"Irish! Sudah hampir setengah jam kamu di dalam sana. Buka pintunya sekarang!
Tak ada jawaban. Masih seperti setengah jam yang lalu, hening sekali seperti tidak ada aktivitas.
"Irish, kuhitung sampai tiga. Kalau kamu tidak membukanya akan kudobrak sekarang juga!"
Tetap saja, tak ada jawaban. Sarah menggigit bibir bawah, antara kesal dan khawatir.
"Satu ... dua ... tiga ....!"
Sarah menghantam tubuhnya pada toilet di hadapannya. Sekali, pintu masih masih terkunci, dua kali tetap saja terkunci. Lalu yang ketiga.
Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan Irish yang sedang berdiri di sana. Tertunduk lesu dengan wajah yang muram. Rambut dan pakaiannya terlihat berantakan. Seperti kena embusan angin yang begitu kencang.
Habis apa anak ini di dalam kamar mandi lama sekali? Ada yang tidak beres dengannya. Pikir Sarah.
Sarah mendorong pintu agar lebih terbuka lebar. Adiknya kelihatan seperti mayat hidup. Wajahnya pucat, dan sa
Silakan dibaca, GPC sudah update^^
Malik mengetuk pintu di hadapannya. Ruangan dokter yang menangani Kyla selama di sini. Rencananya, pria itu ingin mengajak Kyla berjalan-jalan di luar, mungkin sekedar lihat-lihat suasana kota ini dan juga membeli hadiah untuk gadis itu. Untuk itu Malik menanyakan pada sang dokter untuk meminta izin pada dokter membawa Kyla berjalan-jalan keluar sebentar. Pintu diketuk tiga kali. Suara dari dalam menyahut, menyuruh Malik masuk. Diputarnya knop pintu, lalu wajah pria bertubuh gemuk dengan kacamata bertengger di hidungnya itu tersenyum ramah. "Pak Malik, senang melihatmu lagi!" Pria itu berujar dalam bahasa inggris, tangannya masih sibuk mengetik di laptop. Sedang senyumnya merekah sehingga membuat keriput di wajahnya terlihat. Malik menutup kembali pintu, berjalan mendekat ke meja kerja pria itu lalu menarik kursi untuk duduk. "Saya juga," balas Malik. Matanya memperhatika
Malam hari "Tunggu saja, aku akan membuatmu kembali secepatnya ...." Tin. Suara klakson mobil membuat sosok dengan penutup kepala hoodie dengan masker hitam itu menggeser tempatnya dengan hati-hati lalu menunduk, bersembunyi di balik tembok agar tak terlihat. Untungnya ia sudah masuk ke dalam pagar secara diam-diam sejak tadi. Matanya masih sibuk memperhatikan bayangan seorang gadis dari balik gorden. Sudah cukup lama ia mengawasinya. Mendengar suara pagar yang terbuka, secepat kilat langkahnya berlari ke tempat rerumputan lebat. Dengan napas memburu dan kaki yang gemetaran. Dipilihnya untuk duduk sembari memerhatikan terlebih dahulu. Aman atau tidak. Dan benar saja, dari arah pagar matanya menangkap sosok seorang wanita dan seorang bocah. Mereka akan masuk ke dalam rumah itu. Matanya membulat tak percaya. Sepertinya ia mengenal mereka. *** Nada mondar-mandir di sisi ranja
Malik duduk di sebelah ranjang Kyla. Mengumbar senyum saat gadis itu membuka mata, tangan mungil itu mengucek mata sembari duduk. "Abang?" "Hm?" Malik tak mengalihkan pandangannya dari buku milik Kyla. Tangannya sibuk meneruskan membaca hampir di bagian pertengahan. Setelah dilihat-lihat lagi. Kini Kyla malah terlihat malu. Pipinya semerah kepiting rebus. Ditarik kasar buku itu dari tangan Malik, lalu mendekap kuat-kuat seolah akan diambil lagi oleh lelaki itu. "Jangan dilihat, Bang!" "Loh ... kenapa?" "Semua rahasia Kyla ada di sini. Jadi, jangan dipegang dan baca titik!" "Kan, abang cuma mau lihat, Kyla." Malik mencoba membujuk. Mengulurkan tangan pada gadis itu. Sedangkan Kyla tetap tidak mau memberikan buku itu, lalu memasukkan buku tadi ke bawah bantalnya. Dengan wajah cemberut, sekilas dipandangnya ke arah Malik lalu tidur berbalik memunggungi lelaki itu.
