Layar laptop menggelap. Jemariku mengetuk tepian meja. Jam di dinding hampir menunjuk 11: 10. Sebentar lagi waktunya istirahat. Aku mengusap wajah kasar.
Sejak masuk kerja tadi fokusku buyar. Tak ada yang bisa kupikirkan dengan kepala jernih.
Kacau ... kacau ... kacau!
Tidak juga selesai pekerjaanku dibuatnya. Kasar, kuraih cemilan dalam toples lalu mengunyahnya hingga habis. Setelahnya kembali mengambil lagi makanan itu untuk kembali dikunyah hingga menyisakan toplesnya saja.
Tanganku menggeser mouse. Layar yang tadinya gelap kini menampilkan berbagai macam huruf dan angka yang membuat kepalaku pusing tujuh keliling.
Ini gara-gara orang itu. Nyaris setengah hari kupikirkan pesannya. Membayangkan apa yang mau dilakukan oleh lelaki itu dengan kedatanganku ke ruangannya, membuatku bergidik ngeri mengelus dada, mencoba untuk tetap tenang, lalu mengatur napas.
Sialan memang.
Sederet pesan yang mampu membuat moodku berubah. Habis sudah, mau apa dia menyuruhku ke ruangannya? Jangan-jangan!
Hi! Amit-amit!
Mataku tak henti memperhatikan jam tangan. Sedang lembaran kertas di atas meja menunggu untuk segera diselesaikan. Kesal. Tanpa sadar aku memukul meja.
"Lo kenapa, Nad?" tanya Arumi yang baru saja datang dari luar ruang, dia langsung mendekat ke meja kerjaku. Tatapan serius itu membuatku risih. Berkacak pinggang sembari mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahku lalu bertanya,
"Ada masalah, Nad?"
"Enggak, Rum," jawabku sekenanya. Menggeser meja ke belakang. Aku bangkit dari duduk, pergi ke toilet untuk membasuh wajah.
Aku menoleh kebelakang.
Arumi terlihat kebingungan masih dengan posisi berkacak pinggangnya.
"Yaudah, gue keluar sebentar ya," ujarnya sembari melambaikan tangan.
Kuangguki kepala sebagai jawaban 'iya'.
Setelah Arumi pergi. Aku berniat ingin ke toilet. Lama-lama kepalaku terasa panas dan berdenyut.
Sebagai rekan kerja yang satu ruangan. Aku, Arumi dan Daniel lumayan dekat. Kadang berbicara seperlunya seperti rekan kerja biasa, kadang juga seperti seorang sahabat. Arumi dan Daniel sering berkomunikasi denganku, berbeda dengan Rafi yang hampir hanya saat keadaan yang sangat diperlukan saja dia berbicara padaku.
Pria berdarah Ambon dengan kulit sawo matangnya serta kacamata yang bertengger di hidungnya itu sangatlah jarang berbicara dan tak suka basa-basi. Sejauh ini, itu yang kuketahui tentangnya.
"Untuk rekap data bulan ini, tolong diselesaikan segera." Rafi menaruh sekotak lembaran kertas di dalamnya. Ketikan pada keyboard kuhentikan. Aku mendongakkan kepala sebentar untuk memperhatikan kotak yang tak terlalu besar itu. Tak lama pandangan kualihkan padanya. Punggung itu semakin menjauh. Ah ... lelaki ini. Bahkan ia tak menoleh padaku.
Saat itu hanya tinggal kami berdua di dalam ruangan, sedang Daniel ada urusan dan Arumi baru saja keluar. Lelaki yang tak suka basa-basi dan lebih senang dengan kesendiriannya itu menurutku cukup menarik. Tapi, tak seminarik seorang Davin Adiputra.
Tentang Davin Adiputra. Tak terlalu banyak yang kuketahui tentangnya, meski bisa dibilang aku menyukai sosok hitam manis berlesung pipi itu. Jabatan sebagai Direktur Utama di sebuah perusahaan ternama bukankah itu hebat? Kudengar dia juga punya beberapa cabang perusahaan lainnya di luar negeri. Muda dan bertalenta, gadis mana yang tak jatuh cinta pada sosoknya? Begitu pun denganku.
