"Diam kamu!! Aku bukan putranya!!" Ditolak sebagai ayah oleh anaknya sendiri membuat Vilas belum membunuh Ranu atas apa yang dilakukannya selama ini walau di luar batas. Vilas membutuhkan Ranu karena Raka memintanya tetap berada di keluarga mereka. Dada Ranu sangat sesak hingga ia kesulitan bernapas. Perkataan Raka sangat berefek dalam tubuhnya. Raka sudah berjanji takkan mengungkit statusnya, mengapa dia sangat kejam padanya. "Dia pingsan?" gumam Raka. "Angga, bawa dia ke kamar." "Baik, Tuan." Angga memapah Ranu yang tak sadarkan diri menuju kamar pribadinya di bagian ujung. Selama ini Ranu ke rumah Raka jika ada sesuatu yang mendesak. Dominan terisi pertengkaran kakak beradik. "Anak itu sangat keterlaluan." Vilas tertatih kembali duduk memikirkan Ranu. Ekspresi maut Raka hanya bisa terlihat di belakang Vilas. Bagaimanapun kebencian pada Vilas tetap ada. Kedua putranya membenci Vilas dengan cara lain. Ranu sulit mengontrol emosi sedangkan Raka bermuka dua agar mengambil perha
Awal bekerja di PT SH, Ranu mempelajari tugasnya sebagai asisten manajer sangat cepat. Seluruh keturunan marga Hirawan memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan mampu beradaptasi dengan baik. Ranu sangat tidak percaya pada keluarganya yang sekarang. Baginya, Vilas dan Raka sama-sama gila. Jauh lebih berharga orang tuanya yang membesarkan dari kecil. Mereka menyayangi sepenuh hati, mereka bertiga tak pernah bertengkar. Lain halnya ketika Ranu disuruh kembali ke asal oleh orang tua angkatnya. Mulai dari dirinya menginjakkan kaki di rumah berlantai marmer dan dikelilingi interior mewah, semua kebahagiannya yang terkumpul lebih dari 21 tahun seolah direnggut. Larangan kecil hingga besar membuat Ranu berpikir susahnya menggapai hidup sempurna di mata orang luar. Reputasi keluarga harus dijaga baik-baik. Ranu mengekang permintaan pertama Vilas. Ayah kandungnya yang bermuka tebal itu hampir mengumumkan anak sulungnya kembali di rapat dewan pada tahun 2018. Bayangkan jika itu terjadi. Ran
Angga mengekori Vilas sepulang bekerja dari kantor pusat ke PT SH, lebih spesifiknya ke rumah Raka. Bertepatan Raka sedang menuruni tangga dikelilingi alunan biola dari pengeras yang terpasang tiap sudut agar lebih bersemangat menjelang jam akhir kerja. Pihak pertama yang menghampiri Raka di bawah tangga adalah Vilas. Raka memiringkan kepala, sebelah alisnya naik memandang serius Angga sembunyi di belakang punggung Vilas. Ia sama sekali tidak dapat kabar menjelang matahari terbenam bahwa Vilas mau datang ke rumah. Ranu mematikan musiknya melalui handphone yang terhubung ke speaker satu rumah. Angga menunduk kecolongan sibuk mengurus bosnya hingga lupa dia bekerja untuk siapa. "Seorang ayah bisa melihat putranya kapan saja," ujar Vilas. Raka tersenyum palsu, dalam hatinya mengumpat. "Jangan berdiri saja. Duduklah." "Gak usah, ayah cuma mengingatkan jangan ke luar rumah malam ini." "Memangnya aku pernah ke luar malam hari?" singgungnya kala Vilas berbalik setelah memberi pering
Cakra melongok ke semua bangku mobil, bahkan bagasi belakang, tak ada wujud Fuadi. Dia tidak ada di bangku kemudi maupun bangku penumpang apabila terpental usai mobil bertabrakan. Benar-benar kosong. Petugas divisi lalu lintas, sebut saja Ahmad, berlari kecil dari garis pembatas TKP yang sudah dipasang menuju ke posisi Cakra berdiri. "Pak Cakra, ada saksi yang melihat tersangka melarikan diri." "Ke mana?" tanya Cakra akan bergegas. "Tersangka belok ke jalan kanan." "Saya minta kerjasama kalian. Tetap jaga situasi di sini barangkali tersangka kembali." "Baik, Pak." Cakra bimbang harus pergi ke kanan atau kiri. Fuadi pergi ke lawan arah dari tempat tinggal Kiran, sementara dirinya cemas mengetahui Fuadi mengincar Kiran. Opsi pertama Cakra memastikan keadaan Kiran dengan cara menelepon langsung. Baru saja panggilan tersambung, Cakra menyerobot pertanyaan. "Kamu di mana? Di rumah?" Jarak antar alis Kiran berkerut heran tiba-tiba Cakra bertanya posisinya. "Bukan. Di perpustakaan u
