Matahari menelusup melalui celah jendela. Sahutan kicauan terdengar ramah di telinga. Pintu terbuka menampilkan sosok Mama yang siaga dengan sendok sayur di tangan.
Ah jadi makin sayang deh sama Mama.
Tapi bohong, tapi beneran.
"Ma, bentar masih ngantuk, lima menit lagi ya, plis," gumamku yang masih setia tidur telungkup dengan kepala tertutup bantal.
"Satu ... dua ... ti ... ti!" Nada suara Mama naik 4 oktaf. Aku membuang napas kasar.
"Iya, Ma."
"Nah, gitu baru anak gadis Mama. Makin cantik kan? Hehe."
Mama cengengesan. Sendok sayur di tangannya sudah beralih ke atas nakas.
Mama selalu seperti itu setiap pagi. Rajin membangunkan anak gadisnya yang masih setia molor. Walau begitu Mama tak pernah ringan bermain fisik pada anak-anaknya semarah apapun. Aku salut padanya.
Aku beringsut duduk. Memiringkan kepala ke kanan sembari mengucek-ngucek mata adalah ritualku dalam mengumpulkan nyawa yang masih terkumpul setengah. Lalu, menyeret langkah ke kamar mandi. Nyaris mengunci pintu aku kembali ingat ternyata handuk lupa kubawa masuk.
Bohlam bercahaya 2 watt tiba-tiba saja bersinar di atas kepalaku.
Aku tersenyum kecil lalu mengintip ke luar kamar mandi. Benar saja, Mama masih di sana.
"Ma, minta tolong ambilin handuk dong," ucapku dengan nada suara memelas yang aku yakin akan dituruti olehnya.
"Nah, mandi cepat udah telat!" titahnya.
Loh, cepat sekali.
Disodorkan handuk itu ke dalam kamar mandi yang pintunya sengaja kubuka sedikit. Mama bersungut-sungut di luar.
"Makasih, Ma. Mama cantik deh," rayuku. Kuintip ekspresinya dari pintu yang terbuka sedikit, Mama tersenyum. Ada yang menghangat di dalam sini melihat senyum seindah purnama itu.
___
"Mbak, aku ikut ya," ujar Alif saat aku bersiap memasukkan nasi ke dalam mulut. Aku mengangguk menanggapi ucapannya. Sedang pemuda itu tersenyum memperhatikanku. Ada apa? Tidak biasanya Alif senang senyum-senyum sendiri.
"Lif, kamu Mbak lihat seneng banget deh. Mau cerita sama Mbak sama Mama nggak?" tanyaku pada pemuda itu. Lantas pipi pucatnya itu memerah.
Loh
"Enggak ada, Mbak," jawabnya. Gelagatnya berubah seperti orang yang sedang salting.
Ah, aku tau.
"Jujur deh lif, Mbak cuman pengen tau," kurayu dia sekali lagi. Pipinya semakin memerah. Pemuda itu menyelesaikan makanannya, menghabiskan susu lalu menyalami tangan Mama dengan takzim.
Aku mengedikkan bahu.
"Mbak cepat atau aku tinggalin," ujarnya ketus, melangkah ke luar meninggalkanku. Padahal tadi yang ngajak pergi bareng siapa? Dia!
Lah ngatur. Aku mencebik.
Dia yang mengajak untuk pergi bersama dia juga yang meninggalkanku.
Asem memang.
Nasi yang tinggal sedikit itu kuhabiskan dengan satu suapan, tak lupa meminum air putih. Kulihat Mama sudah siap menyodorkan tangannya tanpa kupinta.
Mama memang the best.
Aku tersenyum pada wanita yang punya tatapan teduh itu setelah menyalaminya. Kulihat ia mengibas-ngibaskan tangan menyuruhku cepat menyusul Alif yang sudah menunggu di pagar rumah.
Mama terlihat melambaikan tangan saat aku menoleh ke belakang.
"A-lif, Mbak capek." Aku membungkukkan badan. Memegang lutut saat tiba di sampingnya. Peluh membanjiri pelipisku.
"Lah, ayo Mbak, kalo nggak cepat ketinggalan bus nanti." Alif menarik tanganku, menyeretku ikut berlari di sebelahnya.
