Home / CEO / GADIS PILIHAN CEO / BAB 2 ALIF DAN RAHASIANYA

Share

BAB 2 ALIF DAN RAHASIANYA

Matahari menelusup melalui celah jendela. Sahutan kicauan terdengar ramah di telinga. Pintu terbuka menampilkan sosok Mama yang siaga dengan sendok sayur di tangan. 

Ah jadi makin sayang deh sama Mama. 

Tapi bohong, tapi beneran.

"Ma, bentar masih ngantuk, lima menit lagi ya, plis," gumamku yang masih setia tidur telungkup dengan kepala tertutup bantal. 

"Satu ... dua ... ti ... ti!" Nada suara Mama naik 4 oktaf. Aku membuang napas kasar. 

"Iya, Ma." 

"Nah, gitu baru anak gadis Mama. Makin cantik kan? Hehe."

Mama cengengesan. Sendok sayur di tangannya sudah beralih ke atas nakas.

Mama selalu seperti itu setiap pagi. Rajin membangunkan anak gadisnya yang masih setia molor. Walau begitu Mama tak pernah ringan bermain fisik pada anak-anaknya semarah apapun. Aku salut padanya.

Aku beringsut duduk. Memiringkan kepala ke kanan sembari mengucek-ngucek mata adalah ritualku dalam mengumpulkan nyawa yang masih terkumpul setengah. Lalu, menyeret langkah ke kamar mandi. Nyaris mengunci pintu aku kembali ingat ternyata handuk lupa kubawa masuk.

Bohlam bercahaya 2 watt tiba-tiba saja bersinar di atas kepalaku. 

Aku tersenyum kecil lalu mengintip ke luar kamar mandi. Benar saja, Mama masih di sana.

"Ma, minta tolong ambilin handuk dong," ucapku dengan nada suara memelas yang aku yakin akan dituruti olehnya.

"Nah, mandi cepat udah telat!" titahnya. 

Loh, cepat sekali. 

Disodorkan handuk itu ke dalam kamar mandi yang pintunya sengaja kubuka sedikit. Mama bersungut-sungut di luar. 

"Makasih, Ma. Mama cantik deh," rayuku. Kuintip ekspresinya dari pintu yang terbuka sedikit, Mama tersenyum. Ada yang menghangat di dalam sini melihat senyum seindah purnama itu.

___

"Mbak, aku ikut ya," ujar Alif saat aku bersiap memasukkan nasi ke dalam mulut. Aku mengangguk menanggapi ucapannya. Sedang pemuda itu tersenyum memperhatikanku. Ada apa? Tidak biasanya Alif senang senyum-senyum sendiri. 

"Lif, kamu Mbak lihat seneng banget deh. Mau cerita sama Mbak sama Mama nggak?" tanyaku pada pemuda itu. Lantas pipi pucatnya itu memerah.

Loh

"Enggak ada, Mbak," jawabnya. Gelagatnya berubah seperti orang yang sedang salting. 

Ah, aku tau.

"Jujur deh lif, Mbak cuman pengen tau," kurayu dia sekali lagi. Pipinya semakin memerah. Pemuda itu menyelesaikan makanannya, menghabiskan susu lalu menyalami tangan Mama dengan takzim. 

Aku mengedikkan bahu.

"Mbak cepat atau aku tinggalin," ujarnya ketus, melangkah ke luar meninggalkanku. Padahal tadi yang ngajak pergi bareng siapa? Dia!

Lah ngatur. Aku mencebik.

Dia yang mengajak untuk pergi bersama dia juga yang meninggalkanku. 

Asem memang.

Nasi yang tinggal sedikit itu kuhabiskan dengan satu suapan, tak lupa meminum air putih. Kulihat Mama sudah siap menyodorkan tangannya tanpa kupinta.  

Mama memang the best.

Aku tersenyum pada wanita yang punya tatapan teduh itu setelah menyalaminya. Kulihat ia mengibas-ngibaskan tangan menyuruhku cepat menyusul Alif yang sudah menunggu di pagar rumah.

