Share

GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian
GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian
Author: KIKHAN

Kiran Nawasena

Author: KIKHAN
last update Last Updated: 2023-09-28 22:17:43

Seorang perempuan berdiri di jendela kamar memandang keindahan cahaya peraduan yang menerangi langit malam. Kiran Nawasena, namanya memiliki arti indah, anak istimewa yang bercahaya dan mempunyai masa depan cerah.

Selama 23 tahun, Kiran merasa hidup bagaikan kapal tanpa nakhoda, terombang-ambing dalam lautan kegelapan. Kepergian orang tuanya menjadi titik balik yang menghancurkan, membuatnya kehilangan arah dan mempertanyakan makna eksistensinya. Sejak saat itu, ia menjalani hari-hari dengan rasa hampa, seolah hanya menanti waktu untuk berlalu

Trauma masa lalu atau pengalaman pahit menjadi alasan di balik sikap pendiam dan tertutup Kiran. Ia membangun tembok pelindung untuk menghindari rasa sakit yang pernah ia alami. Keengganannya untuk bergantung pada orang lain merupakan cara baginya untuk merasa aman dan terkendali.

Kiran sadar bahwa masalahnya begitu berat hingga sulit untuk dipahami orang lain. Dia khawatir jika orang-orang akan menjauh darinya.

Kiran meyakini bahwa dunia ini dihuni oleh berbagai makhluk tak kasat mata, mulai dari hantu dan roh jahat hingga manusia dengan hati yang gelap.

Pengalamannya begitu ekstrem hingga sulit dipercaya. Ia mengklaim telah melihat makhluk-makhluk yang tak kasat mata. Bagi orang biasa, itu terdengar seperti dongeng, tapi bagi Kiran, itu adalah kenyataan kelam yang harus ia hadapi setiap hari. Kemampuannya yang unik, yang seharusnya menjadi anugerah, justru menjadi kutukan yang membayangi hidupnya.

Kiran masih ingat betul tatapan kosong ayahnya, Tarendra Nawasena, saat mengakhiri hidupnya lima tahun lalu. Sosok yang selalu menjadi pahlawannya kini pergi untuk selamanya. Sebagai anak yang tumbuh dalam kasih sayang, Kiran menolak percaya ayahnya bunuh diri. Kehadiran roh jahat yang terus mengganggu keluarganya semakin menguatkan keyakinan itu.

Pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi antara mereka seolah menjadi pertanda adanya kekuatan misterius yang ingin menghancurkan keluarga kecilnya. Kata-kata Tarendra saat Kiran masih kecil, “Takdir kamu sudah ditentukan,” terus menghantui. Kiran bertekad mengungkap kebenaran di balik kematian ayahnya dan mengusir kekuatan jahat yang telah menghancurkan hidupnya.

Seiring waktu, Tarendra secara perlahan membuka rahasia tentang Gataka. Roh jahat itu telah menjadi bagian dari Kiran sejak dalam kandungan, membawa kesengsaraan dalam hidupnya. Dengan air mata berlinang, Tarendra menceritakan perjuangan panjangnya untuk mengatasi Gataka dan memberikan Kiran kehidupan yang normal.

Tarendra merasakan hatinya hancur saat kenyataan pahit itu terungkap. Kiran, putrinya, perlahan berubah menjadi sosok yang asing. Kejadian-kejadian aneh yang dialaminya semakin menguatkan dugaan terburuk. Gataka, makhluk gelap yang selalu mengintai, kini telah berhasil menjerat Kiran dalam permainan mematikannya. Dengan hati remuk, Tarendra berusaha melindungi Kiran dari bahaya. Ia membatasi aktivitas putrinya dan selalu waspada, terutama saat bulan purnama tiba.

Gataka adalah bayang-bayang kelam yang tak pernah benar-benar terlihat. Ia selalu menjelma menjadi Kiran, mengikuti setiap perubahannya, menjerat korbannya dalam lingkaran keputusasaan hingga akhir hayat. Kini, kehidupan Kiran telah menjadi neraka yang tersembunyi.

