"Selamat datang ..." Kecuali Ria, mereka melihat sekilas keberadaan Gataka di dekat sisi belakang rumah zaman dahulu. Kiran berdiri mempersiapkan diri akan bertempur dengan energi entitas lain di sini. Bukan perkara mudah menginjakkan kaki tanpa benturan energi. Selain fisiknya menjadi lemah akibat dikuras Gataka, ia tidak bisa memanfaatkan Raka karena Raka bukanlah pemilik sesungguhnya. Melihat Raka pucat kurang energi seperti sekarang cukup membuat Kiran khawatir. Di atas hamparan tanah lembab khas pegunungan, dua rumah saling berhadapan, di tengahnya terdapat satu gubuk yang diduga sebagai tempat gudang. "Satu yang aku gak paham dari pengelola di sini. Kenapa tempat seperti ini dijadikan napak tilas para pendaki. Bagaimana kalau mereka punya niat buruk? Kata kalian aura di sini sangat gelap. Aku yakin sepulang kita mendaki bukannya sehat dan bugar malah tambah drop atau mungkin masuk instalasi darurat rumah sakit karena menampung energi jahat" Ria berceloteh sendiri tak ada yan
"Kiran mana?" Ria bersama Raka menyusul ke rumah pertama karena Kiran dan Ranu lama sekali. Kiran mengantongi kertas pemberian Cenayang Putri setelah mendengar suara Ria di luar. "Di dalam." Ranu setengah hela napas. "Itu Kiran." "Hm." Kiran akhirnya ke luar bertemu mereka. "Maaf lama. Ayo ke rumah satunya." Ria menempel ke Kiran. "Bagaimana? Kalian menemukan apa di dalam?" Kiran tersenyum menyembunyikan yang sebenarnya. "Seperti rumah pada umumnya." "Kosong?" Raka penasaran juga. Ranu menatap sinis Raka di sampingnya. "Persis isi kepalamu." "Aku salah berbuat baik padamu." Harus bagaimana dia supaya Ranu bersikap baik padanya selama di depan Kiran. "Nah itu kamu sadar diri." Tidak masalah ada Kiran atau tidak. Benci tetaplah benci. Ria di depan langsung mundur melerai mereka sekian kali. "Ranu ke depan! Kalian benar-benar kekanakan ya. Gak habis bertengkar." "Dia yang mulai!" seru Raka. "Kubilang jangan bicara denganku," sahut Ranu. "Apa masalahmu? Kita selesaikan sekar
Ranu duduk di bawah anak tangga menunggu dua tuan putri yang sedang ke toilet. Wajahnya seperti anak kecil yang menunggu dijemput pulang sekolah. "Hebatnya kamu bisa berdiri tanpa rasa bersalah," tutur Ranu ke luar begitu saja dari mulutnya. "Kalau aku gak mungkin." Raka duduk dekat tiang bambu melirik. "Bagaimana denganmu? Kalau gak tahu yang terjadi sebenarnya di antara Kiran dan Aina, diam saja." "Sejujurnya, pasti terbesit di hatimu kalau Kiran gak terlibat dengan kematian Aina, kan? Sebenarnya kamu yang dikejar rasa bersalah karena dia tahu kamu suka Kiran." "Hentikan. Aku sangat sensitif bahas masa lalu." Ranu tertawa. "Seberapa sensitif? Kita sering berkelahi di mana saja. Kamu bahkan selalu kalah." "Diam." Raka memejamkan mata rileks. "Lagipula, ini dampak terlambat menyadari perasaan sendiri. Kamu mungkin sudah menyukai Aina, tapi—" Ranu terbelalak tangan Raka sudah menarik dadanya. "Dengar. Bukan urusanmu aku melalui semuanya sendiri. Urus saja dirimu sendiri dan Kira
Raka berlari turun dengan tangan kosong. Ia bersembunyi di balik pohon yang menghadap tebing tak berani menampakkan wajah di depan Kiran dan Ranu. "Raka!" Suara gadis yang dulu sering memanggil namanya dengan ceria masih membekas, begitu pula kenangannya. Aina masuk ke kelas Raka saat jam istirahat untuk mengajak makan siang. "Kiran sudah menunggu di kantin. Ayo kita ke sana." Raka menepis pelan tangan Aina yang mengait ke lengannya. "Aku gak nafsu makan." "Kemarin kamu juga gak makan. Kamu sakit? Jangan belajar terus. Isi tenaga dulu. Ayo!" Aina belum menyerah mengajaknya. "Kamu gak dengar? Aku menolak. Aku makan atau nggak bukan urusan kamu. Aku hidup atau mati sekalipun bukan urusan kamu. Jangan merengek di hadapan aku. Kamu gak malu disebut pencari perhatian dan bersikap manja setiap hari?" Siapa yang tidak terkejut kekasihmu mengusirmu dengan penekanan? Seorang Raka yang lembut dan penyayang, berubah drastis akhir-akhir ini. "Jelas urusan aku—" Aina membungkam mulutnya tatk
"Baru kali ini aku mengalami serangkaian peristiwa horor saat mendaki dan belum sampai puncak terpaksa pulang." Ria tidak butuh respon mereka. Pada dasarnya dia gemar bicara sesuai isi kepala. Ranu menatap Kiran yang tak berpaling sedikit pun dari jendela samping. Agar tak semakin hening, dia menjawab ucapan Ria. "Ini yang terbaik, jangan terlalu kecewa." "Siapa juga yang kecewa," balas Ria sedekap dada bersandar sepenuhnya ke bangku untuk memejamkan mata sejenak. Kiran kembali ke alam sadarnya sebelum emosional. "Raka pasti sudah pulang dan baik-baik saja." Ia menanamkan keyakinan tersebut dalam memori otaknya agar tenang. Ria segera turun dan melambaikan tangan pada Kiran. Kiran sedikit terlambat membalas lambaiannya dari dalam mobil karena isi kepalanya sangat penuh sekarang. Setelah mobil Ranu melaju, Ria berkata, "Ranu nggak akan kerasukan lagi, kan?" Ketika sadar dirinyalah yang patut dikhawatirkan. "Aku juga dirasuki tadi. Sebentar, hantu itu nggak mengikuti ke sini, kan?
