Suasana pesta ulang tahun Hilda begitu hangat. Teman-teman kantornya yang akrab terlihat asyik berbincang di bawah pencahayaan lembut lampu pesta. Alunan musik pop yang santai menemani mereka menikmati hidangan manis seperti pancuran cokelat dan berbagai jenis kue. Pilihan minuman yang beragam, mulai dari mocktails hingga soda, semakin melengkapi suasana santai pesta. Ria mengangkat gelas champagne flute yang berkilau di bawah cahaya lampu. Kakinya jenjang melangkah mendekati Kiran yang sedang mengamati Ranu dari kejauhan. “Coba ini, deh. Kayaknya unik banget.” Kiran mendekati Ria, hidungnya mengernyit saat mencium aroma minuman itu. “Aneh baunya, agak menyengat.” Ranu yang memperhatikan mereka dari kejauhan langsung berseru, “Jangan sembarangan minum, ya! Tanya saya dulu.” Nada suaranya terdengar sedikit khawatir. Sebelum sempat mencicipi, gelas di tangan Ria sudah berpindah ke tangan Ranu. Ranu menghela napas lega, lalu mengambilkan mereka minuman yang lebih aman. “Ini lebih c
“Hilda!” Ria berteriak histeris, menarik Kiran menjauh. Jeritan menggema saat tubuh Hilda terhempas ke lantai, membasahi gaun merahnya dengan darah segar. Napas Kiran tercekat. Mata mereka bertemu sejenak, tatapan Hilda penuh makna sebelum ia merintih kesakitan. Kaki Kiran terasa seperti terpaku di tempat, tak mampu bergerak. Bukan rasa takut yang mencengkeramnya, melainkan keheranan yang mendalam. Ranu sudah menghubungi ambulans, namun keheningan mencekam itu terasa begitu berat. Bau amis darah segar memenuhi ruangan, seakan mengundang kehadiran makhluk-makhluk tak kasat mata. Hilda, yang tadi berusaha meraih kaki Kiran, kini terkulai lemas, tak berdaya. Ranu memeriksa nadinya, kepastian pahit terucap dari bibirnya, “Dia meninggal.” Suara sirine ambulans memecah keheningan. Ria, yang baru tersadar, menarik lengan Kiran. “Kita harus pergi dari sini sekarang juga!” Namun, kaki Kiran terasa seperti tertancap di lantai. Ingatan tentang kematian Hilda, yang begitu mendadak dan tragi
“Vilas menuju Hotel Seven1?” Raka mengulang kata-kata Angga dengan nada tak percaya. Angguk pelan dari Angga mengkonfirmasi kabar buruk itu. “Aku baru dapat informasi dari salah satu petugas keamanan hotel. Katanya, Vilas memang sudah melakukan reservasi.” Raka mengangguk, matanya tidak lepas dari layar laptop. “Sudah dapat yang aku minta?” Angga mengangguk, meletakkan tablet di atas meja. “Hilda Namira. Dia salah satu penerima sponsor dari Grup Hirawan. Selain bekerja di PT SH, ternyata dia juga punya hubungan khusus dengan seorang anggota dewan partai politik.” Raka menatap foto Hilda di layar tablet. Jari Raka dengan gesit menggulir layar ponselnya, membaca satu per satu cuitan Hilda di media sosial. “Hilda... dia tahu lebih banyak dari yang kita kira,” gumam Raka, matanya menatap intens pada layar. “Sepertinya Hilda tahu kamu CEO PT SH karena hubungannya dengan Vilas,” gumamnya, nada suaranya penuh makna. “Gita juga begitu, walaupun caranya tahu berbeda.” “Pola perm