 Setelah lulus SMA, Kiran memilih untuk tidak melanjutkan studi. Kehilangan sosok ayah yang begitu berarti membuatnya sulit untuk fokus pada pendidikan. Namun, setelah tiga tahun berjuang melawan kesedihan, Kiran memutuskan untuk bangkit. Ia menyadari bahwa bekerja adalah langkah tepat untuk memulai kehidupan yang baru.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, keraguan seringkali menyergap Kiran. Tekanan untuk membahagiakan orang tua membuatnya terus berjuang. Pilihannya jatuh pada pekerjaan di pabrik manufaktur, sebuah pilihan yang lumrah bagi banyak pemuda di daerahnya. Dua tahun berlalu, ia telah menjadi bagian dari ribuan pekerja yang berjibaku di lini produksi.

Kiran menyadari betapa berharganya pengalaman langsung dalam kehidupan. Jika terus mengurung diri, ia akan kesulitan memahami kompleksitas masalah yang dihadapi orang lain. Berita tentang perceraian dan perselingkuhan yang sering ia dengar semakin membuktikan hal ini. Walaupun begitu, ia juga memahami bahwa mengorek aib orang lain bukanlah tindakan yang baik

“Oi, Kiran!”

Kiran tersentak dari lamunannya. ‘Ya?’ tanyanya, lehernya menoleh cepat.

“Kok ngelamun? Jangan ngelamun!” sapa Ria Pramitha, rekan seangkatan yang baru satu tahun bergabung. Ria berusaha mendekati Kiran, mungkin berharap mereka bisa akrab sebagai teman kerja.

Kiran menyimpan rahasia besar tentang Ria: ia sedang bercerai. Saat membersihkan mesin kemarin, Kiran menemukan sebuah amplop terlipat di laci. Tanpa perlu membuka, ia langsung tahu pengirimnya. Cap samar Pengadilan Agama tertinggal di amplop itu.

Merasa diabaikan, Ria bersuara lagi.

“Nanti mau makan siang bareng?” ajak Ria.

Kiran mengangguk. “Boleh.”

Mata Ria membulat tak percaya. “Mau?” suaranya meninggi, seakan tak percaya dengan jawaban Kiran. Dia mencondongkan tubuh, ingin memastikannya lagi.

“Iya.”

Tiba waktu istirahat, jauh dari tumpukan pekerjaan yang memuakkan. Ria tidak mau mengalihkan pandangan dari Kiran sejak ke luar gedung hingga masuk kantin.

Tatapan intens Ria membuatnya kikuk. “Makanan kamu di meja, kenapa lihat aku terus?” tanyanya, memecah keheningan.

“Gak apa-apa,” jawabnya santai tersenyum tipis. Duduk berhadapan seperti ini, Ria bisa mengamati wajah Kiran lebih jelas. Keindahan yang tidak butuh kata-kata panjang, cukup dipandang.

“Kamu mau makan aku hidup-hidup?” celetuk Kiran, berhasil mengalihkan tatapan Ria yang sedari tadi tak berkedip.

“Kamu tinggal di mana?” tanya Ria, memulai obrolan kembali.

“Di sekitar sini,” jawab Kiran singkat.

“Aku merantau. Ngekos di belakang PT. Kapan-kapan main bareng, ya?” ajak Ria penuh semangat.

“Kapan-kapan, kan?” Nada bicaranya terdengar ambigu. “Omong-omong, semoga lancar.”

Ria tidak menangkap frekuensi yang sama. “Apanya yang lancar?”

“Sidangnya.”

Ria mengusap paha, gugup. Anggukannya kikuk, menunggu jawaban Kiran. Saat Kiran berbicara, dunia Ria seketika berhenti. Rahasianya terbongkar. Napasnya tersenggal, matanya membelalak. “Kamu tahu dari siapa?” bisiknya, ketakutan meluap.

Bersambung...

