"Kenapa aku harus diam?"
Segera Dony menempelkan ujung jarinya ke bibir. Pertanda agar Binti segera diam dan jangan bicara lagi.
"Hallo, pagi Tante."
"Kamu ... di mana? Terus berapa kali deringan baru mengangkat telepon aku?" sentak suara dari seberang telepon. Membuat Dony kehabisan kata-kata. Di sampai celingukan memandang arah Binti, yang juga tengah melihat kepadanya.
Wajah Binti mengekerut, dengan bibir manyun maju beberapa inchi. Perasaannya mulai kesal, marah, cemburu, jadi satu.
"Kenapa kamu diam?" Kembali suara dari seberang telepon membentak Dony. "Aku enggak mau tau, Don. Aku tunggu kamu jam sembilan pagi ini di tempat biasanya."
"Ta-tapi, Tan. Ini udah jam delapan, mana bisa aku sampai sana jam sembilan."
"Engga ada kata tapi. Atau ... kamu mau aku suruh kembalikan semua yang udah aku kasih?"
"Ya, jangan gitu lah Tante. Beri waktu lah dikit."
"Toleransi sampai jam
"Binti, maafkan aku ya?"Namun, Binti mengabaikannya. Dia berjalan cepat menuju toserba tempat Nadya akan menjemput."Awas kamu Don! Akan aku balas. Kamu pikir aku ini bodoh apa? Enggak tahu kalau si Tante itu, pasti cem-ceman kamu," gerutu Binti kesal.Dari jauh Nadya sudah melambaikan tangan ke arahnya. Binti pun berlari kecil dengan bibir yang terpaksa untuk tersenyum."Sorry, udah nungguin lama ya?" tanya Binti berjalan cepat menuju motor Nadya."Enggak, kok. Barusan aja sampai."Sejenak Binti memperhatikan dari atas rambut hingga sandal japit yang dipakai Nadya."Tumben amat pakai dasteran?""Ehhh, emang aku sehari-hari di rumah pakai daster begini.""Sekalinya keluar, cling! Macam Cinderella," seloroh Binti."Kalau itu, harus! Laki aku mana bisa lihat cewek cakep. Makanya aku harus jauh lebih cakep dari semua cewek yang dia temuin.""Emang mempan?" tanya Binti, seraya naik ke atas motor."Mempa
"Itu dulu, Bin. Kita masih belum punya tanggung jawab. Sekarang coba aku tanya. Apa alasan kamu jalan sama duda ganteng itu? Apa kamu benar-benar cinta atau hanya napsu semata?""Haduhhh ... aku merasa terciduk.""Lah, santai aja sama aku. Rahasia kamu enggak akan menguap.""Entahlah, Nad. Aku merasa perkawinanku sama Mas Beny beberapa tahun belakangan ini, hambar. Enggak ada asin, manis, apalagi gurih.""Penyebabnya apa?""Entahlah, Nad. Aku juga merasakan Mas Beny yang sudah enggak sehangat dulu. Mungkin dia punya wanita lain. Atau paling enggak, ada wanita lain di hatinya.""Memang kamu pernah memergokinya? Atau punya bukti kongkret yang dilakukan sama suami kamu?"Binti terdiam dan menggeleng."Enggak!""Lah, terus tuduhan kamu tadi asalnya dari mana? Atau ... jangan-jangan kamu sedang mencari pembenaran atas kesalahan yang kamu lakukan?"Binti sampai tersedak hingga terbatuk-batuk."Kok, kamu nuduh aku
Binti hanya bisa menggeleng. Dia tidak tahu harus berkata apa. Yang ada dalam benaknya saat ini, hanya kemarahan dan rasa cemburu terhadap sosok si Tante ini."Ahhh, sudahlah! Jangan kamu pikirkan lagi. Nih, suami aku baru balas pesan yang aku kirim. Aku dibolehin keluar sama kamu. Kita cari udara segar di kafe itu. Oke?"Binti terlihat lemas dan sedih."Oke, Nad."_Pukul lima sore_"Hallo, Wulan!""Iya, Mas.""Ini aku mau berangkat, mending kamu enggak usah bawa mobil sendiri lah. Sama aku aja Lan.""Ehmmm ... gimana ya, Mas?""Udahlah enggak usah kebanyakan mikir. Setengah jam lagi aku tunggu di gerbang."Telepon langsung ditutup oleh Beny."Siapa?" tanya Ana Dolly."Mas Beny, ajak barengan sama dia.""Emang kamu mau keluar sama dia?"Wulan mengangguk pelan."Haaaahhh, hati-hati kalau ketahuan istrinya.""Kata Mas Beny, istrinya lagi keluar sama teman-temannya."
