19 tahun silam sewaktu Kiran berumur 4 tahun. Ia dan Sang Ayah, Tarendra Nawasena, sedang berada di halaman bermain Taman Kanak-Kanak.
Kiran duduk tenang di ayunan sambil menyedot susu kotak mengamati Tarendra yang berdiri sedikit jauh darinya sedang menjawab telepon. “Apa enggak ada cara lain?” Suaranya terdengar berat, menggambarkan kegelisahannya. Kaca kelas itu seperti sebuah jendela ke dunia lain bagi Kiran. Ia melihat ayahnya dengan jelas, namun bayangan dirinya sendiri seperti menghilang. Rasa penasaran yang besar mulai tumbuh di benak balita itu. “Ayah ..” “Nanti saya telepon lagi.” Tarendra langsung mengakhiri panggilan, lalu menghampiri dan berjongkok di depan Kiran. “Kenapa? Kamu butuh sesuatu?” Tarendra tersenyum lembut, pancaran matanya penuh kasih sayang. Kiran mengangkat wajah cemberut menunjuk lurus kaca kelas. “Kenapa cuma bayangan Ayah yang ada di sana?” Keheningan menyelimuti mereka. Tarendra menunduk sejenak, mencari jawaban yang tepat di dalam dirinya. Pertanyaan polos Kiran bagai pukulan telak di dadanya. Tarendra menunjuk jam tangannya. “Sudah siang, waktunya pulang,” ucapnya tersenyum kecut karena mengalihkan pertanyaan putrinya. Tarendra merapikan rambut Kiran yang sedikit berantakan karena bermain ayunan. Dengan hati-hati, ia menggendong putrinya menuju mobil. Kiran menyadari pantulan bayangannya berubah setiap perkembangan masa. Perubahan yang ia kira berangsur normal, justru semakin aneh dan berubah-ubah tak terduga. Kiran memiliki pantulan seperti manusia yang lain, tetapi itu bukan lagi dirinya. Hingga ia bertanya-tanya Apa aku normal? Tarendra sudah mengetahui kecemasan yang dirasakan Kiran. Sebagai ayahnya, beliau sering memperhatikan sikap Kiran terkadang tidak seperti putrinya. Kadang kala tatapan kosong Kiran saat sedang di kamarnya mengejutkan Tarendra. Tarendra bahkan pernah dipanggil guru BK karena Kiran kedapatan menggali tanah di lapangan lari dengan tangannya sendiri seperti orang gila, sampai-sampai mengundang perhatian teman sekelasnya. Laporan itu sangat membuat Tarendra khawatir. Saat berada di samping Tarendra dan duduk berhadapan dengan guru BK, Kiran lebih banyak bungkam setelah memberi alasannya hari itu menggali tanah kepada Tarendra. Namun, saat Tarendra menyampaikan alasan, gurunya semakin memutar-mutar pertanyaan seolah tidak mau melepaskan Kiran. “Ibu sudah melebihi batas,” ucap Kiran berusaha menghentikan percakapan mereka berdua. “Ayah saya lebih sibuk dari Ibu, beliau adalah dosen universitas terbaik di kota ini.” Tarendra menatap teduh putrinya yang terpancing emosi. “Tenang, Kiran.” “Jangan buang waktu Ayah yang berharga. Seenaknya nyuruh saya pergi ke psikiater. Ayo pulang, Ayah.” Kiran kesal dianggap punya kepribadian ganda oleh gurunya dan disarankan bertemu psikiater. Tepat Kiran menggandeng tangan Tarendra untuk pergi dari ruang BK, gurunya menahan mereka. “Kiran, Ibu belum selesai bicara dengan Ayah kamu.” “Jawaban apa yang mau Ibu dengar dari kita? Saya kehilangan cincin mendiang Ibu saya di sekitar lapangan ...” Suara Kiran bergetar ingin menangis ucapannya tidak dipercaya. Awalnya Tarendra merasa janggal dengan alasan Kiran, namun melihat Kiran bersungguh-sungguh dan terdengar tulus sampai hampir menangis mengubah cara pandangnya. Beliau beranjak dari kursi dan menggenggam erat tangan Kiran. “Kalau masih ada yang ingin Ibu bicarakan dengan saya, tanpa Kiran.” Mata Kiran berkaca-kaca sewaktu Tarendra membawanya pergi dari sekolah. Tiba di rumah, Kiran tidak masuk ke rumahnya, tetapi pergi ke arah berlawanan sehingga Tarendra mengejar langkahnya. “Kiran!” Hati Tarendra remuk saat uluran tangannya ditepis. Kiran merasa bersalah telah bersikap kasar lalu berhenti melangkah. “Sesulit itu jujur, Ayah? Sampai kapan menunggu waktu yang tepat?” Tidak bisa digambarkan perasaan Tarendra saat itu. Selain lelah secara fisik dan mental mencari solusi menyelamatkan Kiran, Tarendra juga harus menahan emosi yang bisa menyakiti hatinya. “Ayah sedang