Related chapters

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Lengah

    “Kamu tahu dari siapa?” bisiknya, ketakutan meluap. Tidak ada yang tahu Ria sudah bersuami. Ria mengajukan berkas ke Pengadilan Agama beberapa hari lalu dan surat balasan tiba kemarin pagi. Ria tidak sengaja membawa suratnya sebab tidak sempat dibuka di rumah dan lupa dibawa pulang alias tertinggal di laci mesin semalaman. “Aku janji gak akan bilang siapa-siapa,” ujar Kiran meyakinkan. Dia mengerti betul betapa pentingnya menjaga privasi soal perceraian ini. Informasi sensitif seperti ini bisa menyebar dengan sangat cepat, apalagi di era digital sekarang. Kiran merasa tidak etis untuk menyebarkan informasi pribadi orang lain. Kiran mengaduk es kopinya pelan-pelan, matanya sesekali melirik Ria. Aura ceria yang biasanya menghiasi wajah Ria kini tampak redup. Dia tahu pasti Ria sedang merasa sedih. “Aku harap kalian bisa menemukan jalan keluar terbaik untuk kalian berdua.” Mendapat kalimat dukungan yang searah dengan keinginannya, Ria terharu sampai matanya berkaca-kaca. Wajah Kiran

    Last Updated : 2023-09-28
  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Peringatan?

    Kiran menyaksikan kekacauan itu dengan senyum licik. Ia menoleh ke Ria, “Menarik, bukan?” Suaranya dingin menusuk. “Ngawur kamu!” tukas Ria, namun Kiran tetap diam. Tatapannya kosong, seolah tengah menatap ke dalam jiwa yang asing. Gataka, entitas yang kini menguasai tubuhnya, perlahan mulai mengambil alih kendali. Di dalam kegelapan Gedung A1, hanya ada mereka berdua dan keheningan mencekam yang semakin menekan. Gataka menyeringai puas. "Sekian lama aku menunggu ..." “Bicara apa kamu, ayo ke luar!" Ria dibuat merinding, dia sangat benci semua hal menakutkan apalagi dunia perhantuan. Setelah Ria berhasil menyeret paksa Kiran ke luar gedung berkumpul bersama yang lain, para atasan mengadakan briefieng dan memutuskan memulangkan karyawan lebih cepat karena kerusakan jaringan listrik. Ria amati ada yang aneh dari Kiran. Sebelumnya memang sudah aneh dan sekarang makin aneh. Bahkan senyum tipis Kiran terlihat misterius. “Tunggu di sini, aku ambil tas kita di loker.” Ria masuk meng

    Last Updated : 2023-09-28
  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Ranu

    "Jangan terlalu dekat dengan Kiran.” Itu terdengar ancaman daripada saran. Ria mengerutkan kening, matanya menyipit curiga. “Memangnya kenapa? Kiran bahaya buat aku? Gini deh, kamu boleh bilang begitu kalau kalian saling kenal. Tapi, siapa kamu melarang aku berteman dengan Kiran? "Mungkin bukan sekarang ucapan saya terbukti. Kalau penasaran maksud perkataan saya, silakan terus berteman." Ranu tersenyum miring, matanya berkilat tajam. Sebelum Ranu berbalik, Ria melihat lelaki itu tersenyum mencurigakan. "Gila ya.” Suaranya sedikit bergetar. *~* Kiran terbangun dengan kepala terasa berat, tubuh lemas. Ingatan terakhirnya adalah beradu pandang dengan Gataka di pabrik. Saat itu, hawa aneh menyeruak, dan seketika ingatannya menjadi gelap. Tulisan tangan “purnama” di kalender seakan menjadi petunjuk samar, menguatkan dugaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Kiran mengerang frustasi di bawah selimut, lalu tidak lama dia mendengar teriakan keras seseorang memanggil namanya dari luar.

    Last Updated : 2023-10-10
  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Mudah

    "Kalau begitu jangan nolak kalau saya mau kenalan sama kamu,” jawab Ranu tak kalah cepat. Kiran mengamati Ranu dengan seksama, mencoba membaca pikiran di balik kunjungan ini. “Kamu enggak ingat kejadian semalam, kan?” Ranu menyeringai, matanya berbinar senang. Udara di antara mereka menegang. Kiran tak menyangka pria di depannya mengetahui rahasia itu. “Dia dirasuki roh jahat,” bisik Ranu kepada Ria, membocorkan rahasia yang selama ini Kiran sembunyikan. Ria mengarahkan pandangan ke mana telunjuk Ranu menunjuk Kiran yang tidak menjawab maupun menyangkal ucapannya. Mata Kiran membelalak terkejut, bingung, bagaimana pria itu bisa tahu. Ria sudah berusaha semaksimal mungkin menahan tawa, tapi Ranu sungguh konyol. “HAHAHA! Apa kamu bilang??” Perutnya sampai kram tertawa terlalu kencang. Kiran mengerjap ketika Ranu ikut tertawa mengimbangi Ria hingga ia bertanya-tanya siapa yang waras dan siapa yang gila. Ranu menepuk bahu Ria dan lanjut bicara. “Kamu ketawa karena merasa semalam

