Sulit melupakan kenangan buruk dalam ingatan. Bahkan kenangan indah pun bisa tidak berguna jika yang buruk membuat seseorang runtuh dalam sekejap Kematiannya memukul hebat jiwa Kiran. Selama satu pekan ia tidak nafsu melakukan apa pun. Hanya tidur di kamar, tidak makan, minum, juga menutup diri dari Tarendra. Tarendra bahkan melarang Kiran ikut pemakaman sahabatnya. Saat itu Kiran hanya berpikir dan berpikir setiap hari. Apa gunanya hidup? Bagaimana menebus dosanya di akhirat? Kapan Tuhan mencabut nyawanya? Di mana letak keajaiban yang disebut ada oleh orang-orang? Mengapa hal ini terjadi pada mereka? Semua pemikiran negatif menyeruak hingga energinya semakin digerogoti Gataka. Untuk mengakhiri penderitaan tak berujung, Kiran menelan sepuluh butir obat penenang dan tidak sadarkan diri. Kiran dibawa ke rumah sakit kemudian terbangun melupakan satu orang di masa lalunya. Siapa orang yang Kiran lupakan? *** "Terlambat! Aku terlambat!" Kiran baru ingat ada janji dengan Iptu Cakra
Hampir larut malam perut Kiran keroncongan. Nasib tinggal sendiri di rumah peninggalan orang tua, apa-apa serba dikerjakan mandiri. Ia memang jarang makan kecuali lapar setengah mati. Apalagi stok makanan akhir bulan menipis. Kiran harus pergi ke mesin ATM tarik uang tunai baru bisa beli nasi goreng seberang jalan. Sudah cukup lama Kiran tidak ke luar cari makan malam-malam. Mungkin adaptasinya meningkat pesat berkat Ria dan Ranu. Peran mereka sangat berpengaruh ke dalam kesehariannya. "Pak, beli nasi goreng satu. Nasinya setengah porsi, banyakin sayuran aja." "Baik, Mbak. Duduk dulu sambil nunggu." "Iya." Kiran duduk melihat-lihat kendaraan lewat. Jika kehidupan bisa lebih bersinar dan berwarna seperti lampu kendaraan, maka sedikit lebih baik baginya. Sebelum ke luar Kiran membaca buku "Pemanggilan Roh Jahat" , tepatnya bab Ritual Pemanggilan. Bukan pemanggilan roh jahat secara acak, namun awal kemunculan Gataka dilakukan secara sengaja untuk membangkitkan dendam. Syarat Pema
"Maaf nasi goreng kamu jatuh di jalan," kata Ria sangat menyesal. Nasi goreng Kiran terjatuh saat menolong Ria yang dijambak dari belakang. Kiran pun baru sadar pas kabur plastik bungkus nasi gorengnya sudah tak ada di tangan. "Gak apa-apa," sahut Kiran ikhlas. Kruyuk! Bunyi cacing perut kelaparan tidak bisa disembunyikan. Kiran memijat pelipisnya malu. "Aku bisa tahan sampai pagi." Ria melirik ke perutnya tak enak hati. "Mas, bisa mampir ke warung makan gak? Kasihan Kiran." "Mau makan apa?" tawar Ranu. Ria mencondongkan badan ke depan, menunjuk tempat makan yang buka 24 jam. "Di situ tuh, ada penjual ayam bakar." Ayam? Kedengaran enak. "Gak ngerepotin kalian, kan?" Ria menggeleng ramah. Jawaban Ranu berbeda. "Daripada pingsan di rumah saya." Mobil melipir ke kedai ayam bakar. Dari wangi saja mereka tahu pasti rasanya enak. Sudah dini hari tidak banyak pembeli yang makan di tempat. Mereka lebih leluasa memilih tempat duduk. Setelah memesan tiga porsi nasi ayam bakar dan m
"Apa dia berpikir semua yang dilakukan sekarang bisa menebus dosanya di masa lalu?" — someone — *** Bolak-balik channel tv membuat Ria muak bermalam di rumah Ranu. Pemilihan warna monokrom dan perabotan ala kadarnya sangat tidak enak dipandang. Selera yang membosankan. "Sampai kapan kita di sini? Aku butuh udara segar, Kiran." Kiran setengah bangun di sofa melihat Ranu yang barusan ke dapur sedang meletakkan buah-buahan di kulkas. "Kita gak lama di sini. Mas gak perlu stok banyak makanan," ucapnya rada keras supaya terdengar sampai belakang. Ria menepuk-nepuk bokong Kiran agar duduk saja tak menghiraukan Ranu. "Biarin saja." "Yang di meja belum habis." Dari camilan yang dibeli Ranu semalam masih sisa. Maksud Kiran mubazir kalau nanti mereka pulang terus tidak ada yang menghabiskan makanan. Ranu lihat raut wajah Kiran dari tempatnya, dia tersenyum sembari menutup pintu kulkas. Dia berjalan menuju ruang tengah tempat mereka begadang. "Apa film korea sebagus itu?" tanyanya duduk