Ria keluar dari taksi tiba di tempat tujuan menjelang siang. Tangan kanannya menghalau sinar matahari langsung ke wajah. "Aku nggak percaya harus keluar di hari libur, siang hari pula." Ipda Aswin ke luar dari kantor hendak ke area bebas merokok sekedar mengisi waktu istirahat. Ria harus mengucapkan sesuatu setelah sidang akhir Fuadi di pengadilan kemarin usai sebagai mantan istri yang baik. Ada keuntungan juga punya orang dalam di kepolisian. Ketika papasan lihat Ipda Aswin, Ria menyapanya dengan hangat. "Siang ..." Ipda Aswin mengangguk satu kali menyembunyikan sebatang rokok yang diapit di tangan kanan ke belakang punggung. "Saya kira apa yang bersinar dari kejauhan ... Ternyata kamu datang." "Dia pandai basa-basi," lirih Ria sedikit menoleh. "Saya sudah lihat kok." Ria tertawa renyah. Tidak perlu disembunyikan. Hampir semua pria merokok. Ria tidak membenci perokok. "Mau merokok, kan? Sana." Aswin ikut tertawa hambar mengedepankan tangannya lantaran ketahuan. "Ya sudah. Kamu
"Antar langsung ke rumahnya, Pak. Jangan diturunin sembarangan, ngejar soalnya." Aswin bicara dengan sopir taksi. Setelah makan bersama, Cakra menganjurkan Ria pulang, para pria mengantar sampai memberhentikan taksi. "Tolong hati-hati ya, Pak." Cakra turut memberi pesan ke sopir. "Baik, Pak." "Ck, mereka khawatir atau lagi mengejek." Ria menutup kaca setengah. "Jalan, Pak." Setelah taksi melaju, mereka kembali ke kantor. Baru selangkah masuk ruangan, Aswin terkejut dengan ekspresi juniornya sedang berdiri menganga tersenyum lebar tanpa kedip. Aswin mengibaskan tangannya depan muka Varafanu. "Rafa!" Dia teriak karena takut dia pingsan berdiri. Rafa sadar melamun lama. "Iya, Pak." "Kenapa kamu bengong ke arah pintu?" Yang dirasakan Cakra cuma angin masuk. "Oh iya. Tadi Kiran datang minta bertemu Fuadi," terang Varafanu. "Kiran?" Aswin memukul dada Cakra. "Kamu gak bilang dia mau berkunjung." Cakra juga tidak tahu bocah itu berencana datang ke kantor polisi. Lumayan lama merek
"Aku pernah lihat Raka dan Vilas ke luar dari kantor PT SH bersama. Apa mereka dekat?" Ranu bergeming. Menjawab pertanyaan akan membuat Ria semakin penasaran. Diam mungkin mengurangi kecurigaannya, atau tidak. "Diam berarti benar," imbuh Ria menyimpulkan. "Sebagian kecil manajer memiliki koneksi dengan Vilas." Ranu beritahu sedikit. "Kalian?" "Belum sejauh itu." "Apa kamu gak pernah dengar rumor siapa anaknya Vilas, sedikit pun?" "Privasi keluarganya sangat dijaga." Sekarang Ranu merasa sangat buruk membohonginya. Ria terlalu ingin tahu. "Kalian sesama pria lebih tahu cara mendekati orang seperti Vilas. Coba selidiki." Di ambang pintu Kiran mendengar percakapan mereka sebelumnya dan tengah memandang respon Ranu. "Jangan membebani mereka dengan mendekati Vilas," ucap Kiran adil. Mereka hendak beranjak namun Kiran menyuruh mereka tetap duduk. Ia sendiri duduk di sebelah Ria. Kiran bertanya, "Kamu bertemu Fuadi tadi?" Tanpa menambahkan pertanyaan komentar konyol apa yang dia