Huruf besar bertuliskan Hirawan's Hospital nampak jelas dari bawah. Kiran melihat-lihat sekitar, semua orang beraktivitas normal pada umumnya.
"Astaga ... Di mana-mana tulisan Hirawan," desis Kiran.Tangan kiri Ranu yang hendak membuka pintu di sebelah langsung tertahan. Lehernya mendongak ke atas di mana marga kebanggaan dipajang berwarna biru tua."Ke depannya bakal lebih sering. Siap-siap muak," kata Ranu.Mereka ke luar bersama. Tanpa bertanya ke meja administrasi di mana kamar Dokter Fandi dirawat, Ranu mengarahkan Kiran bak telah riset sebelum datang.Rumah sakit adalah tempat menyeramkan kedua setelah pemakaman. Ada banyak roh berkeliaran meminta bantuan dan memusatkan perhatian bagi manusia yang bisa melihat mereka.Mereka tidak bisa mendatangi Kiran dalam radius satu meter. Sebab dia terhubung dengan Gataka. Apabila hantu lain berusaha mendekat, mereka akan kehabisan energi dan lenyap.Di depan kamar VIPKiran dan Ranu harus berhenti menepi sebab lobi rumah sakit kedatangan seorang tamu hingga di mana-mana ada bodyguard. Mobil hitam mengkilap berjejer di halaman depan lobi. Dari mobil tengah dijaga super ketat. Salah satu dari mereka membukakan pintu dan keluar satu pria berusia sekitar 50-an tahun berpakaian formal. "Sampai segitunya jaga satu orang." Kiran geleng-geleng kepala. "Kita lewat pintu timur saja, Mas." Ranu menarik tudung jaket Kiran supaya kembali. "Itu orang yang kita cari." Kiran sontak memerhatikan Vilas berjalan dikawal bodyguard-nya sampai masuk lift. Vilas Sanjaya Hirawan, Direktur PT SH, dicurigai terlibat kasus Dokter Fandi dan Gita. Di matanya, seorang Vilas sering dilihat. "Aku pernah lihat dia ..." "Di mana?" Sahut Ranu. Vilas Hirawan adalah anak tunggal pemilik Grup Hirawan, Sanjaya Hirawan. Tepat dua puluh tahun silam Sanjaya menunjuknya sebagai pimpinan PT SH yang merupakan perusahaan k
Mobil berhenti tepat di depan rumah. Akal sehat Kiran belum stabil sepanjang perjalanan pulang. Selama waktu tiga puluh menit isi kepalanya berkumpul mencari memori tentang pria di sisinya. Mengapa Gataka baru mengungkapkan pertemuan mereka sekarang, bukan sejak awal? Apakah Ranu dari awal mengincar Gataka, atau justru Kiran? Kapan pertemuan pertama mereka berdua? Membaca situasi terkini, Ranu ke luar mobil lebih dahulu dan bergerak membukakan pintu untuk Kiran. "Dari tadi saya perhatikan kamu melamun. Ada sesuatu yang mengganggu kamu?" Begitu cepat semua kembali, hingga ia cukup sadar rahasia hanya butuh waktu. Cepat atau lambat entah Gataka membuka mulutnya sendiri, Kiran yang mengingat Ranu, atau kejujuran Ranu atas apa tujuannya selama ini hadir. Kira-kira mana yang akan terungkap? "Gimana perasaan kamu?" Ranu sengaja bertanya. "Campur aduk. Saya senang jiwa Dokter Fandi kembali kemudian khawatir melihat teman kuliah ayah ternyata direktur tempat saya bekerja. Bukan direktur
"Apa kita harus berebut satu perempuan lagi seperti dulu?" Leher Ranu menunduk, napasnya berhembus pelan mengartikan jengah. "Kamu selalu mengungkit masa lalu." "Bukan tanpa alasan aku kasih kamu separuh kemampuan. Berhubung dia belum tahu kamu sengaja menjebaknya bertarung dengan roh jahat, kali ini aku biarkan." Ranu berkata, "Gataka mulai bermain teka-teki tentang kita berdua. Apa ke depannya gak masalah?" "Sebenarnya kita berdua yang bermasalah. Bukan Gataka atau Kiran. Kebodohan kita untuk ikut campur setelah kejadian terakhir pasti membuat Gataka tertantang. Bagi dia ini game." Tidak bagi mereka, nyawa Ranu dan Kiran sering terancam. Permainan nyawa menegangkan dianggap sepele oleh Gataka. Pria itu meletakkan tabletnya di meja. "Kenapa kamu berubah pikiran?" tanyanya sembari melirik Ranu penasaran. "Sepuluh tahun lalu kamu datang membuat keributan besar." Keributan besar yang dimaksud tidak dijelaskan lebih
"Ah! Akhirnya pulang!" Ria merentangkan tangan ke atas. "Besok mbak masuk kerja, kan?" Takutnya Ria makin drop terpaksa bekerja terus besok mendadak izin. "Oh iya dong! Aku lebih semangat kalau jam pulang." Ria mengambil botol di bawah kursinya kemudian mengajak Kiran pulang. "Mbak pulang dulu saja. Ada orang yang mau aku tunggu." "Siapa? Ohh, laki-laki yang nolong kamu?" "Iya." "Ya udah, kita jalan ke depan. Kamu bisa tunggu di gerbang utama pasti ketemu." Ria sudah tidak begitu menyukai Ranu. Lama-lama dia bosan harus bertemu setiap hari. "Kiran. Polisi waktu itu single?" Kiran mengetahui maksud terselubung dari pertanyaannya. "Kapok ya ditolak melulu?" Setelah Ranu, berikutnya target Ria adalah Iptu Cakra. "Makin hari, Ranu bikin aku enek." "Aku lihat Mas Ranu ngaca bergaya segala, Mbak." "Idih! Najis." Ria keceplosan mengucap kata kasar langsung memeriksa sekitar takut ada Ranu. "Dia bisa tiba-tiba datang pas aku gibahin." "Iya ya. Timing-nya pas banget tadi aku bilang
