Beranda / CEO / GADIS PILIHAN CEO / BAB 1 PENOLONG MISTERIUS

Share

GADIS PILIHAN CEO
GADIS PILIHAN CEO
Penulis: Elraa Hafa06

BAB 1 PENOLONG MISTERIUS

"Aku punya pilihan untukmu, Ai. Tetap tinggal di sisiku atau cari bahagiamu bersama orang lain?"

Pertanyaan yang sulit di jawab. Dulu, aku tak punya jawaban untuk hal itu. Tapi sekarang sepertinya aku mulai memilikinya. Jawaban sulit dari pertanyaan priaku. 

___

Davin Adiputra. Pria tampan berperawakan hitam manis dengan lesung pipi yang bertengger di kedua pipinya tak lupa dengan kacamata yang menghias manik hitam menambah kesan manis pada dirinya. Jeans casual dengan jas abu mahal itu yang dikenakan olenya cukup menyilaukan mata yang melihatnya. Kedudukannya sebagai Direktur utama di perusahaan ini membuatnya sangat disegani oleh semua orang. 

Lelaki tampan itu lewat tepat di sebelahku tanpa menoleh saat aku sibuk menggandeng lembaran berkas ke ruang kepala kantor. Harusnya memang begitu, sadar diri akan kasta itu penting. 

Dia orang kaya aku orang tak punya. Hiks.

Aku menyanyi sendiri dalam hati. 

Berbeda kasta adalah penghalang sejati dalam sebuah hubungan. Hanya sedikit pasangan yang mampu mengingkari takdir dan memilih hidup bersama dengan banyak perbedaan. Itu hanya berlaku untuk pasangan yang benar-benar siap melampaui sejatinya cinta.

Cih

Kuhentakkan kaki kasar ke lantai lift. Kesal karena diabaikan. Sepertinya tingkat kebaperanku semakin meninggi saat ini. Memanyunkan bibir. Pintu lift terbuka.

Saat mendongakkan kepala, kudapati tatapan dingin itu menghujam dadaku. Memang sih tak serta merta menatap langsung. Hanya saja, rasanya tatapan dingin itu memang tertuju padaku. Rasanya sakit tapi tak berdarah. 

CEO muda itu berdiri agak jauh di sebelahku. Fokus matanya sibuk menatap layar gawai. Kehadiranku tak dianggap.

Aku memfokuskan pandangan ke depan. Bersiap pergi kalau saja pintu lift tiba-tiba terbuka. Satu lift dengan CEO itu membuat tekanan darah rendahku naik. 

Yes!

Pintu lift terbuka. Gegas aku melangkahkan kaki tak peduli apapun itu. Muak rasanya. Hels lima senti terasa berat dan tinggi. Hal itu membuatku doyong ke samping. Tak sempat berteriak, lembaran kertas itu jatuh berserakan di lantai. 

Sakit. Satu kata yang mampu kuucapkan walau pelan. Tak ada adegan romantis seperti yang ada di film-film. Saat seorang wanita nyaris jatuh lalu tangan kekar milik seorang pria menggapainya. Mimpiku terlalu jauh. 

Kutolehkan pandangan ke belakang. Benar saja lelaki itu tak peduli. Bahkan sebelah tangannya menutup mulut menahan tawa. Sial, dia membuatku semakin kesal!

"Kamu---" 

"Nggak pa-pa." Berusaha setenang mungkin kupotong pertanyaannya. Sengaja  agar ia tak semakin bertanya dan berujung membuat hatiku panas lalu ingin sekali menyumpal mulutnya dengan kaus kaki yang sudah seminggu tak kucuci. 

Aku mengelus dada. Pandanganku beralih pada kertas itu, kasian. Kalau saja Pak Amri melihat hal ini ia pasti akan memukul kepalaku juga tak lupa dengan kata-kata mutiara yang sering ia ucapkan,

Walau sudah sering diperlakukan seolah aku anak lelaki olehnya. Pak Amri itu adalah tetaplah orangtua yang baik. Begitu pikirku. 