Walau hanya angan, tak masalah menyukai seseorang yang tidak akan mungkin bisa didapatkan. Selagi tidak merugikan pihak yang disukai.
Baru saja menyelesaikan ritual membasuh wajah. Pintu kamar mandi digedor tak sabaran dari luar. Kusahuti dengan kata 'sebentar' namun tetap membuat orang itu tak kunjung menghentikan gedoran.
Aku membuang napas kasar sebelum memutar handle pintu.
"Kamu, dicariin Pak Malik." Arumi memberi kode dengan menggerakkan kepalanya ke kiri, setelah pintu terbuka setengah. Nada suara yang sarat akan kegugupan itu membuatku jadi agak takut.
Kutolehkan pandangan ke kanan. Benar saja, dari bagian belakang punggung yang yang aku yakin siapa dia. Napasku tiba-tiba menjadi manual, bulu kudukku meremang.
Ragu untuk mendekat. Tiba-tiba saja dari belakang Arumi mendorongku agar lekas menemuinya.
"Cepetan, Nad." Dengan suara yang kecil Arumi protes karena aku tak kunjung mendekat pada lelaki itu.
Aku mengangguk ragu sembari melangkah kan kecil.
Punggung itu berbalik. Memperlihatkan wajah dingin sang CEO.
Tangannya menunjuk jam tangan lalu memandangku dingin. Kakinya dihentikan ke lantai.
Satu kata yang cocok untuknya 'Mister Creepy'
Aku tersenyum kecut menyembunyikan rasa khawatir jika saja ditelan hidup-hidup olehnya.
"Maaf, Pak, ada apa ya?" tanyaku pura-pura lupa.
Susah payah menelan ludah. Kuhindari tatapan menyeramkan miliknya.
"Jangan pura-pura lupa. Ikut saya ke ruangan sekarang." Suara bariton itu terdengar menakutkan di telingaku.
Aku mengangguk mengiyakan, tak lupa menarik senyum saat mata kami saling bertatapan. Wajah lelaki itu sejenak mengalihkan perhatianku. Ekspresi datar dan dingin yang selama ini ia perlihatkan di depan orang banyak tak sama dengan ekspresi menyebalkan saat ia tertawa. Apa dia orang yang berbeda yang dengan yang kulihat tadi? Ah mana mungkin.
"Saya tunggu." Suara bariton itu kembali memenuhi indra pendengaran. Berat dan maskulin.
"Baik, Pak." Aku membungkuk badan ke arahnya. Walaupun tak suka dengan sosoknya, sebisa mungkin kubuang jauh-jauh perasaan itu saat berada di jam kerja, sebab di sini aku tidak lebih dari karyawan yang tak memiliki kuasa lebih untuk melawannya.
Punggung tegap itu menghilang saat pintu kembali tertutup. Aku menghirup napas banyak-banyak, balas dendam karena daritadi sesak tak cukup udara masuk ke dalam paru-paru. Sebab, tak bisa kulakukan saat makhluk menyeramkan itu ada di ruangan ini. Lemas sudah lutut ini dibuatnya.
Gontai aku berjalan menuju meja kerja, menarik kursi agar lebih dekat denganku lalu mendudukinya.
Dari arah belakang Arumi memegang bahu kiriku. Seolah mengerti apa yang aku rasakan. Ia memberi isyarat tangan agar aku menarik napas lalu membuangnya, dan anehnya kuikuti.
"Nah, gimana, udah tenang belum?" tanyanya. Binar mata gadis itu terlihat khawatir.
"Lumayan, uji nyali." Aku mengelus dada. Hem, lumayan rata.