Hari ini setelah berbicara dengan dokter tentang kepulangan mereka ke Indonesia, Malik sudah menyiapkan segalanya agar bisa segera pulang ke tanah air. Ia meminta asistennya-Rama--untuk menyiapkan keperluan ini dan itu. Termasuk membayar seluruh biaya rumah sakit Kyla.Setelah drama yang cukup lama dan menguras emosi dengan Tante Anin dan Sarah yang berkeras menahannya untuk tetap tinggal di rumah sakit lebih lama, akhirnya dengan persetujuan dari Irish sendiri Malik bisa pulang tanpa harus lebih lama meladeni dua wanita menyebalkan itu. Sepertinya sekarang, Irish itu jauh lebih baik dibandingkan mereka berdua. Pikir Malik.Bandara.Kyla sudah bersiap dengan kursi rodanya. Gaun selutut yang dikenakan gadis itu terlihat feminin dengan warna peach dan putih corak bunga anggrek. Pita pink di rambut Kyla, menambah kesan imut pada gadis itu.Malik mendorong kursi roda Kyla. Melangkah pelan sambil sesekali mengecek jam tangan. Pukul 8 pagi. Itu berarti dua jam
Setelah melewati berjam-jam perjalanan. Kini Malik tiba di depan halaman rumah sakit. Sebelumnya Kyla telah ia titipkan pada Rama. Awalnya gadis itu meminta ingin ikut, tapi Malik menolak karena tak ingin membuat Kyla kembali kambuh sakitnya. Sebab gadis itu baru saja sembuh. Langkah kakinya lebar-lebar saat memasuki pintu otomatis. Dalam kekalutan, hanya ada satu nama yang terus digaungkan di hatinya. Nama yang terus melekat kuat, hingga meski datang padanya adalah hal yang sungguh sulit, akan tetap dilewati Malik. Semuanya hanya demi satu nama ....... Nada. Tangannya menekan tombol lift. Diketuknya beberapa kali sepatu pada lantai keramik. Dipijatnya pangkal hidung demi meredakan pusing yang mendera. Malik mendongakkan wajah, nomor yang tertera di atas sana masih terlalu jauh untuk tiba ke lantai satu. Sialan. Tak ada waktu. Umpat Malik. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju tangga darurat. Lantai 4
"Aku punya pilihan untukmu, Ai. Tetap tinggal di sisiku atau cari bahagiamu bersama orang lain?" Pertanyaan yang sulit di jawab. Dulu, aku tak punya jawaban untuk hal itu. Tapi sekarang sepertinya aku mulai memilikinya. Jawaban sulit dari pertanyaan priaku. ___ Davin Adiputra. Pria tampan berperawakan hitam manis dengan lesung pipi yang bertengger di kedua pipinya tak lupa dengan kacamata yang menghias manik hitam menambah kesan manis pada dirinya. Jeans casual dengan jas abu mahal itu yang dikenakan olenya cukup menyilaukan mata yang melihatnya. Kedudukannya sebagai Direktur utama di perusahaan ini membuatnya sangat disegani oleh semua orang. Lelaki tampan itu lewat tepat di sebelahku tanpa menoleh saat aku sibuk menggandeng lembaran berkas ke ruang kepala kantor. Harusnya memang begitu, sadar diri akan kasta itu penting. Dia orang kaya aku orang tak punya. Hiks. Aku menyanyi sendiri dalam hati. Berbeda