mencari caranya, Kiran. Tunggu sebentar lagi, hm? Ayah janji—“ “Aku bisa mendengar isi hati, Ayah ...” Kiran menyeka air mata yang mengalir ke pipi. Suara ‘Ayah juga mulai lelah, Kiran’ terdengar hingga menghancurkan hati Kiran saat itu juga. Tarendra panik, lehernya menggeleng cepat. “Jangan didengarkan. Kamu keliru, Kiran.” Apa yang dia dengar tidaklah benar. Itu hanya bisikan roh jahat yang ingin menggoyahkan hubungan mereka. Lantaran terdesak waktu, Tarendra memberitahu kebenaran yang terpendam selama 15 tahun pada Kiran. “Ayah beritahu sekarang.” Kiran siap menerima apa pun yang ia dengar dari ayahnya, bahkan dalam keadaan terburuk pun, selama bersama Tarendra, hidupnya akan baik-baik saja. “Kamu dirasuki roh jahat bernama Gataka,” ungkap Tarendra, air matanya terus mengalir namun bibirnya terkatup rapat-rapat seraya menatap mata sendu Kiran. Sesuatu dalam diri Kiran seolah terkoyak begitu mendengar penjelasan Tarendra. “Sejak lahir Gataka sudah menyatu bersama kamu. Kamu pernah cerita tiba-tiba ada di tempat lain tanpa sadar, itu salah satu dampaknya. Selama kamu baik-baik saja, Ayah akan terus mencari cara untuk menyelamatkan kamu.” “Akhirnya kamu membuka mulut tentangku.” Suara Kiran yang berubah drastis membuat Tarendra tersentak. Tarendra mundur selangkah, jantungnya berdebar kencang. Rasa takut dan cemas bercampur aduk dalam hatinya. Tatapan mata yang biasanya ceria berubah dingin dan kosong memancarkan aura gelap yang asing. “Lama tidak jumpa.” Bersambung...“Lama tidak jumpa.” “Sampai kapan penderitaan Kiran harus berlanjut?” Tarendra berbisik lirih, tatapannya kosong ke depan. “Aku mohon tinggalkan Kiran ...” “Kamu juga tahu akibatnya kalau aku pergi dari tubuhnya. Anggap saja simbiosis mutualisme. Kiran akan terus hidup, aku pun begitu.” “Tolong beritahu cara lain supaya Kiran bisa tetap hidup,” lirih Tarendra putus asa. “Selama aku menyerap energi Kiran, kami tetap bersama. Tidak ada yang mati. Menguntungkan, bukan?” Tarendra terbelalak tak percaya. Gataka, menyedot energi Kiran? Kemarahannya membuncah, bagai api yang siap melahap segalanya. Ingin sekali ia menyergap makhluk itu, namun tubuhnya terasa lumpuh, terbelenggu oleh kepedihan yang mendalam. “Apa kesalahan Kiran, sampai kamu ... Hahh!” Air mata Tarendra mengalir deras, dia bersimpuh tak berdaya di bawah kaki roh jahat. “Kalau begitu ganti jaminannya. Bagaimana kalau diganti ... Hm, nyawa Anda, Tuan Tarendra Nawasena?” Wajah Tarendra mendongak, saat mata mereka beradu p
Hanya sempat memejamkan mata selama 4 jam, Kiran buru-buru berangkat kerja 10 menit lebih awal. Niatnya, mampir dulu ke warung kopi langganannya. Namun, tak disangka, sosok Ria sudah berdiri di depan gang, mata mereka membulat terkejut. Sewaktu melihatnya, Ria tersenyum ceria menghampiri Kiran. Dia mengalungkan tangannya di lengan Kiran lalu mengajak berangkat bersama. “Aku mau mampir beli kopi dulu,” ucap Kiran selagi melangkah beriringan. Ria mengangkat totebag transparan yang berisi tumbler dan bekal makan. “Aku sudah bawa. Kalau bilang aku bikinin sekalian.” Setelah Kiran membeli es kopi, Ria ketahuan sedang memperhatikan jalan. “Nunggu siapa?” tanya Kiran, jika ia tak bersuara mungkin Ria belum sadar Kiran berdiri di sampingnya. Matanya ikut melihat motor karyawan berlalu lalang memasuki gerbang pabrik. Ria terlihat agak terkejut tatkala Kiran bertanya, namun dengan cepat dia menggelengkan kepala. “Enggak nunggu siapa-siapa,” sangkalnya jalan lebih dahulu. Bagaimana pun R
Gataka mendekat, matanya berkilau aneh dalam cahaya remang. Dia meraih pergelangan tangan Ranu, jari-jarinya menyentuh kulitnya dengan lembut namun mencekam. “Hadiah dariku,” bisiknya, suaranya bergetar dengan emosi yang tak terbaca. Cahaya menyilaukan memenuhi pandangan Ranu saat dia terjebak dalam kilas balik mengerikan. Suara bising tabrakan dan pecahan kaca memenuhi telinganya, tubuhnya terasa remuk saat mobil dihantam truk dari belakang. Dunia yang dibuat Gataka terasa begitu nyata hingga membuat Ranu sesak napas saat melihat orang tuanya meninggal berlumuran darah di tempat. Gataka menertawakan raut ketakutan Ranu padahal kenyataannya dia tidak berada di kendaraan yang sama dengan orang tuanya saat kecelakaan terjadi. “Kamu selalu penasaran bagaimana kecelakaan itu terjadi. Sekarang sudah aku perlihatkan. Kamu suka hadiahku?” tanyanya, meremehkan pria lemah yang sedang bersandiwara di hadapan dunia. Ranu menepis tangan Gataka dengan kasar, lalu bergerak cepat menarik kera