"Kerja itu yang becus. Jangan maunya enak saja dapat uang. Mikir!"

Tanganku meraih lembaran kertas yang berserakan di pintu lift. Tak peduli akan tawa lelaki itu yang tetap tertahan. Tak dilihatpun aku yakin pipinya pasti sudah merah karena puas menertawaiku. 

Panas rasanya hati ini dibuat. Andai saja dia bukan CEO diperusahaan ini sudah kupukul kepalanya. Itu hanya andai yang belum menjadi kenyataan. 

"Makanya, lain kali jalan pake mata." Ketus dia berujar. Pergi seolah aku tak kenapa-napa. Bayangan punggungnya menghilang saat berbelok kiri. 

Kesal ... kesal ... kesal!

Jalan pake mata katanya. Sepertinya dia memang lebih bodoh dari anak sd. Dia kira sekuat apa mataku sampai bisa berjalan di lantai. 

Aku bersungut-sungut. Menepuk-nepuk belakang celana.

Semua lembaran telah terkumpul kembali. Kuperhatikan lagi ke dalam lift apa masih ada yang tertinggal. Sepertinya sudah tidak ada. Bersiap untuk diomeli. Jarum jam menunjuk 09: 25, itu artinya aku ngaret 25 menit mengantar berkas. 

Aku menatap pintu kantor Pak Amri dengan raut harap - harap cemas. 

Baru saja ingin mengetuk pintu. Sebuah kepala tiba-tiba muncul di hadapanku. Nyaris teriak namun tertahan dan nyaris kupukul kepala itu. 

"Sudah saya duga, telat lagi telat lagi. Kebiasaan memang. Seperti kata pepatah dipecat enggan kerja seenaknya!" Nada suaranya naik dua oktaf. Dia mencebik. kesal sepertinya.  

Aku menyipit. 

Menyodorkan lembaran kertas yang lumayan banyak padanya. 

"Ini, Pak berkasnya tadi macet lift hehe."

"Mana ada macet di lift, suka ngadi-ngadi kamu, ya!" Lembaran kertas itu ditarik paksa dari tanganku. Diperhatikannya kertas itu sekali lagi lalu menatap wajahku yang nyaris berkeringat seluruhnya karena kelelahan.

"Sudah, kembali ke ruang kamu lagi. Bosan saya lihat wajah kamu yang itu-itu saja!" katanya membentak.

Daun pintu ditutup keras. Suaranya nyaris merobek telinga. 

Sembarangan dia kalau bicara. Mana ada wajah bisa berubah. Aku mengerucutkan bibir. Gontai melangkahkan kaki pergi dari sana. 

Kembali memasuki pintu lift untuk turun ke lantai bawah. Di sanalah ruanganku bekerja sebagai karyawan tetap perusahaan. Gajinya yang lumayan besar membuatku tak serta merta melepas pekerjaan ini walau kadang aku merasa diperlakukan tidak enak oleh senior lainnya.

Setahun yang lalu, kubulatkan tekad untuk bekerja keras sejak ayahku sudah tiada. Menjadi tulang punggung keluarga. Kini, semua beban ada di bahuku sebagai anak perempuan pertama. Kehilangan pekerjaan bukanlah hal yang baik, meski kadang aku tak ingin bekerja di perusahaan ini karena beberapa hal. Namun selalu kutepis niatan itu.

Semester ini Alif-adikku-harus membayar iuran segala macam. Alif sempat bilang padaku, katanya tak ingin merepotkan ibu, dia ingin bekerja. Karena ibu yang mulai sakit-sakitan dan tak mungkin kami sebagai anaknya terus membebaninya dengan banyak macam hal. 

Hal itu membuatku terenyuh. Anak sekecil Alif sudah memikirkan hal yang orang dewasa pikirkan. 

