Ranu terdiam sejenak, pikirannya melayang. “Kamu yang kena efek lihat Gataka. Nggak bisa bedain mana kenyataan, mana halusinasi.” Alih-alih menghibur Ria atau mengatakan bahwa dia mungkin salah lihat, Ria malah kena semprot. Padahal Ria tidak sadar apakah itu mimpi atau kenyataan, karena dia yakin melihat Kiran bicara sendiri di depan cermin. Sesampainya di depan kosan Ria, bayangan Kiran masih menghantui pembicaraan mereka. Ranu menatap Ria dengan intens. “Ria, saya punya permintaan.” suaranya terdengar berat. Ria mengerutkan kening, “Permintaan apa?” Ranu menarik napas dalam, “Tolong perhatikan Kiran. Kamu sahabatnya.” Tatapan Ria bertemu dengan tatapan Ranu, penuh tanya. “Kamu khawatir lagi?” Ranu mengangguk, namun raut wajahnya berubah menjadi lebih serius. “Ini murni karena Gataka atau ada alasan khusus?” Pertanyaan Ria menggantung di udara, tak terjawab. Ranu mengalihkan pandangannya, seolah menyembunyikan sesuatu. Ria tersenyum kecut. “Oke, aku bakal lebih perha
Situasi sulit dialami Tim Investigasi 1. Mereka sama sekali belum menemukan petunjuk siapa tersangka dalam kasus penemuan mayat di PT SH sebab kamera CCTV mengarah ke sudut lain serta alibi saksi telah dikonfirmasi. Ipda Aswin datang dari ruang arsip membawa laporan penyelidikan dan meletakkan agak kasar ke meja Iptu Cakra yang sedang memejamkan mata sampai sekujur badan tersentak kaget mendengar suara gebrakan. Abai dengan tatapan mematikan ketua timnya, Aswin menyampaikan dua kabar bertentangan. “Ada informasi baik dan informasi buruk. Mau yang mana dulu?” Sebentar, biarkan Cakra menyatukan elemen-elemen dalam tubuhnya supaya bisa terkoneksi diajak bicara. Tangan Cakra mengusap muka kemudian bertanya kembali, “Lebih baik jatuh dulu baru bangkit atau terbang tinggi lalu dijatuhkan?” Varafanu yang mejanya berada di sebelah Ipda Aswin pun berbisik, “Jatuh terus bangun sendiri.” “Gak ada yang tanya kamu!” celetuk Cakra mengacungkan jari telunjuk ke arahnya. Pria itu membuka beb
Dalam mimpinya, Cakra tersesat berada di hutan gelap. Hanya sinar jingga bulan purnama yang menerangi langkahnya. Di atas langit sejajar dengan tempat Cakra berdiri penuh kebingungan, banyak burung gagak mengitari sehingga suasana mencekam sangat menusuk kulit. Setelah pertama kali usaha Cakra melarikan diri ke arah mana pun yang dia anggap jalan ke luar dari hutan, akan terulang momen saat pria itu melihat perempuan tergantung di pohon beringin. Mimpi itu sangat terkutuk baginya sampai Cakra tidak berbuat apa pun, mendiamkan diri memaksa diri bangun dari bunga tidur, namun dia seakan-akan ditarik ke tempat itu lagi untuk menyaksikan momen menyakitkan tanpa henti. Entah kebetulan atau memang tahun ini keberuntungan berpihak pada Cakra. Sepulangnya dari TKP, dia langsung kembali ke kantor dan mengadakan rapat mendadak dengan Komisaris. Setelah itu Cakra merenung di kursi tentang kasus ini, lalu tertidur akibat kelelahan. Menduga lebih awal akan bermimpi hal yang sama, Cakra hamp