'Aku harus tetap di sisi kalian'Satu malam Kiran habiskan mengulang ucapan Ranu yang sangat mengganggunya. Ia sering merasa tidak asing terhadap sesuatu namun tidak bisa mengingatnya.Sia-sia seberapa keras usaha Kiran mengingatnya. Ia berakhir frustasi dan menyerah. Keyakinannya terguncang apabila dipaksa berpikir keras.'Jangan terlalu dipikirkan. Kamu gak akan diperiksa polisi karena gak ada bukti konkret'Tiap teringat wajah Tarendra saat mengatakan hal tersebut, Kiran merasa menjadi beban berat di punggung ayahnya. Tarendra yang sangat ingin melindunginya namun berakhir tragis. Sebagian orang menganggap kematian adalah hal yang wajar. Semua orang pasti meninggal kapan saja dan di mana saja.Malam itu, kabut di luar tak bisa menutup kedinginan mereka di rumah sakit. Kiran bangun dari masa kritisnya akibat overdosis obat tidur dan Tarendra menyembunyikan seseorang yang Kiran lupakan.'Kiran, mulai sekarang jangan percaya siapa pun selain ayah. Di dunia ini hanya ada kita berdua. A
Pria yang tidak tidur semalaman takut terjadi hal buruk pada gadis yang ingin dilindungi melangkah cepat menuju pria lain yang sedang berdiri di dekat dinding kaca mengarah ke pemandangan tengah kota. Ranu berhenti di belakangnya. "Apa yang kamu pikirkan?" "Kamu sudah kembali?" Pria itu justru dengan tenang memegang cangkir teh di pagi hari. "Mereka hampir celaka semalam, kenapa kamu gak bergerak menolong mereka!" Dia berbalik pelan seraya bertanya, "Apa maksudnya?" "Jangan menyangkal lagi. Aku tahu kamu mengawasi Kiran," ucap Ranu. "Dia tidak akan mati meskipun lima roh jahat mengejarnya. Yang ada sebaliknya." "Kamu masih berpikir Kiran pelakunya?" "Entah." "Jangan menyesal apabila nanti terjadi hal buruk pada Kiran. Dia diincar karena kamu lagi. Keputusan kamu sudah benar untuk mengurung diri di rumah ini. Jangan berkeliaran lagi, atau ... aku bongkar identitas kita berdua." Pria itu menarik kerah baju Ranu. "Jangan coba-coba." Ranu menyeringai licik. Dia tahu kelemahannya
Huruf besar bertuliskan HIRAWAN HOSPITAL di atas nampak jelas dari bawah. Di mana pun tempat Kiran berpijak ada hubungannya dengan Grup Hirawan. Mereka baru sampai di halaman parkir depan. Leher Ranu mendongak ikut muak dengan nama Hirawan. “Aku muak sekali lihat nama itu, ck.” Mereka ke luar bersama. Tanpa bertanya ke meja administrasi di mana kamar Dokter Fandi dirawat, Ranu mengarahkan Kiran seperti sudah survei sebelum datang. Rumah sakit adalah tempat menyeramkan kedua setelah pemakaman. Ada banyak roh berkeliaran meminta bantuan dan memusatkan perhatian bagi manusia yang bisa melihat mereka. Mereka tidak bisa mendatangi Kiran dalam radius 1 meter sebab ia terhubung dengan Gataka. Apabila hantu lain berusaha mendekat, mereka akan kehabisan energi dan lenyap. Dokter Fandi dirawat di bangsal naratama. Bisa dilihat di depan kamar ada dua penjaga memakai setelan formal hitam putih mirip bodyguard. Sekilas ia lihat Ranu menunjukkan sesuatu dari dompetnya, entah kartu identitas ata
"Takdir sulit ditebak. Aku gak menyangka bisa bertemu Raka lagi. Ternyata dia tinggal di lingkungan yang sama selama ini. Tunggu, kita memang gak pernah main ke rumah satu sama lain sewaktu TK karena ayah melarang siapa pun datang ke rumah."Kiran meletakkan tas di atas nakas kemudian duduk di kursi menghadap komputernya. Pencarian sebelum berangkat kerja masih ada di riwayat jelajah. Biografi penulis buku "Pemanggilan Roh Jahat" oleh Sagara Paramayoga amat menarik.Sagara Paramayoga, panggilan singkatnya Saga. Lahir di Kota Prajuna tahun 1957. Dikurangi tahun sekarang usianya adalah 65 tahun. Saga menerbitkan bukunya di tahun 1972, artinya saat usia 15 tahun. Masih sangat muda. Bagaimana seorang remaja bisa menulis buku tentang roh jahat?Setelah dicari riwayat orang tua Saga di beberapa artikel terkait namanya, Kiran mengetahui bahwa keluarga mereka adalah keturunan paranormal. Biasanya, jika memiliki garis paranormal, anak yang lahir harus men