"Kamu--!"
"Rafi," ujarnya. Dia tertawa kecil sembari menutup mulut. Aku mendongak, cahaya lampu menghalangi penglihatan, tak jelas kulihat seperti apa wajah itu. Walaupun jelas aku yakin suara itu memang milik Rafi.
"Rafi!" Aku memastikan sekali lagi bahwa orang itu memang Rafi, teman sekantorku yang jarang bicara bahkan tak suka basa-basi.
"Boleh duduk?" tanyanya.
"Boleh, nggak ada yang larang, siapa aja boleh duduk kok."
Dia tertawa setelah mendengar ucapanku. Lah, memang ada yang lucu? Aku menggaruk tengkuk belakang yang tidak gatal.
"Ngapain di sini?" tanyaku penasaran.
"Itu." Dia menunjuk gerobak sate. Singkat tapi jelas maksudnya. Aku paham lalu mengangguk.
"Kamu?" tanyanya balik.
"Tu ...." Aku melakukan hal yang sama seperti dia lakukan barusan, menunjuk gerobak sate dan berbicara menggunakan intonasi.
Kenapa seperti ada rasa yang berbeda. Rafi yang di kantor sangat berbeda saat kutemui di luar kantor. Tidak pendiam dan bahkan suka basa-basi. Aku jadi ingat tentang pemikiran selama ini bahwa dia adalah orang yang jarang berinteraksi. Dan, terbukti selama ini aku salah mengiranya.
Oh, Tuhan.
Apa semua orang begitu? Beda tempat beda sikap, yah mungkin memang seperti itu. Seseorang akan bersikap sesuai dengan lingkungan sekitarnya.
Rafi menaruh gawai di atas meja. Pandangannya dia alihkan pada gerobak sate itu lalu tak lama seperti ada yang mengusiknya. Tangan itu di letakkan di telinga, seperti sedang menajamkan indra pendengaran.
"Ada apa, Fi?" tanyaku padanya.
Tak ada jawaban. Rafi menatapku sebentar sebelum akhirnya bangkit dari kursi. Dengan langkah mengendap-endap dia berjalan menuju semak yang tak jauh dari tempatku berada. Aku yang penasaran mengikutinya dari belakang, dengan langkah mengendap-endap juga tentunya.
Langkahku terhenti saat Rafi memberi isyarat diam di tempat, tangannya ditaruh di atas bibir menyuruhku agar tidak berisik. Aku diam memperhatikan apa yang dia lakukan.
Rafi menyibak semak belukar itu cepat. Sesaat napasku seolah berhenti, karena takut kaget dan berteriak aku membekap mulut sendiri. Rafi menyuruhku mendekat.
Dua langkah maju, Rafi membungkukkan badan. Setelahnya kulihat dia berjongkok sembari mengulurkan tangan ke dalam semak belukar itu.
"Kenapa, Fi?"
Dia membalikkan badan, tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya yang berbaris rapi.
"Sini," ujarnya mengibaskan tangan menyuruhku mendekat.
"Wah, kucing,"
Satu kotak berukuran sedang tergeletak di dalam semak belukar itu. Di dalamnya seekor induk kucing dan beberapa bayi kucing berwarna putih dan kuning yang menyusu terlihat menggemaskan. Aku sangat menyayang-kan, ada saja oknum yang tega membuang makhluk malang itu dengan hanya beralaskan kain tipis berwarna coklat. Kasihan.
Aku berjongkok untuk melihat lebih dekat. Mengulurkan tangan pada induk kucing untuk mengelusnya. Sang induk kulihat menjilati anak-anaknya dengan penuh kasih sayang.
Menoleh ke samping. Rafi terlihat mengeluarkan sesuatu dari saku hoodie-nya. Sepotong paha ayam dia masukkan ke dalam kotak tempat kucing itu berada. Induk kucing bereaksi mengendus bau lalu memakannya. Aku melihatnya sedikit tenang. Setidaknya, masih ada orang baik yang peduli terhadap hewan.