“Lama tidak jumpa, Kiran.” Kiran menarik napas panjang. "Jangan libatkan mereka." Suara Gataka menyahut dingin, “Tidak mau.” Kiran mengerutkan kening. “Apa mungkin, kamu menginginkan sesuatu dari mereka?” “Kita berbagi tubuh ini, tapi kenapa kamu tidak memahami keinginanku?” tanya Gataka meremehkan. “Karena kita berbeda ...” lirihnya, dingin lebih menusuk. Ekspresi Gataka tampak suram tidak menyukai ucapan Kiran. “Apa tadi permintaan? Jangan melibatkan mereka,” ucap Gataka, membahas percakapan awal. "Ancaman.” Gataka tertawa kecil, menatap tajam inangnya yang gemetar ketakutan. “Seperti katamu, kita berbeda. Kamu bukan tandinganku.” Kiran meremas dadanya, napasnya tersengal. Matanya memerah, menatap Gataka dengan kebencian yang mendalam. “Sebelum memanggilku, seharusnya kamu memikirkan akibatnya dengan matang,” ujar Gataka dengan nada meremehkan. Senyum liciknya semakin lebar saat melihat Kiran meringis kesakitan. “Sekarang, kamu harus menanggung akibat dari kebodoh
Tiap tengah malam menjelang waktu istirahat, petugas keamanan atau satpam melakukan patroli di beberapa gedung. Pak Imron, ditugaskan berkeliling di Gedung A1. Saat melewati bagian belakang gedung, tanpa sengaja beliau lihat gundukan tanah memanjang di kebun sebelah kamar mandi. Pak Imron mengambil HT (Handy Talky) yang digunakan untuk komunikasi dengan satpam lain. “Imron A1, ganti." "Ada apa, Pak Ron?" Pak Imron bertanya, “Pak Uspi, ini ada yang gali tanah buat nanam tanaman ya?” 'Gak ada laporan masuk soal itu, Pak Ron.” “Oh begitu.” Pak Imron lewat namun merasakan janggal. Di samping kebun, ada kamar mandi perempuan yang berdekatan dengan line proses awal. Pak Imron menyorot lurus ke arah karyawati yang naik menginjak rerumputan, mau melempar sampah masuk ke tong sampah. "Ya ampun, Neng! Ada papan gede 'Dilarang Menginjak Rumput' masih diinjak juga. Turun, turun!" Setelah karyawati tersebut menoleh, rupanya si Ria yang tertangkap basah, nyengir pula sudah salah,
“Apa ada orang yang bisa mengkonfirmasi alibi kamu?” tanyanya sebatas formalitas. Ria berpikir keras mencari alasan yang bisa memperkuat alibi Kiran. “Kebetulan kalian di sini. Alibi saya harus dikonfirmasi juga, kan?” Ranu melangkah maju, matanya berkilat tajam. Dengan satu kalimat, dia berhasil mengubah keadaan. “Kami ada urusan pribadi. Kenapa kamu bilang ke toilet?” Kiran terdiam, tak mampu berkata-kata. Pandangan Ria mengikuti bagian depan Gedung A1 yang ditunjuk Ranu. “Siapa yang peduli benar atau bukan, yang penting alibi Kiran dikonfirmasi.” Ria mengangkat alisnya, menatap Ranu dengan penuh arti. “Diam-diam menghanyutkan. Ternyata kalian lagi pendekatan nih?” Ranu tersenyum tipis, namun matanya tidak menunjukkan emosi apa pun. Sungguh tidak masuk akal! Tidak ada alasan kuat bagi Kiran untuk bertemu Ranu di tempat yang sepi seperti itu, apalagi saat jam kerja. CCTV?” tanya Iptu Cakra, nada suaranya tegas. Ranu menghela napas. “Gak ada yang menyorot dalam gedung, ke
Kiran menepuk pelan bahu Ranu. “Maaf, ya, kamar Ayahku gak bisa ditempati. Kamu tidur di sini gak apa-apa?” Ranu menoleh, matanya sembab. “Saya bisa tidur di mana saja.” Kiran tidak berani bertanya apa yang membuat dia menerawang kosong ke arah luar. Ria menyahut, “Zaman sekarang sudah biasa laki-laki nginap di rumah perempuan. Lagi pula tampang kamu bukan tipe laki-laki berandal. Kalau kamu macam-macam, bakal kena jurus andalan aku.” “Kalau ada apa-apa, aku jago kabur,” timpal Kiran, menuju kulkas mengambil air dingin untuk mereka. Posisi mereka berganti. Ria yang tadi penuh semangat kini terlihat lesu, bersandar di sofa. Ranu justru tampak larut dalam kenangan, matanya tak berkedip menatap foto-foto lama, terutama foto Kiran saat SMA dan potret ayahnya bersama teman-teman semasa wisuda. “Kok nggak ada foto teman sekolah kamu ya, Kiran?” tanyanya pelan, tersenyum getir. "Gak ada," jawab Kiran singkat. Ranu bertanya lagi, “Kenapa?” "Aku pernah kecelakaan waktu SMA. Jadi,