    Last Updated : 2023-10-15
  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Tarendra Nawasena

    19 tahun silam sewaktu Kiran berumur 4 tahun. Ia dan Sang Ayah, Tarendra Nawasena, sedang berada di halaman bermain Taman Kanak-Kanak. Kiran duduk tenang di ayunan sambil menyedot susu kotak mengamati Tarendra yang berdiri sedikit jauh darinya sedang menjawab telepon. “Apa enggak ada cara lain?” Suaranya terdengar berat, menggambarkan kegelisahannya. Kaca kelas itu seperti sebuah jendela ke dunia lain bagi Kiran. Ia melihat ayahnya dengan jelas, namun bayangan dirinya sendiri seperti menghilang. Rasa penasaran yang besar mulai tumbuh di benak balita itu. “Ayah ..” “Nanti saya telepon lagi.” Tarendra langsung mengakhiri panggilan, lalu menghampiri dan berjongkok di depan Kiran. “Kenapa? Kamu butuh sesuatu?” Tarendra tersenyum lembut, pancaran matanya penuh kasih sayang. Kiran mengangkat wajah cemberut menunjuk lurus kaca kelas. “Kenapa cuma bayangan Ayah yang ada di sana?” Keheningan menyelimuti mereka. Tarendra menunduk sejenak, mencari jawaban yang tepat di dalam dirinya. Per

    Last Updated : 2023-10-21
  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Cara Pendekatan

    “Lama tidak jumpa.” “Sampai kapan penderitaan Kiran harus berlanjut?” Tarendra berbisik lirih, tatapannya kosong ke depan. “Aku mohon tinggalkan Kiran ...” “Kamu juga tahu akibatnya kalau aku pergi dari tubuhnya. Anggap saja simbiosis mutualisme. Kiran akan terus hidup, aku pun begitu.” “Tolong beritahu cara lain supaya Kiran bisa tetap hidup,” lirih Tarendra putus asa. “Selama aku menyerap energi Kiran, kami tetap bersama. Tidak ada yang mati. Menguntungkan, bukan?” Tarendra terbelalak tak percaya. Gataka, menyedot energi Kiran? Kemarahannya membuncah, bagai api yang siap melahap segalanya. Ingin sekali ia menyergap makhluk itu, namun tubuhnya terasa lumpuh, terbelenggu oleh kepedihan yang mendalam. “Apa kesalahan Kiran, sampai kamu ... Hahh!” Air mata Tarendra mengalir deras, dia bersimpuh tak berdaya di bawah kaki roh jahat. “Kalau begitu ganti jaminannya. Bagaimana kalau diganti ... Hm, nyawa Anda, Tuan Tarendra Nawasena?” Wajah Tarendra mendongak, saat mata mereka beradu p

    Last Updated : 2023-10-22
  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Diambil Alih

    Hanya sempat memejamkan mata selama 4 jam, Kiran buru-buru berangkat kerja 10 menit lebih awal. Niatnya, mampir dulu ke warung kopi langganannya. Namun, tak disangka, sosok Ria sudah berdiri di depan gang, mata mereka membulat terkejut. Sewaktu melihatnya, Ria tersenyum ceria menghampiri Kiran. Dia mengalungkan tangannya di lengan Kiran lalu mengajak berangkat bersama. “Aku mau mampir beli kopi dulu,” ucap Kiran selagi melangkah beriringan. Ria mengangkat totebag transparan yang berisi tumbler dan bekal makan. “Aku sudah bawa. Kalau bilang aku bikinin sekalian.” Setelah Kiran membeli es kopi, Ria ketahuan sedang memperhatikan jalan. “Nunggu siapa?” tanya Kiran, jika ia tak bersuara mungkin Ria belum sadar Kiran berdiri di sampingnya. Matanya ikut melihat motor karyawan berlalu lalang memasuki gerbang pabrik. Ria terlihat agak terkejut tatkala Kiran bertanya, namun dengan cepat dia menggelengkan kepala. “Enggak nunggu siapa-siapa,” sangkalnya jalan lebih dahulu. Bagaimana pun R