"Makasih, Fi," ujarku padanya. Pemuda itu tampak menautkan alis. Sepertinya kebingungan karena ucapanku barusan.
"Bukan aku, tapi kucingnya yang barusan bilang," ucapku mengada-ada.
Secercah senyum kembali terbit di wajahnya. Haduh, panas rasanya wajah ini. Kalau begini terus bisa-bisa aku yang jatuh cinta padanya.
Aku mengalihkan pandangan ke arah kotak lalu mengelus kucing itu untuk mengucapkan sampai jumpa.
Bangkit dari duduk kulihat Bapak penjual sate baru saja menyelesaikan pesananku. Aku berjalan mendekat ke arah gerobak mengeluarkan uang pas lalu kembali melihat ke arah semak belukar.
Loh? Tidak ada orang. Rafi ke mana?
Saat menyisir pandangan ke bangku-bangku pengunjung kulihat Rafi duduk di kursi dengan menatap kotak yang ada di atas meja. Bukannya itu kotak kucing tadi?
Aku mendekat untuk memastikan.
"Aku mau bawa mereka pulang, kebetulan Ibu suka kucing. Mungkin, mereka bisa jadi teman Ibu selama aku sibuk kerja." ujarnya kemudian tanpa menatapku. Tangannya sibuk mengelusi bayi kucing.
Ada rasa syukur dalam hati setelah mendengar ucapannya. Saat ada oknum yang tega membuang kucing itu. Tuhan juga tak lupa menghadirkan orang baik untuk merawat makhluk-Nya.
"Makasih, Fi," ucapku lagi.
Mataku mengabur, sepertinya sebentar lagi air mataku akan segera turun. Aku berbalik untuk menghapus jejaknya.
"Makasih, lagi?" Tatap mata meneduhkan itu sangat bersahabat, Rafi mengangguk menatapku.
"Sama-sama," ujarnya.
"Oh iya, aku duluan udah malem soalnya. Dah."
"Tunggu, Nad!"
Aku kembali menoleh ke arahnya. Kulihat ia berdiri. Seperti ada yang ingin dia katakan, namun ditahan.
"Nggak pa-pa, hati-hati di jalan!" ujarnya tersenyum sembari melambaikan tangan.
Aku mengangguk. Melangkahkan kaki melewati jalanan yang agak sepi, tapi masih ada pemotor yang berlalu-lalang. Jarak rumahku dari sini memang tak jauh lagi. Lurus sekitar 20 meter lalu berbelok ke kiri memasuki komplek perumahan jalan purnama, di sebelah kiri melewati 4 rumah dan sudah sampai.
Aku menatap sekali lagi rumah bercat putih itu sebelum membuka pagar lalu kembali menguncinya. Lampu depan rumah memang selalu dimatikan untuk menghemat biaya listrik. Aku kembali teringat, sebulan yang lalu tagihan listrik belum dibayar dan sebentar lagi tepat dua bulan tagihan listrik juga belum terbayar. Belum lagi biaya lainnya. Ternyata setelah mengetahui bagaimana rasanya menjadi tulang punggung keluarga, aku jadi mengerti dengan apa yang dirasakan Papa.
Aku mengusap wajah. Menyelipkan poni di sisi telinga sebelum mengetuk pintu.
"Assalamualaikum,"
"Mbak!"
Samar-samar dari dalam rumah bisa kudengar suara teriakan itu. Siapa lagi kalau bukan Alif.
Pintu terbuka memperlihatkan Alif dengan wajah girangnya menyambut kepulanganku.
"Mbak, ayo masuk," Bocah itu menarik tanganku untuk masuk, setelahnya mengunci pintu dan menyeretku untuk duduk di meja makan.
"Duduk, Mbak!"
Aku mengikuti perintahnya menarik bangku mendekat lalu mendudukinya. Menatapnya kebingungan.
