"Lima tahun lalu kenapa?" Kiran memperjelas penglihatannya, matanya mengikuti sosok yang berlari mendekat dari balik mobil. "Kita..." Raka terdiam, bahunya ditepuk keras. "Ranu? Kok bisa di sini?" Kiran menunjuk mobil yang terparkir. Kaget sekaligus senang, hatinya bergemuruh. Gurat gelisah Ranu sangat kentara, matanya berkaca-kaca. Hanya Kiran yang tahu betapa dalam kekhawatirannya. “Lokasi kita berdua tertaut di aplikasi, jadi aku langsung datang. Keadaan kamu gimana?” “Aku baik.” Ia berusaha meyakinkan. “Kenapa kamu terengah-engah begini...” Kiran mendekat, tangannya lembut menyentuh bahu Ranu. Sentuhan itu seperti obat penenang, perlahan-lahan napas Ranu mulai teratur. Kehadiran Ranu mendadak membuat Raka merasa tersisih. Dia mundur perlahan, niatnya pergi tanpa pamit. Namun, sebelum sempat melangkah, Ranu sudah membuka suara. “Saya sudah dengar dari Iptu Cakra. Pak Raka sudah menolong Kiran. Terima kasih banyak, Pak.” Ranu mengedipkan sebelah mata ke arah Raka, senyum
Sejak punya teman, Kiran selalu sedia mie instan dan camilan. Soalnya, mereka sering mampir dan menginap. Yang buat kaget, mereka sudah menitipkan ransel berisi baju ganti dari jauh-jauh hari. Sore itu, Kiran dan Ria lagi asyik nonton kartun di ruang tamu sambil nunggu Ranu masak mie. Tiba-tiba, Ria berbisik, “Kayaknya aku agak ragu deh, Ranu bisa masak mie apa nggak.” Dari tadi, Ranu yang nawarin diri buat masak, tapi Ria masih agak curiga. “Kiran, aku ke belakang dulu, ya. Kamu lanjut nonton aja.” Dengan rasa penasaran, Ria mengintip ke dapur. Ternyata, dugaan Ria benar. Ranu lagi melamun di depan kompor, matanya kosong melihat mie yang sedang direbus. Kayaknya dia memikirkan sesuatu yang jauh sekali. “Ranu, masih lama?” Ria menarik kursi dan duduk di samping meja makan, sedikit membuyarkan lamunan Ranu. “Sebentar lagi,” jawab Ranu sambil terus mengawasi mie di kompor. Lalu, dengan nada pelan, dia bertanya, “Kamu baik-baik saja mantan suami kamu dipenjara?” “Aku bingung, Ra
“Kiran!” teriaknya berulang kali, namun tidak ada jawaban. “Aku membawa Kiran sebentar,” bisik sebuah suara lirih, diikuti oleh tawa kecil yang menyeramkan. Ria menoleh ke sana kemari, mencari sumber suara itu. Bulu kuduknya meremang. Ranu menghela napas panjang, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Keadaan akan semakin buruk jika Kiran terlalu lama di alam lain. Ranu mondar-mandir di ruang tamu, pikirannya berkecamuk. Waktu terus berlalu, dan Kiran masih belum sadarkan diri. Gataka, dengan santainya, pasti sedang menikmati permainan ini. Ranu tahu dia harus bertindak, tapi apa? Seingat dia, ada satu cara, namun keberhasilannya sangatlah kecil. Sementara itu, Ria terus menjaga Kiran yang terbaring lemah di sofa. Wajah sahabatnya pucat pasi, seperti porselen yang rapuh. Dia tak mengerti apa yang sedang terjadi, namun instingnya mengatakan bahwa situasi ini sangat berbahaya. Tiba-tiba, Ria mendengar suara telepon setelah Ranu ke luar, sepertinya pria itu sedang berbicara d
Sara tersenyum lembut, mengelus rambut putrinya. “Raka, apa kabar?” Tarendra memeluk erat Raka, seakan sudah lama tak bertemu. “Jangan main terlalu jauh, ya,” ujarnya hangat. Raka membalas pelukan itu, lalu tersenyum lembut ke arah Kiran. “Baik, Om.” Setelah melepas pelukan, Raka mengulurkan tangannya, “Ayo.” Kiran ragu-ragu. Hatinya bergemuruh antara ingin bertahan dan keinginan untuk pergi. Raka, yang seakan membaca pikirannya, mengirimkan pesan batin, “Ini bukan tempat kamu, Kiran. Tempat ini adalah jebakan yang dibuat Gataka. Kalau kamu terus tinggal di sini, kamu akan kehilangan dirimu sendiri.” Kiran menggeleng pelan. “Tapi aku sudah nyaman di sini,” batinnya membalas, suaranya terdengar lirih dalam pikiran Raka. Raka menarik napas dalam-dalam, “Aku tahu ini sulit, tapi kita harus keluar dari sini.” Kiran menatap rumah hangat itu dengan keraguan. Di satu sisi, ia begitu bahagia menemukan keluarganya di sini. Namun, suara kebenaran dalam dirinya semakin kuat. Dengan
