“Lama tidak jumpa, Kiran.” Kiran menarik napas panjang. "Jangan libatkan mereka." Suara Gataka menyahut dingin, “Tidak mau.” Kiran mengerutkan kening. “Apa mungkin, kamu menginginkan sesuatu dari mereka?” “Kita berbagi tubuh ini, tapi kenapa kamu tidak memahami keinginanku?” tanya Gataka meremehkan. “Karena kita berbeda ...” lirihnya, dingin lebih menusuk. Ekspresi Gataka tampak suram tidak menyukai ucapan Kiran. “Apa tadi permintaan? Jangan melibatkan mereka,” ucap Gataka, membahas percakapan awal. "Ancaman.” Gataka tertawa kecil, menatap tajam inangnya yang gemetar ketakutan. “Seperti katamu, kita berbeda. Kamu bukan tandinganku.” Kiran meremas dadanya, napasnya tersengal. Matanya memerah, menatap Gataka dengan kebencian yang mendalam. “Sebelum memanggilku, seharusnya kamu memikirkan akibatnya dengan matang,” ujar Gataka dengan nada meremehkan. Senyum liciknya semakin lebar saat melihat Kiran meringis kesakitan. “Sekarang, kamu harus menanggung akibat dari kebodoh
Tiap tengah malam menjelang waktu istirahat, petugas keamanan atau satpam melakukan patroli di beberapa gedung. Pak Imron, ditugaskan berkeliling di Gedung A1. Saat melewati bagian belakang gedung, tanpa sengaja beliau lihat gundukan tanah memanjang di kebun sebelah kamar mandi. Pak Imron mengambil HT (Handy Talky) yang digunakan untuk komunikasi dengan satpam lain. “Imron A1, ganti." "Ada apa, Pak Ron?" Pak Imron bertanya, “Pak Uspi, ini ada yang gali tanah buat nanam tanaman ya?” 'Gak ada laporan masuk soal itu, Pak Ron.” “Oh begitu.” Pak Imron lewat namun merasakan janggal. Di samping kebun, ada kamar mandi perempuan yang berdekatan dengan line proses awal. Pak Imron menyorot lurus ke arah karyawati yang naik menginjak rerumputan, mau melempar sampah masuk ke tong sampah. "Ya ampun, Neng! Ada papan gede 'Dilarang Menginjak Rumput' masih diinjak juga. Turun, turun!" Setelah karyawati tersebut menoleh, rupanya si Ria yang tertangkap basah, nyengir pula sudah salah,
“Apa ada orang yang bisa mengkonfirmasi alibi kamu?” tanyanya sebatas formalitas. Ria berpikir keras mencari alasan yang bisa memperkuat alibi Kiran. “Kebetulan kalian di sini. Alibi saya harus dikonfirmasi juga, kan?” Ranu melangkah maju, matanya berkilat tajam. Dengan satu kalimat, dia berhasil mengubah keadaan. “Kami ada urusan pribadi. Kenapa kamu bilang ke toilet?” Kiran terdiam, tak mampu berkata-kata. Pandangan Ria mengikuti bagian depan Gedung A1 yang ditunjuk Ranu. “Siapa yang peduli benar atau bukan, yang penting alibi Kiran dikonfirmasi.” Ria mengangkat alisnya, menatap Ranu dengan penuh arti. “Diam-diam menghanyutkan. Ternyata kalian lagi pendekatan nih?” Ranu tersenyum tipis, namun matanya tidak menunjukkan emosi apa pun. Sungguh tidak masuk akal! Tidak ada alasan kuat bagi Kiran untuk bertemu Ranu di tempat yang sepi seperti itu, apalagi saat jam kerja. CCTV?” tanya Iptu Cakra, nada suaranya tegas. Ranu menghela napas. “Gak ada yang menyorot dalam gedung, ke
