menghilang. Rasa penasaran yang besar mulai tumbuh di benak balita itu. “Ayah ..” “Nanti saya telepon lagi.” Tarendra langsung mengakhiri panggilan, lalu menghampiri dan berjongkok di depan Kiran. “Kenapa? Kamu butuh sesuatu?” Tarendra tersenyum lembut, pancaran matanya penuh kasih sayang. Kiran mengangkat wajah cemberut menunjuk lurus kaca kelas. “Kenapa cuma bayangan Ayah yang ada di sana?” Keheningan menyelimuti mereka. Tarendra menunduk sejenak, mencari jawaban yang tepat di dalam dirinya. Per
“Lama tidak jumpa.” “Sampai kapan penderitaan Kiran harus berlanjut?” Tarendra berbisik lirih, tatapannya kosong ke depan. “Aku mohon tinggalkan Kiran ...” “Kamu juga tahu akibatnya kalau aku pergi dari tubuhnya. Anggap saja simbiosis mutualisme. Kiran akan terus hidup, aku pun begitu.” “Tolong beritahu cara lain supaya Kiran bisa tetap hidup,” lirih Tarendra putus asa. “Selama aku menyerap energi Kiran, kami tetap bersama. Tidak ada yang mati. Menguntungkan, bukan?” Tarendra terbelalak tak percaya. Gataka, menyedot energi Kiran? Kemarahannya membuncah, bagai api yang siap melahap segalanya. Ingin sekali ia menyergap makhluk itu, namun tubuhnya terasa lumpuh, terbelenggu oleh kepedihan yang mendalam. “Apa kesalahan Kiran, sampai kamu ... Hahh!” Air mata Tarendra mengalir deras, dia bersimpuh tak berdaya di bawah kaki roh jahat. “Kalau begitu ganti jaminannya. Bagaimana kalau diganti ... Hm, nyawa Anda, Tuan Tarendra Nawasena?” Wajah Tarendra mendongak, saat mata mereka beradu p
Hanya sempat memejamkan mata selama 4 jam, Kiran buru-buru berangkat kerja 10 menit lebih awal. Niatnya, mampir dulu ke warung kopi langganannya. Namun, tak disangka, sosok Ria sudah berdiri di depan gang, mata mereka membulat terkejut. Sewaktu melihatnya, Ria tersenyum ceria menghampiri Kiran. Dia mengalungkan tangannya di lengan Kiran lalu mengajak berangkat bersama. “Aku mau mampir beli kopi dulu,” ucap Kiran selagi melangkah beriringan. Ria mengangkat totebag transparan yang berisi tumbler dan bekal makan. “Aku sudah bawa. Kalau bilang aku bikinin sekalian.” Setelah Kiran membeli es kopi, Ria ketahuan sedang memperhatikan jalan. “Nunggu siapa?” tanya Kiran, jika ia tak bersuara mungkin Ria belum sadar Kiran berdiri di sampingnya. Matanya ikut melihat motor karyawan berlalu lalang memasuki gerbang pabrik. Ria terlihat agak terkejut tatkala Kiran bertanya, namun dengan cepat dia menggelengkan kepala. “Enggak nunggu siapa-siapa,” sangkalnya jalan lebih dahulu. Bagaimana pun R
Gataka mendekat, matanya berkilau aneh dalam cahaya remang. Dia meraih pergelangan tangan Ranu, jari-jarinya menyentuh kulitnya dengan lembut namun mencekam. “Hadiah dariku,” bisiknya, suaranya bergetar dengan emosi yang tak terbaca. Cahaya menyilaukan memenuhi pandangan Ranu saat dia terjebak dalam kilas balik mengerikan. Suara bising tabrakan dan pecahan kaca memenuhi telinganya, tubuhnya terasa remuk saat mobil dihantam truk dari belakang. Dunia yang dibuat Gataka terasa begitu nyata hingga membuat Ranu sesak napas saat melihat orang tuanya meninggal berlumuran darah di tempat. Gataka menertawakan raut ketakutan Ranu padahal kenyataannya dia tidak berada di kendaraan yang sama dengan orang tuanya saat kecelakaan terjadi. “Kamu selalu penasaran bagaimana kecelakaan itu terjadi. Sekarang sudah aku perlihatkan. Kamu suka hadiahku?” tanyanya, meremehkan pria lemah yang sedang bersandiwara di hadapan dunia. Ranu menepis tangan Gataka dengan kasar, lalu bergerak cepat menarik kera