Kudekatkan kursi pada meja kerja. Lama, kuperhatikan layar komputer data bulanan yang masih berada di sana, untungnya tak kumatikan komputer ini. Sebab kadang sewaktu-waktu komputer ini bisa saja nge-hang, lalu semua data yang sedang dikerjakan hilang tanpa jejak. Yah, kadang begitu, dan hal itu pastinya membuatku terpaksa lembur untuk menyelesaikannya.
Selesai menyimpan data. Aku bangkit, menguatkan diri untuk melangkahkan kaki menuju ruangan sang CEO, atau 'Mr. Creepy'.
Arumi menyemangatiku dari meja kerjanya. Se per sekian detik kemudian kembali sibuk pada komputer di depannya.
Kupandangi jam di tangan. Pukul sebelas lewat, tak lama lagi jam istirahat akan berakhir dan sekarang perutku terasa keroncongan.
Kantin ... Ruang CEO ... kantin ...Ruang CEO
Setelah lama memikirkan jawaban akhirnya kuputuskan belok ke kiri memasuki lift. Menekan lantai terakhir sebagai tujuan utama. Tak kupedulikan seberantakan apa wajahku saat ini, terpenting setelah menemuinya akan kusegerakan makan karena cacing di dalam sini sedang demo karena belum diberi jatah makanan.
Lift berhenti. Kulangkahkan kaki begitu pintu terbuka. Kulewati dua pasangan yang sedang berdiri di luar lift, tampak mereka sedang asyik bercakap-cakap.
"Nanti malam makan di mana, Sayang?"
"Terserah, yang penting perginya sama kamu."
Sedikit dari percakapan mereka yang dapat kudengar sebelum pintu lift kembali tertutup.
Ada sedikit perasaan iri menyusup di dalam sini.
-Ruang CEO-
Entah kenapa menatap tulisannya saja sudah terasa menyeramkan.
Aku berdiri di depan ruangan itu. Mencoba setenang mungkin sebelum mengetuk pintu. Sahutan terdengar dari dalam menyuruhku segera masuk.
Memutar hendel pintu, sengaja kubuka agak lebar pintu itu. Namun, suara bariton itu menginterupsiku untuk menutupnya kembali.
Aku mengangguk.
Kututup pintu, tapi tak menguncinya. Hanya untuk berjaga-jaga saja. Tak baik jika hanya ada dua orang berbeda jenis di dalam satu ruangan. Jika hal tak mengenakkan terjadi aku bisa dengan leluasa untuk melarikan diri.
"Saya enggak niat makan kamu."
Aku menggigit bibir bawah, berbalik ke arahnya lalu menarik senyum. Raut wajah itu tetap dingin menatapku.
"Duduk," ucapnya.
Melangkah mendekat, aku duduk di kursi di depannya. Manik kelam itu fokus pada laptop di mejanya.
Aku menunduk, takut jika mata melihat kemana-mana, dan itu tidaklah sopan. Meremas celana panjang yang kugunakan.
"Saya udah lihat kamu," ujarnya.
Bukannya aku memang di depannya?
"Maksud saya, seminggu yang lalu hari Minggu ...." ujarnya kemudian, tanpa berniat memberitahu kelanjutannya.
Aku berusaha berpikir keras. Seminggu lalu, aku datang ke panti asuhan untuk memberi sedikit cemilan untuk anak-anak. Sekedar datang untuk menyapa dan bermain lalu pulang. Jadi dia di sana? Tapi setelah kuingat - ingat aku tak melihatnya di panti. Bagaimana bisa dia tau aku di sana?
"Saya lihat kamu dekat sama anak-anak. Dan kelihatannya kamu juga bisa sedikit dipercaya. Saya mau kamu kerja sebagai babysitter untuk anak saya ...." Manik kelam itu berubah teduh. Entah kenapa. Seperti ada yang dipikirannya.
Terkejut setelah mendengar pengakuannya. Ternyata, dia sudah punya anak. Pantas saja jika ia kupanggil dengan 'Bapak'. Karena aslinya memang sudah bapak-bapak.
