"Aku di tempat yang sama lagi." Kiran tahu sedang dirasuki oleh sebabnya berada di tepi lapangan dekat kebun bunga anggrek. Matanya mengamati siswa-siswi lalu lalang beraktivitas seperti pada umumnya. Dari kejauhan tampak awan gelap dan saat telapak tangannya menengadah ia dapat merasakan rintikan air hujan. Seorang siswi datang menangkis kasar tangan Kiran. Ia menatap heran siswi itu. "Kamu pasti mengira semua hal yang terjadi bukan apa-apa. Aku berkali-kali mengejar dia. Ternyata dia suka kamu?" Kiran bahkan diam saja ketika sebelah bahunya didorong. Matanya bergerak gelisah mempertanyakan siapa dia dan apa masalahnya. "Jangan-jangan rumor kalian saling menyukai itu benar. Kiran, jawab jujur. Siapa orang yang kamu suka?" Kiran mundur dua langkah membatin, "Dia perempuan yang aku lihat di lantai dua saat kebakaran di pabrik." Papan nama di dada kirinya buram padahal penglihatan Kiran ke objek sekeliling sangat jernih. "Aku mendengar semuanya. Kalian berdua main-main denganku
Ranu dan Ria harus mengapit Gataka menuju kantin supaya tidak mengganggu orang lain. Mereka ingin memaksa Gataka pergi menggunakan Raka, namun entah berada di mana manusia itu hingga sulit dihubungi. Ketika Ranu sembunyi-sembunyi menghubungi Angga, pria minim sopan santun itu bahkan tidak mengizinkannya bicara. "Aku masih keluarganya apa alasanmu melarang kami bicara?" sulut Ranu di telepon. "Tuan Raka menolak bicara dengan Anda. Maaf." Ranu melihat panggilannya dimatikan sepihak. "Apa? Tung— Angga!" Sementara itu Gataka mendengar sesuatu yang tidak biasa dari sebelah kirinya. Ria sedang mengisi pikiran tentangnya. Gataka menghadap samping dan tiba-tiba menarik kerah seragam Ria. "Kamu mau memanggil jiwa Kiran?" Ria kaget gelagapan. "Ng-nggak kok!" "Heh, heh!" Ranu melepaskan tangannya. "Jangan menyakiti Ria." "Aku cuma bicara," ucap Ria mengurungkan niat. Kalau isi pikirannya mudah dibaca, bukan dia yang memanggil jiwa Kiran, tapi Gataka akan memusnahkan Ria sebelum dimusnah
"Aku senang kamu kembali." Ria terus mengaitkan tangannya ke lengan Kiran sepulang bekerja. Biasanya mereka fokus bekerja saat jam kerja, tetapi Ria banyak bicara sampai kena tegur pun tetap mengobrol. Kiran yang selalu berada di tengah antara Ria dan Ranu kini mengubah tempatnya si sisi kanan. Ria berada di tengah dekat Ranu. "Besok kurangi mengobrol. Beruntung saya yang tegur kamu, bukan atasan lain." Bibir Ria menye-menye. "Iya, iya. Syukurlah kenal orang dalam. Iya kan, Kiran?" Ia pasti gugup berdekatan dengan Ranu setelah ini. Sebagai "Benar juga," singkat Kiran. Semua yang berlebihan itu tidak baik. Berbahagia sampai tidak mengontrol mulut bisa menyebabkan bencana. Ria keceplosan menyebut agenda bersama Kiran hari ini. "Yah, gara-gara hari ini lembur kita harus berangkat malam." "Berangkat ke mana?" Ranu baru tahu mereka mau pergi setelah bekerja. "Huh?" Ria mencari alasan masuk akal supaya Ranu tidak menggali. "Kita ... Mau—" "Mendaki Gunung Arang," ungkap Kiran tak di
Kiran ke luar rumah setelah dikabari Raka telah menunggu di depan. Di saat yang sama Ranu dan Ria jalan kaki dari arah berlawanan sedang saling toyor kepala. "Kiran suruh kamu ke rumahku, kenapa kita ke rumahnya lagi?" Ria sewot. "Rumah Kiran markas kita," ujar Ranu. Ria mempercepat langkah memastikan matanya tidak salah lihat. Pria mempesona yang hanya ramah di luar jam kerja itu tiba sangat cepat. Di sebelahnya ada perempuan yang tak lain merupakan Kiran, pawangnya Raka. Ria memberi julukan itu sebab Raka cuma ramah pada Kiran. Mulutnya menganga lebar sampai Ranu mengangkat rahang bawahnya supaya mengatup. Ria menepis kesal tangan Ranu. "Ternyata kamu gak bercanda mengajak Raka." Tawa singkat di akhir adalah bentuk tekanan. Raka menganggukkan kepala. "Ya, begitulah." "Syukurlah." Dalam hati Ranu gregetan. "Selagi kita berempat belum berangkat, bagi tugas dulu. Raka, kamu urus Ria. Saya urus Kiran." Kiran dan Ria mendelik atas keputusan konyolnya. "Pikirmu aku anak bayi haru
