Mimpi buruk menghampiri semua orang kala terlelap. Iptu Cakra kerap tersesat di hutan gelap setelah kematian Mila, adik tercinta. Kiran juga sering berputar-putar di ingatan masa lalunya sebelum mengingat semua insiden yang tertinggal masa sekolah. Satu kesalahan yang dibuat Raka memberi dampak luar biasa. Kiran yang tidak bersalah harus menderita sangat lama. Raka melakukan itu untuk menepis hatinya. Hari sebelum Aina jatuh dari atap, Raka dan VIlas berdebat hampir setiap hari. Peringatan Vilas menyuruh Raka menjauhi Aina secepatnya karena percaya gadis itu membawa kesialan untuk kesuksesan keluarga mereka. "Ada apa Ayah memanggilku?" Raka mengorbankan waktu belajarnya demi mememuhi panggilan VIlas. VIlas belum istirahat sama sekali setelah menghadiri rapat dewan di kantor pusat. Terlihat dari pakaian formal yang dikenakan Vilas. Sekretarisnya setia menunggu berdiri di belakang sofa tunggal yang diduduki Vilas. "Sampai kapan kamu berhubungan dengan gadis pembawa sial itu?" Vi
Ria jalan paling depan, di belakangnya Raka, di belakangnya lagi Kiran, kemudian Ranu di belakangnya. Ria sangat gembira memotret pemandangan alam yang tak pernah dilihat di kota. Kiran di belakang Raka mensejajarkan langkah mereka. "Melelahkan, bukan?" tanya Kiran. Ranu melihat basa-basi Kiran cuma bisa berdecih. Memandangi kabut pegunungan lebih indah dari mereka. "Lumayan," singkat Raka. "Mbak Ria bawa banyak makanan, minta saja kalau lapar." Raka mengangguk paham. "Pantas tasnya ringan," lirihnya ingat saat menurunkan tas mereka dari bagasi mobil. Ria abai meski mendengar percakapan mereka. "Obrolan mereka kaku sekali, ckck." Raka bertanya, "Apa masih jauh sampai di tempat ritual?" Maklum, biasa duduk berjam-jam di kantor tubuhnya kaget diajak mendaki. "Harus naik sedikit lagi." "Akhh." Raka menyeka sisi wajahnya yang berkeringat. "Kiran! Apa itu rumah?" Ria heboh menunjuk bangunan mirip rumah zaman dahulu yang terlihat dari tempat mereka. Mereka ikut melihat ke atas. "
"Selamat datang ..." Kecuali Ria, mereka melihat sekilas keberadaan Gataka di dekat sisi belakang rumah zaman dahulu. Kiran berdiri mempersiapkan diri akan bertempur dengan energi entitas lain di sini. Bukan perkara mudah menginjakkan kaki tanpa benturan energi. Selain fisiknya menjadi lemah akibat dikuras Gataka, ia tidak bisa memanfaatkan Raka karena Raka bukanlah pemilik sesungguhnya. Melihat Raka pucat kurang energi seperti sekarang cukup membuat Kiran khawatir. Di atas hamparan tanah lembab khas pegunungan, dua rumah saling berhadapan, di tengahnya terdapat satu gubuk yang diduga sebagai tempat gudang. "Satu yang aku gak paham dari pengelola di sini. Kenapa tempat seperti ini dijadikan napak tilas para pendaki. Bagaimana kalau mereka punya niat buruk? Kata kalian aura di sini sangat gelap. Aku yakin sepulang kita mendaki bukannya sehat dan bugar malah tambah drop atau mungkin masuk instalasi darurat rumah sakit karena menampung energi jahat" Ria berceloteh sendiri tak ada yan
"Kiran mana?" Ria bersama Raka menyusul ke rumah pertama karena Kiran dan Ranu lama sekali. Kiran mengantongi kertas pemberian Cenayang Putri setelah mendengar suara Ria di luar. "Di dalam." Ranu setengah hela napas. "Itu Kiran." "Hm." Kiran akhirnya ke luar bertemu mereka. "Maaf lama. Ayo ke rumah satunya." Ria menempel ke Kiran. "Bagaimana? Kalian menemukan apa di dalam?" Kiran tersenyum menyembunyikan yang sebenarnya. "Seperti rumah pada umumnya." "Kosong?" Raka penasaran juga. Ranu menatap sinis Raka di sampingnya. "Persis isi kepalamu." "Aku salah berbuat baik padamu." Harus bagaimana dia supaya Ranu bersikap baik padanya selama di depan Kiran. "Nah itu kamu sadar diri." Tidak masalah ada Kiran atau tidak. Benci tetaplah benci. Ria di depan langsung mundur melerai mereka sekian kali. "Ranu ke depan! Kalian benar-benar kekanakan ya. Gak habis bertengkar." "Dia yang mulai!" seru Raka. "Kubilang jangan bicara denganku," sahut Ranu. "Apa masalahmu? Kita selesaikan sekar
