"Aku punya pilihan untukmu, Ai. Tetap tinggal di sisiku atau cari bahagiamu bersama orang lain?"
Pertanyaan yang sulit di jawab. Dulu, aku tak punya jawaban untuk hal itu. Tapi sekarang sepertinya aku mulai memilikinya. Jawaban sulit dari pertanyaan priaku.
___
Davin Adiputra. Pria tampan berperawakan hitam manis dengan lesung pipi yang bertengger di kedua pipinya tak lupa dengan kacamata yang menghias manik hitam menambah kesan manis pada dirinya. Jeans casual dengan jas abu mahal itu yang dikenakan olenya cukup menyilaukan mata yang melihatnya. Kedudukannya sebagai Direktur utama di perusahaan ini membuatnya sangat disegani oleh semua orang.
Lelaki tampan itu lewat tepat di sebelahku tanpa menoleh saat aku sibuk menggandeng lembaran berkas ke ruang kepala kantor. Harusnya memang begitu, sadar diri akan kasta itu penting.
Dia orang kaya aku orang tak punya. Hiks.
Aku menyanyi sendiri dalam hati.
Berbeda kasta adalah penghalang sejati dalam sebuah hubungan. Hanya sedikit pasangan yang mampu mengingkari takdir dan memilih hidup bersama dengan banyak perbedaan. Itu hanya berlaku untuk pasangan yang benar-benar siap melampaui sejatinya cinta.
Cih
Kuhentakkan kaki kasar ke lantai lift. Kesal karena diabaikan. Sepertinya tingkat kebaperanku semakin meninggi saat ini. Memanyunkan bibir. Pintu lift terbuka.
Saat mendongakkan kepala, kudapati tatapan dingin itu menghujam dadaku. Memang sih tak serta merta menatap langsung. Hanya saja, rasanya tatapan dingin itu memang tertuju padaku. Rasanya sakit tapi tak berdarah.
CEO muda itu berdiri agak jauh di sebelahku. Fokus matanya sibuk menatap layar gawai. Kehadiranku tak dianggap.
Aku memfokuskan pandangan ke depan. Bersiap pergi kalau saja pintu lift tiba-tiba terbuka. Satu lift dengan CEO itu membuat tekanan darah rendahku naik.
Yes!
Pintu lift terbuka. Gegas aku melangkahkan kaki tak peduli apapun itu. Muak rasanya. Hels lima senti terasa berat dan tinggi. Hal itu membuatku doyong ke samping. Tak sempat berteriak, lembaran kertas itu jatuh berserakan di lantai.
Sakit. Satu kata yang mampu kuucapkan walau pelan. Tak ada adegan romantis seperti yang ada di film-film. Saat seorang wanita nyaris jatuh lalu tangan kekar milik seorang pria menggapainya. Mimpiku terlalu jauh.
Kutolehkan pandangan ke belakang. Benar saja lelaki itu tak peduli. Bahkan sebelah tangannya menutup mulut menahan tawa. Sial, dia membuatku semakin kesal!
"Kamu---"
"Nggak pa-pa." Berusaha setenang mungkin kupotong pertanyaannya. Sengaja agar ia tak semakin bertanya dan berujung membuat hatiku panas lalu ingin sekali menyumpal mulutnya dengan kaus kaki yang sudah seminggu tak kucuci.
Aku mengelus dada. Pandanganku beralih pada kertas itu, kasian. Kalau saja Pak Amri melihat hal ini ia pasti akan memukul kepalaku juga tak lupa dengan kata-kata mutiara yang sering ia ucapkan,
Walau sudah sering diperlakukan seolah aku anak lelaki olehnya. Pak Amri itu adalah tetaplah orangtua yang baik. Begitu pikirku.
"Kerja itu yang becus. Jangan maunya enak saja dapat uang. Mikir!"
Tanganku meraih lembaran kertas yang berserakan di pintu lift. Tak peduli akan tawa lelaki itu yang tetap tertahan. Tak dilihatpun aku yakin pipinya pasti sudah merah karena puas menertawaiku.
