Usai bekerja Kiran pulang bersama Ria saja. Mereka membeli makanan untuk makan malam lalu mampir ke minimarket jajan es krim juga beberapa snack. Malam ini Ria menginap di rumah Kiran dengan tujuan membantunya baca buku diari Tarendra. Meski sebagian tahun sudah dibaca, ada banyak makna tersirat dalam setiap lembarnya. Selain cerita harian Tarendra dan Sara, rupanya ada pembahasan mengacu kepada roh jahat dan manusia berhati iblis. Ria ingin menjadi orang pertama yang memahami Kiran. Bertemu Kiran akhirnya menyadarkan Ria selama ini hidup kurang rasa syukur. Sangat berbeda dari kehidupan remajanya, sosok Kiran tidak pernah merasakan punya orang tua lengkap. Kiran juga harus menahan keinginannya karena paham pekerjaan Tarendra cukup menguras pikiran dan tenaga. Sebagai anak satu-satunya pemikiran Kiran adalah tidak mau membebani Tarendra terlepas dari masalah Gataka. Kiran mengagumkan. Selesai makan malam mereka membawa snack ke dalam perpustakaan, Kiran mengunci pintu di bilik rahas
"Gataka cuma menuruti manusia kalau dirinya terancam. Kalau begitu dengan apa kalian berdua mengancam Gataka?" Dengan diamnya Ria, Kiran memperlihatjan senyum canggung. "Gataka selalu menjebak inangnya tapi mbak berani menyumpahi dia setiap hari. Bukan mbak yang takut Gataka, justru sebaliknya." Ria terkikik mendengar hal yang tidak mungkin dialami Gataka. "Bicara apa kamu. Aku jelas takut menghadapi emosi anak remaja yang mudah berubah-ubah." Kiran membatin, "Remaja?" Lantas ia bertanya, "Mbak sudah baca buku "Pemanggilan Roh Jahat" yang ditulis Sagara?" Ria menjawab sesudah menggelengkan kepala. "Belum. Kamu cuma minta bantuan baca diari ayahmu, bukan baca buku seisi perpustakaan. Lebih baik aku baca buku kiat memikat lelaki setia." Seingatnya ia tidak pernah menyebut sosok Gataka seperti anak-anak, remaja, atau orang dewasa kepada siapa pun. Penjelasan wujud Gataka seorang remaja hanya ada di buku "Pemanggilan Roh Jahat". Kiran memang belum menunjukkan buku tersebut pada mereka
Keesokan paginya saat Kiran dan Ria sedang bersih-bersih mesin menjelang istirahat, Hilda menghampiri mereka. Menurut Ria, Hilda cuma mengarah ke Kiran, bukan padanya, tidak peduli juga sih dia. "Kalian datang, kan?" tanya Hilda tanpa basa-basi, suaranya pun sengaja diperbesar. "Nggak," sahut Ria. "Iya," ujar Kiran bertentangan. Aktivitas tangan Ria berhenti, lehernya memutar ke samping tepat Kiran menatapnya tanpa ekspresi. Semalam mereka berdua memang tidak menjawab pasti hendak menghadiri acara ulang tahun Hilda. "Kamu mau ke mana?" Ranu sudah ada di belakang Kiran dan Ria sejak Hilda menghampiri mereka. Ria melirik Ranu sebentar, pantas saja Hilda mendekat supaya Ranu dengar pembicaraan mereka. Tangan kiri Ranu membawa file laporan proses bagian prefit yang akan dijalankan sesudah istirahat. Dia lewat memeriksa kebersihan mesin mereka dan kebetulan menangkap obrolan singkat mereka bertiga. Bau-bau mencurigakan pun tercium. "Siang, Pak." Hilda menyapanya diikuti senyum rama
Hari acara ulang tahun Hilda tiba. Sepulang kerja Ria bersiap menata dirinya depan cermin, butuh waktu paling sedikit satu jam untuk merias wajah. Sama halnya dengan Ranu yang langsung ke kontrakan. Kiran menyempatkan pergi ke kantor polisi untuk melihat Fuadi. Ria tidak pernah menjenguknya setelah penangkapan terakhir kali. Kiran harus mencoba memanggil jiwanya supaya kembali. Kesempatan takkan datang kalau bukan kita yang menjemput. Di luar kantor polisi ada Cakra sedang menunggu. Senyumnya terbit kala Kiran datang membawa sesuatu. Dari baunya terdeteksi nasi goreng. "Itu buat saya?" "Buat kalian bertiga." "Bertiga? Siapa lagi?" "Kamu, Ipda Aswin, dan Fuadi." "Kamu lebih semangat bertemu Fuadi dari pada saya." "Bicara apa kamu. Ayo masuk." Alangkah tercengangnya Kiran saat melihat kondisi Fuadi dalam sel penjara. Kantung matanya yang hitam sangat nampak, tatapannya kosong dan sendu, dia terba
