Jemari Kiran bergerak diketahui oleh Ria yang tidak mengalihkan pandangan sedikit pun darinya di klinik. "Kiran?" Ranu di depan segera masuk. "Sudah bangun?" "Jarinya bergerak." Mereka melihat seksama. Raka yang bersandar di kursi menghembuskan napas bosan ditahan mereka. Sampai Kiran bangun, dia tak diizinkan pergi sebagai pertanggungjawaban telah membuat Kiran pingsan. Sebetulnya Raka tidak mengerti bagaimana hal barusan bisa terjadi. Batu cempaka biru digunakan menghalau roh jahat itu mungkin, tetapi, memanggil jiwa ... mustahil dilakukan kecuali tahu tata caranya. "Gataka sehebat itu?" Desisan sinis Raka terdengar sampai telinga Ria. Karena Kiran sepenuhnya sadar juga Ranu selalu di sisinya, Ria inisiatif membawa Raka ke luar dengan cara menarik ujung lengannya. "Kita mau ke mana?" Raka mengikuti wanita itu sampai depan pintu klinik. Tak seorang pun di sekelilingnya, Raka menepis pelan tangan Ria. Ria melipat tangan di atas dada kemudian bertanya langsung, "Kamu tahu kamu
"Vilas?" beo Ria berbalik perlahan mengeluarkan ponsel menghubungi nomor Ranu. "Tenang, Ria." Tangannya tremor lihat tangan Kiran gemetar ketakutan. Cara menyapa gadis yang lama tak ditemui dengan senyum dianggap pilihan terbaik Vilas. "Selamat pagi, Kiran." "Sial, pagiku diawali kegelapan." Ria menekan berkali-kali tombol telepon. Tentu orang yang disapa tidak akan menyapa balik mengetahui mantan sahabat ayahnya berdiri dengan raut tanpa bersalah. "Kamu baik-baik saja kelihatannya," kata Vilas bermuka tebal. Ria langsung tidak menyukai Vilas dari cara bicaranya terhadap Kiran. Kiran anak dari sahabatnya, lalu dia berharap Kiran sakit, begitu? "Saya selalu baik sampai detik ini," jawab Kiran tetap tenang di saat jantungnya mau copot. "Apa harus berbuat sejauh ini, Pak Vilas?" "Gak sejauh yang kamu pikirkan." Energi Kiran yang dilihatnya bercampur dengan batu cempaka biru milik putranya. "Kamu berhasil menyelamatkan satu orang. Dokter Fandi. Seharusnya dia mati karena roh jahat
Raka berniat pulang ke rumahnya untuk bekerja. Tidak serumit yang dibayangkan menjadikan salah satu ruangan kosong menjadi ruang kerja sebelum Ranu menyuruh dia keluyuran mencari petunjuk menyingkirkan Vilas dan anteknya. Sebelum berpisah dengan Ranu, pria itu berkata menghadiri rapat manajer dari delapan gedung membahas model produk baru yang sebentar lagi diproduksi di kantor utama, terletak di depan rumah pribadinya. "Sejak kapan berdiri di sini?" Raka bertanya pada Angga di depan pintu rumah bukannya masuk menunggu di dalam. Rautnya was-was. "Tuan belum baca pesan saya?" "Pesan apa? Handphone saya tinggal di kamar." Tangan kanan Raka meraih gagang pintu. "Pak Vilas turun ke produksi, sepertinya menemui Kiran." Bola mata Raka membesar. "Apa katamu?" Dia sudah gila menemuinya. "Seharusnya kamu ikuti dia bukan pergi menemui saya!" Mendapat sentakan dari tuannya, Angga terdiam sempat ragu mengikuti Vilas atau melaporkan dahulu ke Raka sebelum datang kemari. Raka tidak berlari s
Usai bekerja Kiran pulang bersama Ria saja. Mereka membeli makanan untuk makan malam lalu mampir ke minimarket jajan es krim juga beberapa snack. Malam ini Ria menginap di rumah Kiran dengan tujuan membantunya baca buku diari Tarendra. Meski sebagian tahun sudah dibaca, ada banyak makna tersirat dalam setiap lembarnya. Selain cerita harian Tarendra dan Sara, rupanya ada pembahasan mengacu kepada roh jahat dan manusia berhati iblis. Ria ingin menjadi orang pertama yang memahami Kiran. Bertemu Kiran akhirnya menyadarkan Ria selama ini hidup kurang rasa syukur. Sangat berbeda dari kehidupan remajanya, sosok Kiran tidak pernah merasakan punya orang tua lengkap. Kiran juga harus menahan keinginannya karena paham pekerjaan Tarendra cukup menguras pikiran dan tenaga. Sebagai anak satu-satunya pemikiran Kiran adalah tidak mau membebani Tarendra terlepas dari masalah Gataka. Kiran mengagumkan. Selesai makan malam mereka membawa snack ke dalam perpustakaan, Kiran mengunci pintu di bilik rahas
