Malik duduk di sebelah ranjang Kyla. Mengumbar senyum saat gadis itu membuka mata, tangan mungil itu mengucek mata sembari duduk.
"Abang?"
"Hm?"
Malik tak mengalihkan pandangannya dari buku milik Kyla. Tangannya sibuk meneruskan membaca hampir di bagian pertengahan.
Setelah dilihat-lihat lagi. Kini Kyla malah terlihat malu. Pipinya semerah kepiting rebus.
Ditarik kasar buku itu dari tangan Malik, lalu mendekap kuat-kuat seolah akan diambil lagi oleh lelaki itu.
"Jangan dilihat, Bang!"
"Loh ... kenapa?"
"Semua rahasia Kyla ada di sini. Jadi, jangan dipegang dan baca titik!"
"Kan, abang cuma mau lihat, Kyla."
Malik mencoba membujuk. Mengulurkan tangan pada gadis itu. Sedangkan Kyla tetap tidak mau memberikan buku itu, lalu memasukkan buku tadi ke bawah bantalnya.
Dengan wajah cemberut, sekilas dipandangnya ke arah Malik lalu tidur berbalik memunggungi lelaki itu.
Selamat membaca, maaf sering ngaret update T.T
Hari ini setelah berbicara dengan dokter tentang kepulangan mereka ke Indonesia, Malik sudah menyiapkan segalanya agar bisa segera pulang ke tanah air. Ia meminta asistennya-Rama--untuk menyiapkan keperluan ini dan itu. Termasuk membayar seluruh biaya rumah sakit Kyla.Setelah drama yang cukup lama dan menguras emosi dengan Tante Anin dan Sarah yang berkeras menahannya untuk tetap tinggal di rumah sakit lebih lama, akhirnya dengan persetujuan dari Irish sendiri Malik bisa pulang tanpa harus lebih lama meladeni dua wanita menyebalkan itu. Sepertinya sekarang, Irish itu jauh lebih baik dibandingkan mereka berdua. Pikir Malik.Bandara.Kyla sudah bersiap dengan kursi rodanya. Gaun selutut yang dikenakan gadis itu terlihat feminin dengan warna peach dan putih corak bunga anggrek. Pita pink di rambut Kyla, menambah kesan imut pada gadis itu.Malik mendorong kursi roda Kyla. Melangkah pelan sambil sesekali mengecek jam tangan. Pukul 8 pagi. Itu berarti dua jam
Setelah melewati berjam-jam perjalanan. Kini Malik tiba di depan halaman rumah sakit. Sebelumnya Kyla telah ia titipkan pada Rama. Awalnya gadis itu meminta ingin ikut, tapi Malik menolak karena tak ingin membuat Kyla kembali kambuh sakitnya. Sebab gadis itu baru saja sembuh. Langkah kakinya lebar-lebar saat memasuki pintu otomatis. Dalam kekalutan, hanya ada satu nama yang terus digaungkan di hatinya. Nama yang terus melekat kuat, hingga meski datang padanya adalah hal yang sungguh sulit, akan tetap dilewati Malik. Semuanya hanya demi satu nama ....... Nada. Tangannya menekan tombol lift. Diketuknya beberapa kali sepatu pada lantai keramik. Dipijatnya pangkal hidung demi meredakan pusing yang mendera. Malik mendongakkan wajah, nomor yang tertera di atas sana masih terlalu jauh untuk tiba ke lantai satu. Sialan. Tak ada waktu. Umpat Malik. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju tangga darurat. Lantai 4
"Aku punya pilihan untukmu, Ai. Tetap tinggal di sisiku atau cari bahagiamu bersama orang lain?" Pertanyaan yang sulit di jawab. Dulu, aku tak punya jawaban untuk hal itu. Tapi sekarang sepertinya aku mulai memilikinya. Jawaban sulit dari pertanyaan priaku. ___ Davin Adiputra. Pria tampan berperawakan hitam manis dengan lesung pipi yang bertengger di kedua pipinya tak lupa dengan kacamata yang menghias manik hitam menambah kesan manis pada dirinya. Jeans casual dengan jas abu mahal itu yang dikenakan olenya cukup menyilaukan mata yang melihatnya. Kedudukannya sebagai Direktur utama di perusahaan ini membuatnya sangat disegani oleh semua orang. Lelaki tampan itu lewat tepat di sebelahku tanpa menoleh saat aku sibuk menggandeng lembaran berkas ke ruang kepala kantor. Harusnya memang begitu, sadar diri akan kasta itu penting. Dia orang kaya aku orang tak punya. Hiks. Aku menyanyi sendiri dalam hati. Berbeda