Kutolak ucapannya, tidak ada pekerjaan bagi anak sekecil dia. Aku berjanji padanya untuk membantu membayar biaya sekolahnya. Alif senang lalu memelukku.

"Terima kasih, Mbak. Nanti kalo udah cukup umur Alif janji. Alif pasti akan bantu Mbak sama Ibu." Terkekeh dia dalam pelukanku. 

Sebuah jitakan mampir di kepalanya disusul ringisan. Tak lama ia kembali tertawa sembari mengeratkan pelukan.

"Iya, nanti kalo udah gede."

"Nada Naflah." Seruan itu membuyarkan lamunanku. Di sebelahku lelaki bermata sipit itu memamerkan senyuman. Daniel namanya, lelaki keturunan Indonesia-Thailand. Teman sekantor yang ramah. Sikap ramahnya membuat ia terkenal di kantor dengan sebutan  Aashman yang artinya matahari yang bersinar. Ya, sangat cocok dengan kepribadiannya yang senang menebar senyum pada semua orang.

"Mau makan bareng?" tanyanya saat kami keluar dari lift. Dia mensejajarkan langkah agar tak tertinggal.

"Boleh," jawabku seadanya tanpa menoleh.

"Okey, tunggu gue ya, ajak Arumi juga!" Daniel membuat bulatan dengan jemarinya. Hah dia itu menyusahkan saja. Apa salahnya sih bilang ke orangnya langsung. 

Setiap kurayu Arumi memberitahu tentang hubungannya dengan Daniel jawabannya selalu sama. Teman biasa. Bagiku, Arumi itu sangat tidak peka akan perasaan seseorang. Padahal kalau saja itu bermasalah dengan hewan dia pasti sangat peka. 

Hem.

Rasanya hubungan mereka sangat rumit. 

Lah, kenapa jadi aku yang kepikiran.

Daniel adalah salah satu teman sekantor yang sering berinteraksi denganku, walau sikapnya menurutku kadang menyebalkan. Tapi rasanya aku sangat bersyukur rasanya ada orang yang mau berteman denganku. Kalau saja tidak ada mereka, sudah pasti dari lama dengan niat yang benar-benar matang aku memilih hengkang dari perusahaan ini dengan alasan tak nyaman.

___

Aku barusaja selesai merapikan meja kerja. Setengah jam lagi menunjuk angka 6 sore. Hari yang melelahkan dengan setumpuk berkas yang menunggu disiapkan esok.

Aku menghela napas.

Gegas aku berlari ke luar ruangan. Mengedarkan pandangan sembari berlari-lari kecil. Sepi dari lalu lalang orang. Maklum karena memang sudah agak lama jam pulang kerja.

Asem. 

Wajah dingin sekaligus menyebalkan itu lagi. Kupalingkan ke kanan, melihat ke luar. Tak jauh dari tempatku berada halte bus itu kelihatan sepi. Hujan gerimis yang membasahi bumi dapat kulihat dari dalam walau hanya rintiknya saja.

Buru-buru kupercepat langkah menghindari tatapannya. Semoga saja dia tidak sadar. 

Satu ... dua ... tiga

Kupercepat langkah menuju halte bus melewati hujan yang mulai deras. Di belakang sana. Suara kekehan terdengar walau indra pendengaran dipenuhi suara hujan. Tak kuambil pusing. 

Aku yakin itu pasti dia.

Berlari sekuat tenaga. Akhirnya sampai juga di halte bus. Kupegang dinding halte agar tak jatuh karena sempoyongan. Mendaratkan pantat di bangku panjang dengan raut wajah cemas. 

Hampir maghrib. Namun, bus itu tak kunjung muncul. Aku semakin was-was sebab hari semakin gelap. 

Menengadah kepala. Rintik hujan jadi semakin deras. Aku bersungut-sungut karena bus tak kunjung tiba. 

Tak ada satu pun kendaraan yang lewat. Benar-benar bikin emosi. Rasa dingin hinggap menguasai badan, membuatku mengeratkan jaket yang kukenakan. 