Sulit melupakan kenangan buruk dalam ingatan. Bahkan kenangan indah pun bisa tidak berguna jika yang buruk membuat seseorang runtuh dalam sekejap Kematiannya memukul hebat jiwa Kiran. Selama satu pekan ia tidak nafsu melakukan apa pun. Hanya tidur di kamar, tidak makan, minum, juga menutup diri dari Tarendra. Tarendra bahkan melarang Kiran ikut pemakaman sahabatnya. Saat itu Kiran hanya berpikir dan berpikir setiap hari. Apa gunanya hidup? Bagaimana menebus dosanya di akhirat? Kapan Tuhan mencabut nyawanya? Di mana letak keajaiban yang disebut ada oleh orang-orang? Mengapa hal ini terjadi pada mereka? Semua pemikiran negatif menyeruak hingga energinya semakin digerogoti Gataka. Untuk mengakhiri penderitaan tak berujung, Kiran menelan sepuluh butir obat penenang dan tidak sadarkan diri. Kiran dibawa ke rumah sakit kemudian terbangun melupakan satu orang di masa lalunya. Siapa orang yang Kiran lupakan? *** "Terlambat! Aku terlambat!" Kiran baru ingat ada janji dengan Iptu Cakra
Hampir larut malam perut Kiran keroncongan. Nasib tinggal sendiri di rumah peninggalan orang tua, apa-apa serba dikerjakan mandiri. Ia memang jarang makan kecuali lapar setengah mati. Apalagi stok makanan akhir bulan menipis. Kiran harus pergi ke mesin ATM tarik uang tunai baru bisa beli nasi goreng seberang jalan. Sudah cukup lama Kiran tidak ke luar cari makan malam-malam. Mungkin adaptasinya meningkat pesat berkat Ria dan Ranu. Peran mereka sangat berpengaruh ke dalam kesehariannya. "Pak, beli nasi goreng satu. Nasinya setengah porsi, banyakin sayuran aja." "Baik, Mbak. Duduk dulu sambil nunggu." "Iya." Kiran duduk melihat-lihat kendaraan lewat. Jika kehidupan bisa lebih bersinar dan berwarna seperti lampu kendaraan, maka sedikit lebih baik baginya. Sebelum ke luar Kiran membaca buku "Pemanggilan Roh Jahat" , tepatnya bab Ritual Pemanggilan. Bukan pemanggilan roh jahat secara acak, namun awal kemunculan Gataka dilakukan secara sengaja untuk membangkitkan dendam. Syarat Pema
"Maaf nasi goreng kamu jatuh di jalan," kata Ria sangat menyesal. Nasi goreng Kiran terjatuh saat menolong Ria yang dijambak dari belakang. Kiran pun baru sadar pas kabur plastik bungkus nasi gorengnya sudah tak ada di tangan. "Gak apa-apa," sahut Kiran ikhlas. Kruyuk! Bunyi cacing perut kelaparan tidak bisa disembunyikan. Kiran memijat pelipisnya malu. "Aku bisa tahan sampai pagi." Ria melirik ke perutnya tak enak hati. "Mas, bisa mampir ke warung makan gak? Kasihan Kiran." "Mau makan apa?" tawar Ranu. Ria mencondongkan badan ke depan, menunjuk tempat makan yang buka 24 jam. "Di situ tuh, ada penjual ayam bakar." Ayam? Kedengaran enak. "Gak ngerepotin kalian, kan?" Ria menggeleng ramah. Jawaban Ranu berbeda. "Daripada pingsan di rumah saya." Mobil melipir ke kedai ayam bakar. Dari wangi saja mereka tahu pasti rasanya enak. Sudah dini hari tidak banyak pembeli yang makan di tempat. Mereka lebih leluasa memilih tempat duduk. Setelah memesan tiga porsi nasi ayam bakar dan m
"Apa dia berpikir semua yang dilakukan sekarang bisa menebus dosanya di masa lalu?" — someone — *** Bolak-balik channel tv membuat Ria muak bermalam di rumah Ranu. Pemilihan warna monokrom dan perabotan ala kadarnya sangat tidak enak dipandang. Selera yang membosankan. "Sampai kapan kita di sini? Aku butuh udara segar, Kiran." Kiran setengah bangun di sofa melihat Ranu yang barusan ke dapur sedang meletakkan buah-buahan di kulkas. "Kita gak lama di sini. Mas gak perlu stok banyak makanan," ucapnya rada keras supaya terdengar sampai belakang. Ria menepuk-nepuk bokong Kiran agar duduk saja tak menghiraukan Ranu. "Biarin saja." "Yang di meja belum habis." Dari camilan yang dibeli Ranu semalam masih sisa. Maksud Kiran mubazir kalau nanti mereka pulang terus tidak ada yang menghabiskan makanan. Ranu lihat raut wajah Kiran dari tempatnya, dia tersenyum sembari menutup pintu kulkas. Dia berjalan menuju ruang tengah tempat mereka begadang. "Apa film korea sebagus itu?" tanyanya duduk