Cahaya matahari merangkak masuk melalui celah jendela. Aku menutup kepala dengan bantal menghindari sinarnya. Rasa kantuk itu masih ada, aku beringsut duduk untuk mulai berolahraga kecil. Mulai dari menarik kepala ke kanan lalu ke kiri hingga terdengar suara patahan lalu selanjutnya kulakukan hal yang sama pada anggota tubuh lain seperti tangan dan pinggang.
Setelah selesai, aku beranjak dari tempat tidur menuju jendela. Menyibak gorden dan membuka jendela. Angin pagi menerpa wajah dan terasa menyejukkan.
Aku menghirup napas dalam lalu membuangnya, kulakukan berulang-ulang.
Aku menguap lalu memperhatikan jam di dinding kamar.
Dan,
Jam 9 pagi. Ingin berteriak rasanya namun kutahan. Aku berlari ke kamar mandi tak lupa membawa handuk yang tergantung di belakang pintu.
Sedikit doyong ke samping hampir jatuh namun posisi-ku jadi kembali ke semula saat berhasil menggapai tembok.
Hufft
Dengan kekuatan penuh kembali berlari ke kamar mandi untuk menyelesaikan ritual mandi dan lain-lain.
___
Saat menuruni anak tangga kedua terbawah, mataku mendapati Mama sedang menonton acara talkshow di televisi dan di tangannya remote."Ma, aku izin keluar, ya. Mau kerja," ucapku padanya sembari membenahi letak tas kecil yang agak melorot ke bawah.
Mama berdiri, menaruh remote di atas sofa. Menatapku kebingungan.
"Loh? Bukannya Sabtu sama Minggu kamu libur?" tanya Mama dengan wajah bingung. Aku mendekat padanya meraih tangan itu dan menyalaminya.
"Nanti aku jelasin, Ma. Sekarang lagi buru-buru takut telat soalnya!" ucapku pada Mama sembari berlari-lari kecil ke luar rumah. Mama kulihat masih berdiri di sana melihatku pergi dengan tatapan kebingungan.
Sebenarnya soal pekerjaan sampingan ini aku belum memberi tahu Mama dan Alif. Karena sering lupa saat ingin memberitahu. Tapi, tak apa akan ku jelaskan pada Mama selepas pulang bekerja nanti, agar tak terjadi salah paham. Dan mereka tak perlu khawatir dengan keadaanku.
Aku fokus berlari sambil sesekali mengecek jam tangan. Sepertinya bus sudah tak ada jam segini, akan lebih baik jika aku naik angkot saja. Dan, ngomong-ngomong tentang alamat sepertinya aku tak hafal dimana tempatnya.
Kuhentikan langkah saat sudah tiba di halte bus. Membawa tas ke dalam dekapanku untuk mencari kartu kecil petunjuk alamat rumah lelaki itu.
Aku memperhatikan alamat tertera pada kartu itu dan di sana tertulis komplek perumahan elit jalan bintang dengan nomor rumah 02. Dan sepertinya memang tak terlalu jauh dari sini.
Dari kejauhan mataku menangkap angkot yang akan segera lewat. Aku melambaikan tangan pada angkot itu tak lama kemudian kulihat angkot itu sudah berdiri di sisi jalan menungguku.
"Kemana, Dek?"
"Perumahan elit jalan bintang, ya, Pak!" ucapku 5 keras pada sang sopir karena suara bising di jalan mengganggu pendengaran.
"Oke, Dek! Naik!"
Kulangkahkan kaki menaiki angkot. Memegang sisi pintu angkot yang tak punya penutup. Pandanganku menyisir ke dalam angkot, ada beberapa orang yang sudah duduk di sana dan beruntungnya masih ada tempat kosong untuk diduduki.
Pandanganku beralih pada sisi jendela angkot, menggesernya sedikit agar angin bisa masuk dan tak terlalu pengap.
Angkot mulai berjalan, membelah jalanan padat. Aku duduk sembari mendekap ransel di depan badan. Dari dalam sini, kulihat matahari begitu terik walau masih pagi. Gerah terasa saat angkot mulai penuh menampung penumpang lainnya.
Yah, aku memang tak terlalu sering menggunakan angkot sebagai transportasi untuk pergi bekerja, lebih sering menggunakan bus karena memang lebih muat untuk banyak orang dan tak terlalu berdempetan. Tapi, kalau masalah gerah aku rasa tak terlalu bermasalah karena sudah biasa.
Sekitar 30 menit perjalanan akhirnya pak supir kembali menghentikan angkotnya.