Katanya sudah sudah punya anak. Pastinya juga punya istri, jadi kenapa tidak istrinya saja yang mengurus? Ah, harusnya aku mengerti orang kaya tak punya waktu bahkan untuk mengurus anak sendiri. Aku paham sekarang.
Tapi, mana bisa. Pekerjanku bahkan tidak punya banyak waktu luang untuk bekerja sampingan."Tapi, Pak. Saya kan juga kerja di sini. Terus--"
Lelaki berahang kokoh itu memotong ucapanku. Disodorkannya sebuah kartu nama.
"Sabtu dan Minggu dari pagi sampe sore. Itu kartu nama saya." tawarnya lagi. Manik kelam itu menatapku lama menunggu jawaban.
Seram.
Aku mencebik.
Bisa saja dia itu memaksa seseorang untuk bekerja untuknya. Dia pikir aku siapa.
Sepertinya daripada harus bekerja sama dengan orang ini. Akan lebih baik jika kutolak tawaran itu, karena bekerja untuknya pastinya membuatku harus bersiap diri untuk banyak bersabar agar tak kehilangan kewarasan karena menghadapi orang dingin nan menyebalkan sepertinya.
"Gimana, mau kan?" tanyanya lagi kali ini nada suaranya agak sedikit bergetar. Lelaki itu berdehem.
"Maaf, Pak--"
"Terima atau kamu saya pecat."
Lah, pemaksaan.
Seketika bulu kudukku meremang. Pernyataan singkat itu membuatku kaget. Ingin protes namun kutahan, terpaksa kuluapkan emosi dengan meremas celana kuat-kuat.
Aku menggigit bibir bawah, tak percaya akan berada pada situasi yang mengancam pekerjaanku.
"Saya bayar kamu 10 kali lipat dari gaji kamu bekerja di sini, Sabtu Minggu oke." ujarnya lagi. Lelaki ini memutuskan sepihak. Pandangannya beralih pada layar gawai dengan logo apel digigit di belakangnya. Tak lama dia mulai berbicara, tapi entah dengan siapa.
Uhuk
Aku tak salah dengar? 10 kali lipat. Wah kaya mendadak ini mah. Tak perlu dipikirkan lagi. Menjadi babysitter sepertinya bukanlah hal yang sulit hanya saja mungkin setiap harinya aku akan selalu mendapati wajah menyebalkan ini lebih sering.
"Baik, Pak. Saya mau."
Aku mengangguk dengan bersemangat. Lelaki di depanku tampak tersenyum sesaat. Lalu kembali ke mode dingin lagi.
"Ah, Pak. Senyum seperti tadi ke semua orang nggak bakal rugi loh."
Aku tersenyum seolah tak merasa bersalah di depannya. Setelah kupikirkan lagi aku keceplosan dan orang di hadapanku sedang menatapku dingin.
Aku menepuk jidat. Lalu meminta maaf karena telah lancang menceramahiya.
"Maaf, Pak ....!"
Alah mak mati aku!