Matahari menelusup melalui celah jendela. Sahutan kicauan terdengar ramah di telinga. Pintu terbuka menampilkan sosok Mama yang siaga dengan sendok sayur di tangan. Ah jadi makin sayang deh sama Mama. Tapi bohong, tapi beneran. "Ma, bentar masih ngantuk, lima menit lagi ya, plis," gumamku yang masih setia tidur telungkup dengan kepala tertutup bantal. "Satu ... dua ... ti ... ti!" Nada suara Mama naik 4 oktaf. Aku membuang napas kasar. "Iya, Ma." "Nah, gitu baru anak gadis Mama. Makin cantik kan? Hehe." Mama cengengesan. Sendok sayur di tangannya sudah beralih ke atas nakas. Mama selalu seperti itu setiap pagi. Rajin membangunkan anak gadisnya yang masih setia molor. Walau begitu Mama tak pernah ringan bermain fisik pada anak-anaknya semarah apapun. Aku salut padanya. Aku beringsut duduk. Memiringkan kepala ke kanan sembari mengucek-ngucek mata adalah ritualku dalam mengumpulkan nya
Layar laptop menggelap. Jemariku mengetuk tepian meja. Jam di dinding hampir menunjuk 11: 10. Sebentar lagi waktunya istirahat. Aku mengusap wajah kasar. Sejak masuk kerja tadi fokusku buyar. Tak ada yang bisa kupikirkan dengan kepala jernih. Kacau ... kacau ... kacau! Tidak juga selesai pekerjaanku dibuatnya. Kasar, kuraih cemilan dalam toples lalu mengunyahnya hingga habis. Setelahnya kembali mengambil lagi makanan itu untuk kembali dikunyah hingga menyisakan toplesnya saja. Tanganku menggeser mouse. Layar yang tadinya gelap kini menampilkan berbagai macam huruf dan angka yang membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Ini gara-gara orang itu. Nyaris setengah hari kupikirkan pesannya. Membayangkan apa yang mau dilakukan oleh lelaki itu dengan kedatanganku ke ruangannya, membuatku bergidik ngeri mengelus dada, mencoba untuk tetap tenang, lalu mengatur napas. Sialan memang. Sederet pesan yang ma
Setelah melewati berjam-jam perjalanan. Kini Malik tiba di depan halaman rumah sakit. Sebelumnya Kyla telah ia titipkan pada Rama. Awalnya gadis itu meminta ingin ikut, tapi Malik menolak karena tak ingin membuat Kyla kembali kambuh sakitnya. Sebab gadis itu baru saja sembuh. Langkah kakinya lebar-lebar saat memasuki pintu otomatis. Dalam kekalutan, hanya ada satu nama yang terus digaungkan di hatinya. Nama yang terus melekat kuat, hingga meski datang padanya adalah hal yang sungguh sulit, akan tetap dilewati Malik. Semuanya hanya demi satu nama ....... Nada. Tangannya menekan tombol lift. Diketuknya beberapa kali sepatu pada lantai keramik. Dipijatnya pangkal hidung demi meredakan pusing yang mendera. Malik mendongakkan wajah, nomor yang tertera di atas sana masih terlalu jauh untuk tiba ke lantai satu. Sialan. Tak ada waktu. Umpat Malik. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju tangga darurat. Lantai 4
Hari ini setelah berbicara dengan dokter tentang kepulangan mereka ke Indonesia, Malik sudah menyiapkan segalanya agar bisa segera pulang ke tanah air. Ia meminta asistennya-Rama--untuk menyiapkan keperluan ini dan itu. Termasuk membayar seluruh biaya rumah sakit Kyla.Setelah drama yang cukup lama dan menguras emosi dengan Tante Anin dan Sarah yang berkeras menahannya untuk tetap tinggal di rumah sakit lebih lama, akhirnya dengan persetujuan dari Irish sendiri Malik bisa pulang tanpa harus lebih lama meladeni dua wanita menyebalkan itu. Sepertinya sekarang, Irish itu jauh lebih baik dibandingkan mereka berdua. Pikir Malik.Bandara.Kyla sudah bersiap dengan kursi rodanya. Gaun selutut yang dikenakan gadis itu terlihat feminin dengan warna peach dan putih corak bunga anggrek. Pita pink di rambut Kyla, menambah kesan imut pada gadis itu.Malik mendorong kursi roda Kyla. Melangkah pelan sambil sesekali mengecek jam tangan. Pukul 8 pagi. Itu berarti dua jam
