Ria, yang menyaksikan semuanya, hanya bisa menatap mereka dengan wajah bingung. Tak disangka, Aina langsung menuju ke arah Raka, niatnya jelas: balas dendam. Dengan lihai, roh itu meluncur masuk ke tubuh Ria dan langsung meraih belati yang tergeletak di dekatnya. Ranu berusaha menghentikan Ria, namun tendangan keras Ria ke dadanya membuat tubuh Ranu terpental. Ria, dengan tatapan mata yang dingin, perlahan mendekati Raka. Kiran dengan cepat berdiri di antara Raka dan Ria. Kedua tangannya menggenggam erat belati yang terhunus. Napas Raka tersengal, matanya menghindari tatapan tajam Aina yang merasuki tubuh Ria. “Lihat betapa pengecutnya kamu, Raka,” suara Aina terdengar dingin dan penuh kebencian, “Kamu sama sekali gak berubah!” Wajah Kiran semakin pucat pasi, bekas cekikan membiru di lehernya. Darah segar mengalir deras dari tangannya yang terluka. Ironis, ia harus melindungi orang yang dulu pernah menyakiti Aina, dan kini menipunya. “Kamu gak berhak melukai siapa pun mengg
Raka berlari turun dengan napas tersengal-sengal, tangannya mengepal erat. Dia bersembunyi di balik pohon besar, jantungnya berdebar kencang. Suara Aina memanggil namanya bagai belati yang menusuk hatinya. Kenangan indah bersama gadis itu kini terasa begitu pahit. Sinar matahari pagi menyinari kelas, namun suasana di dalamnya terasa dingin. Aina melangkah masuk, membawa bekal makan siang. “Kiran sudah menunggu,” ujarnya sambil tersenyum. Raka yang sedang menatap keluar jendela, menoleh sekilas. “Aku gak lapar,” jawabnya datar. Aina mengerjap khawatir. “Tapi kamu seharian belum makan. Jangan sampai sakit.” Raka menatapnya tajam. “Aku bilang aku gak mau! Jangan paksa aku! Aku hidup atau mati bukan urusan kamu!” bentaknya. “Jelas urusan aku—“ Aina terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan berbicara sekejam itu. Tatapan teman-teman sekelas yang tertuju pada mereka membuatnya semakin malu. Raka mengangkat wajahnya, senyum sinisnya memudar, digantikan oleh ekspre
“Baru kali ini aku mengalami serangkaian peristiwa horor saat mendaki dan belum sampai puncak terpaksa pulang.” Ria menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke luar jendela. “Rasanya seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.” Ranu menatap Kiran yang masih fokus ke luar jendela. “Ini yang terbaik, jangan terlalu kecewa.” “Siapa juga yang kecewa,” balas Ria bersandar pada kursi mobil, memejamkan mata dengan tenang. Kiran mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Raka pasti sudah pulang dan baik-baik saja.” Ia berusaha meyakinkan diri sendiri, namun rasa gelisah tetap menghantui pikirannya. Ria turun dari mobil, melambai sekilas pada Kiran sebelum menghilang di balik pintu masuk. Ranu melajukan mobilnya, lanjut mengantar Kiran ke rumahnya. Ranu membuka bagasi, siap menurunkan tas Kiran. Gadis itu hanya berdiri di belakangnya, menatap kosong ke depan. Ranu tahu Kiran sedang menahan sakit. “Letakkan saja di sini." Kiran menunjuk ke sebuah sudut di teras rumahnya. Pria itu me