Kita punya banyak pilihan untuk yang terjadi ke depannya. Pilihlah hal yang menurut kita baik, maka kita akan mencintainya. ___ Pemandangan di luar jendela kantor terlihat mendung. Aku duduk termangu sambil sesekali menatap layar komputer. Banyak hal kupikirkan, semuanya cukup menguras tenaga dan pikiran. "Tumben Nada jadi diem, biasanya semangat tuh ngerjain tugas-tugas yang udah numpuk," sindir Daniel. Benar katanya, melihat setumpuk kertas di hadapanku saja rasanya ingin muntah. Kutopang dagu malas, menaruh pulpen di bibir atas sambil menaikkan bibir. Fokus mataku tertuju pada pulpen itu. "Mau kopi?" Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Kutaruh kembali pulpen itu ke atas meja. Aku mendongakkan kepala untuk memastikan siapa pemilik suara tersebut. Rafi? Lalu pandanganku beralih pada tangannya yang sedang menyodorkan satu gelas kopi. Kuterima karena kebetulan saat ini aku sedang haus. Lagi-lagi tanpa banyak
"Kamu--!" "Rafi," ujarnya. Dia tertawa kecil sembari menutup mulut. Aku mendongak, cahaya lampu menghalangi penglihatan, tak jelas kulihat seperti apa wajah itu. Walaupun jelas aku yakin suara itu memang milik Rafi. "Rafi!" Aku memastikan sekali lagi bahwa orang itu memang Rafi, teman sekantorku yang jarang bicara bahkan tak suka basa-basi. "Boleh duduk?" tanyanya. "Boleh, nggak ada yang larang, siapa aja boleh duduk kok." Dia tertawa setelah mendengar ucapanku. Lah, memang ada yang lucu? Aku menggaruk tengkuk belakang yang tidak gatal. "Ngapain di sini?" tanyaku penasaran. "Itu." Dia menunjuk gerobak sate. Singkat tapi jelas maksudnya. Aku paham lalu mengangguk. "Kamu?" tanyanya balik. "Tu ...." Aku melakukan hal yang sama seperti dia lakukan barusan, menunjuk gerobak sate dan berbicara menggunakan intonasi. Kenapa seperti ada rasa yang berbeda. Rafi yang di kantor sangat berbeda saat
Cahaya matahari merangkak masuk melalui celah jendela. Aku menutup kepala dengan bantal menghindari sinarnya. Rasa kantuk itu masih ada, aku beringsut duduk untuk mulai berolahraga kecil. Mulai dari menarik kepala ke kanan lalu ke kiri hingga terdengar suara patahan lalu selanjutnya kulakukan hal yang sama pada anggota tubuh lain seperti tangan dan pinggang. Setelah selesai, aku beranjak dari tempat tidur menuju jendela. Menyibak gorden dan membuka jendela. Angin pagi menerpa wajah dan terasa menyejukkan. Aku menghirup napas dalam lalu membuangnya, kulakukan berulang-ulang. Aku menguap lalu memperhatikan jam di dinding kamar. Dan, Jam 9 pagi. Ingin berteriak rasanya namun kutahan. Aku berlari ke kamar mandi tak lupa membawa handuk yang tergantung di belakang pintu. Sedikit doyong ke samping hampir jatuh namun posisi-ku jadi kembali ke semula saat berhasil menggapai tembok. Hufft Dengan kekuatan penuh k
"Anak kecil memang seperti itu. Mereka memperlihatkan ke-bandel-an hanya untuk diperhatikan, mereka tak suka diabaikan." Suara bariton itu mengejutkanku. Spontan aku menoleh ke belakang. "Anu ...." Aku mengeratkan pegangan pada tali tas. Dalam situasi seperti ini ada rasa canggung menyergap. Laki-laki itu menatapku seperti biasa, dingin dan menyeramkan, setidaknya itu pendapat pribadiku. Tatapan dingin itu membuat nyaliku menciut. Aku sudah bersiap dengan konsekuensi hukuman jika saja itu terjadi. Alis tebal itu tertaut, dia berjalan melewatiku mendekati bocah laki-laki itu. "Perkenalkan Sean, umurnya 10 tahun, dia adik saya. Hari ini saya mau kamu menjaganya. Terserah, mungkin mau jalan-jalan atau bermain saya izinkan. Semuanya saya yang tanggung." Tangan kekar itu memegang bahu bocah laki-laki bernama Sean. Tak lama kulihat mengulas senyum pada si bocah. Adik? Sebentar ... sebentar. Sebelumnya lelaki ini mengatakan aku akan