Setibanya di jalan kecil tanpa kamera pengawas, Angga naik ke atas mobil dan melompati tembok pembatas kantor pusat yang terhubung ke pintu belakang. Sangat mudah menyusup karena tidak ada karyawan yang lembur. Angga memeriksa situasi supaya mengurangi potensi tertangkap petugas keamanan barangkali sedang patroli di sekitar gedung. Setelah berhasil menaiki tangga darurat sampai atas, Angga melangkah ke satu ruangan yang menjadi tempat eksekusi rencana. Papan bertuliskan Ruangan Pimpinan Utama di depan pintu menjelaskan Angga mengincar sesuatu di dalam sana. Pria itu memastikan tak ada siapa pun dari ekor mata, lalu memasukkan 6 digit PIN. Setelah berhasil masuk, Angga menutup pintu pelan dan langsung menuju brankas kecil di bawah meja Vilas. “Aku tahu pasti berat melakukan pekerjaan bersama Vilas. Ini permintaan terakhirku. Setelah rencana berhasil, terserah kamu mau tetap bertahan atau hengkang dari Grup Hirawan.” “Apa yang harus aku lakukan?” “Membobol brankas pribadi Vil
“Aku di sini lagi,” gumam Kiran, suaranya lirih. Lapangan sekolah itu begitu familiar, seperti foto yang sering ia lihat saat SMA. Anak-anak berlarian ke sana kemari, tawa mereka berbaur dengan gemerisik daun. Kiran tertegun sejenak, nostalgia menyergapnya. Awan gelap mulai menyelimuti langit, perlahan-lahan rintikan hujan mulai turun membasahi wajahnya. Dingin, namun terasa begitu nyata. Sebuah tangan menepis kasar tangan Kiran, menyadarkannya dari lamunan. Ia mendongak, menatap tajam sosok perempuan yang berdiri di hadapannya. “Kamu pasti mengira semua ini nggak penting, kan?” Suara perempuan itu meninggi, penuh amarah. Kiran meringis saat bahunya didorong kasar. Ia berusaha mengingat siapa perempuan di depannya ini, namun pikirannya masih berkecamuk. “Maaf, aku nggak ngerti,” gumam Kiran, suaranya lembut. Perempuan itu semakin marah. “Jangan pura-pura nggak tahu! Aku tahu kamu menyukainya juga!” Kiran semakin bingung. Siapa yang dimaksud perempuan ini? Hujan semakin deras
“Aku sudah memperingatkanmu.” Kiran menoleh pada Gataka, matanya penuh kebencian. “Ini semua salah kamu!” teriaknya. Ia berlari menuruni tangga, air matanya membasahi wajahnya. “Aina!” Gataka secara licik mengutak-atik ingatan Kiran melalui mimpi. Setiap malam, Kiran dihantui teriakan minta tolong, penyesalan yang tak terjelaskan, dan kesedihan mendalam. Semuanya adalah jebakan yang dirancang Gataka. Pertemuan tak terduga itu ternyata adalah jebakan yang sudah dirancang matang oleh Ranu dan Raka. Ketiganya terikat oleh masa lalu yang kelam, di mana kematian Aina menjadi titik pusatnya. Sejak lima tahun lalu, mereka telah saling mengenal, namun Kiran masih belum menyadari bagaimana Aina bisa menemukan jejak Gataka. Gataka menyeringai, tatapannya menusuk. “Pergilah, nikmati saja sisa hidupmu yang menyedihkan bersama para pecundang. Itulah balasanmu.” *~* Kedua tangan Raka menopang dahinya, matanya terpejam rapat. Angga berdiri di hadapannya, sosok tegap yang sabar menunggu.
