Angga mengekori Vilas sepulang bekerja dari kantor pusat ke PT SH, lebih spesifiknya ke rumah Raka. Bertepatan Raka sedang menuruni tangga dikelilingi alunan biola dari pengeras yang terpasang tiap sudut agar lebih bersemangat menjelang jam akhir kerja. Pihak pertama yang menghampiri Raka di bawah tangga adalah Vilas. Raka memiringkan kepala, sebelah alisnya naik memandang serius Angga sembunyi di belakang punggung Vilas. Ia sama sekali tidak dapat kabar menjelang matahari terbenam bahwa Vilas mau datang ke rumah. Ranu mematikan musiknya melalui handphone yang terhubung ke speaker satu rumah. Angga menunduk kecolongan sibuk mengurus bosnya hingga lupa dia bekerja untuk siapa. "Seorang ayah bisa melihat putranya kapan saja," ujar Vilas. Raka tersenyum palsu, dalam hatinya mengumpat. "Jangan berdiri saja. Duduklah." "Gak usah, ayah cuma mengingatkan jangan ke luar rumah malam ini." "Memangnya aku pernah ke luar malam hari?" singgungnya kala Vilas berbalik setelah memberi pering
Cakra melongok ke semua bangku mobil, bahkan bagasi belakang, tak ada wujud Fuadi. Dia tidak ada di bangku kemudi maupun bangku penumpang apabila terpental usai mobil bertabrakan. Benar-benar kosong. Petugas divisi lalu lintas, sebut saja Ahmad, berlari kecil dari garis pembatas TKP yang sudah dipasang menuju ke posisi Cakra berdiri. "Pak Cakra, ada saksi yang melihat tersangka melarikan diri." "Ke mana?" tanya Cakra akan bergegas. "Tersangka belok ke jalan kanan." "Saya minta kerjasama kalian. Tetap jaga situasi di sini barangkali tersangka kembali." "Baik, Pak." Cakra bimbang harus pergi ke kanan atau kiri. Fuadi pergi ke lawan arah dari tempat tinggal Kiran, sementara dirinya cemas mengetahui Fuadi mengincar Kiran. Opsi pertama Cakra memastikan keadaan Kiran dengan cara menelepon langsung. Baru saja panggilan tersambung, Cakra menyerobot pertanyaan. "Kamu di mana? Di rumah?" Jarak antar alis Kiran berkerut heran tiba-tiba Cakra bertanya posisinya. "Bukan. Di perpustakaan u
"Begitu banyak kebohongan kalian. Aku sampai tidak bisa menghitungnya dengan jari. Wahh, jika Kiran tahu semuanya...," Raka menepikan mobilnya di tepi jalan dekat minimarket. Dia dengar Gataka mengajaknya bicara sekaligus menguji seberapa tebal kesabarannya. "Aku tidak tahu. Kiran sulit dimengerti," sambung Gataka meragukan inangnya. "Apa pun itu, dia lebih membencimu." "Itu benar." "Apa semua yang diperoleh Vilas karena mengorbankan kamu? Andai benar maka—" "Tidak salah juga," sela Gataka. "Bisa terima saranku? Sampaikan juga ke saudaramu yang selalu menangis di belakang. Jangan terlalu buru-buru mencari semuanya. Satu per satu." Raka terkekeh. "Kamu takut segera lenyap?" "Kalian akan lebih hancur dari sekarang. Aku tahu rahasia kalian tapi kalian gak tahu rahasiaku." Cara bicara Gataka sangat khas. Dia tersenyum penuh taktik. Mempermainkan Ranu, Raka, dan Vilas sangat menyenangkan. Mereka bertiga kerap bertengkar dan dianggap tontonan. Sedangkan Kiran hanya menangis dalam
Tiga mobil berhenti di depan kantor polisi. Mobil yang dikawal depan dan belakang adalah kendaraan yang dinaiki Fuadi, Pak Harsa, dan dua petugas junior. Mobil di depan ialah milik Iptu Cakra, dia kawal jalan memastikan tidak ada hambatan, lalu di belakang mobil untuk berjaga. Fuadi ke luar dengan tangan diborgol depan masuk bersama Pak Harsa dan Iptu Cakra. Petugas lain berasal dari polsek, jadi mereka kembali ke sana setelah membantu Aswin berdiri mengawasi Ria yang sedang mondar-mandir di ruang tunggu. Ria langsung menghampiri Fuadi yang tiba di sana sembari mengepalkan tangan. "Kenapa kamu kabur setelah melukai petugas, hah? Kamu mau celakai Kiran?! Kamu mau bikin aku gila?!" Ria menghujami pukulan di dada Fuadi. Aswin menarik Ria. "Sabar dulu." Aswin menahan tangan Ria yang menarik kerah baju Fuadi. Darahnya naik sampai ke ubun-ubun. Jelas dia sangat marah mantan suaminya berbuat buruk lebih dari saat mereka berkeluarga. Cakra membuat garda di depan Fuadi. "Kiran aman. Dia