"Tada!" Serunya memperlihatkan selembar kertas padaku.
Semula aku bingung, namun setelah sedikit membacanya aku jadi mengerti. Bungkusan sate tadi kutaruh di atas meja.
"Wah, tumben adik Mbak pinter." ujarku padanya. Sengaja ingin membuatnya sebal. Benar saja, Alif langsung memanyunkan bibir dan menarik lembaran kertas itu ke dalam pelukannya.
Menyadari kekesalannya aku menarik bocah itu mendekat dan mengacak pelan rambutnya. Sedang dia protes menepis tanganku.
Aku bersungut-sungut.
"Ah, adik Mbak memang pinter hehe," ujarku kemudian. Alif melebarkan senyumannya.
"Mbak, aku izin mau ikut ekskul taekwondo di sekolah. Tadi udah izin sama Mama tapi belum sama Mbak," katanya lagi.
"Loh ngapain minta izin sama, Mbak. Sama Mama, 'kan udah cukup padahal?"
"Tapi, kan restu Mbak juga penting buat kebaikan dan kelancaran kegiatan aku ke depannya." Dia kembali mengerucutkan bibir. Aku menahan tawa sembari memegang bahunya.
Mama tiba dengan nampan berisikan kue berwarna cokelat dan taburan keju di atasnya, aku tebak itu kue brownis. Sejenak kulihat tatap mata teduh itu menghilangkan segala rasa lelah di badan dan hati. Saat melihat orangtua tersenyum, pastinya itu menjadi kelegaan bagi anak-anaknya, dan kata-kata itu memang benar adanya.
Mama menaruh nampan dari tangannya ke atas meja makan, setelah itu membuka tudung saji. Ada banyak jenis makanan tersedia di sana, juga kulihat kue yang dibawa Mama tadi sudah ditaruh asing dan sudah ditutup untuk di makan nanti.
"Ma---" Aku hendak menanyakan darimana uang Mama sebanyak ini untuk membeli makanan. Namun, urung saat kulihat Mama menggeleng seolah tau apa yang ingin kutanyakan.
Aku mengangguk.
"Alif juara satu, jadi supaya makin pinter hari ini Mama beliin makanan enak," kata Mama. Senyum teduh itu membuat air mataku nyaris keluar. Di saat sulit seperti ini pun Mama masih memperhatikan kebahagiaan kami sebagai anaknya.
Alif terlihat senang. Begitu pun aku.
Begitu semuanya sudah disediakan Mama dan Alif langsung duduk di atas meja dengan melipat tangannya. Aku yakin dia pasti lapar belum makan karena menungguku pulang. Hari ini, aku kembali tersentuh oleh hal-hal kecil yang terjadi di sekitar.
Cahaya matahari merangkak masuk melalui celah jendela. Aku menutup kepala dengan bantal menghindari sinarnya. Rasa kantuk itu masih ada, aku beringsut duduk untuk mulai berolahraga kecil. Mulai dari menarik kepala ke kanan lalu ke kiri hingga terdengar suara patahan lalu selanjutnya kulakukan hal yang sama pada anggota tubuh lain seperti tangan dan pinggang. Setelah selesai, aku beranjak dari tempat tidur menuju jendela. Menyibak gorden dan membuka jendela. Angin pagi menerpa wajah dan terasa menyejukkan. Aku menghirup napas dalam lalu membuangnya, kulakukan berulang-ulang. Aku menguap lalu memperhatikan jam di dinding kamar. Dan, Jam 9 pagi. Ingin berteriak rasanya namun kutahan. Aku berlari ke kamar mandi tak lupa membawa handuk yang tergantung di belakang pintu. Sedikit doyong ke samping hampir jatuh namun posisi-ku jadi kembali ke semula saat berhasil menggapai tembok. Hufft Dengan kekuatan penuh k
