“Mau ke mana, Pak?” tanya Ipda Aswin, matanya tertuju pada sosok Iptu Cakra yang bergegas memakai jaket dan selalu membuatnya penasaran. “Ada urusan,” jawab Cakra singkat, langkahnya tak tergoyahkan. Dia sudah terbiasa dengan pertanyaan itu, dan dia juga sudah terbiasa menjawabnya dengan cara yang sama. Aswin menggaruk kepalanya, bingung. Kasus PT SH memang sudah selesai, tapi instingnya mengatakan ada sesuatu yang belum tuntas. Cakra selalu begitu, bergerak di balik bayangan, memburu kebenaran hingga ke akar-akarnya. Dunia ini tidak statis, begitu pula kejahatan. Oleh karena itu, penegakan hukum harus terus berjalan untuk memastikan keadilan ditegakkan. “Mau ke mana dia?” tanya Kompol Indra, penasaran mengamati Cakra yang bergegas meninggalkan ruangan. “Mungkin ada yang mendesak.” “Ketua Tim kamu itu gak akan bikin masalah lagi, kan? Saya khawatir.” “Jangan khawatir, Pak. Cakra sudah belajar dari pengalamannya. Lagipula, kasus yang lalu sudah membuktikan bahwa dia tidak
Kasir itu menatap rekannya dengan penuh rasa ingin tahu, “Penulis itu, Sagara Paramayoga, buku apa saja yang terkenal?” “Oh, Sagara? Bukunya yang ‘Apakah Manusia Lebih Sempurna’ itu sempat jadi hits banget tahun 1989. Terus, tahun berikutnya ada ‘Pemanggilan Roh Jahat’. Itu buku terakhirnya yang paling kontroversial,” jawab rekannya. “Kenapa disebut kontroversial?” tanya kasir itu lagi. “Karena isinya yang agak mistis gitu. Katanya sih, Sagara ini keturunan paranormal. Jadi, tulisannya banyak yang percaya bisa memanggil roh jahat. Makanya, banyak yang penasaran sama bukunya itu,” jelas rekannya. Kasir itu semakin bingung dan merasa janggal. “Bukan terbit tahun 1971? Tahun yang tertera di buku anak tadi bukan tahun 1990, tapi 1971.” Cakra mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Di mana Kiran? Dia menghampiri kedua kasir yang sedang mengobrol. "Permisi," sapa Cakra. "Saya mencari teman saya. Dia perempuan tinggi segini..." Cakra mengukur tinggi kira-kira. "Tadi katanya mau tanya
Ranu membalas tatapan itu dengan dingin. “Aku lebih nyaman menentang ayahmu dibanding pura-pura bermuka dua seperti kalian. Dan, suruh Angga jaga sikap. Dia makin kurang ajar,” timpal Ranu, nada suaranya penuh sindiran. Raka menghela napas panjang. “Ya.” “Aku ragu memberitahu kamu soal ini atau nggak, tapi sepertinya kamu harus tahu, Raka.” Ranu menatap Raka dengan serius, seolah-olah membawa beban berat. Raka menautkan alis, bingung. “Bicara saja, jangan berbelit-belit.” Mereka sudah terlalu lama bersama untuk bermain-main dengan kata-kata. “Kiran gak ingat, tapi ingatannya tetap ada.” Ranu berhenti sejenak, matanya berkaca-kaca. “Kiran menyebut nama Aina.” Suasana menjadi hening, seolah waktu berhenti sejenak. Seolah disambar petir, Raka terpaku di tempatnya. Nama itu, Aina, bagai belati yang menusuk jantungnya. Kenangan indah tentang masa lalu bercampur aduk dengan kepedihan yang tak tertahankan. Bunga-bunga indah yang pernah mekar di hatinya kini layu dan mati, meninggalk
“Ada hubungannya dengan Gataka?” tanya Raka lebih leluasa. Matanya menyipit, mencoba membaca ekspresi ayahnya. “Gak ada salahnya waspada. Batu cempaka biru memiliki kekuatan yang misterius. Jangan biarkan jatuh ke tangan yang salah,” terang Vilas, suaranya berbisik seolah takut didengar orang lain. Raka menarik napas dalam. “Ayah sudah tahu bahwa aku tahu semuanya. Jangan bicara seolah peduli padaku. Aku pasti menjaga pemberian Ayah ...” “Baiklah, Ayah percaya padamu. Ingat, kekuatan besar membawa tanggung jawab besar,” ujar Vilas. Raka melanjutkan ucapannya yang menggantung, “Walaupun batu cempaka biru milik orang lain.” Vilas menatap putranya tajam. “Ingat, Raka. Semakin dalam kamu menggali, semakin besar lubang yang akan kamu timbun.” Urat-urat tangan Raka menegang, buku-buku jarinya memutih. Vilas berbalik, langkahnya tenang namun penuh otoritas. Di ruang itu, hanya terdengar dengungan AC, menusuk sunyi. Raka mengepalkan tangan, matanya menyala dengan api amarah dan kei