Jadilah kami sama-sama berlari sampai ke jalan raya. Tidak jauh lagi, belok kiri lalu lurus saja nanti di sebelah kiri akan ketemu jalan raya.
Berlari seperti ini membuat asupan oksigen yang masuk ke paru-paru berkurang. Hal itu menjadikanku sesak napas. Dengan napas yang tersendat-sendat aku menyuruh Alif berhenti sejenak sebelum melanjutkan lari.
"M-bak ca-pek L-lif!"
Sengaja kutinggikan nada suara agar didengar olehnya. Alif menghentikan langkah tiba-tiba, hal itu membuatku oleng ke samping karena tak seimbang. Tapi, sigap Alif menahan tanganku agar tak jatuh.
"Kamu, sih. Udah tau Mbak orangnya cape-an. Malah disuruh lari-larian. Sesak napas tau nggak." Aku memanyunkan bibir menatap bocah itu menyilangkan tangan di depan dada.
Aku membungkuk memegang lutut. Menetralkan jantung yang berdegup kencang. Saat ini kami sedang berada di sisi jalan dengan sedikit pemotor yang lalu lalang.
"Daripada daripada lebih baik lebih baik," katanya sok iya.
Aku memutar bola mata malas. Bocah ini memang paling bisa ngeles.
"Ayo, Mbak keburu ditinggal nih!"
"Iya ... iya bawel ah." Kutepis kasar tangannya yang hendak meraih tanganku. Hal itu membuatnya meringis kesakitan sambil mengerucutkan bibir.
"Mbak bukan nenek-nenek yang perlu dituntun," sewotku padanya.
Dia mencebik. Memonyong-monyongkan mulutnya sebagai tanda protes.
"Yaudah, cepat," perintahnya.
"Iya ....!" teriakku. Alif sudah jauh di depan sedang aku masih sibuk mengatur napas masih belum beranjak.
Gontai kulangkahkan kaki mengejarnya. Hels lima senti ini sungguh menghambat. Karena itu kulepas saja. Tak apa walau harus nyeker, daripada rela kaki menjadi korban.
Walau sudah hampir setahun memakainya. Tetap saja aku belum terbiasa. Menurutku yang paling nyaman itu adalah memakai sneakers. Nyaman saja. Tapi, peraturan perusahaan tidak memperbolehkan karyawan menggunakan hal diluar peraturan. Sebab bisa saja kena sanksi atau malah langsung dipecat. Yah, apa boleh buat harus diikuti daripada dipecat.
Alif menghentikan langkah saat tiba di sisi jalan. Di sana, banyak orang menunggu. Bisa kulihat dari seragam mereka yang kebanyakan orang kantoran juga anak sekolah.
"Ayo, Mbak cepat udah mau nyampe nih bus-nya," teriaknya dari jauh. Mendengar hal itu aku mempercepat langkah, takut saja kalau ketinggalan.
"Lah, mana bus-nya?" tanyaku setelah sampai di sampingnya. Bocah itu menutup mulut menahan tawa saat melihatku yang berjalan tanpa hels. Tak hanya Alif, orang-orang yang ada di halte menatapku aneh. Yah, memang aneh sih. Tapi kuabaikan tatapan mengejek itu. Nyatanya tak ada yang lebih penting dari keselamatan diri sendiri, bukan?
Aku mengedarkan pandangan. Di depan sana, lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Di barisan paling belakang, mobil sedan hitam itu seperti tak asing di mataku.
Aku menyipitkan mata.
Lagi-lagi wajah songong nan menyebalkan itu. Mataku membelalak sesaat melihat kehadirannya di sana. lelaki itu tertawa terpingkal-pingkal di mobilnya.
Dih
"Loh, Mbak kenal Bapak itu?" Alif menatapku penuh tanya. Pandanganku tetap fokus pada sosok di dalam mobil itu setelah menatapku sejenak dia kembali tertawa.
Asyeem!
"Nggak!"
"Tapi, keknya Bapak itu kenal Mbak deh. Masa dia lihat Mbak daritadi terus ketawa ngakak," katanya lagi.