Pagi ini, seperti biasa, ketiganya berangkat bersama. Mereka berusaha melupakan kejadian semalam, menggantinya dengan senyum tipis. Hari Senin, hari yang sering dianggap sebagai momok bagi para pekerja, kini mereka hadapi. Meski begitu, pikiran mereka melayang ke berbagai rencana akhir pekan nanti. Liburan singkat? Atau mungkin hanya bersantai di rumah? Pikiran seperti itu adalah hal wajar, bahkan menjadi semacam mantra untuk melewati hari kerja. "Ranu, kok kamu tidur di lantai ruang tamu, sih? Tadi pagi aku lihat kamu pas ambil minum," tanya Ria sambil tersenyum tipis. Ranu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, membuat Ria dan Kiran ikut heran. “Kayaknya aku tadi terguling deh,” ujarnya sambil menggaruk kepala. Kiran terkejut. “Kok bisa, sih?” "Mungkin dia lagi latihan akrobat dalam tidur," canda Ria. Kiran hanya menggeleng sambil tersenyum. Mereka baru saja akan melangkah melewati gedung kantor pusat ketika sebuah sedan silver mengkilat berhenti tepat di depan mereka. Suara rem men
Di tengah kesibukannya, Kiran terus menyusun potongan-potongan teka-teki. Seperti dalam novel “Pedang dan Angkara” halaman 77, “Iblis semakin dekat tatkala kebenaran belum terungkap, bayangan gelap mulai menyelimuti dunia yang seharusnya terang.” Kata-kata Ranu tentang kisah cinta Bianca Rezmee dan Sagara Paramayoga, kini terasa semakin relevan. “Kejahatan apa yang disebut berkali-kali di buku itu?” Pertanyaan itu terus menghantuinya. Mungkin saja, “iblis” yang dimaksud bukanlah makhluk gaib, melainkan sifat jahat yang melekat pada manusia. Sosok antagonis dalam novel, yang digambarkan sebagai orang kaya raya dan berkuasa, memiliki kemiripan yang mencolok dengan Vilas. Ikatan persahabatan Tarendra dan Vilas tak terbantahkan. Perbedaan usia mereka dengan Bianca dan Sagara pun tak signifikan. Namun, rahasia apa yang tersembunyi di balik hubungan mereka dengan Sagara Paramayoga? *** Malam itu, di antara tumpukan buku, Ria dan Kiran duduk berhadapan. Cahaya lampu menerangi waja
Menjelang istirahat, Hilda menghampiri keduanya dengan langkah pasti. Matanya tertuju langsung pada Kiran, membuat Ria merasa terabaikan. “Malam ini kalian datang, kan?” tanyanya, suaranya sengaja ditinggikan. Ria mengerutkan kening, “Nggak,” jawabnya singkat. Namun, Kiran langsung menyahut, “Iya.” Ria menoleh tajam ke arah Kiran. Semalam mereka tidak mencapai kesepakatan setelah mendapat undangan ulang tahun Hilda, tapi Ria tidak menyangka Kiran ingin datang. “Pada mau ke mana?” tanya Ranu, suaranya datar. Ria menoleh, baru menyadari kehadiran Ranu di belakangnya. “Kita berdua diundang ke acara ulang tahunnya,” jawab Kiran cepat, matanya melirik sekilas ke arah Ria. Ria mengamati interaksi antara Hilda dan Ranu. Gosip tentang ketertarikan Hilda pada Ranu sudah lama beredar di perusahaan. Dia tidak heran jika Hilda sengaja melempar umpan dengan jelas seperti itu. “Kalau mereka datang saya datang,” ucap Ranu sambil tersenyum tipis ke arah Hilda. Ria menghela napas. D
