"Opo iki?" Seraya membuka botol. "Ini kok terasi ditaruh di sini! Piye toh Mbak Ana ini."
Mbok Lasmi pun membawa botol tersebut, ke arah belakang.
"Terasi kok bentuknya aneh-aneh," bisik Mbok Lasmi, masih tertarik dengan botol itu. "Pasti baru beli."
Segera Mbok Lasmi menyiapkan ayam yang hendak dia goreng dan tempe.Lombok sepuluh biji sudah siap untuk diuleg.
"Tinggal tambahkan terasi ini. Pantas aja, Mbak Ana minta sarapan penyetan. Mungkin sambil mau cobain rasa terasinya, enak apa enggak," cerocos Mbok Lasmi si Super Kepo.
Setelah menyiapkan semua hdangan untuk sarapan. Mbok Lasmi berjalan pelan menuju kamar Ana.
Tok tok tok!
"Mbak Ana! Sarapannya sudah siap."
"Makasih, Mbok!"
Tak lama Ana dan Joko sudah muncul menuju meja makan.
"Mas, kok aneh sih. Minggu-minggu masuk kerja?"
"Bukan masuk kerja Sayangku. Kebetulan Big Boss datang, dan mau ajak keliling Surabaya.'
Ana mengembusk
"Jadi, memang beneran Mbok Lasmi pakai jamu itu buat terasinya?""I-iya, Mbak Ana. Saya enggak tahu kalau itu ternyata jamu e. Wong saya cium baunya kayak terasi.""Haduuuuuuhhhh! Kalau manuk e Mas Joko mengkeret gimana toh, Mboook?!""Ma-manuk ... Mas Joko mengkeret, Mbak?""Tobaaat aku!" teriak Ana kesal dan geram pada pembantunya. "Kalau beneran mengkeret gimana, Mbok?"Dari raut wajahnya, terlihat Mbok Lasmi kebingungan. Dia semakin tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh Ana."Kok jadinya saya bingung toh, Mbak? Kok bisa malah punya e Mas Joko yang mengkeret?""Ya, bisa aja 'kan Mbooook! Soalnya terasi kamu ganti sama jamu aku!" tegas Ana melotot.Barulah Mbok Lasmi menyadari kesalahannya. Dia melotot ke arah Ana dan mencengkeram lengannya kuat."Apalagi Mbok?!" Hampir saja Ana berteriak, melihat ulahnya yang aneh."Kalau malam, Mbak Ana olesi minyak buulus aja. Penangkal jamu yang buat Mbak Ana tadi
"Lohhh, joss tenan iku!""Joss gundulmu! Pusing aku tuh sekarang. Si Ana Dolly itu, ngejar-ngejar terus Bro.""Yo, dinikmatilah. Paling kan dia mau kasih @#@#@# sama kamu.""Ahhh ...! Ana cukup sudah buat aku. Mantab di ranjang, baik, penuh pengertian, biar pun enggak bisa pintar masak. Aku sudah bersyukur dapat dia.""Emang enggak pengen punya anak?""Yo pengenlah! Siapa yang enggak pengen punya anak, Bro. Cuman 'kan manusia ini hanya bisa berusaha, hasilnya tetap Gusti Pangeran toh, penentunya."Yono mengangguk pelan, sebagai tanda sepakat terhadap semua ucapan Joko."Cuman, kamu ini dikejar cewek cantik kok enggak mau."Suara tawa Joko menggelegar."Cewek cantik tapi bekas banyak orang. Ahhh ... kamu ini!""Ehhh, Bro. Denger-denger si Ana ini udah enggak mangkal di Dolly lagi.""Lah, di mana? Mosok kembang kuning Bro?" Seraya terkikik geli."Ohhh, semprul. Kelas e Ana yo jauh."Sembari meng
"Loh, angel gimana? Ini kebenaran yang harus dnikmati, Bro. Di rumah nasi goreng spesial, di timur mie goreng, di selatan sayur asem, di barat ayam bhakar. Ngunu lho perumpamaannya." (Ngunu = gitu, angel = sulit)"Wes ... wes! Tambah munyeng aku. Pikiranmu wes rusak. Makanya kawin sana!""Kawin 'kan udah bolak balik, Bro.""Nikah, maksudnyaaaaa ... ampun deh, Yon!"Tak lama mobil mereka telah sampai di hotel bintang lima yang berada di kawasan tengah kota, di dekat sebuah plaza ternama."Kayaknya kita udah ditunggu di loby, Yon.""Sama Pak Hari?""Iya.""Pak Hari bilang kalau langsung ke hotel tadi?"Joko manggut-manggut."Ya, udah enak di kita kan? Lagian seharusnya kenapa kita juga harus datang? Mana waktunya libur lagi.""Memang. Waktu kita istirahat.""Pak Sundono itu, anaknya berapa Bro?" tanya Yono sembari menoleh."Katanya sih dua. Cowok sama cewek. Yang cowok seumuran kita. Kalau yang