Ria keluar dari taksi, terpapah sinar matahari yang menyengat. Keringat mulai bermunculan di dahinya. “Gak nyangka harus keluar di hari libur, siang bolong lagi,” gumamnya. Ipda Aswin keluar dari kantor, menarik napas dalam-dalam. “Ah, akhirnya bisa sedikit bersantai,” gumamnya sambil berjalan santai menuju area bebas merokok. Berharap bisa melupakan sedikit kasus yang sedang dia tangani. Ria melihat Ipda Aswin sedang berbicara dengan seorang petugas di dekat pintu masuk. Dengan langkah pasti, Ria menghampiri keduanya. Saat mata mereka bertemu, Ria tersenyum ramah. Ipda Aswin membalas senyumannya, lalu menepuk bahu rekannya dan meminta izin untuk berbicara sebentar dengan Ria. Tangan kanannya dengan cepat menyembunyikan rokok di belakang punggung. “Ah, kamu. Ada apa datang ke sini?” suaranya terdengar sedikit gugup. “Kamu mau bertemu Iptu Cakra atau saya?” tanya Aswin sambil mengangkat alisnya. “Kalau boleh dua, kenapa harus satu?” jawab Ria sambil tertawa kecil. Ria tidak akan
Ranu menatap foto Tarendra dan Kiran yang tergantung di dinding. Secangkir kopi susu hangat menghangatkan tangannya. Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Dengan hati berdebar, Ranu melangkah menuju pintu, berharap yang datang adalah sosok yang selama ini ditunggunya. Namun, senyumnya memudar begitu melihat wajah Ria di balik pintu. Ria memicingkan mata, menatap Ranu dengan curiga. “Aku nggak salah alamat, kan?” Ranu berusaha tersenyum santai. “Ada apa? Kiran lagi pergi.” Ria langsung menerobos masuk, matanya menyapu ruangan dengan cepat. “Pergi ke mana?” tanyanya, nada suaranya dingin. “Kamu ngobrak-ngabrik rumahnya Kiran, ya?” Ranu duduk bersila di lantai, punggungnya bersandar pada bantal sofa. Ponselnya diraih, layarnya dinyalakan. Dia menggesek layar dengan cepat, mencari-cari nama Kiran di daftar kontak. Ria duduk di sebelahnya, jarak di antara mereka terasa begitu jauh. Matanya menatap langit-langit, seolah mencari jawaban di sana. “Ranu,” suaranya lirih, “saat kamu diras
"Kiran... Ingatannya sudah kembali." Raka merenungkan pesan itu dalam diam. Semua akan kembali ke titik semula, termasuk ingatan Kiran. Artinya, Ranu masih bersama Kiran hingga detik ini. Tindakan Ranu benar, pria itu harus berdiri di sisi Kiran daripada bersembunyi seperti dirinya. Rasa iri menusuk hatinya, namun dia juga merasa lega. “Raka,” panggil Angga, suaranya penuh kekhawatiran. Raka mengangkat wajahnya. “Kenapa raut wajahmu begitu muram?” Dia tertawa getir. “Ini pertanda bagus.” Angga mengangguk pelan. “Hanya bagus untuknya,” ujarnya, merujuk pada Kiran. Kegigihan Kiran mencari kebenaran atas kematian Tarendra dan balas dendamnya pada Vilas akan makin berapi. Kepribadian Kiran sebelum dan saat amnesia sangat jauh berbeda. “Angga. Aku butuh bantuan kamu. Demi kita semua. Meskipun aku harus pura-pura membela Vilas, tolong bantu Kiran,” pinta Raka benar-benar terakhir kali. “Kamu sudah banyak berkorban. Gak usah dipikirkan lagi masa lalu kalian.” Angga mencoba menenangkan
Pena emas itu menari anggun di atas kertas putih, menggoreskan kata-kata misterius. Sorot mata pria itu sendu, terpancar kesepian yang mendalam. Tiba-tiba, seorang gadis remaja dengan celana kulot abu-abu dan sandal selop hitam muncul dari balik bayangan, menghampiri meja tempat pria itu duduk. Gadis itu membaca tulisan itu perlahan-lahan, seolah-olah menimbang setiap kata. ‘Semua yang memulai harus mengakhiri supaya hidup orang yang direnggut bisa kembali.’ Kalimat itu bagai sebuah peringatan, sebuah konsekuensi dari tindakan yang telah dilakukan. “Sudah pulang? Kamu buat Ayah khawatir,” kata pria itu, suaranya sedikit melunak. “Kemana saja kamu?” “Aku mencari cara untuk membantu Kiran,” jawab gadis itu. “Ayah gagal, tapi aku gak akan menyerah.” Sagara Paramayoga, sosok lemah lembut yang selalu diselimuti misteri, duduk di kursi kulit tua, matanya terpaku pada tulisannya sendiri. “Ayah tahu kamu peduli sama Kiran, tapi jangan sampai kamu membahayakan dirimu sendiri.” Bersama put