Kiran bergegas ke kantor polisi. Sejak penangkapan terakhir, Ria tak pernah datang menjenguk Fuadi. Waktu semakin menipis, Kiran harus segera bertindak. Mampukah ia menyadarkan Fuadi sebelum bayang-bayang gelap menelannya seutuhnya? Cakra sudah berdiri di pintu masuk, senyum hangat terukir di wajahnya saat melihat Kiran mendekat. Tiga boks makan malam yang dibawanya membuat Cakra mengernyitkan dahi. “Buat siapa saja ini?” tanyanya penasaran. “Buat kamu, Ipda Aswin, sama Varafanu,” jawab Kiran sambil menyerahkan boks-boks itu. “Ayo masuk,” ajak Cakra. Dia meminta Kiran menunggu di ruang tunggu sementara dirinya masuk ke kantor Tim 1. Fuadi terlihat mengenaskan di dalam sel. Kantung mata hitamnya yang mencolok dan tatapan kosongnya menggambarkan penderitaan yang mendalam. Terkulai lemah di lantai, tubuhnya tampak kurus dan lemas. Besok pagi, dia akan dipindahkan ke lapas untuk menghadapi persidangan. Nasibnya sungguh memprihatinkan. “Aku boleh ke sana sebentar?” pinta Kiran, matany
“Aku yang akan urus sisanya. Kalian pergilah dari sana.” Cakra hanya menjawab singkat, “Hm, aku paham.” Usai percakapan usai, dia kembali menatap Angga. “Raka bilang dia akan mengurus sisanya. Kita harus pergi dari sini,” ucap Cakra, suaranya terdengar parau. Angga hanya mengangguk, matanya kosong. Mereka kembali ke mobil masing-masing, melaju meninggalkan tempat kejadian, meninggalkan semua masalah di belakang. Pintu bangsal terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sagara yang sedang bersama Putri. Mereka selesai melakukan perawatan ringan akibat menghirup banyak asap. Sagara tersenyum lemah saat melihat Cakra dan Angga. “Terima kasih kalian sudah datang,” ujarnya lirih. Angga tersenyum singkat. Cakra berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati interaksi antara Sagara dan Angga. Dia menyadari, ada ikatan yang kuat di antara mereka. Putri melangkah mendekati Angga, tangannya mengepal erat. Dengan cepat, dia melayangkan tamparan keras ke pipi Angga hingga meninggalkan bek
Anwalira duduk di tepi kasur, matanya menatap keluar jendela. Cahaya matahari menembus celah tirai, menerangi wajahnya yang pucat. “Aku sudah memutuskan. Malam ini, aku akan pergi.” Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati. “Aku lelah menderita. Aku ingin bebas. Mungkin ini jalan keluar terbaik.” Jari-jarinya meremas sprei kasur dengan erat, seakan-akan ingin mencengkeram harapan terakhir. Anwalira tersenyum tipis. Rasanya baru pertama kali dia bangun tanpa harus buru-buru menyiapkan diri untuk bekerja. Biasanya, dia akan merasa terbebani dengan semua tugas yang menumpuk. Tapi hari ini, hatinya terasa ringan. Namun, di balik rasa senangnya itu, ada juga sedikit keanehan. Kenapa orang tuanya tidak membangunkannya seperti biasa? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Anwalira menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sekuat tenaga menarik gagang pintu. “Tidak mungkin!” gumamnya, kecewa. Dia menggedor-gedor pintu, suaranya bergema di dalam rumah. “Buka pintunya! Kenapa kalian
Perjanjian awal, tahun 2000...“Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban.Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya.Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga.Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan.“Mengapa tidak memilih sec
Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb
Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem
Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.