Daritadi? Lah aku malah tidak terlalu fokus pada sekeliling makanya tidak tahu menahu. Jadi dia menertawakanku karena nyeker.
Pfft
Lampu lalu lintas sudah berganti warna menjadi hijau. Tak lama bayangan mobil sedan hitam itu melesat cepat, menghilang dari pandangan.
Alif menepuk pundakku. Memberitahu bahwa bus sudah sampai. Tanganku diseret masuk olehnya.
Dia menyuruhku duduk di kursi tepi, aku mengiyakan. Kami duduk di barisan tengah. Alif sibuk memeriksa tasnya. Tak sengaja pandanganku mengarah pada saku tas-nya.
"Cantik."
"Lah, siapa yang cantik, Mbak?"
Ada ekspresi bingung kudapati di wajah bocah itu. Aku tersenyum jahil menatapnya. Raut mukanya berubah tak enak, seolah tau maksudku menatapnya seperti itu.
"Gantungan kuncinya bagus, siapa yang ngasih?"
"Beli sendiri," jawabnya dengan nada suara rendah yang dibuat-buat. Aku yakin Alif berbohong.
"Hem." Aku mengetuk-ngetuk dagu seolah berpikir. Dari samping kulihat Alif menelan ludah susah payah, raut wajahnya terlihat tegang.
Tuhkan.
Kalau saja bukan di tempat ramai, sudah pasti kutertawakan dia keras-keras. Untungnya aku masih punya urat malu, jadi ketawanya ku-pending saja sampai di rumah nanti.
Aku menilik wajah bocah itu sesaat lalu berucap,
"Nanti, kalo udah siap kamu bisa cerita sama, Mbak," ujarku pelan padanya sedang dia menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal, lalu mengangguk.
"Nah, itu baru adiknya, Mbak!"
"Apa sih, Mbak aku bukan anak kecil. Jangan pegang-pegang sembarangan." Alif protes saat kuberantakan rambutnya. Dia menjauhkan tanganku dari kepalanya.
"Dah gede aja bilang gitu. Giliran masih bocah mainnya sama, Mbak! Heh!"
Aku membuang muka, menyilangkan tangan di depan dada pura-pura kesal.
"Itu dulu ....!" ketusnya. Dia juga ikut-ikutan menyilangkan tangan di depan dada lalu membuang muka.
Bus terus melaju membelah jalanan kota yang terlihat banyak kendaraan yang melintas. Jam tangan menunjuk pukul 7: 35. Aku menyandarkan badan pada kursi. Nyaman rasanya. Alif tetap memalingkan mukanya. Kalau dilihat dari dekat seperti ini bentuk wajahnya sangat mirip Mama, bulat dan memiliki bibir yang bagus. Sedang wajahku sangat mirip Papa dari semua sisi hanya saja sikapku lebih mencerminkan Mama. Tidak suka diatur dan barbar.
Gawaiku bergetar. Kuselipkan tangan ke saku baju lalu menggeser pola handphone. Satu pesan masuk dari nomor tak tersimpan. Kuketuk agar bisa membaca pesan seluruhnya.
Tak ada angin tak ada hujan. Aku nyaris berteriak sangking kagetnya.
[Jam istirahat, datang ke ruangan saya. Kalau tidak kamu saya pecat.]
Dengan nama diakhir pesan Malik Mahendra membuatku membekap mulut agar tak teriak seenaknya. Alif mengedikkan bahu memperhatikanku
Tidak!!
