Huruf besar bertuliskan HIRAWAN HOSPITAL di atas nampak jelas dari bawah. Di mana pun tempat Kiran berpijak ada hubungannya dengan Grup Hirawan. Mereka baru sampai di halaman parkir depan. Leher Ranu mendongak ikut muak dengan nama Hirawan. “Aku muak sekali lihat nama itu, ck.” Mereka ke luar bersama. Tanpa bertanya ke meja administrasi di mana kamar Dokter Fandi dirawat, Ranu mengarahkan Kiran seperti sudah survei sebelum datang. Rumah sakit adalah tempat menyeramkan kedua setelah pemakaman. Ada banyak roh berkeliaran meminta bantuan dan memusatkan perhatian bagi manusia yang bisa melihat mereka. Mereka tidak bisa mendatangi Kiran dalam radius 1 meter sebab ia terhubung dengan Gataka. Apabila hantu lain berusaha mendekat, mereka akan kehabisan energi dan lenyap. Dokter Fandi dirawat di bangsal naratama. Bisa dilihat di depan kamar ada dua penjaga memakai setelan formal hitam putih mirip bodyguard. Sekilas ia lihat Ranu menunjukkan sesuatu dari dompetnya, entah kartu identitas ata
"Takdir sulit ditebak. Aku gak menyangka bisa bertemu Raka lagi. Ternyata dia tinggal di lingkungan yang sama selama ini. Tunggu, kita memang gak pernah main ke rumah satu sama lain sewaktu TK karena ayah melarang siapa pun datang ke rumah."Kiran meletakkan tas di atas nakas kemudian duduk di kursi menghadap komputernya. Pencarian sebelum berangkat kerja masih ada di riwayat jelajah. Biografi penulis buku "Pemanggilan Roh Jahat" oleh Sagara Paramayoga amat menarik.Sagara Paramayoga, panggilan singkatnya Saga. Lahir di Kota Prajuna tahun 1957. Dikurangi tahun sekarang usianya adalah 65 tahun. Saga menerbitkan bukunya di tahun 1972, artinya saat usia 15 tahun. Masih sangat muda. Bagaimana seorang remaja bisa menulis buku tentang roh jahat?Setelah dicari riwayat orang tua Saga di beberapa artikel terkait namanya, Kiran mengetahui bahwa keluarga mereka adalah keturunan paranormal. Biasanya, jika memiliki garis paranormal, anak yang lahir harus men
Berdandan di pagi hari adalah rutinitas perempuan sebelum berangkat bekerja. Meskipun tangan kirinya memegang bedak padat dan tangan kanannya menepuk spons ke tiap centi wajah, yang Ria lakukan sekarang bukan keinginannya. Semburan tawa dari orang-orang yang lewat bahkan diabaikan. Gara-gara Ranu ke rumah Ria sepuluh menit lalu, mereka menyusul ke rumah Kiran. Ria berdandan di depan rumah Kiran. Mending di teras, ini di depan pagar. "Mas, menurut saya ini keterlaluan." Ria mengadu. Di samping Ria ada Ranu sedang berdiri main ponsel sembari menunggu satu orang ke luar. "Apanya?" "Kenapa kita dadakan samperin Kiran? Dia baru bangun pas kita ke sini!" Ria menendang-nendang kakinya ke depan lalu menyikut kaki Ranu. Ria pikir ada situasi buruk sampai Ranu tergesa-gesa ke kosannya, sampai disuruh bawa seperangkat alat make up. Di waktu itu, Ria baru selesai mandi dan belum menata rambut. Untungnya sudah pakai seragam kerja. "Saya malu dilihatin orang-orang!" teriak Ria. "Jangan pedul
Kiran berhenti tepat di depan pintu. "Aku tahu kamu di luar. Apa yang kamu rencanakan?" Fuadi berada di hadapannya, hanya saja terhalang pintu besar. Kiran tetap bisa melihatnya dari celah. "Membunuh mereka semua ..." Duarrr! Teriakan bersahutan memenuhi telinga. Salah satu mesin meledak hingga dua orang terdekat terpental. Duarr! Disusul mesin lainnya terdengar ledakan. Semburan api menambah kepanikan orang-orang. "Api! Api!" Kiran coba menggeser pintu. "Buka! Buka pintunya!" Digembok dari luar. Ini tidak bagus. Mereka semua saling mendorong berusaha ke luar dari gedung untuk menyelamatkan diri. "Kamu pikir membunuh orang lain menuntaskan dendam kamu? Kamu salah." "Ini satu-satunya cara agar pria pemilik batu cempaka biru muncul. Hahaha!" "Siapa dia!!" Kiran berteriak marah. Duarr! Kiran menutup kedua telinga. "Berhenti!!!" Alangkah t