Ranu, matanya terpaku pada pemandangan di depannya, mengarahkan senter ke arah Kiran dan Cakra. “Ada apa ini?” suaranya dingin, menusuk. Cakra buru-buru melepaskan tangannya. “Kenapa kalian berdua di sini?” Iptu Cakra menyambar ponselnya yang bergetar panjang di saku jaket, wajahnya menegang saat mendengar suara dari seberang. Tanpa sepatah kata lagi, dia berbalik dan melangkah cepat, meninggalkan mereka yang masih terdiam di tempatnya. Ria tergesa-gesa menghampiri Kiran, matanya melebar. “Kamu dari mana?” Jaket dengan logo kepolisian di lengan kanan Iptu Cakra membuat Ria tersentak. “Polisi itu...” Gataka mendekat, bisikannya menusuk telinga Ria. “Suamimu kembali.” Dunia Ria seketika berhenti berputar. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Ingin rasanya dia mencabik-cabik Gataka. Gataka hanya bisa tersenyum kecut melihat reaksi Ria. Terlalu banyak orang yang terjerat dalam permainan Gataka. Nasib mereka semua masih menjadi tanda tanya. Kesadaran Kiran kembali di tempat y
Ranu berniat mengunjungi Kiran di rumah dengan harapan mendapati Kiran sedang memasak atau beres-beres. Dia merasa momen-momen sederhana seperti itulah yang paling sesuai dengan Kiran. Selain itu, ada satu hal penting yang ingin dia sampaikan: permintaan maaf atas kejadian semalam di mana Ranu tanpa sengaja membuat Kiran merasa tersinggung. Pagar rumah tak terkunci, cahaya lampu teras menyala terang di siang hari. Sepertinya penghuninya kurang waspada. “Ini Ranu,” sapa Ranu sambil mengetuk pintu tiga kali. Dia menunggu, matanya menyapu lingkungan sekitar yang begitu tenang. Suara kunci bergeser memecah keheningan, membuat Ranu mendongak. Pandangannya langsung terpaku pada perempuan itu. Keringat membasahi rambutnya yang kusut, kelopak matanya terpejam sayu, dan ada bercak merah menyala di lantai. Semua kata-kata permintaan maaf yang sudah disiapkan seketika sirna. Telapak tangan Kiran berlumuran darah akibat menggigit mata pisau cutter kecil, tapi ia tak merasakan sakit. “Ki
Di kosan, Ria mondar-mandir tak tenang. Ranu menyuruhnya diam, tapi Ria tak bisa. “Kalau tahu gelisah begini, mending jangan kasih tahu. Harusnya ditenangkan, ‘Tenang, ada saya’,”rengeknya. Tak tahan dengan rasa gelisah, Ria langsung menelepon Ranu. “Halo,” suaranya berubah 180 derajat, dari singa menjadi kucing. “Ada apa?” Mendengar jawaban dari Ranu berpengaruh ke suasana hati Ria ternyata. “Aku gak betah di kosan. Mau ke rumah Kiran.” “Kamu punya masalah pendengaran atau sengaja menguji kesabaran saya? Belum ada satu jam habis saya ke situ, lho.” Ria menggigit bibir bawahnya ketika mendapat sungutan. “Ya sudah, besok jangan lupa ke sini!” “Jangan ke luar, awas nanti saya periksa di kosan kamu gak ada—‘ Ria menutup teleponnya padahal Ranu masih lanjut mengoceh. Ia lempar ponsel ke atas kasur, lalu badannya ikut tepar sambil menendang angin melampiaskan kekesalan. Ranu berdiri di depan pintu, tatapannya kosong. Ponselnya masih terkatup rapat. “Halo?” gumamnya, suaranya t
Memasuki kawasan Gedung A1, Ranu melepaskan tangannya dari lengan Ria sebelum gosip muncul. Ria terus mengikuti Ranu. “Ranu, punya kontak dokter tadi gak? Aku minta dong!” “Punya juga gak akan saya bagi.” Ranu melihat sekeliling mulai ramai karyawan berdatangan. “Mulai detik ini kita bukan teman, tapi rekan kerja. Pakai bahasa formal.” Ranu pergi ke mejanya untuk menghindari perhatian mereka. Sebelum mulai bekerja Ria sempat menanyakan sesuatu kepada Kiran. “Misalkan kita berdua dalam bahaya, kira-kia siapa yang Ranu tolong pertama kali?” “Kamu.” Menurut Kiran itu soal mudah. “Pikir dulu, jangan langsung jawab.” “Aku bakal suruh Ranu menyelamatkan kamu dulu,” kilah Kiran. “Mana boleh begitu peraturannya!” “Gataka gak semudah itu membiarkan aku dalam bahaya kecuali perbuatan Dia sendiri yang membahayakan aku. Kalau aku mati, Dia juga mati.” “Jangan bilang kata mati lagi kalau lagi ngobrol sama aku.” Ria cemberut, tidak ingin bicara lagi dengannya. “Kemarin Ranu beli