    Last Updated : 2023-10-23
  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Memanggil Gataka

    Gataka mendekat, matanya berkilau aneh dalam cahaya remang. Dia meraih pergelangan tangan Ranu, jari-jarinya menyentuh kulitnya dengan lembut namun mencekam. “Hadiah dariku,” bisiknya, suaranya bergetar dengan emosi yang tak terbaca. Cahaya menyilaukan memenuhi pandangan Ranu saat dia terjebak dalam kilas balik mengerikan. Suara bising tabrakan dan pecahan kaca memenuhi telinganya, tubuhnya terasa remuk saat mobil dihantam truk dari belakang. Dunia yang dibuat Gataka terasa begitu nyata hingga membuat Ranu sesak napas saat melihat orang tuanya meninggal berlumuran darah di tempat. Gataka menertawakan raut ketakutan Ranu padahal kenyataannya dia tidak berada di kendaraan yang sama dengan orang tuanya saat kecelakaan terjadi. “Kamu selalu penasaran bagaimana kecelakaan itu terjadi. Sekarang sudah aku perlihatkan. Kamu suka hadiahku?” tanyanya, meremehkan pria lemah yang sedang bersandiwara di hadapan dunia. Ranu menepis tangan Gataka dengan kasar, lalu bergerak cepat menarik kera

    Last Updated : 2023-10-25

Latest chapter

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Hanya Ingin Kedamaian

    “Aku yang akan urus sisanya. Kalian pergilah dari sana.” Cakra hanya menjawab singkat, “Hm, aku paham.” Usai percakapan usai, dia kembali menatap Angga. “Raka bilang dia akan mengurus sisanya. Kita harus pergi dari sini,” ucap Cakra, suaranya terdengar parau. Angga hanya mengangguk, matanya kosong. Mereka kembali ke mobil masing-masing, melaju meninggalkan tempat kejadian, meninggalkan semua masalah di belakang. Pintu bangsal terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sagara yang sedang bersama Putri. Mereka selesai melakukan perawatan ringan akibat menghirup banyak asap. Sagara tersenyum lemah saat melihat Cakra dan Angga. “Terima kasih kalian sudah datang,” ujarnya lirih. Angga tersenyum singkat. Cakra berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati interaksi antara Sagara dan Angga. Dia menyadari, ada ikatan yang kuat di antara mereka. Putri melangkah mendekati Angga, tangannya mengepal erat. Dengan cepat, dia melayangkan tamparan keras ke pipi Angga hingga meninggalkan bek

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Diakhiri dengan Sempurna

    Anwalira duduk di tepi kasur, matanya menatap keluar jendela. Cahaya matahari menembus celah tirai, menerangi wajahnya yang pucat. “Aku sudah memutuskan. Malam ini, aku akan pergi.” Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati. “Aku lelah menderita. Aku ingin bebas. Mungkin ini jalan keluar terbaik.” Jari-jarinya meremas sprei kasur dengan erat, seakan-akan ingin mencengkeram harapan terakhir. Anwalira tersenyum tipis. Rasanya baru pertama kali dia bangun tanpa harus buru-buru menyiapkan diri untuk bekerja. Biasanya, dia akan merasa terbebani dengan semua tugas yang menumpuk. Tapi hari ini, hatinya terasa ringan. Namun, di balik rasa senangnya itu, ada juga sedikit keanehan. Kenapa orang tuanya tidak membangunkannya seperti biasa? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Anwalira menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sekuat tenaga menarik gagang pintu. “Tidak mungkin!” gumamnya, kecewa. Dia menggedor-gedor pintu, suaranya bergema di dalam rumah. “Buka pintunya! Kenapa kalian