"Anak kecil memang seperti itu. Mereka memperlihatkan ke-bandel-an hanya untuk diperhatikan, mereka tak suka diabaikan." Suara bariton itu mengejutkanku. Spontan aku menoleh ke belakang. "Anu ...." Aku mengeratkan pegangan pada tali tas. Dalam situasi seperti ini ada rasa canggung menyergap. Laki-laki itu menatapku seperti biasa, dingin dan menyeramkan, setidaknya itu pendapat pribadiku. Tatapan dingin itu membuat nyaliku menciut. Aku sudah bersiap dengan konsekuensi hukuman jika saja itu terjadi. Alis tebal itu tertaut, dia berjalan melewatiku mendekati bocah laki-laki itu. "Perkenalkan Sean, umurnya 10 tahun, dia adik saya. Hari ini saya mau kamu menjaganya. Terserah, mungkin mau jalan-jalan atau bermain saya izinkan. Semuanya saya yang tanggung." Tangan kekar itu memegang bahu bocah laki-laki bernama Sean. Tak lama kulihat mengulas senyum pada si bocah. Adik? Sebentar ... sebentar. Sebelumnya lelaki ini mengatakan aku akan
Langit terlihat biru dengan awan putih berarak menjauh ke arah selatan. Angin berembus menyejukkan menerpa wajah. Kami baru saja tiba di pelataran Mall. Mengingat Sean ingin bermain banyak hal di sana, membuat Pak Malik tak dapat menolak permintaan adiknya itu. "Ayok!" Aku terkejut. Bagaimana tidak, tanganku ditarik paksa mengikuti langkah si bocah. Kulihat Sean juga melakukan hal yang sama dengan menarik tangan Pak Malik. Aku memandang bocah itu sekilas, terlihat rona kebahagiaan terpancar di wajah tampan-nya. Aku jadi ikut senang. Apa ini? Kenapa semua orang menatap kami? Dan, kenapa pipiku jadi memanas? Setiap orang yang kami lewati pasti berbisik-bisik tidak jelas, sebagian lagi berteriak histeris dan juga ada yang menatap tidak suka padaku. Lah? Salahku dimana? "Ih ganteng banget itu cowok, tapi kasian udah ada pasangannya." Samar, tapi masih bisa kudengar seorang wanita berbicara pada temannya. Tatapan sinis itu, dia arahka
Sebuah deheman terdengar, membuatku spontan melepaskan pelukan dari Arumi. Pak Malik berdiri di depan kami, aku mencari keberadaan Sean di dekatnya tapi tidak ada. Sepertinya bocah itu masih sibuk bermain. Daniel berdiri di sebelahku dia agak membungkukkan badan menghormati menghadap Pak Malik, begitu juga dengan Arumi. Entah kenapa tiba-tiba saja terasa formal seperti saat berada di kantor. "Sean bilang dia mau main sama kamu," katanya kemudian, tak lama dia kembali membalikkan badan lalu berjalan menjauhi kami. Begitu saja? Ya ampun singkat pada dan jelas. Inilah yang membuat karyawan kantor menganggapnya terlalu dingin dan menyeramkan. Aku menatap satu per satu mulai dari Arumi, rasa gugup menguasai keduanya, mereka memang belum terbiasa dengan sikap Pak Malik. Begitu pikirku. Aku izin pamit pada keduanya. Mereka mengangguk mengiyakan lalu cepat-cepat pergi dari sana. Aku rasa mereka ketakutan. Terbahak aku dibuat mereka.