“Kiran suruh kamu ke rumah aku, kenapa kita ke rumahnya lagi sih?” Ria protes, sambil menoyor kepala Ranu pelan. “Rumah Kiran kan markas kita, Ria. Sudah ah, ayo cepetan!” sahut Ranu, menarik tangan Ria. Mata Ria membulat sempurna, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pria tampan yang biasanya hanya ramah di luar jam kerja itu kini berdiri di hadapannya, ditemani oleh Kiran, si pawang Raka. Julukan itu memang pas, pikir Ria, karena Raka hanya menunjukkan sisi ramahnya pada Kiran. Mulut Ria menganga lebar, begitu terkejut hingga Ranu harus mengangkat dagunya agar menutup kembali. Ria menepis tangan Ranu dengan kesal. “Jadi, kamu beneran ngajak Raka?” tanyanya, nada suaranya meninggi. Tawa singkat di akhir terdengar lebih seperti sindiran. Raka hanya mengangguk santai. “Iya, kenapa?” Ranu, yang sedari tadi mengamati situasi, langsung menyahut. “Sudahlah, daripada ribut terus. Gini saja, biar adil. Raka, kamu urus Ria. Aku urus Kiran.” Kiran dan Ria sama-sama mengerutkan kening
Wajib hukumnya bagi setiap pendaki Gunung Arang untuk melakukan registrasi di pos pendakian. Mereka pun tak luput dari kewajiban ini. Mereka mencari tempat duduk yang teduh untuk mengisi formulir pendaftaran. Saat itu, Kiran cukup terkejut melihat jumlah pendaki yang cukup banyak, terutama mereka yang telah menginjak usia setengah baya. Jalur pendakian yang tidak terlalu terjal membuat gunung ini ramah bagi semua kalangan usia. Banyak pendaki yang memanfaatkan akhir pekan untuk menikmati keindahan alam, berburu foto di spot-spot menarik, atau sekadar mencari ketenangan. Ria mengintip kertas Ranu, “Hah? Ranu H.? Nama lengkap kamu sepanjang gerbong kereta, kah? Terusin dong, ‘H’-nya apaan sih?” Ranu langsung menutup kertasnya, “Ini nama aku, bukan nama kamu!” Ria mendecih sambil melihat nama belakang Raka, “Kamu juga sama! ‘Ranu H.’ Dan ‘Raka H.’... kayak kode rahasia agen rahasia saja.” Kiran yang sudah selesai mengisi formulirnya, menjawab tenang, “Nama lengkapnya Ranu Hardan
“Aku yang akan urus sisanya. Kalian pergilah dari sana.” Cakra hanya menjawab singkat, “Hm, aku paham.” Usai percakapan usai, dia kembali menatap Angga. “Raka bilang dia akan mengurus sisanya. Kita harus pergi dari sini,” ucap Cakra, suaranya terdengar parau. Angga hanya mengangguk, matanya kosong. Mereka kembali ke mobil masing-masing, melaju meninggalkan tempat kejadian, meninggalkan semua masalah di belakang. Pintu bangsal terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sagara yang sedang bersama Putri. Mereka selesai melakukan perawatan ringan akibat menghirup banyak asap. Sagara tersenyum lemah saat melihat Cakra dan Angga. “Terima kasih kalian sudah datang,” ujarnya lirih. Angga tersenyum singkat. Cakra berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati interaksi antara Sagara dan Angga. Dia menyadari, ada ikatan yang kuat di antara mereka. Putri melangkah mendekati Angga, tangannya mengepal erat. Dengan cepat, dia melayangkan tamparan keras ke pipi Angga hingga meninggalkan bek
Anwalira duduk di tepi kasur, matanya menatap keluar jendela. Cahaya matahari menembus celah tirai, menerangi wajahnya yang pucat. “Aku sudah memutuskan. Malam ini, aku akan pergi.” Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati. “Aku lelah menderita. Aku ingin bebas. Mungkin ini jalan keluar terbaik.” Jari-jarinya meremas sprei kasur dengan erat, seakan-akan ingin mencengkeram harapan terakhir. Anwalira tersenyum tipis. Rasanya baru pertama kali dia bangun tanpa harus buru-buru menyiapkan diri untuk bekerja. Biasanya, dia akan merasa terbebani dengan semua tugas yang menumpuk. Tapi hari ini, hatinya terasa ringan. Namun, di balik rasa senangnya itu, ada juga sedikit keanehan. Kenapa orang tuanya tidak membangunkannya seperti biasa? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Anwalira menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sekuat tenaga menarik gagang pintu. “Tidak mungkin!” gumamnya, kecewa. Dia menggedor-gedor pintu, suaranya bergema di dalam rumah. “Buka pintunya! Kenapa kalian
Perjanjian awal, tahun 2000...“Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban.Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya.Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga.Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan.“Mengapa tidak memilih sec
Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb
Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem
Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.