Panas rasanya hati ini dibuat. Andai saja dia bukan CEO diperusahaan ini sudah kupukul kepalanya. Itu hanya andai yang belum menjadi kenyataan.
"Makanya, lain kali jalan pake mata." Ketus dia berujar. Pergi seolah aku tak kenapa-napa. Bayangan punggungnya menghilang saat berbelok kiri.
Kesal ... kesal ... kesal!
Jalan pake mata katanya. Sepertinya dia memang lebih bodoh dari anak sd. Dia kira sekuat apa mataku sampai bisa berjalan di lantai.
Aku bersungut-sungut. Menepuk-nepuk belakang celana.
Semua lembaran telah terkumpul kembali. Kuperhatikan lagi ke dalam lift apa masih ada yang tertinggal. Sepertinya sudah tidak ada. Bersiap untuk diomeli. Jarum jam menunjuk 09: 25, itu artinya aku ngaret 25 menit mengantar berkas.
Aku menatap pintu kantor Pak Amri dengan raut harap - harap cemas.
Baru saja ingin mengetuk pintu. Sebuah kepala tiba-tiba muncul di hadapanku. Nyaris teriak namun tertahan dan nyaris kupukul kepala itu.
"Sudah saya duga, telat lagi telat lagi. Kebiasaan memang. Seperti kata pepatah dipecat enggan kerja seenaknya!" Nada suaranya naik dua oktaf. Dia mencebik. kesal sepertinya.
Aku menyipit.
Menyodorkan lembaran kertas yang lumayan banyak padanya.
"Ini, Pak berkasnya tadi macet lift hehe."
"Mana ada macet di lift, suka ngadi-ngadi kamu, ya!" Lembaran kertas itu ditarik paksa dari tanganku. Diperhatikannya kertas itu sekali lagi lalu menatap wajahku yang nyaris berkeringat seluruhnya karena kelelahan.
"Sudah, kembali ke ruang kamu lagi. Bosan saya lihat wajah kamu yang itu-itu saja!" katanya membentak.
Daun pintu ditutup keras. Suaranya nyaris merobek telinga.
Sembarangan dia kalau bicara. Mana ada wajah bisa berubah. Aku mengerucutkan bibir. Gontai melangkahkan kaki pergi dari sana.
Kembali memasuki pintu lift untuk turun ke lantai bawah. Di sanalah ruanganku bekerja sebagai karyawan tetap perusahaan. Gajinya yang lumayan besar membuatku tak serta merta melepas pekerjaan ini walau kadang aku merasa diperlakukan tidak enak oleh senior lainnya.
Setahun yang lalu, kubulatkan tekad untuk bekerja keras sejak ayahku sudah tiada. Menjadi tulang punggung keluarga. Kini, semua beban ada di bahuku sebagai anak perempuan pertama. Kehilangan pekerjaan bukanlah hal yang baik, meski kadang aku tak ingin bekerja di perusahaan ini karena beberapa hal. Namun selalu kutepis niatan itu.
Semester ini Alif-adikku-harus membayar iuran segala macam. Alif sempat bilang padaku, katanya tak ingin merepotkan ibu, dia ingin bekerja. Karena ibu yang mulai sakit-sakitan dan tak mungkin kami sebagai anaknya terus membebaninya dengan banyak macam hal.
Hal itu membuatku terenyuh. Anak sekecil Alif sudah memikirkan hal yang orang dewasa pikirkan.
Kutolak ucapannya, tidak ada pekerjaan bagi anak sekecil dia. Aku berjanji padanya untuk membantu membayar biaya sekolahnya. Alif senang lalu memelukku.
"Terima kasih, Mbak. Nanti kalo udah cukup umur Alif janji. Alif pasti akan bantu Mbak sama Ibu." Terkekeh dia dalam pelukanku.
Sebuah jitakan mampir di kepalanya disusul ringisan. Tak lama ia kembali tertawa sembari mengeratkan pelukan.
"Iya, nanti kalo udah gede."