Kiran melangkah keluar dari gedung A1, matanya mencari-cari sosok Raka. Saat melihat Raka keluar dari gedung B1, senyum merekah di wajahnya. “Raka!” panggilnya dengan riang, melambai-lambaikan tangan. Raka yang sedang berjalan santai, mendongak dan tersenyum saat mendengar namanya disebut. Dia sedikit mempercepat langkahnya, antusias untuk bertemu Kiran. Ponsel Kiran bergetar, sebuah notifikasi dari nomor tak dikenal muncul di layar. Rasa penasaran menggelitiknya, tapi juga membuatnya was-was. Dengan hati-hati, Kiran membuka notifikasi itu. Sebuah foto. Jantungnya berdebar kencang saat jemarinya menyentuh layar, namun tiba-tiba saja ponselnya terlepas dari genggamannya dan jatuh ke tanah. "S-siapa yang kirim ini?" gumamnya sedikit gemetar. Kiran buru-buru memungut ponselnya yang layarnya retak, jantungnya berdebar kencang. Raka yang melihatnya, mengerutkan kening. “Kiran, ada apa?” tanyanya perhatian. Kiran berusaha tersenyum, “Nggak sengaja jatuh.” Ia memasukkan ponselnya ke s
“Aku yang akan urus sisanya. Kalian pergilah dari sana.”Cakra hanya menjawab singkat, “Hm, aku paham.” Usai percakapan usai, dia kembali menatap Angga. “Raka bilang dia akan mengurus sisanya. Kita harus pergi dari sini,” ucap Cakra, suaranya terdengar parau. Angga hanya mengangguk, matanya kosong. Mereka kembali ke mobil masing-masing, melaju meninggalkan tempat kejadian, meninggalkan semua masalah di belakang.Pintu bangsal terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sagara yang sedang bersama Putri. Mereka selesai melakukan perawatan ringan akibat menghirup banyak asap.Sagara tersenyum lemah saat melihat Cakra dan Angga. “Terima kasih kalian sudah datang,” ujarnya lirih. Angga tersenyum singkat. Cakra berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati interaksi antara Sagara dan Angga. Dia menyadari, ada ikatan yang kuat di antara mereka.Putri melangkah mendekati Angga, tangannya mengepal erat. Dengan cepat, dia melayangkan tamparan keras ke pipi Angga hingga meninggalkan bekas merah.
Anwalira duduk di tepi kasur, matanya menatap keluar jendela. Cahaya matahari menembus celah tirai, menerangi wajahnya yang pucat. “Aku sudah memutuskan. Malam ini, aku akan pergi.” Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati. “Aku lelah menderita. Aku ingin bebas. Mungkin ini jalan keluar terbaik.” Jari-jarinya meremas sprei kasur dengan erat, seakan-akan ingin mencengkeram harapan terakhir.Anwalira tersenyum tipis. Rasanya baru pertama kali dia bangun tanpa harus buru-buru menyiapkan diri untuk bekerja. Biasanya, dia akan merasa terbebani dengan semua tugas yang menumpuk. Tapi hari ini, hatinya terasa ringan. Namun, di balik rasa senangnya itu, ada juga sedikit keanehan. Kenapa orang tuanya tidak membangunkannya seperti biasa? Apakah ada sesuatu yang terjadi?Anwalira menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sekuat tenaga menarik gagang pintu. “Tidak mungkin!” gumamnya, kecewa. Dia menggedor-gedor pintu, suaranya bergema di dalam rumah. “Buka pintunya! Kenapa kalian men
Perjanjian awal, tahun 2000...“Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban.Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya.Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga.Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan.“Mengapa tidak memilih sec
Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb
Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem
Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.