Raka sama sekali tak menghiraukan Fuadi yang meringkuk kesakitan. Kiran masih terpana, belum bisa mencerna peristiwa aneh yang baru saja terjadi. Fuadi, meski tubuhnya meronta kesakitan, tetap berusaha merangkak mendekati mereka. “Dor!” Suara tembakan memecah keheningan. Iptu Cakra, yang telah tiba, mengarahkan pistolnya pada Fuadi. “Jangan bergerak!” perintahnya tegas. “Tembakan pertama peringatan. Jangan bergerak satu langkah, atau saya gak akan ragu menembak.” Fuadi menoleh, senyum sumbang terukir di wajahnya yang memerah. “Kamu harus ingat semuanya, haha!” tanyanya, suaranya serak karena menahan rasa sakit. Iptu Cakra tetap waspada, jari-jarinya menegang di pelatuk pistol. Sepuluh anggota polisi lainnya sudah mengepung mereka, senjata siap meluncur. Dengan hati-hati, mereka membawa Fuadi yang meronta-ronta. Cakra menghampiri Kiran, matanya menyapu tubuh gadis itu dari atas ke bawah. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut. Kiran menatap para polisi dengan pandangan tidak
"Lima tahun lalu kenapa?" Kiran memperjelas penglihatannya, matanya mengikuti sosok yang berlari mendekat dari balik mobil. "Kita..." Raka terdiam, bahunya ditepuk keras. "Ranu? Kok bisa di sini?" Kiran menunjuk mobil yang terparkir. Kaget sekaligus senang, hatinya bergemuruh. Gurat gelisah Ranu sangat kentara, matanya berkaca-kaca. Hanya Kiran yang tahu betapa dalam kekhawatirannya. “Lokasi kita berdua tertaut di aplikasi, jadi aku langsung datang. Keadaan kamu gimana?” “Aku baik.” Ia berusaha meyakinkan. “Kenapa kamu terengah-engah begini...” Kiran mendekat, tangannya lembut menyentuh bahu Ranu. Sentuhan itu seperti obat penenang, perlahan-lahan napas Ranu mulai teratur. Kehadiran Ranu mendadak membuat Raka merasa tersisih. Dia mundur perlahan, niatnya pergi tanpa pamit. Namun, sebelum sempat melangkah, Ranu sudah membuka suara. “Saya sudah dengar dari Iptu Cakra. Pak Raka sudah menolong Kiran. Terima kasih banyak, Pak.” Ranu mengedipkan sebelah mata ke arah Raka, senyum
Sejak punya teman, Kiran selalu sedia mie instan dan camilan. Soalnya, mereka sering mampir dan menginap. Yang buat kaget, mereka sudah menitipkan ransel berisi baju ganti dari jauh-jauh hari. Sore itu, Kiran dan Ria lagi asyik nonton kartun di ruang tamu sambil nunggu Ranu masak mie. Tiba-tiba, Ria berbisik, “Kayaknya aku agak ragu deh, Ranu bisa masak mie apa nggak.” Dari tadi, Ranu yang nawarin diri buat masak, tapi Ria masih agak curiga. “Kiran, aku ke belakang dulu, ya. Kamu lanjut nonton aja.” Dengan rasa penasaran, Ria mengintip ke dapur. Ternyata, dugaan Ria benar. Ranu lagi melamun di depan kompor, matanya kosong melihat mie yang sedang direbus. Kayaknya dia memikirkan sesuatu yang jauh sekali. “Ranu, masih lama?” Ria menarik kursi dan duduk di samping meja makan, sedikit membuyarkan lamunan Ranu. “Sebentar lagi,” jawab Ranu sambil terus mengawasi mie di kompor. Lalu, dengan nada pelan, dia bertanya, “Kamu baik-baik saja mantan suami kamu dipenjara?” “Aku bingung, Ra