Air mata Kiran jatuh tanpa aba-aba. "Ini cerita hidup saya. Kenapa kamu yang menangis?" Kiran mengusap air matanya. "Walaupun kamu cerita sambil tersenyum, sebenarnya luka kamu sangat dalam." Ia bisa merasakan karena mengalami hal serupa. "Sekarang sudah nggak. Saya sudah membuktikan bisa hidup lebih baik." Dari kesedihan raut wajahnya Kiran sangat tahu tanpa menyelam masuk ke hatinya. Cakra sangat kehilangan sosok adik. Terlebih mereka hidup mengandalkan satu sama lain setelah orang tua meninggal dalam kecelakaan tunggal. Cakra dan Mila berada di mobil yang sama namun Tuhan menyelamatkan mereka. Setelah mengakhiri pertemuan dan sesi percakapan bersama Iptu Cakra, ia pulang bersiap ke alamat acara Hilda diadakan. Ria sudah mengebom pesan cepat-cepat berangkat supaya tidak terjebak macet di jalan. Suasana hati Kiran sudah tidak mendukung merayakan pesta, apalah daya terlanjur setuju. Begitu Ria tiba, rupanya dia menebeng mob
"Mbak juga sama. Jangan munafik." "Kenapa kamu terus menuduh kita tanpa alasan?" Ria sakit hati. Mereka sering menghadapi masalah bersama. Ria hafal reaksi Kiran setelah mengalami insiden besar, tetapi menyebutnya munafik sangat berlebihan. Ranu sudah cukup bersabar. "Dia selalu begitu dari dulu. Tinggalkan saja dia sendirian di sini. Jangan pedulikan mau diculik orang asing atau dijual organ tubuhnya! Kita berdua gak penting baginya." Kiran enggan membuntuti mereka selagi memilih meninggalkannya. Ia pun tidak ingin ditemani siapa pun saat ini. Jas Ranu yang berada di bahunya disingkirkan ke bangku, ia tak butuh itu juga. Ria tidak bersungguh-sungguh ingin pergi. "Tunggu sebentar." Tangannya menahan tarikan Ranu. "Kita gak benar-benar pergi, kan?" "Pulang. Dia lagi emosional." "Tadi kamu memarahi aku karena membiarkan Kiran pergi sendirian. Sekarang kamu yang menyeret aku meninggalkan Kiran. Kamu teman kami atau bukan?" "Teman? Haha." Ranu tertawa hambar. "Lalu kamu mau bagaima
"Aku tanya, kamu kenal Pak Vilas?" Raka gagal mengontrol degup jantung. "Hm? Te-tentu saja kenal. Siapa yang gak tahu dia. Pimpinan Grup Hirawan." Dia ingin meluruskan kesalahpahaman selama lima tahun sedangkan Kiran belum mengingat mereka. Jika ingatan Kiran kembali secara tiba-tiba di waktu sekarang akan timbul perkara baru. "Pestanya berakhir cepat dari dugaan." Raka mengalihkan pembahasan. "Gak ada pesta. Karena kamu bisa melihat roh jahat juga pasti paham. Mbak Hilda ... Dia meninggal. Belum lama ambulans membawanya ke rumah sakit." Pria bermuka tebal itu menambah kecepatan kendaraannya serta menyalip beberapa mobil setelah melihat ambulans dari arah berlawanan sebab mengira terjadi hal buruk pada Kiran. "Me-meninggal?" Hari ini dia mudah gugup. Mengatasi berbagai masalah yang Vilas ciptakan tidak lebih sulit dibandingkan bercakap-cakap bersama perempuan yang pernah mengisi sebagian hatinya. Kesan telah berubah saat menyebut nam
Sekitar satu jam yang lalu sebelum Raka menggas mobil, awal mula ia mengetahui pergerakan Vilas adalah laporan Angga. Raka memang sering mempunyai firasat buruk pria tua bangka itu akan bergerak tak terduga. Terbukti Vilas lembur di kantor pusat dan pergi tidak sesuai jadwal yang tertera. Angga sampai mencari celah supaya bisa menghubungi Raka. Angga masuk ke ruangan Vilas setelah dihubungi. "Angga, bersiap antar saya ke suatu tempat." Angga memeriksa jadwal di tabletnya. "Masih ada dua jam lagi acara makan malam bersama tim internal di penerbitan HBook." "Bukan itu. Ke hotel saya. Ada acara pribadi yang harus saya datangi." "Acara pribadi ... Kalau tidak keberatan jelaskan detailnya sedikit supaya tidak mengganggu jadwal lain, Pak." "Ck. Kamu ini. Acara ulang tahun Hilda. Dia kan penerima sponsor grup kita. Kamu lupa?" Angga tidak pernah mengingat wajah penerima sponsor Grup Hirawan. "Saya gak ingat." Sungguh. "Kapan kamu ingat semuanya ckck." Vilas menggelengkan kepala. "Ken