Mereka berempat tiba di tujuan hampir pukul 5 pagi. Raka sigap ke luar menurunkan tas dari bagasi. Suara bagasi terbuka mengejutkan Ranu yang sedang tertidur seketika terbangun. "Sudah sampai?" Ranu mengucek mata lalu turun melakukan peregangan otot di sebelah mobil. "Bangunkan mereka," ucap Raka mengangkat tas berwarna biru dengan stiker kerop*i di tengahnya. "Ringan sekali," lirihnya sedikit heran. "Nanti juga bangun sendiri," ujar Ranu menggerakkan tubuhnya ke kanan dan kiri sebab pinggangnya nyeri kebanyakan tidur. "Percuma bicara denganmu," cetus Raka kembali masuk mobil setelah menutup bagasi tanpa menimbulkan suara keras. Dia nyalakan semua lampu sebagai cara efektif membangunkan dua perempuan yang terlelap tanpa gangguan sejak mobil melaju. "Kita sudah sampai. Bangun." Jidat Ria berlipat kesilauan. "Matikan lampunya!" Lengannya menghalau mata sampai lampu dimatikan. Raka menekan tombol buka pintu sebelah Ria. Ria terkejut wajah Ranu terpampang dari sudut mata sedang mem
"Pantas saja. Aku lihat interkom cuma intinya, gak sampai ke bawah. Kalau begitu siapa nama lengkap Raka?" Tak ada habisnya pertanyaan Ria. Ranu lelah tak ingin berkomentar. Raka senang punya bahan mainan. Dia sengaja jahil muncul di samping Ria. "Kamu mau tahu? Hah!" Rasakan hembusan napasnya. "Hahaha!" Ranu kaget sampai berhenti jalan saat Raka menghembuskan napas lewat mulut terbuka tepat depan wajah Ria. Pria itu menahan tawa sebisanya. "Sialan." Ria mengumpat terlambat tahan napas. "Reaksi kamu selalu bagus makanya sering diisengi," kata Ranu. Ria memukul tangan Ranu. "Sama sekali gak lucu! Tapi, untungnya napas Raka gak bau rokok." "Raka gak merokok. Terus bau apa yang hidung kamu hirup?" Ranu penasaran. "Strawberry. Apa dia rutin pakai spray mulut...?" "Mungkin." Ranu menyeret Ria supaya lebih cepat. "Mereka sudah jauh di depan, cepat!" "Gak bisa naiknya nanti? Tunda satu jam seenggaknya. Badanku masih pegal-pegal nih!" Ria mengeluh terutama pinggangnya mudah nyeri.
Mimpi buruk menghampiri semua orang kala terlelap. Iptu Cakra kerap tersesat di hutan gelap setelah kematian Mila, adik tercinta. Kiran juga sering berputar-putar di ingatan masa lalunya sebelum mengingat semua insiden yang tertinggal masa sekolah. Satu kesalahan yang dibuat Raka memberi dampak luar biasa. Kiran yang tidak bersalah harus menderita sangat lama. Raka melakukan itu untuk menepis hatinya. Hari sebelum Aina jatuh dari atap, Raka dan VIlas berdebat hampir setiap hari. Peringatan Vilas menyuruh Raka menjauhi Aina secepatnya karena percaya gadis itu membawa kesialan untuk kesuksesan keluarga mereka. "Ada apa Ayah memanggilku?" Raka mengorbankan waktu belajarnya demi mememuhi panggilan VIlas. VIlas belum istirahat sama sekali setelah menghadiri rapat dewan di kantor pusat. Terlihat dari pakaian formal yang dikenakan Vilas. Sekretarisnya setia menunggu berdiri di belakang sofa tunggal yang diduduki Vilas. "Sampai kapan kamu berhubungan dengan gadis pembawa sial itu?" Vi
Ria jalan paling depan, di belakangnya Raka, di belakangnya lagi Kiran, kemudian Ranu di belakangnya. Ria sangat gembira memotret pemandangan alam yang tak pernah dilihat di kota. Kiran di belakang Raka mensejajarkan langkah mereka. "Melelahkan, bukan?" tanya Kiran. Ranu melihat basa-basi Kiran cuma bisa berdecih. Memandangi kabut pegunungan lebih indah dari mereka. "Lumayan," singkat Raka. "Mbak Ria bawa banyak makanan, minta saja kalau lapar." Raka mengangguk paham. "Pantas tasnya ringan," lirihnya ingat saat menurunkan tas mereka dari bagasi mobil. Ria abai meski mendengar percakapan mereka. "Obrolan mereka kaku sekali, ckck." Raka bertanya, "Apa masih jauh sampai di tempat ritual?" Maklum, biasa duduk berjam-jam di kantor tubuhnya kaget diajak mendaki. "Harus naik sedikit lagi." "Akhh." Raka menyeka sisi wajahnya yang berkeringat. "Kiran! Apa itu rumah?" Ria heboh menunjuk bangunan mirip rumah zaman dahulu yang terlihat dari tempat mereka. Mereka ikut melihat ke atas. "