Mama terlihat melambaikan tangan saat aku menoleh ke belakang. 

"A-lif, Mbak capek." Aku membungkukkan badan. Memegang lutut saat tiba di sampingnya. Peluh membanjiri pelipisku.

"Lah, ayo Mbak, kalo nggak cepat ketinggalan bus nanti." Alif menarik tanganku, menyeretku ikut berlari di sebelahnya. 

Jadilah kami sama-sama berlari sampai ke jalan raya. Tidak jauh lagi, belok kiri lalu lurus saja nanti di sebelah kiri akan ketemu jalan raya. 

Berlari seperti ini membuat asupan oksigen yang masuk ke paru-paru berkurang. Hal itu menjadikanku sesak napas. Dengan napas yang tersendat-sendat aku menyuruh Alif berhenti sejenak sebelum melanjutkan lari.

"M-bak ca-pek L-lif!" 

Sengaja kutinggikan nada suara agar didengar olehnya. Alif menghentikan langkah tiba-tiba, hal itu membuatku oleng ke samping karena tak seimbang. Tapi, sigap Alif menahan tanganku agar tak jatuh.

"Kamu, sih. Udah tau Mbak orangnya cape-an. Malah disuruh lari-larian. Sesak napas tau nggak." Aku memanyunkan bibir menatap bocah itu menyilangkan tangan di depan dada.

Aku membungkuk memegang lutut. Menetralkan jantung yang berdegup kencang. Saat ini kami sedang berada di sisi jalan dengan sedikit pemotor yang lalu lalang.

"Daripada daripada lebih baik lebih baik," katanya sok iya.

Aku memutar bola mata malas. Bocah ini memang paling bisa ngeles. 

"Ayo, Mbak keburu ditinggal nih!"

"Iya ... iya bawel ah." Kutepis kasar tangannya yang hendak meraih tanganku. Hal itu membuatnya meringis kesakitan sambil mengerucutkan bibir.

"Mbak bukan nenek-nenek yang perlu dituntun," sewotku padanya. 

Dia mencebik. Memonyong-monyongkan mulutnya sebagai tanda protes.

"Yaudah, cepat," perintahnya.

"Iya ....!" teriakku. Alif sudah jauh di depan sedang aku masih sibuk mengatur napas masih belum beranjak. 

Gontai kulangkahkan kaki mengejarnya. Hels lima senti ini sungguh menghambat. Karena itu kulepas saja. Tak apa walau harus nyeker, daripada rela kaki menjadi korban. 

Walau sudah hampir setahun memakainya. Tetap saja aku belum terbiasa. Menurutku yang paling nyaman itu adalah memakai sneakers. Nyaman saja. Tapi, peraturan perusahaan tidak memperbolehkan karyawan menggunakan hal diluar peraturan. Sebab bisa saja kena sanksi atau malah langsung dipecat. Yah, apa boleh buat harus diikuti daripada dipecat.

Alif menghentikan langkah saat tiba di sisi jalan. Di sana, banyak orang menunggu. Bisa kulihat dari seragam mereka yang kebanyakan orang kantoran juga anak sekolah.

"Ayo, Mbak cepat udah mau nyampe nih bus-nya," teriaknya dari jauh. Mendengar hal itu aku mempercepat langkah, takut saja kalau ketinggalan.

"Lah, mana bus-nya?" tanyaku setelah sampai di sampingnya. Bocah itu menutup mulut menahan tawa saat melihatku yang berjalan tanpa hels. Tak hanya Alif, orang-orang yang ada di halte menatapku aneh. Yah, memang aneh sih. Tapi kuabaikan tatapan mengejek itu. Nyatanya tak ada yang lebih penting dari keselamatan diri sendiri, bukan?

Aku mengedarkan pandangan. Di depan sana, lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Di barisan paling belakang, mobil sedan hitam itu seperti tak asing di mataku. 

Aku menyipitkan mata. 