"Nada Naflah." Seruan itu membuyarkan lamunanku. Di sebelahku lelaki bermata sipit itu memamerkan senyuman. Daniel namanya, lelaki keturunan Indonesia-Thailand. Teman sekantor yang ramah. Sikap ramahnya membuat ia terkenal di kantor dengan sebutan Aashman yang artinya matahari yang bersinar. Ya, sangat cocok dengan kepribadiannya yang senang menebar senyum pada semua orang.
"Mau makan bareng?" tanyanya saat kami keluar dari lift. Dia mensejajarkan langkah agar tak tertinggal.
"Boleh," jawabku seadanya tanpa menoleh.
"Okey, tunggu gue ya, ajak Arumi juga!" Daniel membuat bulatan dengan jemarinya. Hah dia itu menyusahkan saja. Apa salahnya sih bilang ke orangnya langsung.
Setiap kurayu Arumi memberitahu tentang hubungannya dengan Daniel jawabannya selalu sama. Teman biasa. Bagiku, Arumi itu sangat tidak peka akan perasaan seseorang. Padahal kalau saja itu bermasalah dengan hewan dia pasti sangat peka.
Hem.
Rasanya hubungan mereka sangat rumit.
Lah, kenapa jadi aku yang kepikiran.
Daniel adalah salah satu teman sekantor yang sering berinteraksi denganku, walau sikapnya menurutku kadang menyebalkan. Tapi rasanya aku sangat bersyukur rasanya ada orang yang mau berteman denganku. Kalau saja tidak ada mereka, sudah pasti dari lama dengan niat yang benar-benar matang aku memilih hengkang dari perusahaan ini dengan alasan tak nyaman.
___
Aku barusaja selesai merapikan meja kerja. Setengah jam lagi menunjuk angka 6 sore. Hari yang melelahkan dengan setumpuk berkas yang menunggu disiapkan esok.
Aku menghela napas.
Gegas aku berlari ke luar ruangan. Mengedarkan pandangan sembari berlari-lari kecil. Sepi dari lalu lalang orang. Maklum karena memang sudah agak lama jam pulang kerja.
Asem.
Wajah dingin sekaligus menyebalkan itu lagi. Kupalingkan ke kanan, melihat ke luar. Tak jauh dari tempatku berada halte bus itu kelihatan sepi. Hujan gerimis yang membasahi bumi dapat kulihat dari dalam walau hanya rintiknya saja.
Buru-buru kupercepat langkah menghindari tatapannya. Semoga saja dia tidak sadar.
Satu ... dua ... tiga
Kupercepat langkah menuju halte bus melewati hujan yang mulai deras. Di belakang sana. Suara kekehan terdengar walau indra pendengaran dipenuhi suara hujan. Tak kuambil pusing.
Aku yakin itu pasti dia.
Berlari sekuat tenaga. Akhirnya sampai juga di halte bus. Kupegang dinding halte agar tak jatuh karena sempoyongan. Mendaratkan pantat di bangku panjang dengan raut wajah cemas.
Hampir maghrib. Namun, bus itu tak kunjung muncul. Aku semakin was-was sebab hari semakin gelap.
Menengadah kepala. Rintik hujan jadi semakin deras. Aku bersungut-sungut karena bus tak kunjung tiba.
Tak ada satu pun kendaraan yang lewat. Benar-benar bikin emosi. Rasa dingin hinggap menguasai badan, membuatku mengeratkan jaket yang kukenakan.
Aku menunduk, sesaat pasrah karena tak ada kendaraan yang lewat. Namun, bunyi klakson ditekan berkali-kali itu mengangguku.
Aku mendongakkan kepala. Melihat siapa di dalam mobil sedan hitam mengkilap itu.
Dia memarkirkan mobilnya tepat di sisi halte. Wajah dingin itu tampak sedang meledekku. Menopang dagu sambil menatap dingin.
Aku mengedikkan bahu. Bertanya apa maksudnya. Posisiku tetap tak beranjak, duduk memegang lutut sembari menatapnya ketus.
"Mau tumpangan, Mbak?" Kekehan itu terdengar menyebalkan. Tawanya berderai menampakkan gigi putih dan rapi miliknya.
