"Loh, angel gimana? Ini kebenaran yang harus dnikmati, Bro. Di rumah nasi goreng spesial, di timur mie goreng, di selatan sayur asem, di barat ayam bhakar. Ngunu lho perumpamaannya." (Ngunu = gitu, angel = sulit)
"Wes ... wes! Tambah munyeng aku. Pikiranmu wes rusak. Makanya kawin sana!"
"Kawin 'kan udah bolak balik, Bro."
"Nikah, maksudnyaaaaa ... ampun deh, Yon!"
Tak lama mobil mereka telah sampai di hotel bintang lima yang berada di kawasan tengah kota, di dekat sebuah plaza ternama.
"Kayaknya kita udah ditunggu di loby, Yon."
"Sama Pak Hari?"
"Iya."
"Pak Hari bilang kalau langsung ke hotel tadi?"
Joko manggut-manggut.
"Ya, udah enak di kita kan? Lagian seharusnya kenapa kita juga harus datang? Mana waktunya libur lagi."
"Memang. Waktu kita istirahat."
"Pak Sundono itu, anaknya berapa Bro?" tanya Yono sembari menoleh.
"Katanya sih dua. Cowok sama cewek. Yang cowok seumuran kita. Kalau yang
Di hari yang sama, waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Binti sudah bersiap dengan dandanan yang rapi dan terlihat sangat cantik. Membuat Beny sampai memandangnya dari atas kepala hingga ujung kaki."Kenapa, Mas? Ada ayang slaah kah?""Enggak. Tapi, kok cantik kali? Memangnya beneran kamu mau ketemuan sama teman cewek?""Iya lah, Mas. Emangnya mau ketemuan sama siapa?"Beny pun manggut manggut. Tiba-tiba, Binti menyodorkan ponselnya."Untuk apa kamu kasih HP?""Kalau Mas Beny enggak percaya, telpon si Nadya sekarang. Mas Beny bisa tanyakan sama dia.""Enggak lah. Buat apa? Aku percaya deh sama kamu. Mau aku antar?"Sejenak Binti terlihat ragu. Akhirnya dia mengangguk."Boleh, antar aku ke jalan raya aja Mas. Dia nungguin di depan.""Tapi, aku masih mau ke kamar mandi. Kamu jalan sendiri aja gimana?""Aku naik ojek online aja kalau gitu."Beny pun meninggalkannya pergi ke kamar mandi. Sambi
"Kenapa aku harus diam?"Segera Dony menempelkan ujung jarinya ke bibir. Pertanda agar Binti segera diam dan jangan bicara lagi."Hallo, pagi Tante.""Kamu ... di mana? Terus berapa kali deringan baru mengangkat telepon aku?" sentak suara dari seberang telepon. Membuat Dony kehabisan kata-kata. Di sampai celingukan memandang arah Binti, yang juga tengah melihat kepadanya.Wajah Binti mengekerut, dengan bibir manyun maju beberapa inchi. Perasaannya mulai kesal, marah, cemburu, jadi satu."Kenapa kamu diam?" Kembali suara dari seberang telepon membentak Dony. "Aku enggak mau tau, Don. Aku tunggu kamu jam sembilan pagi ini di tempat biasanya.""Ta-tapi, Tan. Ini udah jam delapan, mana bisa aku sampai sana jam sembilan.""Engga ada kata tapi. Atau ... kamu mau aku suruh kembalikan semua yang udah aku kasih?""Ya, jangan gitu lah Tante. Beri waktu lah dikit.""Toleransi sampai jam
"Binti, maafkan aku ya?"Namun, Binti mengabaikannya. Dia berjalan cepat menuju toserba tempat Nadya akan menjemput."Awas kamu Don! Akan aku balas. Kamu pikir aku ini bodoh apa? Enggak tahu kalau si Tante itu, pasti cem-ceman kamu," gerutu Binti kesal.Dari jauh Nadya sudah melambaikan tangan ke arahnya. Binti pun berlari kecil dengan bibir yang terpaksa untuk tersenyum."Sorry, udah nungguin lama ya?" tanya Binti berjalan cepat menuju motor Nadya."Enggak, kok. Barusan aja sampai."Sejenak Binti memperhatikan dari atas rambut hingga sandal japit yang dipakai Nadya."Tumben amat pakai dasteran?""Ehhh, emang aku sehari-hari di rumah pakai daster begini.""Sekalinya keluar, cling! Macam Cinderella," seloroh Binti."Kalau itu, harus! Laki aku mana bisa lihat cewek cakep. Makanya aku harus jauh lebih cakep dari semua cewek yang dia temuin.""Emang mempan?" tanya Binti, seraya naik ke atas motor."Mempa
