"Apa dia berpikir semua yang dilakukan sekarang bisa menebus dosanya di masa lalu?" — someone — *** Bolak-balik channel tv membuat Ria muak bermalam di rumah Ranu. Pemilihan warna monokrom dan perabotan ala kadarnya sangat tidak enak dipandang. Selera yang membosankan. "Sampai kapan kita di sini? Aku butuh udara segar, Kiran." Kiran setengah bangun di sofa melihat Ranu yang barusan ke dapur sedang meletakkan buah-buahan di kulkas. "Kita gak lama di sini. Mas gak perlu stok banyak makanan," ucapnya rada keras supaya terdengar sampai belakang. Ria menepuk-nepuk bokong Kiran agar duduk saja tak menghiraukan Ranu. "Biarin saja." "Yang di meja belum habis." Dari camilan yang dibeli Ranu semalam masih sisa. Maksud Kiran mubazir kalau nanti mereka pulang terus tidak ada yang menghabiskan makanan. Ranu lihat raut wajah Kiran dari tempatnya, dia tersenyum sembari menutup pintu kulkas. Dia berjalan menuju ruang tengah tempat mereka begadang. "Apa film korea sebagus itu?" tanyanya duduk
'Aku harus tetap di sisi kalian'Satu malam Kiran habiskan mengulang ucapan Ranu yang sangat mengganggunya. Ia sering merasa tidak asing terhadap sesuatu namun tidak bisa mengingatnya.Sia-sia seberapa keras usaha Kiran mengingatnya. Ia berakhir frustasi dan menyerah. Keyakinannya terguncang apabila dipaksa berpikir keras.'Jangan terlalu dipikirkan. Kamu gak akan diperiksa polisi karena gak ada bukti konkret'Tiap teringat wajah Tarendra saat mengatakan hal tersebut, Kiran merasa menjadi beban berat di punggung ayahnya. Tarendra yang sangat ingin melindunginya namun berakhir tragis. Sebagian orang menganggap kematian adalah hal yang wajar. Semua orang pasti meninggal kapan saja dan di mana saja.Malam itu, kabut di luar tak bisa menutup kedinginan mereka di rumah sakit. Kiran bangun dari masa kritisnya akibat overdosis obat tidur dan Tarendra menyembunyikan seseorang yang Kiran lupakan.'Kiran, mulai sekarang jangan percaya siapa pun selain ayah. Di dunia ini hanya ada kita berdua. A
Pria yang tidak tidur semalaman takut terjadi hal buruk pada gadis yang ingin dilindungi melangkah cepat menuju pria lain yang sedang berdiri di dekat dinding kaca mengarah ke pemandangan tengah kota. Ranu berhenti di belakangnya. "Apa yang kamu pikirkan?" "Kamu sudah kembali?" Pria itu justru dengan tenang memegang cangkir teh di pagi hari. "Mereka hampir celaka semalam, kenapa kamu gak bergerak menolong mereka!" Dia berbalik pelan seraya bertanya, "Apa maksudnya?" "Jangan menyangkal lagi. Aku tahu kamu mengawasi Kiran," ucap Ranu. "Dia tidak akan mati meskipun lima roh jahat mengejarnya. Yang ada sebaliknya." "Kamu masih berpikir Kiran pelakunya?" "Entah." "Jangan menyesal apabila nanti terjadi hal buruk pada Kiran. Dia diincar karena kamu lagi. Keputusan kamu sudah benar untuk mengurung diri di rumah ini. Jangan berkeliaran lagi, atau ... aku bongkar identitas kita berdua." Pria itu menarik kerah baju Ranu. "Jangan coba-coba." Ranu menyeringai licik. Dia tahu kelemahannya
Huruf besar bertuliskan HIRAWAN HOSPITAL di atas nampak jelas dari bawah. Di mana pun tempat Kiran berpijak ada hubungannya dengan Grup Hirawan. Mereka baru sampai di halaman parkir depan. Leher Ranu mendongak ikut muak dengan nama Hirawan. “Aku muak sekali lihat nama itu, ck.” Mereka ke luar bersama. Tanpa bertanya ke meja administrasi di mana kamar Dokter Fandi dirawat, Ranu mengarahkan Kiran seperti sudah survei sebelum datang. Rumah sakit adalah tempat menyeramkan kedua setelah pemakaman. Ada banyak roh berkeliaran meminta bantuan dan memusatkan perhatian bagi manusia yang bisa melihat mereka. Mereka tidak bisa mendatangi Kiran dalam radius 1 meter sebab ia terhubung dengan Gataka. Apabila hantu lain berusaha mendekat, mereka akan kehabisan energi dan lenyap. Dokter Fandi dirawat di bangsal naratama. Bisa dilihat di depan kamar ada dua penjaga memakai setelan formal hitam putih mirip bodyguard. Sekilas ia lihat Ranu menunjukkan sesuatu dari dompetnya, entah kartu identitas ata