Aku menunduk, sesaat pasrah karena tak ada kendaraan yang lewat. Namun, bunyi klakson ditekan berkali-kali itu mengangguku. 

Aku mendongakkan kepala. Melihat siapa di dalam mobil sedan hitam mengkilap itu. 

Dia memarkirkan mobilnya tepat di sisi halte. Wajah dingin itu tampak sedang meledekku. Menopang dagu sambil menatap dingin.

Aku mengedikkan bahu. Bertanya apa  maksudnya. Posisiku tetap tak beranjak, duduk memegang lutut sembari menatapnya ketus. 

"Mau tumpangan, Mbak?" Kekehan itu terdengar menyebalkan. Tawanya berderai menampakkan gigi putih dan rapi miliknya. 

Ada yang bergejolak di dalam sini. Seingatku, di kantor dia tak pernah terlihat se-senang itu. Malah pekerja kantor lainnya menganggap lelaki itu hampir tak pernah senyum. Lalu kenapa di depanku tawanya sampai seperti ini. Apa karena aku ini pantas ditertawakan baginya?

Kuhentakkan kaki ke lantai. Dia semakin kuat tertawa, supir mobilnya sampai kebingungan. 

Tuhkan. 

"Bapak sudah lama enggak tertawa sampai se-senang ini. Apa mungkin--" 

"Pak, jalan," potongnya dengan nada suara ketus. Tapi aku yakin dari balik nada ketus itu dia masih ingin tertawa, namun ditahan. 

Supir itu mengangguk menanggapi perintah pria di kursi belakang itu. Tak lama mobil itu kembali maju dengan kecepatan lambat. Kulihat lelaki itu menempelkan gawai di telinganya sesekali menatap ke arahku.

 Hah, kenapa jadi terlalu kupikirkan tentangnya?

Asem memang.

Sudah menyebalkan, tak berperikemanusiaan lagi. Mana ada wanita yang mau dia.

Aku bersungut-sungut. 

Tetap duduk sembari menunggu kendaraan lewat sambil sesekali menggosok kedua punggung tangan. 

"Dek! Ayo masuk. Bapak antar ke rumah sampe rumah, udah malem nih. Ayo masuk cepat!" Seorang Bapak dengan mobil taksi berhenti di sisi jalan. Dia keluar dari mobil dengan payung di tangan kanannya. 

Aku hampir terlontar kaget dibuatnya. Tiba-tiba saja sudah ada orang di dekatku padahal sejak tadi aku tak merasakan kehadiran seseorang. Aneh. Seperti hantu saja. 

"Ayo naik, Dek. Uda hampir malam, anak gadis nggak baik malam-malam sendiri di jalan. Soal ongkos jangan dipikirin udah ada yang bayar." Bapak itu meyakinkanku untuk masuk ke dalam taksinya. 

Aku menautkan alis. Menatap Bapak itu dengan kebingungan.

"Loh? Siapa yang bayar, Pak?"

"Anggap aja orang baik, Dek. Udah ayo Bapak anter sampai rumah supaya aman," katanya lagi. Sigap payung miliknya melindungiku dari hujan. Kami melangkah memasuki taksi miliknya.

Walaupun masih dalam keadaan bertanya-tanya. Tetapi sepertinya, Akan lebih baik kuikuti dulu bapak ini. Karena memang bus tidak tidak akan datang datang dalam waktu dekat. 

Aku menghela napas, sembari menunduk untuk menundukkan kepala memasuki taksi.

Setelahnya mobil melaju pelan melewati jalanan basah. 

Pikiranku menebak siapa 'orang baik' yang bapak itu maksud.

Seingatku tidak ada kendaraan lewat selain CEO menyebalkan itu. Lah, mana mungkin.

Dia, orang lain, dia orang lain

Ah, bodoamatlah. Yang penting siapa pun itu aku akan sangat berterima kasih padanya karena telah berbaik hati menolongku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status