"Itu dulu, Bin. Kita masih belum punya tanggung jawab. Sekarang coba aku tanya. Apa alasan kamu jalan sama duda ganteng itu? Apa kamu benar-benar cinta atau hanya napsu semata?""Haduhhh ... aku merasa terciduk.""Lah, santai aja sama aku. Rahasia kamu enggak akan menguap.""Entahlah, Nad. Aku merasa perkawinanku sama Mas Beny beberapa tahun belakangan ini, hambar. Enggak ada asin, manis, apalagi gurih.""Penyebabnya apa?""Entahlah, Nad. Aku juga merasakan Mas Beny yang sudah enggak sehangat dulu. Mungkin dia punya wanita lain. Atau paling enggak, ada wanita lain di hatinya.""Memang kamu pernah memergokinya? Atau punya bukti kongkret yang dilakukan sama suami kamu?"Binti terdiam dan menggeleng."Enggak!""Lah, terus tuduhan kamu tadi asalnya dari mana? Atau ... jangan-jangan kamu sedang mencari pembenaran atas kesalahan yang kamu lakukan?"Binti sampai tersedak hingga terbatuk-batuk."Kok, kamu nuduh aku
Binti hanya bisa menggeleng. Dia tidak tahu harus berkata apa. Yang ada dalam benaknya saat ini, hanya kemarahan dan rasa cemburu terhadap sosok si Tante ini."Ahhh, sudahlah! Jangan kamu pikirkan lagi. Nih, suami aku baru balas pesan yang aku kirim. Aku dibolehin keluar sama kamu. Kita cari udara segar di kafe itu. Oke?"Binti terlihat lemas dan sedih."Oke, Nad."_Pukul lima sore_"Hallo, Wulan!""Iya, Mas.""Ini aku mau berangkat, mending kamu enggak usah bawa mobil sendiri lah. Sama aku aja Lan.""Ehmmm ... gimana ya, Mas?""Udahlah enggak usah kebanyakan mikir. Setengah jam lagi aku tunggu di gerbang."Telepon langsung ditutup oleh Beny."Siapa?" tanya Ana Dolly."Mas Beny, ajak barengan sama dia.""Emang kamu mau keluar sama dia?"Wulan mengangguk pelan."Haaaahhh, hati-hati kalau ketahuan istrinya.""Kata Mas Beny, istrinya lagi keluar sama teman-temannya."
Setelah mengantar Yono balik kantor, Joko langsung melaju menuju arah kota. Di mana cafe yang telah ditentukan oleh Ana Dolly untuk mereka bertemu.Ada desir kegelisahan di hati, yang Joko rasa. Dia sebenarnya tidak ingin melakukan ini. Akan tetapi Ana selalu mengancam untuk berlaku lebih brutal lagi.Lima menit dia terlambat datang dari jam yang dijanjikan. Bergegas Joko memasuki cafe tersebut. Sejenak dia berdiri sambil melihat ke setiap sudut ruang. Namun sosok Ana belum juga terlihat.Belum sampai Joko memutuskan untuk memilih tempat duduk yang mana. Tiba-tiba ponselnya berdering."Ana," bisik Joko.Bergegas dia mengangkat teleponnya."Hallo!""Mas Joko, maaf ini macet buanget. Aku agak telat, jangan marah ya?""Aku tunggu dalam sepuluh menit. Kalau belum datang juga, jangan marah!" Joko pun membalik kalimat Ana Dolly.Setelahnya Joko memesan minuman dan snack kentang goreng. Dia pun tidak tahu harus pesa
"Ada apa, Mas?""Kok aku kayak kenal sama orang yang ada di meja tengah itu?" desis Joko."Yang mana sih, Mas?""Itu yang duduknya membelakangi kita. Sama cewek rambut panjang, cuman enggak bisa lihat wajahnya, wong ketutupan kembang."Sesaat Ana Dolly menoleh. Dia paham yang dimaksud oleh Joko pasti Beny dan Wulan."Mungkin teman Mas Joko kali.""Hemmm, mungkin. Cuman enggak kelihatan aja. Kalau beneran itu teman aku, waduuhhh ...!""Kenapa sih, Mas Joko?""Yah, enggak enak lah. Kalau mereka sampai bilang ke istri aku, berabe."Ana hanya melengos. Dalam hatinya, selalu istri dan istri yang dipikirkan Joko. Membuat Ana Dolly cemburu dan kesal.***Dalam detik yang sama. Binti dan Nadya perjalanan menuju sebuah cafe baru. Tak terlalu jauh dari rumah Nadaya.Mobil yang dikendarai Nadya pun berbelok menuju pelataran parkir tersebut."Bin, enggak apa-apa kita di sini? Ini gila lho ramenya. Kalau a
"Mas Dony!" desis Binti."Haaahhh? Siapa kamu bilang?""D-dia, Nad. Mas Dony ada di sini. Tapi, kok sama cewek yang lebih tua-an?""Mana sih?""Itu, yang baru masuk dan duduk paling ujung. Kamu lihat enggak. Ceweknya usianya di atas kita deh kayaknya.""Huum, tapi kelihatan masih cantik, bodynya masih kinyis, dan satu lagi. Tampang horang kaya."Mendengar celoteh Nadya, rasa cemburu berkecamuk dalam hati Binti."Aku, enggak bisa terima ini, Nad!""Maksud kamu apa, Bin? Jangan bertindak dengan menghampiri mereka.""Memang itu yang akan aku lakukan!""Bin ... Binti!" Nadya berusaha mati-matian mencegah dengan menarik pergelangan temannya itu. Tampak Binti yang tersulut amarah penuh cemburu, tidak mengindahkan nasehat Nadya yang terus menghalanginya."Terserah, deh!"Nadya membiarkan Binti yang berjalan ke arah Dony dan wanita itu. Langkahnya berjalan cepat, hingga akhirnya sampai di depan meja Do