Entahlah, entah aku harus percaya atau tidak. Entah harus benar-benar menuruti perkataan Pak Anggara atau tidak. Yang jelas aku merasa bingung dengan semuanya. Hidupku rasanya tidak terarah. Aku terus menapak, sayangnya aku berdiri di atas perahu yang terus bergoyang sehingga aku merasa tidak bisa berdiri dengan stabil.Kepercayaanku untuk orang lain yang sudah aku percayai, malah terus-menerus dibuat kecewa dengan kenyataannya. Bahkan sekarang aku harus memikirkan apa yang menjadi masukan dari Pak Hans tadi siang."Sebaiknya kamu pulang saja dulu. Memang benar jika kita harus mengurusi urusan kita masing-masing. Entah bagaimana ending-nya, yang jelas semoga permasalahan hidup kita bisa selesai.""Tapi kamu mau menungguku?""Kita lihat saja nanti. Aku permisi masuk dulu."Aku berjalan melewati Pak Anggara dengan segenap perasaan yang tidak bisa aku ungkapkan. Rasa sedih dan kecewa, juga rasa kehilangan harapan terasa sekali mengiris hatiku secara perlahan.Sesulit itu kah menjadi seor
Setelah selesai makan malam bersama memakan katering dari pesta ulang tahun tadi, aku bersyukur tidak memasak tapi padahal aku menginginkan Mbak Dyan yang menyiapkan makan untuk kami semua.Namun sehabis makan tadi, Mbak Dyan belum juga keluar dari kamar. Sedangkan Ibu sudah masuk ke dalam kamarnya setelah minum obat. Jadi tinggallah aku, Mas Rendi dan Ryo di depan televisi."Mas, kok Mbak Dyan gak keluar-keluar dari tadi? Masa iya langsung tidur? Apa takut aku tidur di kamar kali, ya. Makanya dia langsung tidur habis makan.""Mana mungkin begitu. Nanti, Mas liat dulu, ya."Aku mengangguk. Mumpung Mas Rendi sedang ke dalam kamar, aku mencoba pendekatan dan mengakrabkan diri pada Ryo. Sebab aku merasa sikapnya tiba-tiba melunak padaku. Aku hanya takut jika Ryo hanya sedang diperintahkan sesuatu oleh Mbak Dyan. Sebab dia masih terlalu kecil dan sangat penurut pada Ibunya."Ryo, hari Minggu nanti, Tante eh Mama Tia jemput ke sini, ya. Ryo sudah harus siap," ucapku berbasa-basi.Sebenarny
Situasi sekarang ini membuat aku dan Mbak Dyan tentu menjadi saling mencurigai satu sama lain. Jika aku sampai hamil, Mbak Dyan pasti tahu jika itu bukanlah anak dari Mas Rendi. Namun aku yakin dia juga tidak akan bertindak gegabah dengan langsung menuduhku bukan hamil anak Mas Rendi, karena otomatis itu akan mengungkap rahasia yang ia sembunyikan selama bertahun-tahun dari Mas Rendi dan Ibunya, bahkan mungkin semua orang."Ya karena memang gak mungkin aja, Ren. Kalian kan gak lagi program hamil. Lagipula Tiana kan sudah lama tidak bisa hamil, jadi tidak mudah buat dia tiba-tiba langsung hamil," jawab Mbak Dyan mencoba biasa saja.Padahal aku yakin dia refleks saat langsung keluar dari kamar, tanpa dipikir panjang kalau sikapnya bisa menimbulkan kecurigaan. Namun aku sendiri masih bisa mewajarkan, Mbak Dyan pasti tidak ingin aku hamil, karena jika itu terjadi maka aku akan merebut seluruh perhatian dari Mas Rendi, dan tidak menutup kemungkinan juga Ibu Mertuaku akan sedikit melunak da
"Kok Ibu jadi bandingin aku sama Tiana. Jelas beda dong, Bu. Aku sudah punya anak, anak aku prioritas aku. Itu anak Rendi, cucu Ibu juga, kan? Dan hal yang perlu Ibu ingat itu aku menikah dengan Rendi, ya menjadi istri Rendi. Ngurus suami dan anak, aku tidak berkewajiban untuk ngurus Ibu," ucap Mbak Dyan dengan begitu berani.Pertunjukan seru yang disuguhkan pagi ini, membuat aku tidak menyesal memilih untuk menginap semalam. Ibu dan Mbak Dyan sama-sama memiliki watak keras dan tidak mau kalah, wajar jika sekarang saling beradu tegang tanpa ada yang mau menurunkan Ego untuk mengalah.Padahal sebelumnya, mereka berdua sama-sama kompak untuk membuat aku terlihat buruk di depan Mas Rendi. Namun pada akhirnya mereka berdua lah yang saling menguliti satu sama lain.Memang lawan sepadan untuk Ibu adalah Mbak Dyan. Sedangkan aku masih memiliki rasa belas kasih, meskipun dulu juga aku sering bersitegang tetapi pada akhirnya aku selalu mengalah karena tidak ingin memperpanjang dan memperbesar