Malik duduk di sebelah ranjang Kyla. Mengumbar senyum saat gadis itu membuka mata, tangan mungil itu mengucek mata sembari duduk. "Abang?" "Hm?" Malik tak mengalihkan pandangannya dari buku milik Kyla. Tangannya sibuk meneruskan membaca hampir di bagian pertengahan. Setelah dilihat-lihat lagi. Kini Kyla malah terlihat malu. Pipinya semerah kepiting rebus. Ditarik kasar buku itu dari tangan Malik, lalu mendekap kuat-kuat seolah akan diambil lagi oleh lelaki itu. "Jangan dilihat, Bang!" "Loh ... kenapa?" "Semua rahasia Kyla ada di sini. Jadi, jangan dipegang dan baca titik!" "Kan, abang cuma mau lihat, Kyla." Malik mencoba membujuk. Mengulurkan tangan pada gadis itu. Sedangkan Kyla tetap tidak mau memberikan buku itu, lalu memasukkan buku tadi ke bawah bantalnya. Dengan wajah cemberut, sekilas dipandangnya ke arah Malik lalu tidur berbalik memunggungi lelaki itu.
Malam hari "Tunggu saja, aku akan membuatmu kembali secepatnya ...." Tin. Suara klakson mobil membuat sosok dengan penutup kepala hoodie dengan masker hitam itu menggeser tempatnya dengan hati-hati lalu menunduk, bersembunyi di balik tembok agar tak terlihat. Untungnya ia sudah masuk ke dalam pagar secara diam-diam sejak tadi. Matanya masih sibuk memperhatikan bayangan seorang gadis dari balik gorden. Sudah cukup lama ia mengawasinya. Mendengar suara pagar yang terbuka, secepat kilat langkahnya berlari ke tempat rerumputan lebat. Dengan napas memburu dan kaki yang gemetaran. Dipilihnya untuk duduk sembari memerhatikan terlebih dahulu. Aman atau tidak. Dan benar saja, dari arah pagar matanya menangkap sosok seorang wanita dan seorang bocah. Mereka akan masuk ke dalam rumah itu. Matanya membulat tak percaya. Sepertinya ia mengenal mereka. *** Nada mondar-mandir di sisi ranja
Malik mengetuk pintu di hadapannya. Ruangan dokter yang menangani Kyla selama di sini. Rencananya, pria itu ingin mengajak Kyla berjalan-jalan di luar, mungkin sekedar lihat-lihat suasana kota ini dan juga membeli hadiah untuk gadis itu. Untuk itu Malik menanyakan pada sang dokter untuk meminta izin pada dokter membawa Kyla berjalan-jalan keluar sebentar. Pintu diketuk tiga kali. Suara dari dalam menyahut, menyuruh Malik masuk. Diputarnya knop pintu, lalu wajah pria bertubuh gemuk dengan kacamata bertengger di hidungnya itu tersenyum ramah. "Pak Malik, senang melihatmu lagi!" Pria itu berujar dalam bahasa inggris, tangannya masih sibuk mengetik di laptop. Sedang senyumnya merekah sehingga membuat keriput di wajahnya terlihat. Malik menutup kembali pintu, berjalan mendekat ke meja kerja pria itu lalu menarik kursi untuk duduk. "Saya juga," balas Malik. Matanya memperhatika