Matahari menelusup melalui celah jendela. Sahutan kicauan terdengar ramah di telinga. Pintu terbuka menampilkan sosok Mama yang siaga dengan sendok sayur di tangan. Ah jadi makin sayang deh sama Mama. Tapi bohong, tapi beneran. "Ma, bentar masih ngantuk, lima menit lagi ya, plis," gumamku yang masih setia tidur telungkup dengan kepala tertutup bantal. "Satu ... dua ... ti ... ti!" Nada suara Mama naik 4 oktaf. Aku membuang napas kasar. "Iya, Ma." "Nah, gitu baru anak gadis Mama. Makin cantik kan? Hehe." Mama cengengesan. Sendok sayur di tangannya sudah beralih ke atas nakas. Mama selalu seperti itu setiap pagi. Rajin membangunkan anak gadisnya yang masih setia molor. Walau begitu Mama tak pernah ringan bermain fisik pada anak-anaknya semarah apapun. Aku salut padanya. Aku beringsut duduk. Memiringkan kepala ke kanan sembari mengucek-ngucek mata adalah ritualku dalam mengumpulkan nya
Layar laptop menggelap. Jemariku mengetuk tepian meja. Jam di dinding hampir menunjuk 11: 10. Sebentar lagi waktunya istirahat. Aku mengusap wajah kasar. Sejak masuk kerja tadi fokusku buyar. Tak ada yang bisa kupikirkan dengan kepala jernih. Kacau ... kacau ... kacau! Tidak juga selesai pekerjaanku dibuatnya. Kasar, kuraih cemilan dalam toples lalu mengunyahnya hingga habis. Setelahnya kembali mengambil lagi makanan itu untuk kembali dikunyah hingga menyisakan toplesnya saja. Tanganku menggeser mouse. Layar yang tadinya gelap kini menampilkan berbagai macam huruf dan angka yang membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Ini gara-gara orang itu. Nyaris setengah hari kupikirkan pesannya. Membayangkan apa yang mau dilakukan oleh lelaki itu dengan kedatanganku ke ruangannya, membuatku bergidik ngeri mengelus dada, mencoba untuk tetap tenang, lalu mengatur napas. Sialan memang. Sederet pesan yang ma
Kita punya banyak pilihan untuk yang terjadi ke depannya. Pilihlah hal yang menurut kita baik, maka kita akan mencintainya. ___ Pemandangan di luar jendela kantor terlihat mendung. Aku duduk termangu sambil sesekali menatap layar komputer. Banyak hal kupikirkan, semuanya cukup menguras tenaga dan pikiran. "Tumben Nada jadi diem, biasanya semangat tuh ngerjain tugas-tugas yang udah numpuk," sindir Daniel. Benar katanya, melihat setumpuk kertas di hadapanku saja rasanya ingin muntah. Kutopang dagu malas, menaruh pulpen di bibir atas sambil menaikkan bibir. Fokus mataku tertuju pada pulpen itu. "Mau kopi?" Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Kutaruh kembali pulpen itu ke atas meja. Aku mendongakkan kepala untuk memastikan siapa pemilik suara tersebut. Rafi? Lalu pandanganku beralih pada tangannya yang sedang menyodorkan satu gelas kopi. Kuterima karena kebetulan saat ini aku sedang haus. Lagi-lagi tanpa banyak
"Kamu--!" "Rafi," ujarnya. Dia tertawa kecil sembari menutup mulut. Aku mendongak, cahaya lampu menghalangi penglihatan, tak jelas kulihat seperti apa wajah itu. Walaupun jelas aku yakin suara itu memang milik Rafi. "Rafi!" Aku memastikan sekali lagi bahwa orang itu memang Rafi, teman sekantorku yang jarang bicara bahkan tak suka basa-basi. "Boleh duduk?" tanyanya. "Boleh, nggak ada yang larang, siapa aja boleh duduk kok." Dia tertawa setelah mendengar ucapanku. Lah, memang ada yang lucu? Aku menggaruk tengkuk belakang yang tidak gatal. "Ngapain di sini?" tanyaku penasaran. "Itu." Dia menunjuk gerobak sate. Singkat tapi jelas maksudnya. Aku paham lalu mengangguk. "Kamu?" tanyanya balik. "Tu ...." Aku melakukan hal yang sama seperti dia lakukan barusan, menunjuk gerobak sate dan berbicara menggunakan intonasi. Kenapa seperti ada rasa yang berbeda. Rafi yang di kantor sangat berbeda saat
Cahaya matahari merangkak masuk melalui celah jendela. Aku menutup kepala dengan bantal menghindari sinarnya. Rasa kantuk itu masih ada, aku beringsut duduk untuk mulai berolahraga kecil. Mulai dari menarik kepala ke kanan lalu ke kiri hingga terdengar suara patahan lalu selanjutnya kulakukan hal yang sama pada anggota tubuh lain seperti tangan dan pinggang. Setelah selesai, aku beranjak dari tempat tidur menuju jendela. Menyibak gorden dan membuka jendela. Angin pagi menerpa wajah dan terasa menyejukkan. Aku menghirup napas dalam lalu membuangnya, kulakukan berulang-ulang. Aku menguap lalu memperhatikan jam di dinding kamar. Dan, Jam 9 pagi. Ingin berteriak rasanya namun kutahan. Aku berlari ke kamar mandi tak lupa membawa handuk yang tergantung di belakang pintu. Sedikit doyong ke samping hampir jatuh namun posisi-ku jadi kembali ke semula saat berhasil menggapai tembok. Hufft Dengan kekuatan penuh k