Ada yang bergejolak di dalam sini. Seingatku, di kantor dia tak pernah terlihat se-senang itu. Malah pekerja kantor lainnya menganggap lelaki itu hampir tak pernah senyum. Lalu kenapa di depanku tawanya sampai seperti ini. Apa karena aku ini pantas ditertawakan baginya?
Kuhentakkan kaki ke lantai. Dia semakin kuat tertawa, supir mobilnya sampai kebingungan.
Tuhkan.
"Bapak sudah lama enggak tertawa sampai se-senang ini. Apa mungkin--"
"Pak, jalan," potongnya dengan nada suara ketus. Tapi aku yakin dari balik nada ketus itu dia masih ingin tertawa, namun ditahan.
Supir itu mengangguk menanggapi perintah pria di kursi belakang itu. Tak lama mobil itu kembali maju dengan kecepatan lambat. Kulihat lelaki itu menempelkan gawai di telinganya sesekali menatap ke arahku.
Hah, kenapa jadi terlalu kupikirkan tentangnya?
Asem memang.
Sudah menyebalkan, tak berperikemanusiaan lagi. Mana ada wanita yang mau dia.
Aku bersungut-sungut.
Tetap duduk sembari menunggu kendaraan lewat sambil sesekali menggosok kedua punggung tangan.
"Dek! Ayo masuk. Bapak antar ke rumah sampe rumah, udah malem nih. Ayo masuk cepat!" Seorang Bapak dengan mobil taksi berhenti di sisi jalan. Dia keluar dari mobil dengan payung di tangan kanannya.
Aku hampir terlontar kaget dibuatnya. Tiba-tiba saja sudah ada orang di dekatku padahal sejak tadi aku tak merasakan kehadiran seseorang. Aneh. Seperti hantu saja.
"Ayo naik, Dek. Uda hampir malam, anak gadis nggak baik malam-malam sendiri di jalan. Soal ongkos jangan dipikirin udah ada yang bayar." Bapak itu meyakinkanku untuk masuk ke dalam taksinya.
Aku menautkan alis. Menatap Bapak itu dengan kebingungan.
"Loh? Siapa yang bayar, Pak?"
"Anggap aja orang baik, Dek. Udah ayo Bapak anter sampai rumah supaya aman," katanya lagi. Sigap payung miliknya melindungiku dari hujan. Kami melangkah memasuki taksi miliknya.
Walaupun masih dalam keadaan bertanya-tanya. Tetapi sepertinya, Akan lebih baik kuikuti dulu bapak ini. Karena memang bus tidak tidak akan datang datang dalam waktu dekat.Aku menghela napas, sembari menunduk untuk menundukkan kepala memasuki taksi.
Setelahnya mobil melaju pelan melewati jalanan basah.
Pikiranku menebak siapa 'orang baik' yang bapak itu maksud.
Seingatku tidak ada kendaraan lewat selain CEO menyebalkan itu. Lah, mana mungkin.
Dia, orang lain, dia orang lain
Ah, bodoamatlah. Yang penting siapa pun itu aku akan sangat berterima kasih padanya karena telah berbaik hati menolongku.