“Kiran!” teriaknya berulang kali, namun tidak ada jawaban. “Aku membawa Kiran sebentar,” bisik sebuah suara lirih, diikuti oleh tawa kecil yang menyeramkan. Ria menoleh ke sana kemari, mencari sumber suara itu. Bulu kuduknya meremang. Ranu menghela napas panjang, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Keadaan akan semakin buruk jika Kiran terlalu lama di alam lain. Ranu mondar-mandir di ruang tamu, pikirannya berkecamuk. Waktu terus berlalu, dan Kiran masih belum sadarkan diri. Gataka, dengan santainya, pasti sedang menikmati permainan ini. Ranu tahu dia harus bertindak, tapi apa? Seingat dia, ada satu cara, namun keberhasilannya sangatlah kecil. Sementara itu, Ria terus menjaga Kiran yang terbaring lemah di sofa. Wajah sahabatnya pucat pasi, seperti porselen yang rapuh. Dia tak mengerti apa yang sedang terjadi, namun instingnya mengatakan bahwa situasi ini sangat berbahaya. Tiba-tiba, Ria mendengar suara telepon setelah Ranu ke luar, sepertinya pria itu sedang berbicara d
“Aku yang akan urus sisanya. Kalian pergilah dari sana.” Cakra hanya menjawab singkat, “Hm, aku paham.” Usai percakapan usai, dia kembali menatap Angga. “Raka bilang dia akan mengurus sisanya. Kita harus pergi dari sini,” ucap Cakra, suaranya terdengar parau. Angga hanya mengangguk, matanya kosong. Mereka kembali ke mobil masing-masing, melaju meninggalkan tempat kejadian, meninggalkan semua masalah di belakang. Pintu bangsal terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sagara yang sedang bersama Putri. Mereka selesai melakukan perawatan ringan akibat menghirup banyak asap. Sagara tersenyum lemah saat melihat Cakra dan Angga. “Terima kasih kalian sudah datang,” ujarnya lirih. Angga tersenyum singkat. Cakra berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati interaksi antara Sagara dan Angga. Dia menyadari, ada ikatan yang kuat di antara mereka. Putri melangkah mendekati Angga, tangannya mengepal erat. Dengan cepat, dia melayangkan tamparan keras ke pipi Angga hingga meninggalkan bek
Anwalira duduk di tepi kasur, matanya menatap keluar jendela. Cahaya matahari menembus celah tirai, menerangi wajahnya yang pucat. “Aku sudah memutuskan. Malam ini, aku akan pergi.” Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati. “Aku lelah menderita. Aku ingin bebas. Mungkin ini jalan keluar terbaik.” Jari-jarinya meremas sprei kasur dengan erat, seakan-akan ingin mencengkeram harapan terakhir. Anwalira tersenyum tipis. Rasanya baru pertama kali dia bangun tanpa harus buru-buru menyiapkan diri untuk bekerja. Biasanya, dia akan merasa terbebani dengan semua tugas yang menumpuk. Tapi hari ini, hatinya terasa ringan. Namun, di balik rasa senangnya itu, ada juga sedikit keanehan. Kenapa orang tuanya tidak membangunkannya seperti biasa? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Anwalira menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sekuat tenaga menarik gagang pintu. “Tidak mungkin!” gumamnya, kecewa. Dia menggedor-gedor pintu, suaranya bergema di dalam rumah. “Buka pintunya! Kenapa kalian
Perjanjian awal, tahun 2000...“Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban.Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya.Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga.Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan.“Mengapa tidak memilih sec
Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb
Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem
Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.