"Selamat datang, Gataka. Akhirnya kamu datang juga." "Jangan salah paham," ujar Gataka dengan nada meremehkan. "Aku hanya datang untuk menyelesaikan urusan yang belum selesai." “Kekuatanmu sebesar ini, padahal belum menyatu dengan gadis itu.” Nyeri menusuk dada Kiran, seakan ada dua tangan tak kasat mata yang saling tarik menarik “Kamu iri, Pembunuh?” balas Gataka, tersenyum sinis. “Pembunuh??” Dokter Fandi melotot, urat-urat di lehernya menegang. “Benar, Pembunuh. Kamulah yang membunuh wanita itu beberapa hari lalu. Dasar, bodoh.” Kiran terpaku di tempatnya. Jantungnya berdebar kencang, seakan hendak pecah dari rongganya. “Apa... apa maksudnya?” lirihnya, suaranya gemetar. “Gita? Kamu... kamu membunuhnya?” “Menyingkir!” Dokter Fandi berteriak, matanya memancarkan kegilaan. Tangannya melilit leher Kiran dengan cepat, jemarinya mencekik kuat. Kiran meronta, wajahnya memerah menahan napas. “Aku akan membunuh kalian semua!” Gedoran pintu membuyarkan konsentrasi Dokter Fa
“Aku yang akan urus sisanya. Kalian pergilah dari sana.”Cakra hanya menjawab singkat, “Hm, aku paham.” Usai percakapan usai, dia kembali menatap Angga. “Raka bilang dia akan mengurus sisanya. Kita harus pergi dari sini,” ucap Cakra, suaranya terdengar parau. Angga hanya mengangguk, matanya kosong. Mereka kembali ke mobil masing-masing, melaju meninggalkan tempat kejadian, meninggalkan semua masalah di belakang.Pintu bangsal terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sagara yang sedang bersama Putri. Mereka selesai melakukan perawatan ringan akibat menghirup banyak asap.Sagara tersenyum lemah saat melihat Cakra dan Angga. “Terima kasih kalian sudah datang,” ujarnya lirih. Angga tersenyum singkat. Cakra berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati interaksi antara Sagara dan Angga. Dia menyadari, ada ikatan yang kuat di antara mereka.Putri melangkah mendekati Angga, tangannya mengepal erat. Dengan cepat, dia melayangkan tamparan keras ke pipi Angga hingga meninggalkan bekas merah.
Anwalira duduk di tepi kasur, matanya menatap keluar jendela. Cahaya matahari menembus celah tirai, menerangi wajahnya yang pucat. “Aku sudah memutuskan. Malam ini, aku akan pergi.” Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati. “Aku lelah menderita. Aku ingin bebas. Mungkin ini jalan keluar terbaik.” Jari-jarinya meremas sprei kasur dengan erat, seakan-akan ingin mencengkeram harapan terakhir.Anwalira tersenyum tipis. Rasanya baru pertama kali dia bangun tanpa harus buru-buru menyiapkan diri untuk bekerja. Biasanya, dia akan merasa terbebani dengan semua tugas yang menumpuk. Tapi hari ini, hatinya terasa ringan. Namun, di balik rasa senangnya itu, ada juga sedikit keanehan. Kenapa orang tuanya tidak membangunkannya seperti biasa? Apakah ada sesuatu yang terjadi?Anwalira menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sekuat tenaga menarik gagang pintu. “Tidak mungkin!” gumamnya, kecewa. Dia menggedor-gedor pintu, suaranya bergema di dalam rumah. “Buka pintunya! Kenapa kalian men
Perjanjian awal, tahun 2000...“Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban.Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya.Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga.Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan.“Mengapa tidak memilih sec
Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb
Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem
Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.