Matahari menelusup melalui celah jendela. Sahutan kicauan terdengar ramah di telinga. Pintu terbuka menampilkan sosok Mama yang siaga dengan sendok sayur di tangan. Ah jadi makin sayang deh sama Mama. Tapi bohong, tapi beneran. "Ma, bentar masih ngantuk, lima menit lagi ya, plis," gumamku yang masih setia tidur telungkup dengan kepala tertutup bantal. "Satu ... dua ... ti ... ti!" Nada suara Mama naik 4 oktaf. Aku membuang napas kasar. "Iya, Ma." "Nah, gitu baru anak gadis Mama. Makin cantik kan? Hehe." Mama cengengesan. Sendok sayur di tangannya sudah beralih ke atas nakas. Mama selalu seperti itu setiap pagi. Rajin membangunkan anak gadisnya yang masih setia molor. Walau begitu Mama tak pernah ringan bermain fisik pada anak-anaknya semarah apapun. Aku salut padanya. Aku beringsut duduk. Memiringkan kepala ke kanan sembari mengucek-ngucek mata adalah ritualku dalam mengumpulkan nya
Layar laptop menggelap. Jemariku mengetuk tepian meja. Jam di dinding hampir menunjuk 11: 10. Sebentar lagi waktunya istirahat. Aku mengusap wajah kasar. Sejak masuk kerja tadi fokusku buyar. Tak ada yang bisa kupikirkan dengan kepala jernih. Kacau ... kacau ... kacau! Tidak juga selesai pekerjaanku dibuatnya. Kasar, kuraih cemilan dalam toples lalu mengunyahnya hingga habis. Setelahnya kembali mengambil lagi makanan itu untuk kembali dikunyah hingga menyisakan toplesnya saja. Tanganku menggeser mouse. Layar yang tadinya gelap kini menampilkan berbagai macam huruf dan angka yang membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Ini gara-gara orang itu. Nyaris setengah hari kupikirkan pesannya. Membayangkan apa yang mau dilakukan oleh lelaki itu dengan kedatanganku ke ruangannya, membuatku bergidik ngeri mengelus dada, mencoba untuk tetap tenang, lalu mengatur napas. Sialan memang. Sederet pesan yang ma
Kita punya banyak pilihan untuk yang terjadi ke depannya. Pilihlah hal yang menurut kita baik, maka kita akan mencintainya. ___ Pemandangan di luar jendela kantor terlihat mendung. Aku duduk termangu sambil sesekali menatap layar komputer. Banyak hal kupikirkan, semuanya cukup menguras tenaga dan pikiran. "Tumben Nada jadi diem, biasanya semangat tuh ngerjain tugas-tugas yang udah numpuk," sindir Daniel. Benar katanya, melihat setumpuk kertas di hadapanku saja rasanya ingin muntah. Kutopang dagu malas, menaruh pulpen di bibir atas sambil menaikkan bibir. Fokus mataku tertuju pada pulpen itu. "Mau kopi?" Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Kutaruh kembali pulpen itu ke atas meja. Aku mendongakkan kepala untuk memastikan siapa pemilik suara tersebut. Rafi? Lalu pandanganku beralih pada tangannya yang sedang menyodorkan satu gelas kopi. Kuterima karena kebetulan saat ini aku sedang haus. Lagi-lagi tanpa banyak
"Kamu--!" "Rafi," ujarnya. Dia tertawa kecil sembari menutup mulut. Aku mendongak, cahaya lampu menghalangi penglihatan, tak jelas kulihat seperti apa wajah itu. Walaupun jelas aku yakin suara itu memang milik Rafi. "Rafi!" Aku memastikan sekali lagi bahwa orang itu memang Rafi, teman sekantorku yang jarang bicara bahkan tak suka basa-basi. "Boleh duduk?" tanyanya. "Boleh, nggak ada yang larang, siapa aja boleh duduk kok." Dia tertawa setelah mendengar ucapanku. Lah, memang ada yang lucu? Aku menggaruk tengkuk belakang yang tidak gatal. "Ngapain di sini?" tanyaku penasaran. "Itu." Dia menunjuk gerobak sate. Singkat tapi jelas maksudnya. Aku paham lalu mengangguk. "Kamu?" tanyanya balik. "Tu ...." Aku melakukan hal yang sama seperti dia lakukan barusan, menunjuk gerobak sate dan berbicara menggunakan intonasi. Kenapa seperti ada rasa yang berbeda. Rafi yang di kantor sangat berbeda saat