Kiran menepuk pelan bahu Ranu. “Maaf, ya, kamar Ayahku gak bisa ditempati. Kamu tidur di sini gak apa-apa?” Ranu menoleh, matanya sembab. “Saya bisa tidur di mana saja.” Kiran tidak berani bertanya apa yang membuat dia menerawang kosong ke arah luar. Ria menyahut, “Zaman sekarang sudah biasa laki-laki nginap di rumah perempuan. Lagi pula tampang kamu bukan tipe laki-laki berandal. Kalau kamu macam-macam, bakal kena jurus andalan aku.” “Kalau ada apa-apa, aku jago kabur,” timpal Kiran, menuju kulkas mengambil air dingin untuk mereka. Posisi mereka berganti. Ria yang tadi penuh semangat kini terlihat lesu, bersandar di sofa. Ranu justru tampak larut dalam kenangan, matanya tak berkedip menatap foto-foto lama, terutama foto Kiran saat SMA dan potret ayahnya bersama teman-teman semasa wisuda. “Kok nggak ada foto teman sekolah kamu ya, Kiran?” tanyanya pelan, tersenyum getir. "Gak ada," jawab Kiran singkat. Ranu bertanya lagi, “Kenapa?” "Aku pernah kecelakaan waktu SMA. Jadi,
Ria tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Dengan sekuat tenaga, dia menarik sisi rak itu. Ranu dan Kiran pun ikut membantu. Saat celah itu semakin terbuka, sebuah cahaya redup memancar dari dalam. Mereka bertiga saling pandang dan berhati-hati membuka celah itu sepenuhnya. Sebuah ruangan kecil yang gelap tersembunyi di balik rak buku itu. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan tulisan aksara dan bahasa latin yang Kiran duga sebuah mantra. “Gak mungkin ..” Kiran terkejut dengan ruangan rahasia yang ditemukan setelah 23 tahun hidup di rumahnya sendiri. Ria merasa merinding sekujur tubuh. “Apa gak sebaiknya abaikan saja? Kita gak tahu isi di dalam sana. Gimana kalau pas kita masuk terus pintunya tertutup dan terjebak selamanya?!” Ranu masuk lebih dulu, meraba-raba tembok mencari sakelar lampu, tapi nihil. Ria mendongak ke langit-langit takut runtuh menimpanya. Di dalam kegelapan itu, Kiran masih bisa melihat dengan jelas. Ia bahkan orang pertama yang menemukan nakas di sudut bili
Mereka keluar, mendorong rak hingga rapat menutup pintu rahasia itu. Ranu menuju ruang tamu, mencari kenyamanan di sofa. Sementara itu, Ria masuk kamar Kiran dan langsung terlelap kelelahan. Berbeda dengan kebanyakan orang, Kiran memerlukan ketenangan untuk tidur. Ia sering kali merenung dalam-dalam, bahkan sampai menciptakan kisah-kisah baru di benaknya. Dengan begitu, mimpi buruk yang biasanya menghantuinya tak lagi menjadi ancaman. Dengan gerakan hati-hati, Kiran mengatur posisi tidur Ria agar lebih nyaman. Ia kemudian menarik selimut hingga menutupi setengah tubuh Ria, seolah ingin menghalau hawa dingin dari pendingin ruangan. Pintu kamar hampir saja tertutup saat suara Ranu terdengar, “Ada bantal lagi?” Kiran menoleh dan melihat Ranu berdiri di ambang pintu. “Ada.” Ia kemudian membuka lemari kecil di samping tempat tidurnya, mengambil bantal tambahan, lalu memberikannya pada Ranu. “Makasih,” ujar Ranu sambil menerima bantal itu.” Dengan cepat, Ranu melirik Ria yang sud
Pukul 13.00, Ranu baru saja terbangun dari tidur siang. Dengan mata masih sayu, ia mulai merapikan sofa. Kiran muncul dari dapur tepat pada waktunya, membawa segelas air yang ternyata lebih dibutuhkan Ranu. “Kapan bangun?” tanya Kiran, meletakkan gelas di atas meja. “Baru saja. Ria sudah bangun?” sahut Ranu. “Belum,” jawab Kiran. Pria itu meraih jaketnya dan buru-buru memasang jam tangan. “Gak nunggu Ria bangun?” tanya Kiran lagi. Ranu mengangkat bahu. “Biarin saja. Ria bisa pulang sendiri. Tadi, saya sempat dengar suara gaduh dari belakang. Kamu?” Samar namun pasti dia dengar seseorang beraktivitas. Ria baru saja bangun karena mencium aroma masakan, dia langsung muncul di ambang pintu kamar. “Kiran, kamu masak ya?!” matanya berbinar senang. Ranu yang sedang di ruang tamu pun ikut terkejut, “Kamu masak?” “Jangan pulang pas perut kosong. Ayo makan dulu!” Ria semangat bangun tidur tersedia makanan. Ranu tersenyum di balik semangat yang hilang. “Saya diajak makan.” Dia
