Kiran ke luar rumah setelah dikabari Raka telah menunggu di depan. Di saat yang sama Ranu dan Ria jalan kaki dari arah berlawanan sedang saling toyor kepala. "Kiran suruh kamu ke rumahku, kenapa kita ke rumahnya lagi?" Ria sewot. "Rumah Kiran markas kita," ujar Ranu. Ria mempercepat langkah memastikan matanya tidak salah lihat. Pria mempesona yang hanya ramah di luar jam kerja itu tiba sangat cepat. Di sebelahnya ada perempuan yang tak lain merupakan Kiran, pawangnya Raka. Ria memberi julukan itu sebab Raka cuma ramah pada Kiran. Mulutnya menganga lebar sampai Ranu mengangkat rahang bawahnya supaya mengatup. Ria menepis kesal tangan Ranu. "Ternyata kamu gak bercanda mengajak Raka." Tawa singkat di akhir adalah bentuk tekanan. Raka menganggukkan kepala. "Ya, begitulah." "Syukurlah." Dalam hati Ranu gregetan. "Selagi kita berempat belum berangkat, bagi tugas dulu. Raka, kamu urus Ria. Saya urus Kiran." Kiran dan Ria mendelik atas keputusan konyolnya. "Pikirmu aku anak bayi haru
Mereka berempat tiba di tujuan hampir pukul 5 pagi. Raka sigap ke luar menurunkan tas dari bagasi. Suara bagasi terbuka mengejutkan Ranu yang sedang tertidur seketika terbangun. "Sudah sampai?" Ranu mengucek mata lalu turun melakukan peregangan otot di sebelah mobil. "Bangunkan mereka," ucap Raka mengangkat tas berwarna biru dengan stiker kerop*i di tengahnya. "Ringan sekali," lirihnya sedikit heran. "Nanti juga bangun sendiri," ujar Ranu menggerakkan tubuhnya ke kanan dan kiri sebab pinggangnya nyeri kebanyakan tidur. "Percuma bicara denganmu," cetus Raka kembali masuk mobil setelah menutup bagasi tanpa menimbulkan suara keras. Dia nyalakan semua lampu sebagai cara efektif membangunkan dua perempuan yang terlelap tanpa gangguan sejak mobil melaju. "Kita sudah sampai. Bangun." Jidat Ria berlipat kesilauan. "Matikan lampunya!" Lengannya menghalau mata sampai lampu dimatikan. Raka menekan tombol buka pintu sebelah Ria. Ria terkejut wajah Ranu terpampang dari sudut mata sedang mem
"Pantas saja. Aku lihat interkom cuma intinya, gak sampai ke bawah. Kalau begitu siapa nama lengkap Raka?" Tak ada habisnya pertanyaan Ria. Ranu lelah tak ingin berkomentar. Raka senang punya bahan mainan. Dia sengaja jahil muncul di samping Ria. "Kamu mau tahu? Hah!" Rasakan hembusan napasnya. "Hahaha!" Ranu kaget sampai berhenti jalan saat Raka menghembuskan napas lewat mulut terbuka tepat depan wajah Ria. Pria itu menahan tawa sebisanya. "Sialan." Ria mengumpat terlambat tahan napas. "Reaksi kamu selalu bagus makanya sering diisengi," kata Ranu. Ria memukul tangan Ranu. "Sama sekali gak lucu! Tapi, untungnya napas Raka gak bau rokok." "Raka gak merokok. Terus bau apa yang hidung kamu hirup?" Ranu penasaran. "Strawberry. Apa dia rutin pakai spray mulut...?" "Mungkin." Ranu menyeret Ria supaya lebih cepat. "Mereka sudah jauh di depan, cepat!" "Gak bisa naiknya nanti? Tunda satu jam seenggaknya. Badanku masih pegal-pegal nih!" Ria mengeluh terutama pinggangnya mudah nyeri.