Layar laptop menggelap. Jemariku mengetuk tepian meja. Jam di dinding hampir menunjuk 11: 10. Sebentar lagi waktunya istirahat. Aku mengusap wajah kasar. Sejak masuk kerja tadi fokusku buyar. Tak ada yang bisa kupikirkan dengan kepala jernih. Kacau ... kacau ... kacau! Tidak juga selesai pekerjaanku dibuatnya. Kasar, kuraih cemilan dalam toples lalu mengunyahnya hingga habis. Setelahnya kembali mengambil lagi makanan itu untuk kembali dikunyah hingga menyisakan toplesnya saja. Tanganku menggeser mouse. Layar yang tadinya gelap kini menampilkan berbagai macam huruf dan angka yang membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Ini gara-gara orang itu. Nyaris setengah hari kupikirkan pesannya. Membayangkan apa yang mau dilakukan oleh lelaki itu dengan kedatanganku ke ruangannya, membuatku bergidik ngeri mengelus dada, mencoba untuk tetap tenang, lalu mengatur napas. Sialan memang. Sederet pesan yang ma
Kita punya banyak pilihan untuk yang terjadi ke depannya. Pilihlah hal yang menurut kita baik, maka kita akan mencintainya. ___ Pemandangan di luar jendela kantor terlihat mendung. Aku duduk termangu sambil sesekali menatap layar komputer. Banyak hal kupikirkan, semuanya cukup menguras tenaga dan pikiran. "Tumben Nada jadi diem, biasanya semangat tuh ngerjain tugas-tugas yang udah numpuk," sindir Daniel. Benar katanya, melihat setumpuk kertas di hadapanku saja rasanya ingin muntah. Kutopang dagu malas, menaruh pulpen di bibir atas sambil menaikkan bibir. Fokus mataku tertuju pada pulpen itu. "Mau kopi?" Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Kutaruh kembali pulpen itu ke atas meja. Aku mendongakkan kepala untuk memastikan siapa pemilik suara tersebut. Rafi? Lalu pandanganku beralih pada tangannya yang sedang menyodorkan satu gelas kopi. Kuterima karena kebetulan saat ini aku sedang haus. Lagi-lagi tanpa banyak
"Kamu--!" "Rafi," ujarnya. Dia tertawa kecil sembari menutup mulut. Aku mendongak, cahaya lampu menghalangi penglihatan, tak jelas kulihat seperti apa wajah itu. Walaupun jelas aku yakin suara itu memang milik Rafi. "Rafi!" Aku memastikan sekali lagi bahwa orang itu memang Rafi, teman sekantorku yang jarang bicara bahkan tak suka basa-basi. "Boleh duduk?" tanyanya. "Boleh, nggak ada yang larang, siapa aja boleh duduk kok." Dia tertawa setelah mendengar ucapanku. Lah, memang ada yang lucu? Aku menggaruk tengkuk belakang yang tidak gatal. "Ngapain di sini?" tanyaku penasaran. "Itu." Dia menunjuk gerobak sate. Singkat tapi jelas maksudnya. Aku paham lalu mengangguk. "Kamu?" tanyanya balik. "Tu ...." Aku melakukan hal yang sama seperti dia lakukan barusan, menunjuk gerobak sate dan berbicara menggunakan intonasi. Kenapa seperti ada rasa yang berbeda. Rafi yang di kantor sangat berbeda saat
Cahaya matahari merangkak masuk melalui celah jendela. Aku menutup kepala dengan bantal menghindari sinarnya. Rasa kantuk itu masih ada, aku beringsut duduk untuk mulai berolahraga kecil. Mulai dari menarik kepala ke kanan lalu ke kiri hingga terdengar suara patahan lalu selanjutnya kulakukan hal yang sama pada anggota tubuh lain seperti tangan dan pinggang. Setelah selesai, aku beranjak dari tempat tidur menuju jendela. Menyibak gorden dan membuka jendela. Angin pagi menerpa wajah dan terasa menyejukkan. Aku menghirup napas dalam lalu membuangnya, kulakukan berulang-ulang. Aku menguap lalu memperhatikan jam di dinding kamar. Dan, Jam 9 pagi. Ingin berteriak rasanya namun kutahan. Aku berlari ke kamar mandi tak lupa membawa handuk yang tergantung di belakang pintu. Sedikit doyong ke samping hampir jatuh namun posisi-ku jadi kembali ke semula saat berhasil menggapai tembok. Hufft Dengan kekuatan penuh k