“Lama tidak jumpa, Kiran.” Kiran menarik napas panjang. "Jangan libatkan mereka." Suara Gataka menyahut dingin, “Tidak mau.” Kiran mengerutkan kening. “Apa mungkin, kamu menginginkan sesuatu dari mereka?” “Kita berbagi tubuh ini, tapi kenapa kamu tidak memahami keinginanku?” tanya Gataka meremehkan. “Karena kita berbeda ...” lirihnya, dingin lebih menusuk. Ekspresi Gataka tampak suram tidak menyukai ucapan Kiran. “Apa tadi permintaan? Jangan melibatkan mereka,” ucap Gataka, membahas percakapan awal. "Ancaman.” Gataka tertawa kecil, menatap tajam inangnya yang gemetar ketakutan. “Seperti katamu, kita berbeda. Kamu bukan tandinganku.” Kiran meremas dadanya, napasnya tersengal. Matanya memerah, menatap Gataka dengan kebencian yang mendalam. “Sebelum memanggilku, seharusnya kamu memikirkan akibatnya dengan matang,” ujar Gataka dengan nada meremehkan. Senyum liciknya semakin lebar saat melihat Kiran meringis kesakitan. “Sekarang, kamu harus menanggung akibat dari kebodoh
Tiap tengah malam menjelang waktu istirahat, petugas keamanan atau satpam melakukan patroli di beberapa gedung. Pak Imron, ditugaskan berkeliling di Gedung A1. Saat melewati bagian belakang gedung, tanpa sengaja beliau lihat gundukan tanah memanjang di kebun sebelah kamar mandi. Pak Imron mengambil HT (Handy Talky) yang digunakan untuk komunikasi dengan satpam lain. “Imron A1, ganti." "Ada apa, Pak Ron?" Pak Imron bertanya, “Pak Uspi, ini ada yang gali tanah buat nanam tanaman ya?” 'Gak ada laporan masuk soal itu, Pak Ron.” “Oh begitu.” Pak Imron lewat namun merasakan janggal. Di samping kebun, ada kamar mandi perempuan yang berdekatan dengan line proses awal. Pak Imron menyorot lurus ke arah karyawati yang naik menginjak rerumputan, mau melempar sampah masuk ke tong sampah. "Ya ampun, Neng! Ada papan gede 'Dilarang Menginjak Rumput' masih diinjak juga. Turun, turun!" Setelah karyawati tersebut menoleh, rupanya si Ria yang tertangkap basah, nyengir pula sudah salah,
“Apa ada orang yang bisa mengkonfirmasi alibi kamu?” tanyanya sebatas formalitas. Ria berpikir keras mencari alasan yang bisa memperkuat alibi Kiran. “Kebetulan kalian di sini. Alibi saya harus dikonfirmasi juga, kan?” Ranu melangkah maju, matanya berkilat tajam. Dengan satu kalimat, dia berhasil mengubah keadaan. “Kami ada urusan pribadi. Kenapa kamu bilang ke toilet?” Kiran terdiam, tak mampu berkata-kata. Pandangan Ria mengikuti bagian depan Gedung A1 yang ditunjuk Ranu. “Siapa yang peduli benar atau bukan, yang penting alibi Kiran dikonfirmasi.” Ria mengangkat alisnya, menatap Ranu dengan penuh arti. “Diam-diam menghanyutkan. Ternyata kalian lagi pendekatan nih?” Ranu tersenyum tipis, namun matanya tidak menunjukkan emosi apa pun. Sungguh tidak masuk akal! Tidak ada alasan kuat bagi Kiran untuk bertemu Ranu di tempat yang sepi seperti itu, apalagi saat jam kerja. CCTV?” tanya Iptu Cakra, nada suaranya tegas. Ranu menghela napas. “Gak ada yang menyorot dalam gedung, ke
Perjanjian awal, tahun 2000...“Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban.Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya.Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga.Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan.“Mengapa tidak memilih sec
Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb
Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem
Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.
