"Kok Ibu jadi bandingin aku sama Tiana. Jelas beda dong, Bu. Aku sudah punya anak, anak aku prioritas aku. Itu anak Rendi, cucu Ibu juga, kan? Dan hal yang perlu Ibu ingat itu aku menikah dengan Rendi, ya menjadi istri Rendi. Ngurus suami dan anak, aku tidak berkewajiban untuk ngurus Ibu," ucap Mbak Dyan dengan begitu berani.Pertunjukan seru yang disuguhkan pagi ini, membuat aku tidak menyesal memilih untuk menginap semalam. Ibu dan Mbak Dyan sama-sama memiliki watak keras dan tidak mau kalah, wajar jika sekarang saling beradu tegang tanpa ada yang mau menurunkan Ego untuk mengalah.Padahal sebelumnya, mereka berdua sama-sama kompak untuk membuat aku terlihat buruk di depan Mas Rendi. Namun pada akhirnya mereka berdua lah yang saling menguliti satu sama lain.Memang lawan sepadan untuk Ibu adalah Mbak Dyan. Sedangkan aku masih memiliki rasa belas kasih, meskipun dulu juga aku sering bersitegang tetapi pada akhirnya aku selalu mengalah karena tidak ingin memperpanjang dan memperbesar
Aku berdiri di depan cermin wastafel sambil melihat wajahku yang pucat. Aku tidak merasa sedang sakit, tapi mual yang aku rasakan rasanya semakin sering saja. Aku semakin sensitif pada beberapa makanan. Durian, padahal aku suka durian. Tapi tadi ....Sejenak aku terus berpikir, sampai aku kembali teringat pada Mas Rendi yang mengira aku hamil. Dan aku juga tidak bisa melupakan bahwa aku pernah melakukan tanpa pengaman bersama Pak Anggara. Namun disituasi yang sekarang ini rasanya tidak pas kalau ternyata aku memang hamil. Aku menginginkan hal yang aku tunggu-tunggu, tapi melihat keadaan sekarang aku tidak yakin bisa terus bersuka cita dengan kehamilanku.Aku segera keluar dari toilet karena tidak mau membuat Yoga dan Ryo menunggu aku. Saat aku kembali, mereka sudah selesai dengan makanannya. Sesuai dengan rencana, kami bertiga menuju area ice skating, hanya saja aku menunggu dan melihat dari luar are, aku biarkan mereka berdua bermain bersama untuk melepas rindu.Sebenarnya bukan ha
"Jelas kamu harus aku nikahi, apalagi kalau kamu hamil. Jangan takut dan merasa sendiri, aku tidak akan mengingkari apa yang sudah aku katakan," jawab Pak Anggara dengan percaya diri jika dia bisa mewujudkan apa yang dia katakan itu. Padahal situasinya juga sedang sulit."Lalu sekarang? Kamu bahkan semakin lengket saja bersama Evelyn. Sudah mulai merencanakan pernikahan?""Evelyn sakit, Tiana."Mendengar itu, sontak aku langsung menoleh. "Sakit?""Aku juga baru tau setelah tunangan terjadi. Aku memprotes dan mencoba untuk membatalkan pertunangan itu. Namun orang tuanya bilang, jika Evelyn memang sakit tapi Evelyn sendiri tidak menceritakan itu padaku. Ini saja hanya aku ceritakan sama kamu.""Evelyn sakit keras?""Kanker sumsum tulang belakang."Tiba-tiba saja aku merasa bersalah atas sikapku pada Evelyn. Karena kecemburuanku, aku jadi bersikap kurang baik dan tidak tulus padanya. Padahal dia adalah gadis yang ceria dan baik, aku sendiri yang merasakannya. Dan ternyata, dibalik kebaik
Semua terdiam dan melihat ke arahku, bahkan Ibu saja langsung keluar dari dalam rumah. Sesaat aku menyesal mengapa bisa-bisanya aku berbicara seperti itu hanya karena aku merasa kesal dengan omongan Mbak Dyan.Terkadang aku merasa merasa malu juga pada semua tetangga, seperti hanya rumah Ibu saja yang selalu ramai, bukan ramai karena ada acara tetapi karena saling bersitegang. Setiap harinya seperti tidak pernah ada ketenangan saja."Kamu hamil, Tiana?" Pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut Ibu Mertuaku."Kamu sudah periksakan ke dokter, Sayang?" tanya Mas Rendi yang tak kalah penasaran.Tidak kalah menegangkan, aku melihat ekspresi Pak yang tidak bisa aku tebak. Lain hal dengan Evelyn yang sepertinya turut senang jika ternyata aku hamil setelah penantian bertahun-tahun."Jawab Tiana! Memangnya benar kamu hamil?" tanya Mbak Dyan yang terlihat jelas jika ia berpikir aku tidak akan mungkin hamil jika masih menjadi istri Mas Rendi kecuali jika aku bermain belakang seperti yang ia