"Takdir sulit ditebak. Aku gak menyangka bisa bertemu Raka lagi. Ternyata dia tinggal di lingkungan yang sama selama ini. Tunggu, kita memang gak pernah main ke rumah satu sama lain sewaktu TK karena ayah melarang siapa pun datang ke rumah."Kiran meletakkan tas di atas nakas kemudian duduk di kursi menghadap komputernya. Pencarian sebelum berangkat kerja masih ada di riwayat jelajah. Biografi penulis buku "Pemanggilan Roh Jahat" oleh Sagara Paramayoga amat menarik.Sagara Paramayoga, panggilan singkatnya Saga. Lahir di Kota Prajuna tahun 1957. Dikurangi tahun sekarang usianya adalah 65 tahun. Saga menerbitkan bukunya di tahun 1972, artinya saat usia 15 tahun. Masih sangat muda. Bagaimana seorang remaja bisa menulis buku tentang roh jahat?Setelah dicari riwayat orang tua Saga di beberapa artikel terkait namanya, Kiran mengetahui bahwa keluarga mereka adalah keturunan paranormal. Biasanya, jika memiliki garis paranormal, anak yang lahir harus men
Berdandan di pagi hari adalah rutinitas perempuan sebelum berangkat bekerja. Meskipun tangan kirinya memegang bedak padat dan tangan kanannya menepuk spons ke tiap centi wajah, yang Ria lakukan sekarang bukan keinginannya. Semburan tawa dari orang-orang yang lewat bahkan diabaikan. Gara-gara Ranu ke rumah Ria sepuluh menit lalu, mereka menyusul ke rumah Kiran. Ria berdandan di depan rumah Kiran. Mending di teras, ini di depan pagar. "Mas, menurut saya ini keterlaluan." Ria mengadu. Di samping Ria ada Ranu sedang berdiri main ponsel sembari menunggu satu orang ke luar. "Apanya?" "Kenapa kita dadakan samperin Kiran? Dia baru bangun pas kita ke sini!" Ria menendang-nendang kakinya ke depan lalu menyikut kaki Ranu. Ria pikir ada situasi buruk sampai Ranu tergesa-gesa ke kosannya, sampai disuruh bawa seperangkat alat make up. Di waktu itu, Ria baru selesai mandi dan belum menata rambut. Untungnya sudah pakai seragam kerja. "Saya malu dilihatin orang-orang!" teriak Ria. "Jangan pedul
Kiran berhenti tepat di depan pintu. "Aku tahu kamu di luar. Apa yang kamu rencanakan?" Fuadi berada di hadapannya, hanya saja terhalang pintu besar. Kiran tetap bisa melihatnya dari celah. "Membunuh mereka semua ..." Duarrr! Teriakan bersahutan memenuhi telinga. Salah satu mesin meledak hingga dua orang terdekat terpental. Duarr! Disusul mesin lainnya terdengar ledakan. Semburan api menambah kepanikan orang-orang. "Api! Api!" Kiran coba menggeser pintu. "Buka! Buka pintunya!" Digembok dari luar. Ini tidak bagus. Mereka semua saling mendorong berusaha ke luar dari gedung untuk menyelamatkan diri. "Kamu pikir membunuh orang lain menuntaskan dendam kamu? Kamu salah." "Ini satu-satunya cara agar pria pemilik batu cempaka biru muncul. Hahaha!" "Siapa dia!!" Kiran berteriak marah. Duarr! Kiran menutup kedua telinga. "Berhenti!!!" Alangkah t
Fuadi lari sekencang angin ribut sebelum tertangkap saksi mata. Roh jahat mengelabui Kiran dengan cara ke luar dari raganya kemudian merasuk lagi. Tap! Tap! Tap! Suara langkah sepatu bersahutan di lapangan titik kumpul. Fuadi dikejar oleh pria bermasker pemilik batu cempaka biru, Raka. Raka segera ke luar dari tempat persembunyian setelah mendapat info adanya penerobosan. Tidak lama Raka bersiap turun, alarm kebakaran dari pos depan berbunyi kencang. Dia menghubungi pemadam kebakaran kemudian menghubungi nomor Ranu. Melihat asap hitam muncul dari gedung A1, Raka berlari menuju ke sana. Di jalan antara gedung A1 dan A2 Raka berpapasan dengan Fuadi. Tanpa meminta keterangan siapa penyusupnya, Raka bisa merasakan energi roh jahat dalam diri Fuadi. Fuadi berputar arah ketahuan oleh Raka. Raka mempercepat langkahnya semakin dekat dengan Fuadi. Hap! Dengan kecepatan larinya, tak butuh waktu lama mengejar Fuadi. Raka menarik kerah belakang jaket Fuadi sehingga dia berhenti. Raka mem