Langit kemerahan itu terlihat menyilaukan mata, pertanda bahwa sudah waktunya untuk pulang. Kami menghabiskan hampir seharian ini berada di Mall. Menunggu Sean bermain. Langkah kami baru saja keluar dari lift lantai bawah, berjalan bersisian. Sean berjalan di antara kami, dia berada di tengah. Sean mengucek kedua matanya agak lama. Pak Malik, menghentikan gerakan tangan Sean, ditangkapnya kedua tangan itu dan kemudian diangkatnya bocah itu ke dalam gendongannya. "Sean, ngantuk Bang, mau pulang," gumamnya pelan. Aku yang berdiri tepat di samping Pak Malik menepuk punggung kecil itu, berusaha merilekskan dia. Sean terlalu bersemangat menghabiskan harinya untuk bermain bersama sang kakak. Mungkin, baginya hari berharga ini tidak boleh dia lewatkan begitu saja. Jarang-jarang mereka berkumpul seperti ini. Itu yang dapat kusimpulkan saat Sean merajuk tadi. Sepertinya Pak Malik tak pernah punya waktu bermain bersama sang adik
Pukul setengah sembilan aku baru saja selesai sarapan pagi bersama Mama dan Alif. Mama berdiri membawa piring kotor ke dapur sedang Alif kulihat dia sudah duduk selonjoran di ambal, pandangannya berfokus pada pada banyak buku belajar di meja. Dia terlalu bersemangat untuk meraih cita-cita. Aku tersenyum memperhatikan ketekunannya. "Mbak! Alif mau jadi dokter kalau besar nanti. Supaya bisa ngobatin orang lain. Terus misalnya Mama sama Mbak sakit bisa Alif yang tanganin, enggak perlu bayar. Gratis ... tis ... tis!" ucapan Alif setahun yang lalu, sebulan setelah kepergian Papa. Alif bertekad mengejar cita-citanya menjadi seorang dokter. Dia merasa merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apapun untuk Papa hingga akhir hayatnya. Maka dari itu dia punya impian membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Tadi malam saat pulang ke rumah Mama sempat marah-marah karena aku tidak memberinya kabar dari pagi hingga malam, Alif kelihatan biasa saja, tapi se
Sepanjang jalan menuju rumah Keluarga Mahendra tak bisa kuhilangkan rasa kesal ini. Merengut sepanjang jalan dan membuat Bapak-Slamet-sopir pribadi keluarga Mahendra, begitu saat dia memperkenalkan diri sepanjang jalan, protes dan tertawa pada ekspresiku yang sangat menyeramkan itu, katanya. Biarlah, Bapak itu tidak tahu apa kalau aku sedang kesal? Aku mencebik. Pandanganku beralih keluar jendela. Mobil barusaja memasuki gerbang, kami disambut oleh satpam yang kemarin kulihat. Dia masih mengenakan pakaian yang sama. Aku heran, apa mereka tidak ganti baju, atau punya baju seragam yang lain? Pertanyaan yang bagus. Mobil berhenti tepat di depan garasi. Pak Slamet menoleh padaku sembari tersenyum, aku yakin itu kode darinya agar segera keluar dan dia bisa memasukkan mobil ke dalam garasi segera. Aku mengeratkan pegangan pada tali tas, membuka pintu, beringsut ke luar mobil. Di depan teras seorang wanita paruh baya memyambutku,
"Malik enggak pernah suka bawa perempuan ke rumah. Baru kali ini dia bawa orang asing dan dengan senang menerima keberadaan orang baru di keluarga ini. Kamu, pasti istimewa buat Malik." Benarkah? Mana mungkin, bahkan dia itu sering menertawakanku saat aku gagal, juga tak berperasaan, kejam, dingin! Akan terlalu banyak jika disebutkan satu per satu. Bagaimana bisa wanita ini mengatakan bahwa aku itu spesial bagi Pak Malik. Itu adalah sebuah kebohongan besar. Wanita itu berdiri membelakangiku menghadap jendela yang terbuka sepenuhnya, gorden berwarna putih campur emosi itu bergerak ke kanan dan kiri. Dari belakang, kulihat rambut hitam miliknya berkibar diterpa angin. Saat pandanganku beralih pada foto di atas nakas. Wanita itu berbalik, berjalan mendekat padaku. Dia menyentuh bahuku, menuntun untuk duduk di atas ranjang berukuran besar yang kutebak ini adalah kamarnya. Besar dan sangat mewah dipenuhi denga