"Dek, udah sampe di perumahan elit jalan bintang," katanya sembari menoleh ke belakang dan menatapku.
Cepat aku berdiri, memburu waktu karena jam sudah menunjuk angka setengah sepuluh. Mengambil uang pas dua lembar berjumlah sepuluh ribuan.
Aku menyerahkannya saat berdiri di sisi pintu angkot sopir.
"Makasih, Pak!"
"Iya, Dek sama-sama,"
Angkot kembali melaju meninggalkanku berdiri di pinggir jalan. Pemandangan perumahan elit memang sangatlah menakjubkan. Pagar kokoh dengan halaman rumah yang sangat luas juga terdapat sebuah gazebo. Ah, rumah idaman! Kapan aku bisa memilikinya?
Mimpi!
Aku mengelus dada entah untuk apa. Lalu menepuk kuat pipi dari kehaluan yag terlalu tinggi.
Langkahku berhenti di gerbang pagar bertuliskan nomor dua. Aku mendekat, pagar putih elegan itu sungguh bagus. Kalau saja pagarnya sudah sebagus ini pasti rumahnya lebih dari bagus dan pastinya menakjubkan ... mahalnya.
Aku menyentuh pagar. Mataku menangkap tulisan lainnya, yaitu Mahendra. Sudah kuduga, rumah ini benar milik sang CEO. Aku merapikan penampilan sebelum akhirnya menekan tombol hitam di tembok.
Gerbang terbuka. Memperlihatkan seorang Bapak dengan seragam khas security-nya, serta dengan topi hitam menutup kepalanya dan bapak itu kutaksir berusia 50 tahunan.
Dia mempersilakanku masuk. Aku sedikit membungkuk untuk berterima kasih padanya dan kulihat bapak itu menarik senyum lalu kembali menutup gerbang.
Kupercepat langkah agar lekas tiba di teras rumah besar elegan berwarna putih itu karena jarak dari gerbang untuk sampai ke rumah itu agak jauh.Sesampainya di depan pintu. Rasa lelah menyergap, karena jauh berjalan terburu-buru hanya untuk mencapai teras rumah.
Akhirnya sampai juga. Lirihku.
Duk
"Aw," Aku meringis memegang kepala yang terkena hantaman benda agak keras. Menoleh ke belakang, kutemukan seorang bocah berdiri di sisi tembok lainnya, dia terbahak melihatku jatuh terduduk di lantai. Aku yakin ini pasti bocah usil itu yang melempar bola padaku. Pandanganku beralih padanya, perawakan amburadul darinya membuatku yakin dia adalah bocah yang nakal.
Aku bersungut-sungut kesal.
Kepalaku sedikit berdenyut nyeri saat berdiri. Kuraih bola yang tergeletak tak jauh dariku. Lalu mendekap bola karet agak berat itu agar si bocah tak kembali berulah.
"Kamu, enggak boleh usil. Nanti, Mama kamu marah," kataku padanya. Kulihat bocah itu berdiri di sana, lalu tak lama kemudian dia berjongkok. Tangan kecil itu ditaruh di atas lutut, seperti sedang menangis?
Isak tangis terdengar keras. Aku buru-buru mendekat padanya memastikan dia baik-baik saja.
"Loh ... loh ... loh. Eh, maaf, Dek. Kamu kenapa nangis? Ada yang sakit?" tanyaku khawatir. Dia menengadahkan wajah memperhatikanku sendu.
"Nggak!" jawabnya. Lalu pandangannya berubah mengejek dan tertawa terbahak menatapku.
Aku menautkan alis, bingung dengannya. Jadi alasan dia menangis kenapa bambang?
Kok aku jadi kesal ya?
"Kena tipu ...wlee!"
Dia bangkit berdiri agak jauh dariku. Menggerakkan tangannya yang berada di telinga sembari menjulurkan lidah mengejekku.
Aku hanya bisa mengelus dada bersabar sembari menggelengkan kepala. Anak kecil memang seperti itu.