Raka yang melihat keterkejutan Ranu, mengerutkan kening. “Kenapa?” tanyanya, suaranya sedikit meninggi. “Cepat pergi ke sana!” Raut wajahnya serius, mencerminkan keheranannya melihat Kiran berdiri di depan rumah mereka. “Kamu sudah tahu Raka anak Vilas tapi masih di sisinya?” Ketus Kiran, suaranya menusuk seperti belati. Raka menunduk, kepalan tangannya mengepal erat. Setiap kata yang terlontar terasa seperti tamparan keras di hatinya. Ranu mencoba menenangkan Kiran, mengajaknya bicara di luar. Namun, Kiran menepis tangannya kasar. “Kamu lupa perbuatan Vilas?” “Aku ingat semuanya,” jawab Ranu, suaranya terdengar lemah. “Kamu ingat, tapi apa ini?” Kiran menunjuk ke arah Raka. “Raka gak salah,” bela Ranu, menghela napas berat. “Dia tetap diam mengetahui perbuatan keji ayahnya, dan kamu tetap membelanya?” Mendengar mereka beradu argumen, hati Raka terasa seperti diiris-iris. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mengancam jatuh. Ranu menoleh, matanya dipenuhi ras
Mentari tepat di atas kepala saat Raka melangkah keluar rumah. Pakaiannya yang rapi kontras dengan suasana pagi yang tenang. Ranu yang memperhatikan dari balik tirai, hanya bisa menggelengkan kepala. Tanpa pikir panjang, Ranu menyalakan mobil dan mengikuti Raka dari belakang. Jalanan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Sesampainya di tujuan, Ranu memilih tempat parkir yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Huruf-huruf ‘Hirawan Group’ yang berkilau di gedung pencakar langit itu seakan-akan menjanjikan kemewahan tak terbatas. Di layar kaca, kehidupan keluarga kaya raya selalu digambarkan sempurna. Namun, kenyataan yang mereka alami jauh berbeda. Kehidupan di balik merek besar itu bagai naskah drama yang sudah dihafalkan, membosankan dan penuh kepalsuan. Kacamata gelap dan masker telah menyamarkan wajahnya, rambutnya yang biasanya rapi kini dibuat acak-acakan. Ranu merasa yakin takkan ada yang mengenalnya. Namun, saat tubuhnya condong untuk membuka pintu mobil,
Cakra adalah sosok yang kuat dan bertanggung jawab, namun di balik itu semua, dia juga memiliki hati yang lembut. Dia pernah merasakan kehilangan seperti Kiran, dan ia percaya Cakra akan menjaga Ria dengan sepenuh hati. Saat melintasi jalan, Kiran berjalan berlawanan arah dengan seorang pria dewasa. Setiap langkahnya terasa begitu nyata, seolah gema langkahnya bergema di telinganya. Dan kemudian, ia melihatnya—sebuah cahaya biru samar mengelilingi mereka berlima, berkedip redup seperti kunang-kunang. Dari mana cahaya itu berasal? Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Pria dewasa itu memancarkan aura yang berbeda. Perisai cahaya biru itu seolah menempel erat pada dirinya, mengikuti setiap langkahnya. “Mungkin aku salah lihat,” gumam Cakra, “Pria tadi mirip dengan Sagara.” Dia pernah melihat foto masa muda Sagara Paramayoga di buku terbitan Bianca Rezmee Kiran tersentak, langsung membalikkan badan ingin mengejar. Namun, Cakra menahannya, “Mau ke mana? Lampu hijau tinggal