Ranu duduk di bawah anak tangga menunggu dua tuan putri yang sedang ke toilet. Wajahnya seperti anak kecil yang menunggu dijemput pulang sekolah. "Hebatnya kamu bisa berdiri tanpa rasa bersalah," tutur Ranu ke luar begitu saja dari mulutnya. "Kalau aku gak mungkin." Raka duduk dekat tiang bambu melirik. "Bagaimana denganmu? Kalau gak tahu yang terjadi sebenarnya di antara Kiran dan Aina, diam saja." "Sejujurnya, pasti terbesit di hatimu kalau Kiran gak terlibat dengan kematian Aina, kan? Sebenarnya kamu yang dikejar rasa bersalah karena dia tahu kamu suka Kiran." "Hentikan. Aku sangat sensitif bahas masa lalu." Ranu tertawa. "Seberapa sensitif? Kita sering berkelahi di mana saja. Kamu bahkan selalu kalah." "Diam." Raka memejamkan mata rileks. "Lagipula, ini dampak terlambat menyadari perasaan sendiri. Kamu mungkin sudah menyukai Aina, tapi—" Ranu terbelalak tangan Raka sudah menarik dadanya. "Dengar. Bukan urusanmu aku melalui semuanya sendiri. Urus saja dirimu sendiri dan Kira
Raka berlari turun dengan tangan kosong. Ia bersembunyi di balik pohon yang menghadap tebing tak berani menampakkan wajah di depan Kiran dan Ranu. "Raka!" Suara gadis yang dulu sering memanggil namanya dengan ceria masih membekas, begitu pula kenangannya. Aina masuk ke kelas Raka saat jam istirahat untuk mengajak makan siang. "Kiran sudah menunggu di kantin. Ayo kita ke sana." Raka menepis pelan tangan Aina yang mengait ke lengannya. "Aku gak nafsu makan." "Kemarin kamu juga gak makan. Kamu sakit? Jangan belajar terus. Isi tenaga dulu. Ayo!" Aina belum menyerah mengajaknya. "Kamu gak dengar? Aku menolak. Aku makan atau nggak bukan urusan kamu. Aku hidup atau mati sekalipun bukan urusan kamu. Jangan merengek di hadapan aku. Kamu gak malu disebut pencari perhatian dan bersikap manja setiap hari?" Siapa yang tidak terkejut kekasihmu mengusirmu dengan penekanan? Seorang Raka yang lembut dan penyayang, berubah drastis akhir-akhir ini. "Jelas urusan aku—" Aina membungkam mulutnya tatk
"Baru kali ini aku mengalami serangkaian peristiwa horor saat mendaki dan belum sampai puncak terpaksa pulang." Ria tidak butuh respon mereka. Pada dasarnya dia gemar bicara sesuai isi kepala. Ranu menatap Kiran yang tak berpaling sedikit pun dari jendela samping. Agar tak semakin hening, dia menjawab ucapan Ria. "Ini yang terbaik, jangan terlalu kecewa." "Siapa juga yang kecewa," balas Ria sedekap dada bersandar sepenuhnya ke bangku untuk memejamkan mata sejenak. Kiran kembali ke alam sadarnya sebelum emosional. "Raka pasti sudah pulang dan baik-baik saja." Ia menanamkan keyakinan tersebut dalam memori otaknya agar tenang. Ria segera turun dan melambaikan tangan pada Kiran. Kiran sedikit terlambat membalas lambaiannya dari dalam mobil karena isi kepalanya sangat penuh sekarang. Setelah mobil Ranu melaju, Ria berkata, "Ranu nggak akan kerasukan lagi, kan?" Ketika sadar dirinyalah yang patut dikhawatirkan. "Aku juga dirasuki tadi. Sebentar, hantu itu nggak mengikuti ke sini, kan?
Ria keluar dari taksi tiba di tempat tujuan menjelang siang. Tangan kanannya menghalau sinar matahari langsung ke wajah. "Aku nggak percaya harus keluar di hari libur, siang hari pula." Ipda Aswin ke luar dari kantor hendak ke area bebas merokok sekedar mengisi waktu istirahat. Ria harus mengucapkan sesuatu setelah sidang akhir Fuadi di pengadilan kemarin usai sebagai mantan istri yang baik. Ada keuntungan juga punya orang dalam di kepolisian. Ketika papasan lihat Ipda Aswin, Ria menyapanya dengan hangat. "Siang ..." Ipda Aswin mengangguk satu kali menyembunyikan sebatang rokok yang diapit di tangan kanan ke belakang punggung. "Saya kira apa yang bersinar dari kejauhan ... Ternyata kamu datang." "Dia pandai basa-basi," lirih Ria sedikit menoleh. "Saya sudah lihat kok." Ria tertawa renyah. Tidak perlu disembunyikan. Hampir semua pria merokok. Ria tidak membenci perokok. "Mau merokok, kan? Sana." Aswin ikut tertawa hambar mengedepankan tangannya lantaran ketahuan. "Ya sudah. Kamu