___
Halo semua, ketemu lagi dengan saya, jadi gimana menurut kalian cerita ini? Yang punya kritik dan sarannya boleh dong tinggalin jejak. Saya juga butuh masukan untuk cerita ini ke depannya, mohon bantuannya semua❤
Sampai jumpa di cerita selanjutnya, salam sayang elra❤
"Anak kecil memang seperti itu. Mereka memperlihatkan ke-bandel-an hanya untuk diperhatikan, mereka tak suka diabaikan." Suara bariton itu mengejutkanku. Spontan aku menoleh ke belakang. "Anu ...." Aku mengeratkan pegangan pada tali tas. Dalam situasi seperti ini ada rasa canggung menyergap. Laki-laki itu menatapku seperti biasa, dingin dan menyeramkan, setidaknya itu pendapat pribadiku. Tatapan dingin itu membuat nyaliku menciut. Aku sudah bersiap dengan konsekuensi hukuman jika saja itu terjadi. Alis tebal itu tertaut, dia berjalan melewatiku mendekati bocah laki-laki itu. "Perkenalkan Sean, umurnya 10 tahun, dia adik saya. Hari ini saya mau kamu menjaganya. Terserah, mungkin mau jalan-jalan atau bermain saya izinkan. Semuanya saya yang tanggung." Tangan kekar itu memegang bahu bocah laki-laki bernama Sean. Tak lama kulihat mengulas senyum pada si bocah. Adik? Sebentar ... sebentar. Sebelumnya lelaki ini mengatakan aku akan
Langit terlihat biru dengan awan putih berarak menjauh ke arah selatan. Angin berembus menyejukkan menerpa wajah. Kami baru saja tiba di pelataran Mall. Mengingat Sean ingin bermain banyak hal di sana, membuat Pak Malik tak dapat menolak permintaan adiknya itu. "Ayok!" Aku terkejut. Bagaimana tidak, tanganku ditarik paksa mengikuti langkah si bocah. Kulihat Sean juga melakukan hal yang sama dengan menarik tangan Pak Malik. Aku memandang bocah itu sekilas, terlihat rona kebahagiaan terpancar di wajah tampan-nya. Aku jadi ikut senang. Apa ini? Kenapa semua orang menatap kami? Dan, kenapa pipiku jadi memanas? Setiap orang yang kami lewati pasti berbisik-bisik tidak jelas, sebagian lagi berteriak histeris dan juga ada yang menatap tidak suka padaku. Lah? Salahku dimana? "Ih ganteng banget itu cowok, tapi kasian udah ada pasangannya." Samar, tapi masih bisa kudengar seorang wanita berbicara pada temannya. Tatapan sinis itu, dia arahka
Sebuah deheman terdengar, membuatku spontan melepaskan pelukan dari Arumi. Pak Malik berdiri di depan kami, aku mencari keberadaan Sean di dekatnya tapi tidak ada. Sepertinya bocah itu masih sibuk bermain. Daniel berdiri di sebelahku dia agak membungkukkan badan menghormati menghadap Pak Malik, begitu juga dengan Arumi. Entah kenapa tiba-tiba saja terasa formal seperti saat berada di kantor. "Sean bilang dia mau main sama kamu," katanya kemudian, tak lama dia kembali membalikkan badan lalu berjalan menjauhi kami. Begitu saja? Ya ampun singkat pada dan jelas. Inilah yang membuat karyawan kantor menganggapnya terlalu dingin dan menyeramkan. Aku menatap satu per satu mulai dari Arumi, rasa gugup menguasai keduanya, mereka memang belum terbiasa dengan sikap Pak Malik. Begitu pikirku. Aku izin pamit pada keduanya. Mereka mengangguk mengiyakan lalu cepat-cepat pergi dari sana. Aku rasa mereka ketakutan. Terbahak aku dibuat mereka.