"Anak kecil memang seperti itu. Mereka memperlihatkan ke-bandel-an hanya untuk diperhatikan, mereka tak suka diabaikan." Suara bariton itu mengejutkanku. Spontan aku menoleh ke belakang. "Anu ...." Aku mengeratkan pegangan pada tali tas. Dalam situasi seperti ini ada rasa canggung menyergap. Laki-laki itu menatapku seperti biasa, dingin dan menyeramkan, setidaknya itu pendapat pribadiku. Tatapan dingin itu membuat nyaliku menciut. Aku sudah bersiap dengan konsekuensi hukuman jika saja itu terjadi. Alis tebal itu tertaut, dia berjalan melewatiku mendekati bocah laki-laki itu. "Perkenalkan Sean, umurnya 10 tahun, dia adik saya. Hari ini saya mau kamu menjaganya. Terserah, mungkin mau jalan-jalan atau bermain saya izinkan. Semuanya saya yang tanggung." Tangan kekar itu memegang bahu bocah laki-laki bernama Sean. Tak lama kulihat mengulas senyum pada si bocah. Adik? Sebentar ... sebentar. Sebelumnya lelaki ini mengatakan aku akan
Langit terlihat biru dengan awan putih berarak menjauh ke arah selatan. Angin berembus menyejukkan menerpa wajah. Kami baru saja tiba di pelataran Mall. Mengingat Sean ingin bermain banyak hal di sana, membuat Pak Malik tak dapat menolak permintaan adiknya itu. "Ayok!" Aku terkejut. Bagaimana tidak, tanganku ditarik paksa mengikuti langkah si bocah. Kulihat Sean juga melakukan hal yang sama dengan menarik tangan Pak Malik. Aku memandang bocah itu sekilas, terlihat rona kebahagiaan terpancar di wajah tampan-nya. Aku jadi ikut senang. Apa ini? Kenapa semua orang menatap kami? Dan, kenapa pipiku jadi memanas? Setiap orang yang kami lewati pasti berbisik-bisik tidak jelas, sebagian lagi berteriak histeris dan juga ada yang menatap tidak suka padaku. Lah? Salahku dimana? "Ih ganteng banget itu cowok, tapi kasian udah ada pasangannya." Samar, tapi masih bisa kudengar seorang wanita berbicara pada temannya. Tatapan sinis itu, dia arahka
Sebuah deheman terdengar, membuatku spontan melepaskan pelukan dari Arumi. Pak Malik berdiri di depan kami, aku mencari keberadaan Sean di dekatnya tapi tidak ada. Sepertinya bocah itu masih sibuk bermain. Daniel berdiri di sebelahku dia agak membungkukkan badan menghormati menghadap Pak Malik, begitu juga dengan Arumi. Entah kenapa tiba-tiba saja terasa formal seperti saat berada di kantor. "Sean bilang dia mau main sama kamu," katanya kemudian, tak lama dia kembali membalikkan badan lalu berjalan menjauhi kami. Begitu saja? Ya ampun singkat pada dan jelas. Inilah yang membuat karyawan kantor menganggapnya terlalu dingin dan menyeramkan. Aku menatap satu per satu mulai dari Arumi, rasa gugup menguasai keduanya, mereka memang belum terbiasa dengan sikap Pak Malik. Begitu pikirku. Aku izin pamit pada keduanya. Mereka mengangguk mengiyakan lalu cepat-cepat pergi dari sana. Aku rasa mereka ketakutan. Terbahak aku dibuat mereka.
Langit kemerahan itu terlihat menyilaukan mata, pertanda bahwa sudah waktunya untuk pulang. Kami menghabiskan hampir seharian ini berada di Mall. Menunggu Sean bermain. Langkah kami baru saja keluar dari lift lantai bawah, berjalan bersisian. Sean berjalan di antara kami, dia berada di tengah. Sean mengucek kedua matanya agak lama. Pak Malik, menghentikan gerakan tangan Sean, ditangkapnya kedua tangan itu dan kemudian diangkatnya bocah itu ke dalam gendongannya. "Sean, ngantuk Bang, mau pulang," gumamnya pelan. Aku yang berdiri tepat di samping Pak Malik menepuk punggung kecil itu, berusaha merilekskan dia. Sean terlalu bersemangat menghabiskan harinya untuk bermain bersama sang kakak. Mungkin, baginya hari berharga ini tidak boleh dia lewatkan begitu saja. Jarang-jarang mereka berkumpul seperti ini. Itu yang dapat kusimpulkan saat Sean merajuk tadi. Sepertinya Pak Malik tak pernah punya waktu bermain bersama sang adik