Cahaya matahari merangkak masuk melalui celah jendela. Aku menutup kepala dengan bantal menghindari sinarnya. Rasa kantuk itu masih ada, aku beringsut duduk untuk mulai berolahraga kecil. Mulai dari menarik kepala ke kanan lalu ke kiri hingga terdengar suara patahan lalu selanjutnya kulakukan hal yang sama pada anggota tubuh lain seperti tangan dan pinggang. Setelah selesai, aku beranjak dari tempat tidur menuju jendela. Menyibak gorden dan membuka jendela. Angin pagi menerpa wajah dan terasa menyejukkan. Aku menghirup napas dalam lalu membuangnya, kulakukan berulang-ulang. Aku menguap lalu memperhatikan jam di dinding kamar. Dan, Jam 9 pagi. Ingin berteriak rasanya namun kutahan. Aku berlari ke kamar mandi tak lupa membawa handuk yang tergantung di belakang pintu. Sedikit doyong ke samping hampir jatuh namun posisi-ku jadi kembali ke semula saat berhasil menggapai tembok. Hufft Dengan kekuatan penuh k
"Anak kecil memang seperti itu. Mereka memperlihatkan ke-bandel-an hanya untuk diperhatikan, mereka tak suka diabaikan." Suara bariton itu mengejutkanku. Spontan aku menoleh ke belakang. "Anu ...." Aku mengeratkan pegangan pada tali tas. Dalam situasi seperti ini ada rasa canggung menyergap. Laki-laki itu menatapku seperti biasa, dingin dan menyeramkan, setidaknya itu pendapat pribadiku. Tatapan dingin itu membuat nyaliku menciut. Aku sudah bersiap dengan konsekuensi hukuman jika saja itu terjadi. Alis tebal itu tertaut, dia berjalan melewatiku mendekati bocah laki-laki itu. "Perkenalkan Sean, umurnya 10 tahun, dia adik saya. Hari ini saya mau kamu menjaganya. Terserah, mungkin mau jalan-jalan atau bermain saya izinkan. Semuanya saya yang tanggung." Tangan kekar itu memegang bahu bocah laki-laki bernama Sean. Tak lama kulihat mengulas senyum pada si bocah. Adik? Sebentar ... sebentar. Sebelumnya lelaki ini mengatakan aku akan
Langit terlihat biru dengan awan putih berarak menjauh ke arah selatan. Angin berembus menyejukkan menerpa wajah. Kami baru saja tiba di pelataran Mall. Mengingat Sean ingin bermain banyak hal di sana, membuat Pak Malik tak dapat menolak permintaan adiknya itu. "Ayok!" Aku terkejut. Bagaimana tidak, tanganku ditarik paksa mengikuti langkah si bocah. Kulihat Sean juga melakukan hal yang sama dengan menarik tangan Pak Malik. Aku memandang bocah itu sekilas, terlihat rona kebahagiaan terpancar di wajah tampan-nya. Aku jadi ikut senang. Apa ini? Kenapa semua orang menatap kami? Dan, kenapa pipiku jadi memanas? Setiap orang yang kami lewati pasti berbisik-bisik tidak jelas, sebagian lagi berteriak histeris dan juga ada yang menatap tidak suka padaku. Lah? Salahku dimana? "Ih ganteng banget itu cowok, tapi kasian udah ada pasangannya." Samar, tapi masih bisa kudengar seorang wanita berbicara pada temannya. Tatapan sinis itu, dia arahka
Sebuah deheman terdengar, membuatku spontan melepaskan pelukan dari Arumi. Pak Malik berdiri di depan kami, aku mencari keberadaan Sean di dekatnya tapi tidak ada. Sepertinya bocah itu masih sibuk bermain. Daniel berdiri di sebelahku dia agak membungkukkan badan menghormati menghadap Pak Malik, begitu juga dengan Arumi. Entah kenapa tiba-tiba saja terasa formal seperti saat berada di kantor. "Sean bilang dia mau main sama kamu," katanya kemudian, tak lama dia kembali membalikkan badan lalu berjalan menjauhi kami. Begitu saja? Ya ampun singkat pada dan jelas. Inilah yang membuat karyawan kantor menganggapnya terlalu dingin dan menyeramkan. Aku menatap satu per satu mulai dari Arumi, rasa gugup menguasai keduanya, mereka memang belum terbiasa dengan sikap Pak Malik. Begitu pikirku. Aku izin pamit pada keduanya. Mereka mengangguk mengiyakan lalu cepat-cepat pergi dari sana. Aku rasa mereka ketakutan. Terbahak aku dibuat mereka.