Fuadi lari sekencang angin ribut sebelum tertangkap saksi mata. Roh jahat mengelabui Kiran dengan cara ke luar dari raganya kemudian merasuk lagi. Tap! Tap! Tap! Suara langkah sepatu bersahutan di lapangan titik kumpul. Fuadi dikejar oleh pria bermasker pemilik batu cempaka biru, Raka. Raka segera ke luar dari tempat persembunyian setelah mendapat info adanya penerobosan. Tidak lama Raka bersiap turun, alarm kebakaran dari pos depan berbunyi kencang. Dia menghubungi pemadam kebakaran kemudian menghubungi nomor Ranu. Melihat asap hitam muncul dari gedung A1, Raka berlari menuju ke sana. Di jalan antara gedung A1 dan A2 Raka berpapasan dengan Fuadi. Tanpa meminta keterangan siapa penyusupnya, Raka bisa merasakan energi roh jahat dalam diri Fuadi. Fuadi berputar arah ketahuan oleh Raka. Raka mempercepat langkahnya semakin dekat dengan Fuadi. Hap! Dengan kecepatan larinya, tak butuh waktu lama mengejar Fuadi. Raka menarik kerah belakang jaket Fuadi sehingga dia berhenti. Raka mem
Raka duduk di kursinya sembari mengangkat kedua kaki ke atas meja. Selama 4 tahun terakhir ia cuma mengawasi Kiran dari jauh. Sangat jauh. Kiran pun tak sadar diawasi olehnya. Sedari awal batu cempaka biru diberikan padanya sudah bermasalah. Sebisa mungkin keberadaan batu cempaka biru tidak diketahui roh jahat. Masalah yang ditimbulkan batu berenergi kuat ini mengakibatkan kesalahpahaman luar biasa. Meski berdampak buruk, Raka sedikit lega Vilas menyerahkan jimatnya. 4 tahun silam Raka menemukan keterlibatan Vilas dalam kematian Aina, sahabat mereka sekaligus kekasihnya. Rencana jahat pria tua bangka itu belum sirna sejak muda. Mengingat perdebatan antara anak dan ayah sangat membuat Raka jijik. "Kiran gak mungkin membunuh sahabatnya. Ayah, bukan? Ayah gak setuju aku dengan Aina, itu cukup menjadi alasan menyingkirkan dia." "Jaga mulut kamu, Raka! Apa sopan meninggikan suara di depan ayahmu sendiri! Hanya karena satu gadis pergi, kamu menuduh ayah melakukan hal mengerikan. Buat a
"Mau ke mana?" Ipda Aswin mendongakkan kepala melihat Cakra bangkit dari kursi memakai jaket. "Pergi lah," sahut Cakra melihat jam di meja menunjukkan pukul empat sore lebih lima belas menit. Ketua dari anak-anak nakal ikut bertanya, "Kamu sering bepergian." Antara heran dan menyindir. Harsa berdiri meletakkan kedua tangannya di pinggang. "Kasus PT SH sudah selesai. Apa ada yang masih mengganjal?" tanya Aswin. Dia mengadu ke Harsa, "Bapak tahu karakter Iptu Cakra. Dia suka bergerak sendiri tiap kasus yang kita tangani selesai. Beberapa hari kemudian, dia bawa orang gak dikenal dan orang itu dipenjara." Mereka rekan-rekan kantor sudah sekian kali menerima pelaku kriminal yang "tersembunyi" dalam setiap kasusnya dinyatakan tuntas. Aswin tertawa ingat dua bulan yang lalu Cakra menyeret peracik nark*ba ke polres dan mempertemukannya ke pengedar yang sudah tertangkap. "Mereka akhirnya ribut di persidangan. Haha." Harsa menyahut, "Bagi kamu lucu?" Alisnya terangkat. Aswin mengatupkan
"Siapa yang dia kejar?" Cakra melihat Kiran sedang mengikuti jejak seorang pria. Terakhir pria itu berbelok ke luar pintu yang tertutup tiang dalam lobi, cepat-cepat Cakra hentikan langkahnya. Cakra berdiri di hadapannya sehingga menghalangi pandangan. "Kasir bilang, buku yang kamu tanyakan bisa jadi sampel dari penulis yang gak terbit. Buku apa sih?" "Novel." "Ngapain kamu kejar dia?" "Kamu lihat?" "Dia teman kamu." "Mas Ranu??" Sedang apa dia di sini, tidak memberitahu dan bertingkah menghindarinya. "Postur badannya jelas dia. Saya bisa langsung tahu karena sering mencocokkan pelaku dari cctv. Sejauh apa pun objeknya, saya bisa lihat. Julukan saya mata elang." Kiran mendelik. "Kamu pikir Mas Ranu sama seperti pelaku kejahatan!" Cakra balas melotot dimarahi oleh anak kecil. "Kamu tahu dikira anak saya sama dua kasir di atas?" "Mereka anggap kamu tua, haha!" "Saya perhatikan kamu dan Ranu selalu bersama. Kalian secara kebetulan ada di sini juga. Dia pergi pas kamu datang. S