Di hari yang sama, waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Binti sudah bersiap dengan dandanan yang rapi dan terlihat sangat cantik. Membuat Beny sampai memandangnya dari atas kepala hingga ujung kaki."Kenapa, Mas? Ada ayang slaah kah?""Enggak. Tapi, kok cantik kali? Memangnya beneran kamu mau ketemuan sama teman cewek?""Iya lah, Mas. Emangnya mau ketemuan sama siapa?"Beny pun manggut manggut. Tiba-tiba, Binti menyodorkan ponselnya."Untuk apa kamu kasih HP?""Kalau Mas Beny enggak percaya, telpon si Nadya sekarang. Mas Beny bisa tanyakan sama dia.""Enggak lah. Buat apa? Aku percaya deh sama kamu. Mau aku antar?"Sejenak Binti terlihat ragu. Akhirnya dia mengangguk."Boleh, antar aku ke jalan raya aja Mas. Dia nungguin di depan.""Tapi, aku masih mau ke kamar mandi. Kamu jalan sendiri aja gimana?""Aku naik ojek online aja kalau gitu."Beny pun meninggalkannya pergi ke kamar mandi. Sambi
"Kenapa aku harus diam?"Segera Dony menempelkan ujung jarinya ke bibir. Pertanda agar Binti segera diam dan jangan bicara lagi."Hallo, pagi Tante.""Kamu ... di mana? Terus berapa kali deringan baru mengangkat telepon aku?" sentak suara dari seberang telepon. Membuat Dony kehabisan kata-kata. Di sampai celingukan memandang arah Binti, yang juga tengah melihat kepadanya.Wajah Binti mengekerut, dengan bibir manyun maju beberapa inchi. Perasaannya mulai kesal, marah, cemburu, jadi satu."Kenapa kamu diam?" Kembali suara dari seberang telepon membentak Dony. "Aku enggak mau tau, Don. Aku tunggu kamu jam sembilan pagi ini di tempat biasanya.""Ta-tapi, Tan. Ini udah jam delapan, mana bisa aku sampai sana jam sembilan.""Engga ada kata tapi. Atau ... kamu mau aku suruh kembalikan semua yang udah aku kasih?""Ya, jangan gitu lah Tante. Beri waktu lah dikit.""Toleransi sampai jam
"Binti, maafkan aku ya?"Namun, Binti mengabaikannya. Dia berjalan cepat menuju toserba tempat Nadya akan menjemput."Awas kamu Don! Akan aku balas. Kamu pikir aku ini bodoh apa? Enggak tahu kalau si Tante itu, pasti cem-ceman kamu," gerutu Binti kesal.Dari jauh Nadya sudah melambaikan tangan ke arahnya. Binti pun berlari kecil dengan bibir yang terpaksa untuk tersenyum."Sorry, udah nungguin lama ya?" tanya Binti berjalan cepat menuju motor Nadya."Enggak, kok. Barusan aja sampai."Sejenak Binti memperhatikan dari atas rambut hingga sandal japit yang dipakai Nadya."Tumben amat pakai dasteran?""Ehhh, emang aku sehari-hari di rumah pakai daster begini.""Sekalinya keluar, cling! Macam Cinderella," seloroh Binti."Kalau itu, harus! Laki aku mana bisa lihat cewek cakep. Makanya aku harus jauh lebih cakep dari semua cewek yang dia temuin.""Emang mempan?" tanya Binti, seraya naik ke atas motor."Mempa
"Itu dulu, Bin. Kita masih belum punya tanggung jawab. Sekarang coba aku tanya. Apa alasan kamu jalan sama duda ganteng itu? Apa kamu benar-benar cinta atau hanya napsu semata?""Haduhhh ... aku merasa terciduk.""Lah, santai aja sama aku. Rahasia kamu enggak akan menguap.""Entahlah, Nad. Aku merasa perkawinanku sama Mas Beny beberapa tahun belakangan ini, hambar. Enggak ada asin, manis, apalagi gurih.""Penyebabnya apa?""Entahlah, Nad. Aku juga merasakan Mas Beny yang sudah enggak sehangat dulu. Mungkin dia punya wanita lain. Atau paling enggak, ada wanita lain di hatinya.""Memang kamu pernah memergokinya? Atau punya bukti kongkret yang dilakukan sama suami kamu?"Binti terdiam dan menggeleng."Enggak!""Lah, terus tuduhan kamu tadi asalnya dari mana? Atau ... jangan-jangan kamu sedang mencari pembenaran atas kesalahan yang kamu lakukan?"Binti sampai tersedak hingga terbatuk-batuk."Kok, kamu nuduh aku
Binti hanya bisa menggeleng. Dia tidak tahu harus berkata apa. Yang ada dalam benaknya saat ini, hanya kemarahan dan rasa cemburu terhadap sosok si Tante ini."Ahhh, sudahlah! Jangan kamu pikirkan lagi. Nih, suami aku baru balas pesan yang aku kirim. Aku dibolehin keluar sama kamu. Kita cari udara segar di kafe itu. Oke?"Binti terlihat lemas dan sedih."Oke, Nad."_Pukul lima sore_"Hallo, Wulan!""Iya, Mas.""Ini aku mau berangkat, mending kamu enggak usah bawa mobil sendiri lah. Sama aku aja Lan.""Ehmmm ... gimana ya, Mas?""Udahlah enggak usah kebanyakan mikir. Setengah jam lagi aku tunggu di gerbang."Telepon langsung ditutup oleh Beny."Siapa?" tanya Ana Dolly."Mas Beny, ajak barengan sama dia.""Emang kamu mau keluar sama dia?"Wulan mengangguk pelan."Haaaahhh, hati-hati kalau ketahuan istrinya.""Kata Mas Beny, istrinya lagi keluar sama teman-temannya."