Hari acara ulang tahun Hilda tiba. Sepulang kerja Ria bersiap menata dirinya depan cermin, butuh waktu paling sedikit satu jam untuk merias wajah. Sama halnya dengan Ranu yang langsung ke kontrakan. Kiran menyempatkan pergi ke kantor polisi untuk melihat Fuadi. Ria tidak pernah menjenguknya setelah penangkapan terakhir kali. Kiran harus mencoba memanggil jiwanya supaya kembali. Kesempatan takkan datang kalau bukan kita yang menjemput. Di luar kantor polisi ada Cakra sedang menunggu. Senyumnya terbit kala Kiran datang membawa sesuatu. Dari baunya terdeteksi nasi goreng. "Itu buat saya?" "Buat kalian bertiga." "Bertiga? Siapa lagi?" "Kamu, Ipda Aswin, dan Fuadi." "Kamu lebih semangat bertemu Fuadi dari pada saya." "Bicara apa kamu. Ayo masuk." Alangkah tercengangnya Kiran saat melihat kondisi Fuadi dalam sel penjara. Kantung matanya yang hitam sangat nampak, tatapannya kosong dan sendu, dia terba
Air mata Kiran jatuh tanpa aba-aba. "Ini cerita hidup saya. Kenapa kamu yang menangis?" Kiran mengusap air matanya. "Walaupun kamu cerita sambil tersenyum, sebenarnya luka kamu sangat dalam." Ia bisa merasakan karena mengalami hal serupa. "Sekarang sudah nggak. Saya sudah membuktikan bisa hidup lebih baik." Dari kesedihan raut wajahnya Kiran sangat tahu tanpa menyelam masuk ke hatinya. Cakra sangat kehilangan sosok adik. Terlebih mereka hidup mengandalkan satu sama lain setelah orang tua meninggal dalam kecelakaan tunggal. Cakra dan Mila berada di mobil yang sama namun Tuhan menyelamatkan mereka. Setelah mengakhiri pertemuan dan sesi percakapan bersama Iptu Cakra, ia pulang bersiap ke alamat acara Hilda diadakan. Ria sudah mengebom pesan cepat-cepat berangkat supaya tidak terjebak macet di jalan. Suasana hati Kiran sudah tidak mendukung merayakan pesta, apalah daya terlanjur setuju. Begitu Ria tiba, rupanya dia menebeng mob
"Mbak juga sama. Jangan munafik." "Kenapa kamu terus menuduh kita tanpa alasan?" Ria sakit hati. Mereka sering menghadapi masalah bersama. Ria hafal reaksi Kiran setelah mengalami insiden besar, tetapi menyebutnya munafik sangat berlebihan. Ranu sudah cukup bersabar. "Dia selalu begitu dari dulu. Tinggalkan saja dia sendirian di sini. Jangan pedulikan mau diculik orang asing atau dijual organ tubuhnya! Kita berdua gak penting baginya." Kiran enggan membuntuti mereka selagi memilih meninggalkannya. Ia pun tidak ingin ditemani siapa pun saat ini. Jas Ranu yang berada di bahunya disingkirkan ke bangku, ia tak butuh itu juga. Ria tidak bersungguh-sungguh ingin pergi. "Tunggu sebentar." Tangannya menahan tarikan Ranu. "Kita gak benar-benar pergi, kan?" "Pulang. Dia lagi emosional." "Tadi kamu memarahi aku karena membiarkan Kiran pergi sendirian. Sekarang kamu yang menyeret aku meninggalkan Kiran. Kamu teman kami atau bukan?" "Teman? Haha." Ranu tertawa hambar. "Lalu kamu mau bagaima
"Aku tanya, kamu kenal Pak Vilas?" Raka gagal mengontrol degup jantung. "Hm? Te-tentu saja kenal. Siapa yang gak tahu dia. Pimpinan Grup Hirawan." Dia ingin meluruskan kesalahpahaman selama lima tahun sedangkan Kiran belum mengingat mereka. Jika ingatan Kiran kembali secara tiba-tiba di waktu sekarang akan timbul perkara baru. "Pestanya berakhir cepat dari dugaan." Raka mengalihkan pembahasan. "Gak ada pesta. Karena kamu bisa melihat roh jahat juga pasti paham. Mbak Hilda ... Dia meninggal. Belum lama ambulans membawanya ke rumah sakit." Pria bermuka tebal itu menambah kecepatan kendaraannya serta menyalip beberapa mobil setelah melihat ambulans dari arah berlawanan sebab mengira terjadi hal buruk pada Kiran. "Me-meninggal?" Hari ini dia mudah gugup. Mengatasi berbagai masalah yang Vilas ciptakan tidak lebih sulit dibandingkan bercakap-cakap bersama perempuan yang pernah mengisi sebagian hatinya. Kesan telah berubah saat menyebut nam