Raka yang melihat keterkejutan Ranu, mengerutkan kening. “Kenapa?” tanyanya, suaranya sedikit meninggi. “Cepat pergi ke sana!” Raut wajahnya serius, mencerminkan keheranannya melihat Kiran berdiri di depan rumah mereka. “Kamu sudah tahu Raka anak Vilas tapi masih di sisinya?” Ketus Kiran, suaranya menusuk seperti belati. Raka menunduk, kepalan tangannya mengepal erat. Setiap kata yang terlontar terasa seperti tamparan keras di hatinya. Ranu mencoba menenangkan Kiran, mengajaknya bicara di luar. Namun, Kiran menepis tangannya kasar. “Kamu lupa perbuatan Vilas?” “Aku ingat semuanya,” jawab Ranu, suaranya terdengar lemah. “Kamu ingat, tapi apa ini?” Kiran menunjuk ke arah Raka. “Raka gak salah,” bela Ranu, menghela napas berat. “Dia tetap diam mengetahui perbuatan keji ayahnya, dan kamu tetap membelanya?” Mendengar mereka beradu argumen, hati Raka terasa seperti diiris-iris. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mengancam jatuh. Ranu menoleh, matanya dipenuhi ras
Mentari tepat di atas kepala saat Raka melangkah keluar rumah. Pakaiannya yang rapi kontras dengan suasana pagi yang tenang. Ranu yang memperhatikan dari balik tirai, hanya bisa menggelengkan kepala. Tanpa pikir panjang, Ranu menyalakan mobil dan mengikuti Raka dari belakang. Jalanan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Sesampainya di tujuan, Ranu memilih tempat parkir yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Huruf-huruf ‘Hirawan Group’ yang berkilau di gedung pencakar langit itu seakan-akan menjanjikan kemewahan tak terbatas. Di layar kaca, kehidupan keluarga kaya raya selalu digambarkan sempurna. Namun, kenyataan yang mereka alami jauh berbeda. Kehidupan di balik merek besar itu bagai naskah drama yang sudah dihafalkan, membosankan dan penuh kepalsuan. Kacamata gelap dan masker telah menyamarkan wajahnya, rambutnya yang biasanya rapi kini dibuat acak-acakan. Ranu merasa yakin takkan ada yang mengenalnya. Namun, saat tubuhnya condong untuk membuka pintu mobil,
Cakra adalah sosok yang kuat dan bertanggung jawab, namun di balik itu semua, dia juga memiliki hati yang lembut. Dia pernah merasakan kehilangan seperti Kiran, dan ia percaya Cakra akan menjaga Ria dengan sepenuh hati. Saat melintasi jalan, Kiran berjalan berlawanan arah dengan seorang pria dewasa. Setiap langkahnya terasa begitu nyata, seolah gema langkahnya bergema di telinganya. Dan kemudian, ia melihatnya—sebuah cahaya biru samar mengelilingi mereka berlima, berkedip redup seperti kunang-kunang. Dari mana cahaya itu berasal? Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Pria dewasa itu memancarkan aura yang berbeda. Perisai cahaya biru itu seolah menempel erat pada dirinya, mengikuti setiap langkahnya. “Mungkin aku salah lihat,” gumam Cakra, “Pria tadi mirip dengan Sagara.” Dia pernah melihat foto masa muda Sagara Paramayoga di buku terbitan Bianca Rezmee Kiran tersentak, langsung membalikkan badan ingin mengejar. Namun, Cakra menahannya, “Mau ke mana? Lampu hijau tinggal