Ranu terdiam sejenak, pikirannya melayang. “Kamu yang kena efek lihat Gataka. Nggak bisa bedain mana kenyataan, mana halusinasi.” Alih-alih menghibur Ria atau mengatakan bahwa dia mungkin salah lihat, Ria malah kena semprot. Padahal Ria tidak sadar apakah itu mimpi atau kenyataan, karena dia yakin melihat Kiran bicara sendiri di depan cermin. Sesampainya di depan kosan Ria, bayangan Kiran masih menghantui pembicaraan mereka. Ranu menatap Ria dengan intens. “Ria, saya punya permintaan.” suaranya terdengar berat. Ria mengerutkan kening, “Permintaan apa?” Ranu menarik napas dalam, “Tolong perhatikan Kiran. Kamu sahabatnya.” Tatapan Ria bertemu dengan tatapan Ranu, penuh tanya. “Kamu khawatir lagi?” Ranu mengangguk, namun raut wajahnya berubah menjadi lebih serius. “Ini murni karena Gataka atau ada alasan khusus?” Pertanyaan Ria menggantung di udara, tak terjawab. Ranu mengalihkan pandangannya, seolah menyembunyikan sesuatu. Ria tersenyum kecut. “Oke, aku bakal lebih perha
Perjanjian awal, tahun 2000...“Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban.Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya.Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga.Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan.“Mengapa tidak memilih sec
Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb
Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem
Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.
Raka yang melihat keterkejutan Ranu, mengerutkan kening. “Kenapa?” tanyanya, suaranya sedikit meninggi. “Cepat pergi ke sana!” Raut wajahnya serius, mencerminkan keheranannya melihat Kiran berdiri di depan rumah mereka. “Kamu sudah tahu Raka anak Vilas tapi masih di sisinya?” Ketus Kiran, suaranya menusuk seperti belati. Raka menunduk, kepalan tangannya mengepal erat. Setiap kata yang terlontar terasa seperti tamparan keras di hatinya. Ranu mencoba menenangkan Kiran, mengajaknya bicara di luar. Namun, Kiran menepis tangannya kasar. “Kamu lupa perbuatan Vilas?” “Aku ingat semuanya,” jawab Ranu, suaranya terdengar lemah. “Kamu ingat, tapi apa ini?” Kiran menunjuk ke arah Raka. “Raka gak salah,” bela Ranu, menghela napas berat. “Dia tetap diam mengetahui perbuatan keji ayahnya, dan kamu tetap membelanya?” Mendengar mereka beradu argumen, hati Raka terasa seperti diiris-iris. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mengancam jatuh. Ranu menoleh, matanya dipenuhi ras
Mentari tepat di atas kepala saat Raka melangkah keluar rumah. Pakaiannya yang rapi kontras dengan suasana pagi yang tenang. Ranu yang memperhatikan dari balik tirai, hanya bisa menggelengkan kepala. Tanpa pikir panjang, Ranu menyalakan mobil dan mengikuti Raka dari belakang. Jalanan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Sesampainya di tujuan, Ranu memilih tempat parkir yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Huruf-huruf ‘Hirawan Group’ yang berkilau di gedung pencakar langit itu seakan-akan menjanjikan kemewahan tak terbatas. Di layar kaca, kehidupan keluarga kaya raya selalu digambarkan sempurna. Namun, kenyataan yang mereka alami jauh berbeda. Kehidupan di balik merek besar itu bagai naskah drama yang sudah dihafalkan, membosankan dan penuh kepalsuan. Kacamata gelap dan masker telah menyamarkan wajahnya, rambutnya yang biasanya rapi kini dibuat acak-acakan. Ranu merasa yakin takkan ada yang mengenalnya. Namun, saat tubuhnya condong untuk membuka pintu mobil,