Aku berdiri di depan cermin wastafel sambil melihat wajahku yang pucat. Aku tidak merasa sedang sakit, tapi mual yang aku rasakan rasanya semakin sering saja. Aku semakin sensitif pada beberapa makanan. Durian, padahal aku suka durian. Tapi tadi ....Sejenak aku terus berpikir, sampai aku kembali teringat pada Mas Rendi yang mengira aku hamil. Dan aku juga tidak bisa melupakan bahwa aku pernah melakukan tanpa pengaman bersama Pak Anggara. Namun disituasi yang sekarang ini rasanya tidak pas kalau ternyata aku memang hamil. Aku menginginkan hal yang aku tunggu-tunggu, tapi melihat keadaan sekarang aku tidak yakin bisa terus bersuka cita dengan kehamilanku.Aku segera keluar dari toilet karena tidak mau membuat Yoga dan Ryo menunggu aku. Saat aku kembali, mereka sudah selesai dengan makanannya. Sesuai dengan rencana, kami bertiga menuju area ice skating, hanya saja aku menunggu dan melihat dari luar are, aku biarkan mereka berdua bermain bersama untuk melepas rindu.Sebenarnya bukan ha
"Jelas kamu harus aku nikahi, apalagi kalau kamu hamil. Jangan takut dan merasa sendiri, aku tidak akan mengingkari apa yang sudah aku katakan," jawab Pak Anggara dengan percaya diri jika dia bisa mewujudkan apa yang dia katakan itu. Padahal situasinya juga sedang sulit."Lalu sekarang? Kamu bahkan semakin lengket saja bersama Evelyn. Sudah mulai merencanakan pernikahan?""Evelyn sakit, Tiana."Mendengar itu, sontak aku langsung menoleh. "Sakit?""Aku juga baru tau setelah tunangan terjadi. Aku memprotes dan mencoba untuk membatalkan pertunangan itu. Namun orang tuanya bilang, jika Evelyn memang sakit tapi Evelyn sendiri tidak menceritakan itu padaku. Ini saja hanya aku ceritakan sama kamu.""Evelyn sakit keras?""Kanker sumsum tulang belakang."Tiba-tiba saja aku merasa bersalah atas sikapku pada Evelyn. Karena kecemburuanku, aku jadi bersikap kurang baik dan tidak tulus padanya. Padahal dia adalah gadis yang ceria dan baik, aku sendiri yang merasakannya. Dan ternyata, dibalik kebaik
Semua terdiam dan melihat ke arahku, bahkan Ibu saja langsung keluar dari dalam rumah. Sesaat aku menyesal mengapa bisa-bisanya aku berbicara seperti itu hanya karena aku merasa kesal dengan omongan Mbak Dyan.Terkadang aku merasa merasa malu juga pada semua tetangga, seperti hanya rumah Ibu saja yang selalu ramai, bukan ramai karena ada acara tetapi karena saling bersitegang. Setiap harinya seperti tidak pernah ada ketenangan saja."Kamu hamil, Tiana?" Pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut Ibu Mertuaku."Kamu sudah periksakan ke dokter, Sayang?" tanya Mas Rendi yang tak kalah penasaran.Tidak kalah menegangkan, aku melihat ekspresi Pak yang tidak bisa aku tebak. Lain hal dengan Evelyn yang sepertinya turut senang jika ternyata aku hamil setelah penantian bertahun-tahun."Jawab Tiana! Memangnya benar kamu hamil?" tanya Mbak Dyan yang terlihat jelas jika ia berpikir aku tidak akan mungkin hamil jika masih menjadi istri Mas Rendi kecuali jika aku bermain belakang seperti yang ia
Aku pulang dengan perasaan bingung. Evelyn memberikanku kotak kayu kecil yang entah apa isinya. Namun ia tidak memberikan kuncinya padaku. Lalu timbullah pertanyaan dan rasa penasaran dengan maksud Evelyn memberikan aku sebuah cangkang yang aku sendiri tidak tahu isinya. Ditambah aku tidak diberikan akses untuk membukanya."Apa yang diberikan Evelyn tadi?" tanya Pak Anggara. Kami berdua sedang dalam perjalanan untuk pulang. Memang tidak berlama-lama di sana."Hanya sebuah kotak kayu kecil. Aku juga tidak tau isinya apa.""Buka lah, aku juga ingin melihatnya.""Evelyn tidak memberikan kuncinya sekarang. Dia hanya bilang tunggu, karena semua ada waktunya. Hanya itu.""Kalau begitu tunggu saja, kalau sudah tau kamu juga harus memberitahukan itu padaku."Sesampainya di depan rumah, aku langsung meminta Pak Anggara untuk pulang. Namun ia terus memaksa untuk mampir ke rumahku sebentar. Karena kita sama-sama tinggal sendiri, jadi ia merasa masih membutuhkan teman untuk mengobrol.Pak Anggara