Ria tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Dengan sekuat tenaga, dia menarik sisi rak itu. Ranu dan Kiran pun ikut membantu. Saat celah itu semakin terbuka, sebuah cahaya redup memancar dari dalam. Mereka bertiga saling pandang dan berhati-hati membuka celah itu sepenuhnya. Sebuah ruangan kecil yang gelap tersembunyi di balik rak buku itu. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan tulisan aksara dan bahasa latin yang Kiran duga sebuah mantra. “Gak mungkin ..” Kiran terkejut dengan ruangan rahasia yang ditemukan setelah 23 tahun hidup di rumahnya sendiri. Ria merasa merinding sekujur tubuh. “Apa gak sebaiknya abaikan saja? Kita gak tahu isi di dalam sana. Gimana kalau pas kita masuk terus pintunya tertutup dan terjebak selamanya?!” Ranu masuk lebih dulu, meraba-raba tembok mencari sakelar lampu, tapi nihil. Ria mendongak ke langit-langit takut runtuh menimpanya. Di dalam kegelapan itu, Kiran masih bisa melihat dengan jelas. Ia bahkan orang pertama yang menemukan nakas di sudut bili
“Aku yang akan urus sisanya. Kalian pergilah dari sana.” Cakra hanya menjawab singkat, “Hm, aku paham.” Usai percakapan usai, dia kembali menatap Angga. “Raka bilang dia akan mengurus sisanya. Kita harus pergi dari sini,” ucap Cakra, suaranya terdengar parau. Angga hanya mengangguk, matanya kosong. Mereka kembali ke mobil masing-masing, melaju meninggalkan tempat kejadian, meninggalkan semua masalah di belakang. Pintu bangsal terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sagara yang sedang bersama Putri. Mereka selesai melakukan perawatan ringan akibat menghirup banyak asap. Sagara tersenyum lemah saat melihat Cakra dan Angga. “Terima kasih kalian sudah datang,” ujarnya lirih. Angga tersenyum singkat. Cakra berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati interaksi antara Sagara dan Angga. Dia menyadari, ada ikatan yang kuat di antara mereka. Putri melangkah mendekati Angga, tangannya mengepal erat. Dengan cepat, dia melayangkan tamparan keras ke pipi Angga hingga meninggalkan bek
Anwalira duduk di tepi kasur, matanya menatap keluar jendela. Cahaya matahari menembus celah tirai, menerangi wajahnya yang pucat. “Aku sudah memutuskan. Malam ini, aku akan pergi.” Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati. “Aku lelah menderita. Aku ingin bebas. Mungkin ini jalan keluar terbaik.” Jari-jarinya meremas sprei kasur dengan erat, seakan-akan ingin mencengkeram harapan terakhir. Anwalira tersenyum tipis. Rasanya baru pertama kali dia bangun tanpa harus buru-buru menyiapkan diri untuk bekerja. Biasanya, dia akan merasa terbebani dengan semua tugas yang menumpuk. Tapi hari ini, hatinya terasa ringan. Namun, di balik rasa senangnya itu, ada juga sedikit keanehan. Kenapa orang tuanya tidak membangunkannya seperti biasa? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Anwalira menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sekuat tenaga menarik gagang pintu. “Tidak mungkin!” gumamnya, kecewa. Dia menggedor-gedor pintu, suaranya bergema di dalam rumah. “Buka pintunya! Kenapa kalian
Perjanjian awal, tahun 2000...“Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban.Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya.Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga.Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan.“Mengapa tidak memilih sec
Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb
Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem
Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.