Langit kemerahan itu terlihat menyilaukan mata, pertanda bahwa sudah waktunya untuk pulang. Kami menghabiskan hampir seharian ini berada di Mall. Menunggu Sean bermain. Langkah kami baru saja keluar dari lift lantai bawah, berjalan bersisian. Sean berjalan di antara kami, dia berada di tengah. Sean mengucek kedua matanya agak lama. Pak Malik, menghentikan gerakan tangan Sean, ditangkapnya kedua tangan itu dan kemudian diangkatnya bocah itu ke dalam gendongannya. "Sean, ngantuk Bang, mau pulang," gumamnya pelan. Aku yang berdiri tepat di samping Pak Malik menepuk punggung kecil itu, berusaha merilekskan dia. Sean terlalu bersemangat menghabiskan harinya untuk bermain bersama sang kakak. Mungkin, baginya hari berharga ini tidak boleh dia lewatkan begitu saja. Jarang-jarang mereka berkumpul seperti ini. Itu yang dapat kusimpulkan saat Sean merajuk tadi. Sepertinya Pak Malik tak pernah punya waktu bermain bersama sang adik
Pukul setengah sembilan aku baru saja selesai sarapan pagi bersama Mama dan Alif. Mama berdiri membawa piring kotor ke dapur sedang Alif kulihat dia sudah duduk selonjoran di ambal, pandangannya berfokus pada pada banyak buku belajar di meja. Dia terlalu bersemangat untuk meraih cita-cita. Aku tersenyum memperhatikan ketekunannya. "Mbak! Alif mau jadi dokter kalau besar nanti. Supaya bisa ngobatin orang lain. Terus misalnya Mama sama Mbak sakit bisa Alif yang tanganin, enggak perlu bayar. Gratis ... tis ... tis!" ucapan Alif setahun yang lalu, sebulan setelah kepergian Papa. Alif bertekad mengejar cita-citanya menjadi seorang dokter. Dia merasa merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apapun untuk Papa hingga akhir hayatnya. Maka dari itu dia punya impian membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Tadi malam saat pulang ke rumah Mama sempat marah-marah karena aku tidak memberinya kabar dari pagi hingga malam, Alif kelihatan biasa saja, tapi se
Sepanjang jalan menuju rumah Keluarga Mahendra tak bisa kuhilangkan rasa kesal ini. Merengut sepanjang jalan dan membuat Bapak-Slamet-sopir pribadi keluarga Mahendra, begitu saat dia memperkenalkan diri sepanjang jalan, protes dan tertawa pada ekspresiku yang sangat menyeramkan itu, katanya. Biarlah, Bapak itu tidak tahu apa kalau aku sedang kesal? Aku mencebik. Pandanganku beralih keluar jendela. Mobil barusaja memasuki gerbang, kami disambut oleh satpam yang kemarin kulihat. Dia masih mengenakan pakaian yang sama. Aku heran, apa mereka tidak ganti baju, atau punya baju seragam yang lain? Pertanyaan yang bagus. Mobil berhenti tepat di depan garasi. Pak Slamet menoleh padaku sembari tersenyum, aku yakin itu kode darinya agar segera keluar dan dia bisa memasukkan mobil ke dalam garasi segera. Aku mengeratkan pegangan pada tali tas, membuka pintu, beringsut ke luar mobil. Di depan teras seorang wanita paruh baya memyambutku,
"Malik enggak pernah suka bawa perempuan ke rumah. Baru kali ini dia bawa orang asing dan dengan senang menerima keberadaan orang baru di keluarga ini. Kamu, pasti istimewa buat Malik." Benarkah? Mana mungkin, bahkan dia itu sering menertawakanku saat aku gagal, juga tak berperasaan, kejam, dingin! Akan terlalu banyak jika disebutkan satu per satu. Bagaimana bisa wanita ini mengatakan bahwa aku itu spesial bagi Pak Malik. Itu adalah sebuah kebohongan besar. Wanita itu berdiri membelakangiku menghadap jendela yang terbuka sepenuhnya, gorden berwarna putih campur emosi itu bergerak ke kanan dan kiri. Dari belakang, kulihat rambut hitam miliknya berkibar diterpa angin. Saat pandanganku beralih pada foto di atas nakas. Wanita itu berbalik, berjalan mendekat padaku. Dia menyentuh bahuku, menuntun untuk duduk di atas ranjang berukuran besar yang kutebak ini adalah kamarnya. Besar dan sangat mewah dipenuhi denga
"Ayo." Singkat ucapan yang keluar dari bibirnya. Pak Malik duduk di sebelahku agar lebih mudah membantuku berdiri. Tangan kekar miliknya berada di bawah ketiak-ku, membantu berdiri enggan sekuat tenaga. "Badan aja yang kecil, tapi berat," sindirnya tepat di telingaku. Berat katanya? Padahal sebulan yang lalu timbangan berat badanku hanya sampai 55 Kg. Berat darimana-nya coba? Aku mencebik. "Sean bantu bawa tas aja ya. Dah, Sean tunggu di bawah!" Bocah itu berlari cepat keluar kamar. Lah, jadi kami ditinggal berdua? Tak sempat kutahan kepergian Sean. Dia melesat cepat keluar kamar. Ingin rasanya berjalan sendiri. Tapi kondisi fisikku tidak akan kuat menahan berat tubuh sendirian, apalagi harus menuruni tangga. Yang ada bisa-bisa nanti celaka. Aku pasrah saja dibantu oleh makhluk es ini. Entah kenapa setiap kali berduaan bersamanya seperti ini terasa canggung dan garing. Laki-laki macam apa sih dia ini, tidak