Raka yang melihat keterkejutan Ranu, mengerutkan kening. “Kenapa?” tanyanya, suaranya sedikit meninggi. “Cepat pergi ke sana!” Raut wajahnya serius, mencerminkan keheranannya melihat Kiran berdiri di depan rumah mereka. “Kamu sudah tahu Raka anak Vilas tapi masih di sisinya?” Ketus Kiran, suaranya menusuk seperti belati. Raka menunduk, kepalan tangannya mengepal erat. Setiap kata yang terlontar terasa seperti tamparan keras di hatinya. Ranu mencoba menenangkan Kiran, mengajaknya bicara di luar. Namun, Kiran menepis tangannya kasar. “Kamu lupa perbuatan Vilas?” “Aku ingat semuanya,” jawab Ranu, suaranya terdengar lemah. “Kamu ingat, tapi apa ini?” Kiran menunjuk ke arah Raka. “Raka gak salah,” bela Ranu, menghela napas berat. “Dia tetap diam mengetahui perbuatan keji ayahnya, dan kamu tetap membelanya?” Mendengar mereka beradu argumen, hati Raka terasa seperti diiris-iris. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mengancam jatuh. Ranu menoleh, matanya dipenuhi ras
Mentari tepat di atas kepala saat Raka melangkah keluar rumah. Pakaiannya yang rapi kontras dengan suasana pagi yang tenang. Ranu yang memperhatikan dari balik tirai, hanya bisa menggelengkan kepala. Tanpa pikir panjang, Ranu menyalakan mobil dan mengikuti Raka dari belakang. Jalanan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Sesampainya di tujuan, Ranu memilih tempat parkir yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Huruf-huruf ‘Hirawan Group’ yang berkilau di gedung pencakar langit itu seakan-akan menjanjikan kemewahan tak terbatas. Di layar kaca, kehidupan keluarga kaya raya selalu digambarkan sempurna. Namun, kenyataan yang mereka alami jauh berbeda. Kehidupan di balik merek besar itu bagai naskah drama yang sudah dihafalkan, membosankan dan penuh kepalsuan. Kacamata gelap dan masker telah menyamarkan wajahnya, rambutnya yang biasanya rapi kini dibuat acak-acakan. Ranu merasa yakin takkan ada yang mengenalnya. Namun, saat tubuhnya condong untuk membuka pintu mobil,
Cakra adalah sosok yang kuat dan bertanggung jawab, namun di balik itu semua, dia juga memiliki hati yang lembut. Dia pernah merasakan kehilangan seperti Kiran, dan ia percaya Cakra akan menjaga Ria dengan sepenuh hati. Saat melintasi jalan, Kiran berjalan berlawanan arah dengan seorang pria dewasa. Setiap langkahnya terasa begitu nyata, seolah gema langkahnya bergema di telinganya. Dan kemudian, ia melihatnya—sebuah cahaya biru samar mengelilingi mereka berlima, berkedip redup seperti kunang-kunang. Dari mana cahaya itu berasal? Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Pria dewasa itu memancarkan aura yang berbeda. Perisai cahaya biru itu seolah menempel erat pada dirinya, mengikuti setiap langkahnya. “Mungkin aku salah lihat,” gumam Cakra, “Pria tadi mirip dengan Sagara.” Dia pernah melihat foto masa muda Sagara Paramayoga di buku terbitan Bianca Rezmee Kiran tersentak, langsung membalikkan badan ingin mengejar. Namun, Cakra menahannya, “Mau ke mana? Lampu hijau tinggal
Raka mengangguk pelan. “Ya, aku adalah putranya.” Kiran terdiam sejenak, seolah sedang mencerna kenyataan pahit ini. “Aku harap kalian tenggelam dalam penderitaan yang jauh lebih dalam daripada kebencian yang telah membakar jiwaku selama lima tahun. Tanyakan pada ayahmu, apakah nyawa ayahku hanya seharga lima ratus juta?” desis Kiran. “Jangan sakit hati. Kalian belum merasakan setitik pun dari neraka yang telah ayahmu ciptakan bagi kami." Kiran berlalu, meninggalkan Raka dalam keheningan yang menyesakkan. Pria itu tidak berhak meminta maaf lagi. Luka yang telah tertanam terlalu dalam untuk disembuhkan. Dia menyadari bahwa egonya telah menghancurkannya. Suara lalu lintas bising terdengar di latar belakang. "Kamu lagi sama Kiran?" Ranu menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak, lalu menempelkannya kembali. "Raka," panggilnya, berusaha mengabaikan suara bising di sekitarnya. Guntur menggelegar, seakan mengikuti irama detak jantung Raka yang bergemuruh tak karuan. Pria itu masih ter
“Itulah sebabnya aku di sini. Untuk membantumu melihat kebenaran.” Pengalaman dan intuisi Bianca selama bertahun-tahun telah mempelajari karakteristik Gataka. Raka masih terdiam di sana, menatap kosong ke arah matahari terbenam. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang menuntut jawaban. Dia memutuskan, satu-satunya cara untuk menemukan kedamaian adalah dengan berbicara langsung pada Kiran. Raka buru-buru membuka pintu, berpapasan dengan Ranu yang baru pulang kerja. Ranu ingin bertanya, namun Raka sudah jauh melangkah. Sekuriti membungkuk hormat, matanya tertuju pada Raka dengan tatapan penuh penghormatan. Tanpa dia duga, Kiran menyaksikan itu ketika mereka sepakat bertemu di gerbang utama setelah jam pulang. Kiran menepuk pelan bahu Raka dari belakang. “Maaf ya, lama. Aku baru selesai lembur.” Sambil berjalan berdampingan, Raka bertanya pada Kiran, “Ria mana? Lembur juga?” Kiran mengangguk. “Iya, tapi dia lembur dua jam. Aku cuma satu jam.” Mau sekalian makan malam?” ajak Raka,