Mimpi buruk menghampiri semua orang kala terlelap. Iptu Cakra kerap tersesat di hutan gelap setelah kematian Mila, adik tercinta. Kiran juga sering berputar-putar di ingatan masa lalunya sebelum mengingat semua insiden yang tertinggal masa sekolah. Satu kesalahan yang dibuat Raka memberi dampak luar biasa. Kiran yang tidak bersalah harus menderita sangat lama. Raka melakukan itu untuk menepis hatinya. Hari sebelum Aina jatuh dari atap, Raka dan VIlas berdebat hampir setiap hari. Peringatan Vilas menyuruh Raka menjauhi Aina secepatnya karena percaya gadis itu membawa kesialan untuk kesuksesan keluarga mereka. "Ada apa Ayah memanggilku?" Raka mengorbankan waktu belajarnya demi mememuhi panggilan VIlas. VIlas belum istirahat sama sekali setelah menghadiri rapat dewan di kantor pusat. Terlihat dari pakaian formal yang dikenakan Vilas. Sekretarisnya setia menunggu berdiri di belakang sofa tunggal yang diduduki Vilas. "Sampai kapan kamu berhubungan dengan gadis pembawa sial itu?" Vi
Ria jalan paling depan, di belakangnya Raka, di belakangnya lagi Kiran, kemudian Ranu di belakangnya. Ria sangat gembira memotret pemandangan alam yang tak pernah dilihat di kota. Kiran di belakang Raka mensejajarkan langkah mereka. "Melelahkan, bukan?" tanya Kiran. Ranu melihat basa-basi Kiran cuma bisa berdecih. Memandangi kabut pegunungan lebih indah dari mereka. "Lumayan," singkat Raka. "Mbak Ria bawa banyak makanan, minta saja kalau lapar." Raka mengangguk paham. "Pantas tasnya ringan," lirihnya ingat saat menurunkan tas mereka dari bagasi mobil. Ria abai meski mendengar percakapan mereka. "Obrolan mereka kaku sekali, ckck." Raka bertanya, "Apa masih jauh sampai di tempat ritual?" Maklum, biasa duduk berjam-jam di kantor tubuhnya kaget diajak mendaki. "Harus naik sedikit lagi." "Akhh." Raka menyeka sisi wajahnya yang berkeringat. "Kiran! Apa itu rumah?" Ria heboh menunjuk bangunan mirip rumah zaman dahulu yang terlihat dari tempat mereka. Mereka ikut melihat ke atas. "
"Selamat datang ..." Kecuali Ria, mereka melihat sekilas keberadaan Gataka di dekat sisi belakang rumah zaman dahulu. Kiran berdiri mempersiapkan diri akan bertempur dengan energi entitas lain di sini. Bukan perkara mudah menginjakkan kaki tanpa benturan energi. Selain fisiknya menjadi lemah akibat dikuras Gataka, ia tidak bisa memanfaatkan Raka karena Raka bukanlah pemilik sesungguhnya. Melihat Raka pucat kurang energi seperti sekarang cukup membuat Kiran khawatir. Di atas hamparan tanah lembab khas pegunungan, dua rumah saling berhadapan, di tengahnya terdapat satu gubuk yang diduga sebagai tempat gudang. "Satu yang aku gak paham dari pengelola di sini. Kenapa tempat seperti ini dijadikan napak tilas para pendaki. Bagaimana kalau mereka punya niat buruk? Kata kalian aura di sini sangat gelap. Aku yakin sepulang kita mendaki bukannya sehat dan bugar malah tambah drop atau mungkin masuk instalasi darurat rumah sakit karena menampung energi jahat" Ria berceloteh sendiri tak ada yan
"Kiran mana?" Ria bersama Raka menyusul ke rumah pertama karena Kiran dan Ranu lama sekali. Kiran mengantongi kertas pemberian Cenayang Putri setelah mendengar suara Ria di luar. "Di dalam." Ranu setengah hela napas. "Itu Kiran." "Hm." Kiran akhirnya ke luar bertemu mereka. "Maaf lama. Ayo ke rumah satunya." Ria menempel ke Kiran. "Bagaimana? Kalian menemukan apa di dalam?" Kiran tersenyum menyembunyikan yang sebenarnya. "Seperti rumah pada umumnya." "Kosong?" Raka penasaran juga. Ranu menatap sinis Raka di sampingnya. "Persis isi kepalamu." "Aku salah berbuat baik padamu." Harus bagaimana dia supaya Ranu bersikap baik padanya selama di depan Kiran. "Nah itu kamu sadar diri." Tidak masalah ada Kiran atau tidak. Benci tetaplah benci. Ria di depan langsung mundur melerai mereka sekian kali. "Ranu ke depan! Kalian benar-benar kekanakan ya. Gak habis bertengkar." "Dia yang mulai!" seru Raka. "Kubilang jangan bicara denganku," sahut Ranu. "Apa masalahmu? Kita selesaikan sekar
Ranu duduk di bawah anak tangga menunggu dua tuan putri yang sedang ke toilet. Wajahnya seperti anak kecil yang menunggu dijemput pulang sekolah. "Hebatnya kamu bisa berdiri tanpa rasa bersalah," tutur Ranu ke luar begitu saja dari mulutnya. "Kalau aku gak mungkin." Raka duduk dekat tiang bambu melirik. "Bagaimana denganmu? Kalau gak tahu yang terjadi sebenarnya di antara Kiran dan Aina, diam saja." "Sejujurnya, pasti terbesit di hatimu kalau Kiran gak terlibat dengan kematian Aina, kan? Sebenarnya kamu yang dikejar rasa bersalah karena dia tahu kamu suka Kiran." "Hentikan. Aku sangat sensitif bahas masa lalu." Ranu tertawa. "Seberapa sensitif? Kita sering berkelahi di mana saja. Kamu bahkan selalu kalah." "Diam." Raka memejamkan mata rileks. "Lagipula, ini dampak terlambat menyadari perasaan sendiri. Kamu mungkin sudah menyukai Aina, tapi—" Ranu terbelalak tangan Raka sudah menarik dadanya. "Dengar. Bukan urusanmu aku melalui semuanya sendiri. Urus saja dirimu sendiri dan Kira