Cakra adalah sosok yang kuat dan bertanggung jawab, namun di balik itu semua, dia juga memiliki hati yang lembut. Dia pernah merasakan kehilangan seperti Kiran, dan ia percaya Cakra akan menjaga Ria dengan sepenuh hati. Saat melintasi jalan, Kiran berjalan berlawanan arah dengan seorang pria dewasa. Setiap langkahnya terasa begitu nyata, seolah gema langkahnya bergema di telinganya. Dan kemudian, ia melihatnya—sebuah cahaya biru samar mengelilingi mereka berlima, berkedip redup seperti kunang-kunang. Dari mana cahaya itu berasal? Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Pria dewasa itu memancarkan aura yang berbeda. Perisai cahaya biru itu seolah menempel erat pada dirinya, mengikuti setiap langkahnya. “Mungkin aku salah lihat,” gumam Cakra, “Pria tadi mirip dengan Sagara.” Dia pernah melihat foto masa muda Sagara Paramayoga di buku terbitan Bianca Rezmee Kiran tersentak, langsung membalikkan badan ingin mengejar. Namun, Cakra menahannya, “Mau ke mana? Lampu hijau tinggal
Raka mengangguk pelan. “Ya, aku adalah putranya.” Kiran terdiam sejenak, seolah sedang mencerna kenyataan pahit ini. “Aku harap kalian tenggelam dalam penderitaan yang jauh lebih dalam daripada kebencian yang telah membakar jiwaku selama lima tahun. Tanyakan pada ayahmu, apakah nyawa ayahku hanya seharga lima ratus juta?” desis Kiran. “Jangan sakit hati. Kalian belum merasakan setitik pun dari neraka yang telah ayahmu ciptakan bagi kami." Kiran berlalu, meninggalkan Raka dalam keheningan yang menyesakkan. Pria itu tidak berhak meminta maaf lagi. Luka yang telah tertanam terlalu dalam untuk disembuhkan. Dia menyadari bahwa egonya telah menghancurkannya. Suara lalu lintas bising terdengar di latar belakang. "Kamu lagi sama Kiran?" Ranu menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak, lalu menempelkannya kembali. "Raka," panggilnya, berusaha mengabaikan suara bising di sekitarnya. Guntur menggelegar, seakan mengikuti irama detak jantung Raka yang bergemuruh tak karuan. Pria itu masih ter
“Itulah sebabnya aku di sini. Untuk membantumu melihat kebenaran.” Pengalaman dan intuisi Bianca selama bertahun-tahun telah mempelajari karakteristik Gataka. Raka masih terdiam di sana, menatap kosong ke arah matahari terbenam. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang menuntut jawaban. Dia memutuskan, satu-satunya cara untuk menemukan kedamaian adalah dengan berbicara langsung pada Kiran. Raka buru-buru membuka pintu, berpapasan dengan Ranu yang baru pulang kerja. Ranu ingin bertanya, namun Raka sudah jauh melangkah. Sekuriti membungkuk hormat, matanya tertuju pada Raka dengan tatapan penuh penghormatan. Tanpa dia duga, Kiran menyaksikan itu ketika mereka sepakat bertemu di gerbang utama setelah jam pulang. Kiran menepuk pelan bahu Raka dari belakang. “Maaf ya, lama. Aku baru selesai lembur.” Sambil berjalan berdampingan, Raka bertanya pada Kiran, “Ria mana? Lembur juga?” Kiran mengangguk. “Iya, tapi dia lembur dua jam. Aku cuma satu jam.” Mau sekalian makan malam?” ajak Raka,