"Gataka cuma menuruti manusia kalau dirinya terancam. Kalau begitu dengan apa kalian berdua mengancam Gataka?" Dengan diamnya Ria, Kiran memperlihatjan senyum canggung. "Gataka selalu menjebak inangnya tapi mbak berani menyumpahi dia setiap hari. Bukan mbak yang takut Gataka, justru sebaliknya." Ria terkikik mendengar hal yang tidak mungkin dialami Gataka. "Bicara apa kamu. Aku jelas takut menghadapi emosi anak remaja yang mudah berubah-ubah." Kiran membatin, "Remaja?" Lantas ia bertanya, "Mbak sudah baca buku "Pemanggilan Roh Jahat" yang ditulis Sagara?" Ria menjawab sesudah menggelengkan kepala. "Belum. Kamu cuma minta bantuan baca diari ayahmu, bukan baca buku seisi perpustakaan. Lebih baik aku baca buku kiat memikat lelaki setia." Seingatnya ia tidak pernah menyebut sosok Gataka seperti anak-anak, remaja, atau orang dewasa kepada siapa pun. Penjelasan wujud Gataka seorang remaja hanya ada di buku "Pemanggilan Roh Jahat". Kiran memang belum menunjukkan buku tersebut pada mereka
Keesokan paginya saat Kiran dan Ria sedang bersih-bersih mesin menjelang istirahat, Hilda menghampiri mereka. Menurut Ria, Hilda cuma mengarah ke Kiran, bukan padanya, tidak peduli juga sih dia. "Kalian datang, kan?" tanya Hilda tanpa basa-basi, suaranya pun sengaja diperbesar. "Nggak," sahut Ria. "Iya," ujar Kiran bertentangan. Aktivitas tangan Ria berhenti, lehernya memutar ke samping tepat Kiran menatapnya tanpa ekspresi. Semalam mereka berdua memang tidak menjawab pasti hendak menghadiri acara ulang tahun Hilda. "Kamu mau ke mana?" Ranu sudah ada di belakang Kiran dan Ria sejak Hilda menghampiri mereka. Ria melirik Ranu sebentar, pantas saja Hilda mendekat supaya Ranu dengar pembicaraan mereka. Tangan kiri Ranu membawa file laporan proses bagian prefit yang akan dijalankan sesudah istirahat. Dia lewat memeriksa kebersihan mesin mereka dan kebetulan menangkap obrolan singkat mereka bertiga. Bau-bau mencurigakan pun tercium. "Siang, Pak." Hilda menyapanya diikuti senyum rama
Hari acara ulang tahun Hilda tiba. Sepulang kerja Ria bersiap menata dirinya depan cermin, butuh waktu paling sedikit satu jam untuk merias wajah. Sama halnya dengan Ranu yang langsung ke kontrakan. Kiran menyempatkan pergi ke kantor polisi untuk melihat Fuadi. Ria tidak pernah menjenguknya setelah penangkapan terakhir kali. Kiran harus mencoba memanggil jiwanya supaya kembali. Kesempatan takkan datang kalau bukan kita yang menjemput. Di luar kantor polisi ada Cakra sedang menunggu. Senyumnya terbit kala Kiran datang membawa sesuatu. Dari baunya terdeteksi nasi goreng. "Itu buat saya?" "Buat kalian bertiga." "Bertiga? Siapa lagi?" "Kamu, Ipda Aswin, dan Fuadi." "Kamu lebih semangat bertemu Fuadi dari pada saya." "Bicara apa kamu. Ayo masuk." Alangkah tercengangnya Kiran saat melihat kondisi Fuadi dalam sel penjara. Kantung matanya yang hitam sangat nampak, tatapannya kosong dan sendu, dia terba
Air mata Kiran jatuh tanpa aba-aba. "Ini cerita hidup saya. Kenapa kamu yang menangis?" Kiran mengusap air matanya. "Walaupun kamu cerita sambil tersenyum, sebenarnya luka kamu sangat dalam." Ia bisa merasakan karena mengalami hal serupa. "Sekarang sudah nggak. Saya sudah membuktikan bisa hidup lebih baik." Dari kesedihan raut wajahnya Kiran sangat tahu tanpa menyelam masuk ke hatinya. Cakra sangat kehilangan sosok adik. Terlebih mereka hidup mengandalkan satu sama lain setelah orang tua meninggal dalam kecelakaan tunggal. Cakra dan Mila berada di mobil yang sama namun Tuhan menyelamatkan mereka. Setelah mengakhiri pertemuan dan sesi percakapan bersama Iptu Cakra, ia pulang bersiap ke alamat acara Hilda diadakan. Ria sudah mengebom pesan cepat-cepat berangkat supaya tidak terjebak macet di jalan. Suasana hati Kiran sudah tidak mendukung merayakan pesta, apalah daya terlanjur setuju. Begitu Ria tiba, rupanya dia menebeng mob