"Begitu banyak kebohongan kalian. Aku sampai tidak bisa menghitungnya dengan jari. Wahh, jika Kiran tahu semuanya...," Raka menepikan mobilnya di tepi jalan dekat minimarket. Dia dengar Gataka mengajaknya bicara sekaligus menguji seberapa tebal kesabarannya. "Aku tidak tahu. Kiran sulit dimengerti," sambung Gataka meragukan inangnya. "Apa pun itu, dia lebih membencimu." "Itu benar." "Apa semua yang diperoleh Vilas karena mengorbankan kamu? Andai benar maka—" "Tidak salah juga," sela Gataka. "Bisa terima saranku? Sampaikan juga ke saudaramu yang selalu menangis di belakang. Jangan terlalu buru-buru mencari semuanya. Satu per satu." Raka terkekeh. "Kamu takut segera lenyap?" "Kalian akan lebih hancur dari sekarang. Aku tahu rahasia kalian tapi kalian gak tahu rahasiaku." Cara bicara Gataka sangat khas. Dia tersenyum penuh taktik. Mempermainkan Ranu, Raka, dan Vilas sangat menyenangkan. Mereka bertiga kerap bertengkar dan dianggap tontonan. Sedangkan Kiran hanya menangis dalam
Tiga mobil berhenti di depan kantor polisi. Mobil yang dikawal depan dan belakang adalah kendaraan yang dinaiki Fuadi, Pak Harsa, dan dua petugas junior. Mobil di depan ialah milik Iptu Cakra, dia kawal jalan memastikan tidak ada hambatan, lalu di belakang mobil untuk berjaga. Fuadi ke luar dengan tangan diborgol depan masuk bersama Pak Harsa dan Iptu Cakra. Petugas lain berasal dari polsek, jadi mereka kembali ke sana setelah membantu Aswin berdiri mengawasi Ria yang sedang mondar-mandir di ruang tunggu. Ria langsung menghampiri Fuadi yang tiba di sana sembari mengepalkan tangan. "Kenapa kamu kabur setelah melukai petugas, hah? Kamu mau celakai Kiran?! Kamu mau bikin aku gila?!" Ria menghujami pukulan di dada Fuadi. Aswin menarik Ria. "Sabar dulu." Aswin menahan tangan Ria yang menarik kerah baju Fuadi. Darahnya naik sampai ke ubun-ubun. Jelas dia sangat marah mantan suaminya berbuat buruk lebih dari saat mereka berkeluarga. Cakra membuat garda di depan Fuadi. "Kiran aman. Dia
Kiran membuka mata dalam keadaan tertelungkup di lapangan sekolah. Terakhir ia tidur di kasur rumah. "Kenapa aku ada di sini?" Gerakan matanya gusar mengamati sekitar sebelum bangun. Pakaian yang dikenakan masih sama. "Mimpi?" Kepalanya berdenging panjang mengakibatkan rasa sakit tak tertahankan. Kiran mengerang kesakitan, matanya terpejam dan ketika terbuka tempatnya berdiri bukan lagi di lapangan, melainkan di tepi atap. Baru bernapas setelah rasa terkejut tiba-tiba berpindah bak teleportasi, Kiran membelalak ada tangan yang mendorongnya dari belakang. Kakinya tergelincir dan tubuhnya terhempas ke udara. Samar-samar penglihatannya buram selagi melayang akan jatuh di udara menatap seorang pria di atas sana. Ia tak sanggup melihat kematiannya dengan cara tragis dan memilih menutup mata menunggu malaikat maut menjemputnya. Namun Kiran tersentak tubuhnya yang semula di udara kembali naik sebagaimana gravitasi menarik manusia ke titik bumi. Matanya membulat mengenali wajah pria i
"Kiran sedang jalan-jalan. Aku akan menggantikannya." Gataka menghendikkan bahu hendak masuk kamar lagi melakukan kegiatan sehari-hari Kiran sebelum berangkat kerja. Ranu mencegah lengan tangannya. "Sudah gila kamu, hah?" tanyanya melotot atas kekonyolan ini. Bagaimana dia akan menggantikan Kiran. "Bawa Kiran kembali!" Dimensi gaib yang Gataka perlihatkan kepada Kiran bukan sesuatu yang menakutkan. Pemandangan cerah dari rumah yang diisi keluarga kecil dambaan terpampang depan mata. Kaki Kiran maju perlahan sambil terus melihat Sara tersenyum lebar ke arah Tarendra datang dari dapur membawa nampan, di atasnya terdapat semangkuk sayur bayam dan beberapa potong paha ayam goreng. Mereka terlihat sangat bahagia sehingga tak sadar air mata Kiran menetes haru. Sosok Sara dalam bingkai foto bak ke luar ke dunia nyata. Mungkin ini gambaran andai Sara dan Tarendra masih hidup. Suatu hari Kiran bertanya seberapa besar cinta Tarendra untuk Sara, jawabannya seluas langit beserta isinya. "Ka