Raka yang melihat keterkejutan Ranu, mengerutkan kening. “Kenapa?” tanyanya, suaranya sedikit meninggi. “Cepat pergi ke sana!” Raut wajahnya serius, mencerminkan keheranannya melihat Kiran berdiri di depan rumah mereka. “Kamu sudah tahu Raka anak Vilas tapi masih di sisinya?” Ketus Kiran, suaranya menusuk seperti belati. Raka menunduk, kepalan tangannya mengepal erat. Setiap kata yang terlontar terasa seperti tamparan keras di hatinya. Ranu mencoba menenangkan Kiran, mengajaknya bicara di luar. Namun, Kiran menepis tangannya kasar. “Kamu lupa perbuatan Vilas?” “Aku ingat semuanya,” jawab Ranu, suaranya terdengar lemah. “Kamu ingat, tapi apa ini?” Kiran menunjuk ke arah Raka. “Raka gak salah,” bela Ranu, menghela napas berat. “Dia tetap diam mengetahui perbuatan keji ayahnya, dan kamu tetap membelanya?” Mendengar mereka beradu argumen, hati Raka terasa seperti diiris-iris. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mengancam jatuh. Ranu menoleh, matanya dipenuhi ras
Mentari tepat di atas kepala saat Raka melangkah keluar rumah. Pakaiannya yang rapi kontras dengan suasana pagi yang tenang. Ranu yang memperhatikan dari balik tirai, hanya bisa menggelengkan kepala. Tanpa pikir panjang, Ranu menyalakan mobil dan mengikuti Raka dari belakang. Jalanan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Sesampainya di tujuan, Ranu memilih tempat parkir yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Huruf-huruf ‘Hirawan Group’ yang berkilau di gedung pencakar langit itu seakan-akan menjanjikan kemewahan tak terbatas. Di layar kaca, kehidupan keluarga kaya raya selalu digambarkan sempurna. Namun, kenyataan yang mereka alami jauh berbeda. Kehidupan di balik merek besar itu bagai naskah drama yang sudah dihafalkan, membosankan dan penuh kepalsuan. Kacamata gelap dan masker telah menyamarkan wajahnya, rambutnya yang biasanya rapi kini dibuat acak-acakan. Ranu merasa yakin takkan ada yang mengenalnya. Namun, saat tubuhnya condong untuk membuka pintu mobil,
Cakra adalah sosok yang kuat dan bertanggung jawab, namun di balik itu semua, dia juga memiliki hati yang lembut. Dia pernah merasakan kehilangan seperti Kiran, dan ia percaya Cakra akan menjaga Ria dengan sepenuh hati. Saat melintasi jalan, Kiran berjalan berlawanan arah dengan seorang pria dewasa. Setiap langkahnya terasa begitu nyata, seolah gema langkahnya bergema di telinganya. Dan kemudian, ia melihatnya—sebuah cahaya biru samar mengelilingi mereka berlima, berkedip redup seperti kunang-kunang. Dari mana cahaya itu berasal? Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Pria dewasa itu memancarkan aura yang berbeda. Perisai cahaya biru itu seolah menempel erat pada dirinya, mengikuti setiap langkahnya. “Mungkin aku salah lihat,” gumam Cakra, “Pria tadi mirip dengan Sagara.” Dia pernah melihat foto masa muda Sagara Paramayoga di buku terbitan Bianca Rezmee Kiran tersentak, langsung membalikkan badan ingin mengejar. Namun, Cakra menahannya, “Mau ke mana? Lampu hijau tinggal