Raka yang melihat keterkejutan Ranu, mengerutkan kening. “Kenapa?” tanyanya, suaranya sedikit meninggi. “Cepat pergi ke sana!” Raut wajahnya serius, mencerminkan keheranannya melihat Kiran berdiri di depan rumah mereka. “Kamu sudah tahu Raka anak Vilas tapi masih di sisinya?” Ketus Kiran, suaranya menusuk seperti belati. Raka menunduk, kepalan tangannya mengepal erat. Setiap kata yang terlontar terasa seperti tamparan keras di hatinya. Ranu mencoba menenangkan Kiran, mengajaknya bicara di luar. Namun, Kiran menepis tangannya kasar. “Kamu lupa perbuatan Vilas?” “Aku ingat semuanya,” jawab Ranu, suaranya terdengar lemah. “Kamu ingat, tapi apa ini?” Kiran menunjuk ke arah Raka. “Raka gak salah,” bela Ranu, menghela napas berat. “Dia tetap diam mengetahui perbuatan keji ayahnya, dan kamu tetap membelanya?” Mendengar mereka beradu argumen, hati Raka terasa seperti diiris-iris. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mengancam jatuh. Ranu menoleh, matanya dipenuhi ras
Mentari tepat di atas kepala saat Raka melangkah keluar rumah. Pakaiannya yang rapi kontras dengan suasana pagi yang tenang. Ranu yang memperhatikan dari balik tirai, hanya bisa menggelengkan kepala. Tanpa pikir panjang, Ranu menyalakan mobil dan mengikuti Raka dari belakang. Jalanan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Sesampainya di tujuan, Ranu memilih tempat parkir yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Huruf-huruf ‘Hirawan Group’ yang berkilau di gedung pencakar langit itu seakan-akan menjanjikan kemewahan tak terbatas. Di layar kaca, kehidupan keluarga kaya raya selalu digambarkan sempurna. Namun, kenyataan yang mereka alami jauh berbeda. Kehidupan di balik merek besar itu bagai naskah drama yang sudah dihafalkan, membosankan dan penuh kepalsuan. Kacamata gelap dan masker telah menyamarkan wajahnya, rambutnya yang biasanya rapi kini dibuat acak-acakan. Ranu merasa yakin takkan ada yang mengenalnya. Namun, saat tubuhnya condong untuk membuka pintu mobil,
Cakra adalah sosok yang kuat dan bertanggung jawab, namun di balik itu semua, dia juga memiliki hati yang lembut. Dia pernah merasakan kehilangan seperti Kiran, dan ia percaya Cakra akan menjaga Ria dengan sepenuh hati. Saat melintasi jalan, Kiran berjalan berlawanan arah dengan seorang pria dewasa. Setiap langkahnya terasa begitu nyata, seolah gema langkahnya bergema di telinganya. Dan kemudian, ia melihatnya—sebuah cahaya biru samar mengelilingi mereka berlima, berkedip redup seperti kunang-kunang. Dari mana cahaya itu berasal? Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Pria dewasa itu memancarkan aura yang berbeda. Perisai cahaya biru itu seolah menempel erat pada dirinya, mengikuti setiap langkahnya. “Mungkin aku salah lihat,” gumam Cakra, “Pria tadi mirip dengan Sagara.” Dia pernah melihat foto masa muda Sagara Paramayoga di buku terbitan Bianca Rezmee Kiran tersentak, langsung membalikkan badan ingin mengejar. Namun, Cakra menahannya, “Mau ke mana? Lampu hijau tinggal