Setelah mengantar Yono balik kantor, Joko langsung melaju menuju arah kota. Di mana cafe yang telah ditentukan oleh Ana Dolly untuk mereka bertemu.Ada desir kegelisahan di hati, yang Joko rasa. Dia sebenarnya tidak ingin melakukan ini. Akan tetapi Ana selalu mengancam untuk berlaku lebih brutal lagi.Lima menit dia terlambat datang dari jam yang dijanjikan. Bergegas Joko memasuki cafe tersebut. Sejenak dia berdiri sambil melihat ke setiap sudut ruang. Namun sosok Ana belum juga terlihat.Belum sampai Joko memutuskan untuk memilih tempat duduk yang mana. Tiba-tiba ponselnya berdering."Ana," bisik Joko.Bergegas dia mengangkat teleponnya."Hallo!""Mas Joko, maaf ini macet buanget. Aku agak telat, jangan marah ya?""Aku tunggu dalam sepuluh menit. Kalau belum datang juga, jangan marah!" Joko pun membalik kalimat Ana Dolly.Setelahnya Joko memesan minuman dan snack kentang goreng. Dia pun tidak tahu harus pesa
"Ada apa, Mas?""Kok aku kayak kenal sama orang yang ada di meja tengah itu?" desis Joko."Yang mana sih, Mas?""Itu yang duduknya membelakangi kita. Sama cewek rambut panjang, cuman enggak bisa lihat wajahnya, wong ketutupan kembang."Sesaat Ana Dolly menoleh. Dia paham yang dimaksud oleh Joko pasti Beny dan Wulan."Mungkin teman Mas Joko kali.""Hemmm, mungkin. Cuman enggak kelihatan aja. Kalau beneran itu teman aku, waduuhhh ...!""Kenapa sih, Mas Joko?""Yah, enggak enak lah. Kalau mereka sampai bilang ke istri aku, berabe."Ana hanya melengos. Dalam hatinya, selalu istri dan istri yang dipikirkan Joko. Membuat Ana Dolly cemburu dan kesal.***Dalam detik yang sama. Binti dan Nadya perjalanan menuju sebuah cafe baru. Tak terlalu jauh dari rumah Nadaya.Mobil yang dikendarai Nadya pun berbelok menuju pelataran parkir tersebut."Bin, enggak apa-apa kita di sini? Ini gila lho ramenya. Kalau a
"Mas Dony!" desis Binti."Haaahhh? Siapa kamu bilang?""D-dia, Nad. Mas Dony ada di sini. Tapi, kok sama cewek yang lebih tua-an?""Mana sih?""Itu, yang baru masuk dan duduk paling ujung. Kamu lihat enggak. Ceweknya usianya di atas kita deh kayaknya.""Huum, tapi kelihatan masih cantik, bodynya masih kinyis, dan satu lagi. Tampang horang kaya."Mendengar celoteh Nadya, rasa cemburu berkecamuk dalam hati Binti."Aku, enggak bisa terima ini, Nad!""Maksud kamu apa, Bin? Jangan bertindak dengan menghampiri mereka.""Memang itu yang akan aku lakukan!""Bin ... Binti!" Nadya berusaha mati-matian mencegah dengan menarik pergelangan temannya itu. Tampak Binti yang tersulut amarah penuh cemburu, tidak mengindahkan nasehat Nadya yang terus menghalanginya."Terserah, deh!"Nadya membiarkan Binti yang berjalan ke arah Dony dan wanita itu. Langkahnya berjalan cepat, hingga akhirnya sampai di depan meja Do
Raut wajah Binti berubah merah padam. Dia tidak menyangka jika suaminya berani bertemu dengan Wulan."Hei! Kamu ngapain ke sini sama suami orang?" bentak Binti kasar."Tanya aja sendiri sama suami kamu! Siapa yang ajak aku ke sini. Tanya tuh Mas Beny? Lagian, kenapa juga kamu sibuk urusi si Dony sama pacarnya? Apa enggak malu tuh?"Perkataan Wulan begitu menohok dirinya."Kamu ini pintar sekali mulutnya. Pintar juga godain suami orang.""Terus Jeng Binti sendiri apa?""Stop! Cukup pertengkaran kalian!" seru Beny. Yang menatap tajam ke arah Binti.Di tengah pertengkaran Binti dan Wulan. Seorang wanita datang mendekat. Seraya menunjuk ke arah Binti, dengan amarah."Hei! Jangan pernah sekali-kali lagi kamu dekatin Dony! Jangan jadi perusak hubungan kami," sentak wanita itu."Hei, Tante! Mending kamu urusin tuh pacarnya. Jangan asal nuduh seenaknya sendiri."Terdengar wanita itu terkikik geli, saat mendengar omo
"Ka-kamu pacaran sama teman si Wulan?""Jangan ngawur Mas. Memang ada hal penting yang perlu didiskusikan, tapi aku sama Ana enggak ada apa-apa kok.""Ana?" Joko mengangguk. Sampai Beny mengulangnya lagi. "Nama cewek itu ... Ana? Sama kayak nama istri Mas Joko?""Iya, Mas. Kenapa?" JOko keheranan melihat wajah Beny yang terkejut. Lalu, Beny menggeleng."Apa istri Mas Joko tahu?""Yo jangan bilang toh, Mas. Ini aja saya ke sini terpaksa.""Nemuin cewek cantik kok terpaksa.""Lah, Mas Beny juga nemuin Mbak Wulan. Malah parah, kalau Pak RT sampai tahu bisa gawat.""Ya, jangan bilang toh Mas Joko."Kemudian, Joko melirik ke arah meja Beny, di mana dia melihat Wulan dan Binti yang duduk di satu meja."Kok akur banget Mas. Mbak Wulan mau dijadikan yang kedua ya?""Akur dari Hongkong? Barusan mereka bertengkar hebat. Cuman aku ini curiga sama istri aku, Mas Joko. Kayaknya dia ada main sama Dony."Sont