Langit terlihat biru dengan awan putih berarak menjauh ke arah selatan. Angin berembus menyejukkan menerpa wajah. Kami baru saja tiba di pelataran Mall. Mengingat Sean ingin bermain banyak hal di sana, membuat Pak Malik tak dapat menolak permintaan adiknya itu. "Ayok!" Aku terkejut. Bagaimana tidak, tanganku ditarik paksa mengikuti langkah si bocah. Kulihat Sean juga melakukan hal yang sama dengan menarik tangan Pak Malik. Aku memandang bocah itu sekilas, terlihat rona kebahagiaan terpancar di wajah tampan-nya. Aku jadi ikut senang. Apa ini? Kenapa semua orang menatap kami? Dan, kenapa pipiku jadi memanas? Setiap orang yang kami lewati pasti berbisik-bisik tidak jelas, sebagian lagi berteriak histeris dan juga ada yang menatap tidak suka padaku. Lah? Salahku dimana? "Ih ganteng banget itu cowok, tapi kasian udah ada pasangannya." Samar, tapi masih bisa kudengar seorang wanita berbicara pada temannya. Tatapan sinis itu, dia arahka
Sebuah deheman terdengar, membuatku spontan melepaskan pelukan dari Arumi. Pak Malik berdiri di depan kami, aku mencari keberadaan Sean di dekatnya tapi tidak ada. Sepertinya bocah itu masih sibuk bermain. Daniel berdiri di sebelahku dia agak membungkukkan badan menghormati menghadap Pak Malik, begitu juga dengan Arumi. Entah kenapa tiba-tiba saja terasa formal seperti saat berada di kantor. "Sean bilang dia mau main sama kamu," katanya kemudian, tak lama dia kembali membalikkan badan lalu berjalan menjauhi kami. Begitu saja? Ya ampun singkat pada dan jelas. Inilah yang membuat karyawan kantor menganggapnya terlalu dingin dan menyeramkan. Aku menatap satu per satu mulai dari Arumi, rasa gugup menguasai keduanya, mereka memang belum terbiasa dengan sikap Pak Malik. Begitu pikirku. Aku izin pamit pada keduanya. Mereka mengangguk mengiyakan lalu cepat-cepat pergi dari sana. Aku rasa mereka ketakutan. Terbahak aku dibuat mereka.
Langit kemerahan itu terlihat menyilaukan mata, pertanda bahwa sudah waktunya untuk pulang. Kami menghabiskan hampir seharian ini berada di Mall. Menunggu Sean bermain. Langkah kami baru saja keluar dari lift lantai bawah, berjalan bersisian. Sean berjalan di antara kami, dia berada di tengah. Sean mengucek kedua matanya agak lama. Pak Malik, menghentikan gerakan tangan Sean, ditangkapnya kedua tangan itu dan kemudian diangkatnya bocah itu ke dalam gendongannya. "Sean, ngantuk Bang, mau pulang," gumamnya pelan. Aku yang berdiri tepat di samping Pak Malik menepuk punggung kecil itu, berusaha merilekskan dia. Sean terlalu bersemangat menghabiskan harinya untuk bermain bersama sang kakak. Mungkin, baginya hari berharga ini tidak boleh dia lewatkan begitu saja. Jarang-jarang mereka berkumpul seperti ini. Itu yang dapat kusimpulkan saat Sean merajuk tadi. Sepertinya Pak Malik tak pernah punya waktu bermain bersama sang adik
Pukul setengah sembilan aku baru saja selesai sarapan pagi bersama Mama dan Alif. Mama berdiri membawa piring kotor ke dapur sedang Alif kulihat dia sudah duduk selonjoran di ambal, pandangannya berfokus pada pada banyak buku belajar di meja. Dia terlalu bersemangat untuk meraih cita-cita. Aku tersenyum memperhatikan ketekunannya. "Mbak! Alif mau jadi dokter kalau besar nanti. Supaya bisa ngobatin orang lain. Terus misalnya Mama sama Mbak sakit bisa Alif yang tanganin, enggak perlu bayar. Gratis ... tis ... tis!" ucapan Alif setahun yang lalu, sebulan setelah kepergian Papa. Alif bertekad mengejar cita-citanya menjadi seorang dokter. Dia merasa merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apapun untuk Papa hingga akhir hayatnya. Maka dari itu dia punya impian membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Tadi malam saat pulang ke rumah Mama sempat marah-marah karena aku tidak memberinya kabar dari pagi hingga malam, Alif kelihatan biasa saja, tapi se