Raka yang melihat keterkejutan Ranu, mengerutkan kening. “Kenapa?” tanyanya, suaranya sedikit meninggi. “Cepat pergi ke sana!” Raut wajahnya serius, mencerminkan keheranannya melihat Kiran berdiri di depan rumah mereka. “Kamu sudah tahu Raka anak Vilas tapi masih di sisinya?” Ketus Kiran, suaranya menusuk seperti belati. Raka menunduk, kepalan tangannya mengepal erat. Setiap kata yang terlontar terasa seperti tamparan keras di hatinya. Ranu mencoba menenangkan Kiran, mengajaknya bicara di luar. Namun, Kiran menepis tangannya kasar. “Kamu lupa perbuatan Vilas?” “Aku ingat semuanya,” jawab Ranu, suaranya terdengar lemah. “Kamu ingat, tapi apa ini?” Kiran menunjuk ke arah Raka. “Raka gak salah,” bela Ranu, menghela napas berat. “Dia tetap diam mengetahui perbuatan keji ayahnya, dan kamu tetap membelanya?” Mendengar mereka beradu argumen, hati Raka terasa seperti diiris-iris. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mengancam jatuh. Ranu menoleh, matanya dipenuhi ras
Mentari tepat di atas kepala saat Raka melangkah keluar rumah. Pakaiannya yang rapi kontras dengan suasana pagi yang tenang. Ranu yang memperhatikan dari balik tirai, hanya bisa menggelengkan kepala. Tanpa pikir panjang, Ranu menyalakan mobil dan mengikuti Raka dari belakang. Jalanan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Sesampainya di tujuan, Ranu memilih tempat parkir yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Huruf-huruf ‘Hirawan Group’ yang berkilau di gedung pencakar langit itu seakan-akan menjanjikan kemewahan tak terbatas. Di layar kaca, kehidupan keluarga kaya raya selalu digambarkan sempurna. Namun, kenyataan yang mereka alami jauh berbeda. Kehidupan di balik merek besar itu bagai naskah drama yang sudah dihafalkan, membosankan dan penuh kepalsuan. Kacamata gelap dan masker telah menyamarkan wajahnya, rambutnya yang biasanya rapi kini dibuat acak-acakan. Ranu merasa yakin takkan ada yang mengenalnya. Namun, saat tubuhnya condong untuk membuka pintu mobil,
Cakra adalah sosok yang kuat dan bertanggung jawab, namun di balik itu semua, dia juga memiliki hati yang lembut. Dia pernah merasakan kehilangan seperti Kiran, dan ia percaya Cakra akan menjaga Ria dengan sepenuh hati. Saat melintasi jalan, Kiran berjalan berlawanan arah dengan seorang pria dewasa. Setiap langkahnya terasa begitu nyata, seolah gema langkahnya bergema di telinganya. Dan kemudian, ia melihatnya—sebuah cahaya biru samar mengelilingi mereka berlima, berkedip redup seperti kunang-kunang. Dari mana cahaya itu berasal? Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Pria dewasa itu memancarkan aura yang berbeda. Perisai cahaya biru itu seolah menempel erat pada dirinya, mengikuti setiap langkahnya. “Mungkin aku salah lihat,” gumam Cakra, “Pria tadi mirip dengan Sagara.” Dia pernah melihat foto masa muda Sagara Paramayoga di buku terbitan Bianca Rezmee Kiran tersentak, langsung membalikkan badan ingin mengejar. Namun, Cakra menahannya, “Mau ke mana? Lampu hijau tinggal