Aku pulang dengan perasaan bingung. Evelyn memberikanku kotak kayu kecil yang entah apa isinya. Namun ia tidak memberikan kuncinya padaku. Lalu timbullah pertanyaan dan rasa penasaran dengan maksud Evelyn memberikan aku sebuah cangkang yang aku sendiri tidak tahu isinya. Ditambah aku tidak diberikan akses untuk membukanya."Apa yang diberikan Evelyn tadi?" tanya Pak Anggara. Kami berdua sedang dalam perjalanan untuk pulang. Memang tidak berlama-lama di sana."Hanya sebuah kotak kayu kecil. Aku juga tidak tau isinya apa.""Buka lah, aku juga ingin melihatnya.""Evelyn tidak memberikan kuncinya sekarang. Dia hanya bilang tunggu, karena semua ada waktunya. Hanya itu.""Kalau begitu tunggu saja, kalau sudah tau kamu juga harus memberitahukan itu padaku."Sesampainya di depan rumah, aku langsung meminta Pak Anggara untuk pulang. Namun ia terus memaksa untuk mampir ke rumahku sebentar. Karena kita sama-sama tinggal sendiri, jadi ia merasa masih membutuhkan teman untuk mengobrol.Pak Anggara
"Ternyata memang benar kecurigaanku, Ren. Feeling seorang wanita itu emang tidak perlu diragukan lagi. Tiana pasti ada main dengan bosnya sendiri. Kamu harusnya mendengarkan apa kataku dari awal," ucap Mbak Dyan tidak begitu keras tetapi masih bisa terdengar jelas olehku."Jawab Tiana. Jangan mengubah pandangan Mas tentang kamu selama ini."Pak Anggara yang masih berada satu langkah di dalam rumah, kini keluar seolah tengah pasang badan untukku."Memang apa yang kamu pikirkan tentang aku dan Tiana?" tanya Pak Anggara pada Mbak Dyan. "Dan kamu kan suaminya, kenapa harus berbicara seperti itu? Memang kamu merasa Tiana berubah tidak seperti awal kamu mengenalnya?""Wah hebat sekali, sampai rela pasang badan untuk Tiana. Lihat sendiri, Ren. Ayo katakan sesuatu, kamu jadi suami jangan hanya diam saja, kamu berhak mengambil keputusan apapun. Apalagi saat melihat istri kamu malah berduaan sama pria lain."Mbak Dyan tidak hentinya mengompori, wataknya benar-benar copy paste dari Ibunya Mas Re
'Aku gak salah dengar, kan?' Aku menepuk pelan kupingku.Mbak Dyan sedang berbicara dengan siapa sampai mengajukan pertanyaan seperti itu. Rasanya sangat tidak pantas, karena dia sudah menjadi istrinya Mas Rendi kembali.Dan sebenarnya apa yang sedang direncakan oleh Mbak Dyan? Dia ingin kembali hamil dan mengakuinya sebagai anak Mas Rendi? Agar Ibu lebih bersikap baik dan Mas Rendi lebih perhatian padanya? Begitu, kah?Wanita ular!Lama-lama, aku malah merasa iba pada Mas Rendi. Ia bermain belakang dariku dengan mantan istrinya, ternyata ia juga diperlakukan sama oleh Mbak Dyan dengan pria asing itu. Apakah karma bisa berlaku seinstan itu? "Memangnya, suamimu itu tidak bisa memberikan keturunan untukmu? Kenapa tidak kamu ceraikan saja. Banyak pria subur lain, jangan bertahan dengan pria mandul. Misalkan kamu menikah denganku?" ucap pria asing itu.Aku benar-benar tidak berniat menguping! Hanya saja, obrolan mereka rasanya semakin menarik untuk didengarkan, sayang jika aku lewatkan b
Dari ekspresinya, aku yakin Mbak Dyan hanya berpikir jika aku mendengar hal tadi saja, padahal rahasia lamanya pun sudah aku pegang beserta semua bukti dari Yoga."Kamu jangan ---""Jangan apa, Mbak? Aku bertanya seperti itu wajar dong? Kan kalau hanya untuk hamil lagi sama Mas Rendi juga bisa, kan? Kenapa Mbak harus ngomong kaya gitu sama pria tadi? Hanya karena dia lebih tampan dari Mas Rendi padahal dia hanya pengangguran. Jadi salah kah kalau aku bertanya memang hanya itu saja alasannya?""Kamu jangan ikut campur sama urusan orang lain! Rendi dulu bisa bikin aku hamil dan lahirlah Ryo. Coba saat sama kamu, udah tiga tahun masih belum hamil juga? Kamu menularkan kemandulan sama Rendi! Kamu mungkin pembawa sial bagi Rendi. Saat Rendi kembali menikah denganku, dia langsung dapat promosi jabatan yang tadinya tidak pernah jadi.""Jadi, Mbak mau hamil lagi tujuannya untuk apa? Itu bukan anak Mas Rendi kalau sampai Mbak hamil. Mau dapat seluruh perhatian dari Ibu? Mau Mas Rendi lebih mem