Kiran membuka mata dalam keadaan tertelungkup di lapangan sekolah. Terakhir ia tidur di kasur rumah. "Kenapa aku ada di sini?" Gerakan matanya gusar mengamati sekitar sebelum bangun. Pakaian yang dikenakan masih sama. "Mimpi?" Kepalanya berdenging panjang mengakibatkan rasa sakit tak tertahankan. Kiran mengerang kesakitan, matanya terpejam dan ketika terbuka tempatnya berdiri bukan lagi di lapangan, melainkan di tepi atap. Baru bernapas setelah rasa terkejut tiba-tiba berpindah bak teleportasi, Kiran membelalak ada tangan yang mendorongnya dari belakang. Kakinya tergelincir dan tubuhnya terhempas ke udara. Samar-samar penglihatannya buram selagi melayang akan jatuh di udara menatap seorang pria di atas sana. Ia tak sanggup melihat kematiannya dengan cara tragis dan memilih menutup mata menunggu malaikat maut menjemputnya. Namun Kiran tersentak tubuhnya yang semula di udara kembali naik sebagaimana gravitasi menarik manusia ke titik bumi. Matanya membulat mengenali wajah pria i
"Kiran sedang jalan-jalan. Aku akan menggantikannya." Gataka menghendikkan bahu hendak masuk kamar lagi melakukan kegiatan sehari-hari Kiran sebelum berangkat kerja. Ranu mencegah lengan tangannya. "Sudah gila kamu, hah?" tanyanya melotot atas kekonyolan ini. Bagaimana dia akan menggantikan Kiran. "Bawa Kiran kembali!" Dimensi gaib yang Gataka perlihatkan kepada Kiran bukan sesuatu yang menakutkan. Pemandangan cerah dari rumah yang diisi keluarga kecil dambaan terpampang depan mata. Kaki Kiran maju perlahan sambil terus melihat Sara tersenyum lebar ke arah Tarendra datang dari dapur membawa nampan, di atasnya terdapat semangkuk sayur bayam dan beberapa potong paha ayam goreng. Mereka terlihat sangat bahagia sehingga tak sadar air mata Kiran menetes haru. Sosok Sara dalam bingkai foto bak ke luar ke dunia nyata. Mungkin ini gambaran andai Sara dan Tarendra masih hidup. Suatu hari Kiran bertanya seberapa besar cinta Tarendra untuk Sara, jawabannya seluas langit beserta isinya. "Ka
Setelah Gataka dan Kiran bertukar, mereka berkelana di dunia masing-masing. Gataka menjalani aktivitas Kiran sementara Kiran bertemu orang tuanya di rumah. Nuansa kehidupan Kiran sangat menarik di mata Gataka. Asing rasanya beriringan dengan musuh, Ranu geram desakan harus memulangkan Kiran hanya diabaikan. "Sampai kapan kamu bertingkah memiliki tempat hidup?" Sahut Ranu. Ria yang biasanya jalan di sebelah Kiran hari ini berpindah ke sisi Ranu. "Jangan blak-blakan tanyanya. Kalau dia kesindir gimana? Dia bukan Kiran," omelnya bersuara pelan. Gataka tersenyum. "Kalau Kiran memilih pulang, aku bisa pergi." Dia berhenti mengedipkan sebelah matanya pada mereka. Ranu berhenti dan menghadap ke samping. "Kiran tahu caranya? Kalau dia gak bisa pulang, kamu tanggung jawab?" Intonasinya terdengar kesal. Ria ikut menambahkan pertanyaan. "Kamu gak berniat bertukar selamanya, kan?" Rasa khawatirnya tak luput takut kehilangan sahabat satu-satunya. "Jangan asal bicara!" sentak Ranu. "Itu gak
Jemari Kiran bergerak diketahui oleh Ria yang tidak mengalihkan pandangan sedikit pun darinya di klinik. "Kiran?" Ranu di depan segera masuk. "Sudah bangun?" "Jarinya bergerak." Mereka melihat seksama. Raka yang bersandar di kursi menghembuskan napas bosan ditahan mereka. Sampai Kiran bangun, dia tak diizinkan pergi sebagai pertanggungjawaban telah membuat Kiran pingsan. Sebetulnya Raka tidak mengerti bagaimana hal barusan bisa terjadi. Batu cempaka biru digunakan menghalau roh jahat itu mungkin, tetapi, memanggil jiwa ... mustahil dilakukan kecuali tahu tata caranya. "Gataka sehebat itu?" Desisan sinis Raka terdengar sampai telinga Ria. Karena Kiran sepenuhnya sadar juga Ranu selalu di sisinya, Ria inisiatif membawa Raka ke luar dengan cara menarik ujung lengannya. "Kita mau ke mana?" Raka mengikuti wanita itu sampai depan pintu klinik. Tak seorang pun di sekelilingnya, Raka menepis pelan tangan Ria. Ria melipat tangan di atas dada kemudian bertanya langsung, "Kamu tahu kamu