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Perjanjian Anwalira dengan Cenayang Minada dan Vilas Hirawan

    Perjanjian awal, tahun 2000...“Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban.Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya.Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga.Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan.“Mengapa tidak memilih sec

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Kobaran Api Melahap Rumah Kiran

    Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Alasan Angga Berada di Sisi Mereka

    Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Vilas Mengancam Kiran dengan Menggunakan Ria

    Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Ria Sangatlah Jujur

    Raka yang melihat keterkejutan Ranu, mengerutkan kening. “Kenapa?” tanyanya, suaranya sedikit meninggi. “Cepat pergi ke sana!” Raut wajahnya serius, mencerminkan keheranannya melihat Kiran berdiri di depan rumah mereka. “Kamu sudah tahu Raka anak Vilas tapi masih di sisinya?” Ketus Kiran, suaranya menusuk seperti belati. Raka menunduk, kepalan tangannya mengepal erat. Setiap kata yang terlontar terasa seperti tamparan keras di hatinya. Ranu mencoba menenangkan Kiran, mengajaknya bicara di luar. Namun, Kiran menepis tangannya kasar. “Kamu lupa perbuatan Vilas?” “Aku ingat semuanya,” jawab Ranu, suaranya terdengar lemah. “Kamu ingat, tapi apa ini?” Kiran menunjuk ke arah Raka. “Raka gak salah,” bela Ranu, menghela napas berat. “Dia tetap diam mengetahui perbuatan keji ayahnya, dan kamu tetap membelanya?” Mendengar mereka beradu argumen, hati Raka terasa seperti diiris-iris. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mengancam jatuh. Ranu menoleh, matanya dipenuhi ras

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Kenapa Mereka Saling Menyembunyikan Rahasia?

    Mentari tepat di atas kepala saat Raka melangkah keluar rumah. Pakaiannya yang rapi kontras dengan suasana pagi yang tenang. Ranu yang memperhatikan dari balik tirai, hanya bisa menggelengkan kepala. Tanpa pikir panjang, Ranu menyalakan mobil dan mengikuti Raka dari belakang. Jalanan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Sesampainya di tujuan, Ranu memilih tempat parkir yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Huruf-huruf ‘Hirawan Group’ yang berkilau di gedung pencakar langit itu seakan-akan menjanjikan kemewahan tak terbatas. Di layar kaca, kehidupan keluarga kaya raya selalu digambarkan sempurna. Namun, kenyataan yang mereka alami jauh berbeda. Kehidupan di balik merek besar itu bagai naskah drama yang sudah dihafalkan, membosankan dan penuh kepalsuan. Kacamata gelap dan masker telah menyamarkan wajahnya, rambutnya yang biasanya rapi kini dibuat acak-acakan. Ranu merasa yakin takkan ada yang mengenalnya. Namun, saat tubuhnya condong untuk membuka pintu mobil,

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Dahsyatnya Perisai Sagara Paramayoga

    Cakra adalah sosok yang kuat dan bertanggung jawab, namun di balik itu semua, dia juga memiliki hati yang lembut. Dia pernah merasakan kehilangan seperti Kiran, dan ia percaya Cakra akan menjaga Ria dengan sepenuh hati. Saat melintasi jalan, Kiran berjalan berlawanan arah dengan seorang pria dewasa. Setiap langkahnya terasa begitu nyata, seolah gema langkahnya bergema di telinganya. Dan kemudian, ia melihatnya—sebuah cahaya biru samar mengelilingi mereka berlima, berkedip redup seperti kunang-kunang. Dari mana cahaya itu berasal? Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Pria dewasa itu memancarkan aura yang berbeda. Perisai cahaya biru itu seolah menempel erat pada dirinya, mengikuti setiap langkahnya. “Mungkin aku salah lihat,” gumam Cakra, “Pria tadi mirip dengan Sagara.” Dia pernah melihat foto masa muda Sagara Paramayoga di buku terbitan Bianca Rezmee Kiran tersentak, langsung membalikkan badan ingin mengejar. Namun, Cakra menahannya, “Mau ke mana? Lampu hijau tinggal

DMCA.com Protection Status