Lagi-lagi wajah songong nan menyebalkan itu. Mataku membelalak sesaat melihat kehadirannya di sana. lelaki itu tertawa terpingkal-pingkal di mobilnya.

Dih

"Loh, Mbak kenal Bapak itu?" Alif menatapku penuh tanya. Pandanganku tetap fokus pada sosok di dalam mobil itu setelah menatapku sejenak dia kembali tertawa.

Asyeem! 

"Nggak!"

"Tapi, keknya Bapak itu kenal Mbak deh. Masa dia lihat Mbak daritadi terus ketawa ngakak," katanya lagi. 

Daritadi? Lah aku malah tidak terlalu fokus pada sekeliling makanya tidak tahu menahu. Jadi dia menertawakanku karena nyeker. 

Pfft

Lampu lalu lintas sudah berganti warna menjadi hijau. Tak lama bayangan mobil sedan hitam itu melesat cepat, menghilang dari pandangan.

Alif menepuk pundakku. Memberitahu bahwa bus sudah sampai. Tanganku diseret masuk olehnya. 

Dia menyuruhku duduk di kursi tepi, aku mengiyakan. Kami duduk di barisan tengah. Alif sibuk memeriksa tasnya. Tak sengaja pandanganku mengarah pada saku tas-nya.

"Cantik." 

"Lah, siapa yang cantik, Mbak?" 

Ada ekspresi bingung kudapati di wajah bocah itu. Aku tersenyum jahil menatapnya. Raut mukanya berubah tak enak, seolah tau maksudku menatapnya seperti itu.

"Gantungan kuncinya bagus, siapa yang ngasih?" 

"Beli sendiri," jawabnya dengan nada suara rendah yang dibuat-buat. Aku yakin Alif berbohong. 

"Hem." Aku mengetuk-ngetuk dagu seolah berpikir. Dari samping kulihat Alif menelan ludah susah payah, raut wajahnya terlihat tegang.

Tuhkan. 

Kalau saja bukan di tempat ramai, sudah pasti kutertawakan dia keras-keras. Untungnya aku masih punya urat malu, jadi ketawanya ku-pending saja sampai di rumah nanti.

Aku menilik wajah bocah itu sesaat lalu berucap,

"Nanti, kalo udah siap kamu bisa cerita sama, Mbak," ujarku pelan padanya sedang dia menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal, lalu mengangguk.

"Nah, itu baru adiknya, Mbak!" 

"Apa sih, Mbak aku bukan anak kecil. Jangan pegang-pegang sembarangan." Alif protes saat kuberantakan rambutnya. Dia menjauhkan tanganku dari kepalanya.

"Dah gede aja bilang gitu. Giliran masih bocah mainnya sama, Mbak! Heh!"

Aku membuang muka, menyilangkan tangan di depan dada pura-pura kesal.

"Itu dulu ....!" ketusnya. Dia juga ikut-ikutan menyilangkan tangan di depan dada lalu membuang muka.

Bus terus melaju membelah jalanan kota yang terlihat banyak kendaraan yang melintas. Jam tangan menunjuk pukul 7: 35. Aku menyandarkan badan pada kursi. Nyaman rasanya. Alif tetap memalingkan mukanya. Kalau dilihat dari dekat seperti ini bentuk wajahnya sangat mirip Mama, bulat dan memiliki bibir yang bagus. Sedang wajahku sangat mirip Papa dari semua sisi hanya saja sikapku lebih mencerminkan Mama. Tidak suka diatur dan barbar.

Gawaiku bergetar. Kuselipkan tangan ke saku baju lalu menggeser pola handphone. Satu pesan masuk dari nomor tak tersimpan. Kuketuk agar bisa membaca pesan seluruhnya.

Tak ada angin tak ada hujan. Aku nyaris berteriak sangking kagetnya. 

[Jam istirahat, datang ke ruangan saya. Kalau tidak kamu saya pecat.]

Dengan nama diakhir pesan Malik Mahendra membuatku membekap mulut agar tak teriak seenaknya. Alif mengedikkan bahu memperhatikanku

Tidak!!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status