Raka yang melihat keterkejutan Ranu, mengerutkan kening. “Kenapa?” tanyanya, suaranya sedikit meninggi. “Cepat pergi ke sana!” Raut wajahnya serius, mencerminkan keheranannya melihat Kiran berdiri di depan rumah mereka. “Kamu sudah tahu Raka anak Vilas tapi masih di sisinya?” Ketus Kiran, suaranya menusuk seperti belati. Raka menunduk, kepalan tangannya mengepal erat. Setiap kata yang terlontar terasa seperti tamparan keras di hatinya. Ranu mencoba menenangkan Kiran, mengajaknya bicara di luar. Namun, Kiran menepis tangannya kasar. “Kamu lupa perbuatan Vilas?” “Aku ingat semuanya,” jawab Ranu, suaranya terdengar lemah. “Kamu ingat, tapi apa ini?” Kiran menunjuk ke arah Raka. “Raka gak salah,” bela Ranu, menghela napas berat. “Dia tetap diam mengetahui perbuatan keji ayahnya, dan kamu tetap membelanya?” Mendengar mereka beradu argumen, hati Raka terasa seperti diiris-iris. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mengancam jatuh. Ranu menoleh, matanya dipenuhi ras
Mentari tepat di atas kepala saat Raka melangkah keluar rumah. Pakaiannya yang rapi kontras dengan suasana pagi yang tenang. Ranu yang memperhatikan dari balik tirai, hanya bisa menggelengkan kepala. Tanpa pikir panjang, Ranu menyalakan mobil dan mengikuti Raka dari belakang. Jalanan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Sesampainya di tujuan, Ranu memilih tempat parkir yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Huruf-huruf ‘Hirawan Group’ yang berkilau di gedung pencakar langit itu seakan-akan menjanjikan kemewahan tak terbatas. Di layar kaca, kehidupan keluarga kaya raya selalu digambarkan sempurna. Namun, kenyataan yang mereka alami jauh berbeda. Kehidupan di balik merek besar itu bagai naskah drama yang sudah dihafalkan, membosankan dan penuh kepalsuan. Kacamata gelap dan masker telah menyamarkan wajahnya, rambutnya yang biasanya rapi kini dibuat acak-acakan. Ranu merasa yakin takkan ada yang mengenalnya. Namun, saat tubuhnya condong untuk membuka pintu mobil,
Cakra adalah sosok yang kuat dan bertanggung jawab, namun di balik itu semua, dia juga memiliki hati yang lembut. Dia pernah merasakan kehilangan seperti Kiran, dan ia percaya Cakra akan menjaga Ria dengan sepenuh hati. Saat melintasi jalan, Kiran berjalan berlawanan arah dengan seorang pria dewasa. Setiap langkahnya terasa begitu nyata, seolah gema langkahnya bergema di telinganya. Dan kemudian, ia melihatnya—sebuah cahaya biru samar mengelilingi mereka berlima, berkedip redup seperti kunang-kunang. Dari mana cahaya itu berasal? Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Pria dewasa itu memancarkan aura yang berbeda. Perisai cahaya biru itu seolah menempel erat pada dirinya, mengikuti setiap langkahnya. “Mungkin aku salah lihat,” gumam Cakra, “Pria tadi mirip dengan Sagara.” Dia pernah melihat foto masa muda Sagara Paramayoga di buku terbitan Bianca Rezmee Kiran tersentak, langsung membalikkan badan ingin mengejar. Namun, Cakra menahannya, “Mau ke mana? Lampu hijau tinggal