"Irish! Sudah hampir setengah jam kamu di dalam sana. Buka pintunya sekarang! Tak ada jawaban. Masih seperti setengah jam yang lalu, hening sekali seperti tidak ada aktivitas. "Irish, kuhitung sampai tiga. Kalau kamu tidak membukanya akan kudobrak sekarang juga!" Tetap saja, tak ada jawaban. Sarah menggigit bibir bawah, antara kesal dan khawatir. "Satu ... dua ... tiga ....!" Sarah menghantam tubuhnya pada toilet di hadapannya. Sekali, pintu masih masih terkunci, dua kali tetap saja terkunci. Lalu yang ketiga. Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan Irish yang sedang berdiri di sana. Tertunduk lesu dengan wajah yang muram. Rambut dan pakaiannya terlihat berantakan. Seperti kena embusan angin yang begitu kencang. Habis apa anak ini di dalam kamar mandi lama sekali? Ada yang tidak beres dengannya. Pikir Sarah. Sarah mendorong pintu agar lebih terbuka lebar. Adiknya kelihatan seperti mayat hidup. Wajahnya pucat, dan sa
Malik sejak tadi bolak-balik di depan ruangan nomor 302 A. Wajahnya memperlihatkan kekhawatiran yang berlebihan. Sarah duduk di bangku yang tersedia. Sesekali menghela napas kasar karena kesal Malik dari tadi mondar-mandir di depannya. Sebenarnya ingin sekali diberitahunya pada pria itu untuk duduk tenang di bangku saja. Namun, melihat ekspresinya seperti tak ingin diganggu. Sarah memilih bungkam saja. Daripada nanti kena siraman rohani dari Malik. Pintu ruangan terbuka. Seorang dokter berperawakan gemuk dengan kacamata bertengger di hidung mancungnya mendekati mereka. "She's fine, but need to get rest. She just late eating and causing stomach problems. Maybe because she was too happy that you came earlier and forgot her meal time. Though normally, she always eats on time." "Dia baik-baik saja, hanya butuh istirahat. Dia hanya telat makan dan menyebabkan lambungnya bermasalah. Mungkin karena terlalu senang
"Malik!" Teriakan itu spontan membuat si empunya nama menoleh. Kasak-kasuk orang berbicara terdengar samar-samar. Seorang wanita melambaikan tangan pada Malik. Malik bisa merasakan banyak pandangan terarah pada dirinya karena teriakan Sarah tadi cukup membuat perhatian teralihkan pada mereka. "Malik! Kau mau kemana hah? Tunggu sebentar. Aku mau bicara." Suara teriakan seorang wanita, Malik kenal dengan suara ini. Malik menghentikan langkah, membalikkan badan. Ia sudah menduga, wanita itu lagi. "Tak perlu menatap sedatar itu. Aku juga malas berurusan denganmu kalau saja bukan karena adikku. Ingat! Karena adikku!" "Saya tidak peduli." Malik berucap datar, meluruskan pandangan, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Berusaha tak acuh pada wanita pengganggu di sebelahnya. Selama ini apa tidak cukup dia sering mengganggu hari-hari Malik? Sekarang kenapa har
"Kak ... aku ingin tanya sesuatu. Apakah selama ini Malik dekat dengan perempuan lain?" Pertanyaan dari Irish begitu saja muncul saat Sarah ingin memasukkan kue ke dalam mulutnya. Sejak tadi, ia sangat tidak nyaman dengan bayang-bayang seorang perempuan yang sedang dekat dengan Malik. Tangan Sarah terhenti, sementara ia menarik kursi agar lebih dekat dengan ranjang gadis itu. Menatap lekat pada sepasang manik hazel milik Irish dan tak lama tersenyum. "Tentu saja tidak ...." Irish tersenyum getir, tahu bahwa sang kakak berbohong. Ia tahu hal itu dilakukan tidak lain untuk membuatnya agar tidak khawatir dan kembali jatuh sakit. Sarah mengelus rambut panjang adiknya. Walaupun wanita itu sangat kasar dan tegas, di depan Irish ia tidak lain adalah seorang kakak yang sangat penyayang dan perhatian. "Jangan khawatirkan lelaki itu. Kakak yakin kalian akan bersama. Kau tahu? Kami sudah menyiapkan pern