Sekitar satu jam yang lalu sebelum Raka menggas mobil, awal mula ia mengetahui pergerakan Vilas adalah laporan Angga. Raka memang sering mempunyai firasat buruk pria tua bangka itu akan bergerak tak terduga. Terbukti Vilas lembur di kantor pusat dan pergi tidak sesuai jadwal yang tertera. Angga sampai mencari celah supaya bisa menghubungi Raka. Angga masuk ke ruangan Vilas setelah dihubungi. "Angga, bersiap antar saya ke suatu tempat." Angga memeriksa jadwal di tabletnya. "Masih ada dua jam lagi acara makan malam bersama tim internal di penerbitan HBook." "Bukan itu. Ke hotel saya. Ada acara pribadi yang harus saya datangi." "Acara pribadi ... Kalau tidak keberatan jelaskan detailnya sedikit supaya tidak mengganggu jadwal lain, Pak." "Ck. Kamu ini. Acara ulang tahun Hilda. Dia kan penerima sponsor grup kita. Kamu lupa?" Angga tidak pernah mengingat wajah penerima sponsor Grup Hirawan. "Saya gak ingat." Sungguh. "Kapan kamu ingat semuanya ckck." Vilas menggelengkan kepala. "Ken
Meski sebelumnya sudah gila, Raka tambah tidak waras mengemudi tanpa mematuhi batas kecepatan dan menerobos lampu lalu lintas dia berhasil menemukan mobil Vilas putar balik sebelum tiba di hotel. Angga sukses menggagalkan usaha Vilas. Vilas mengumpat alarm keamanan ruang yang terhubung ke ponsel kerjanya berbunyi. Divisi keamanan dari kantor pusat turut menghubunginya bahwa terjadi ledakan mesin CPU dan berkata sekretarisnya segera tiba mengamankan benda yang berpotensi terbakar selama diperiksa. Pimpinan Grup Hirawan panik lantas menelepon Angga. "Angga, apa yang terjadi? Sial, ada penyusup? Semua data dalam komputer bagaimana?" "Aman, Pak." Angga kembali ke mode sekretaris Vilas. "Syukurlah." "Masalahnya ... Brankas Anda ..." "Brankas saya kenapa?" Wajah Vilas pucat pasi tatkala Angga menyebut kotak hidupnya. Angga yakin barusan Vilas belingsatan. Dia cuma main-main saja. "Brankas Anda aman. Hanya perlu dipindahkan sementara jika diizinkan." "Jangan sentuh! Pindahkan CPU-ny
"Aku di tempat yang sama lagi." Kiran tahu sedang dirasuki oleh sebabnya berada di tepi lapangan dekat kebun bunga anggrek. Matanya mengamati siswa-siswi lalu lalang beraktivitas seperti pada umumnya. Dari kejauhan tampak awan gelap dan saat telapak tangannya menengadah ia dapat merasakan rintikan air hujan. Seorang siswi datang menangkis kasar tangan Kiran. Ia menatap heran siswi itu. "Kamu pasti mengira semua hal yang terjadi bukan apa-apa. Aku berkali-kali mengejar dia. Ternyata dia suka kamu?" Kiran bahkan diam saja ketika sebelah bahunya didorong. Matanya bergerak gelisah mempertanyakan siapa dia dan apa masalahnya. "Jangan-jangan rumor kalian saling menyukai itu benar. Kiran, jawab jujur. Siapa orang yang kamu suka?" Kiran mundur dua langkah membatin, "Dia perempuan yang aku lihat di lantai dua saat kebakaran di pabrik." Papan nama di dada kirinya buram padahal penglihatan Kiran ke objek sekeliling sangat jernih. "Aku mendengar semuanya. Kalian berdua main-main denganku
Ranu dan Ria harus mengapit Gataka menuju kantin supaya tidak mengganggu orang lain. Mereka ingin memaksa Gataka pergi menggunakan Raka, namun entah berada di mana manusia itu hingga sulit dihubungi. Ketika Ranu sembunyi-sembunyi menghubungi Angga, pria minim sopan santun itu bahkan tidak mengizinkannya bicara. "Aku masih keluarganya apa alasanmu melarang kami bicara?" sulut Ranu di telepon. "Tuan Raka menolak bicara dengan Anda. Maaf." Ranu melihat panggilannya dimatikan sepihak. "Apa? Tung— Angga!" Sementara itu Gataka mendengar sesuatu yang tidak biasa dari sebelah kirinya. Ria sedang mengisi pikiran tentangnya. Gataka menghadap samping dan tiba-tiba menarik kerah seragam Ria. "Kamu mau memanggil jiwa Kiran?" Ria kaget gelagapan. "Ng-nggak kok!" "Heh, heh!" Ranu melepaskan tangannya. "Jangan menyakiti Ria." "Aku cuma bicara," ucap Ria mengurungkan niat. Kalau isi pikirannya mudah dibaca, bukan dia yang memanggil jiwa Kiran, tapi Gataka akan memusnahkan Ria sebelum dimusnah