Sepanjang jalan menuju rumah Keluarga Mahendra tak bisa kuhilangkan rasa kesal ini. Merengut sepanjang jalan dan membuat Bapak-Slamet-sopir pribadi keluarga Mahendra, begitu saat dia memperkenalkan diri sepanjang jalan, protes dan tertawa pada ekspresiku yang sangat menyeramkan itu, katanya.
Biarlah, Bapak itu tidak tahu apa kalau aku sedang kesal?
Aku mencebik.
Pandanganku beralih keluar jendela. Mobil barusaja memasuki gerbang, kami disambut oleh satpam yang kemarin kulihat. Dia masih mengenakan pakaian yang sama. Aku heran, apa mereka tidak ganti baju, atau punya baju seragam yang lain? Pertanyaan yang bagus.
Mobil berhenti tepat di depan garasi. Pak Slamet menoleh padaku sembari tersenyum, aku yakin itu kode darinya agar segera keluar dan dia bisa memasukkan mobil ke dalam garasi segera.
Aku mengeratkan pegangan pada tali tas, membuka pintu, beringsut ke luar mobil.
Di depan teras seorang wanita paruh baya memyambutku,
"Malik enggak pernah suka bawa perempuan ke rumah. Baru kali ini dia bawa orang asing dan dengan senang menerima keberadaan orang baru di keluarga ini. Kamu, pasti istimewa buat Malik." Benarkah? Mana mungkin, bahkan dia itu sering menertawakanku saat aku gagal, juga tak berperasaan, kejam, dingin! Akan terlalu banyak jika disebutkan satu per satu. Bagaimana bisa wanita ini mengatakan bahwa aku itu spesial bagi Pak Malik. Itu adalah sebuah kebohongan besar. Wanita itu berdiri membelakangiku menghadap jendela yang terbuka sepenuhnya, gorden berwarna putih campur emosi itu bergerak ke kanan dan kiri. Dari belakang, kulihat rambut hitam miliknya berkibar diterpa angin. Saat pandanganku beralih pada foto di atas nakas. Wanita itu berbalik, berjalan mendekat padaku. Dia menyentuh bahuku, menuntun untuk duduk di atas ranjang berukuran besar yang kutebak ini adalah kamarnya. Besar dan sangat mewah dipenuhi denga
"Ayo." Singkat ucapan yang keluar dari bibirnya. Pak Malik duduk di sebelahku agar lebih mudah membantuku berdiri. Tangan kekar miliknya berada di bawah ketiak-ku, membantu berdiri enggan sekuat tenaga. "Badan aja yang kecil, tapi berat," sindirnya tepat di telingaku. Berat katanya? Padahal sebulan yang lalu timbangan berat badanku hanya sampai 55 Kg. Berat darimana-nya coba? Aku mencebik. "Sean bantu bawa tas aja ya. Dah, Sean tunggu di bawah!" Bocah itu berlari cepat keluar kamar. Lah, jadi kami ditinggal berdua? Tak sempat kutahan kepergian Sean. Dia melesat cepat keluar kamar. Ingin rasanya berjalan sendiri. Tapi kondisi fisikku tidak akan kuat menahan berat tubuh sendirian, apalagi harus menuruni tangga. Yang ada bisa-bisa nanti celaka. Aku pasrah saja dibantu oleh makhluk es ini. Entah kenapa setiap kali berduaan bersamanya seperti ini terasa canggung dan garing. Laki-laki macam apa sih dia ini, tidak
"Nada!" "Iya, Ma? " "Temen kamu datang, ayo keluar dulu. Katanya udah sehat." Perintah Mama dari luar kamar. Tanpa perlu banyak tanya lagi, aku beringsut dari kasur dan buru-buru memakai jaket untuk menutup baju dalam yang ketat. Pintu terbuka, sosok Mama sudah tidak ada. Mungkin sudah turun untuk membuat minuman untuk mereka. Aku mengintip dari atas melihat ke arah ruang tamu. Dua punggung yang membelakangi itu sangat familiar. Arumi dan Daniel mereka datang. Aku berhati-hati menuruni anak tangga, mengeratkan pegangan pada peyangga, agar tak jatuh. Kedatanganku disambut senang oleh keduanya. Mereka langsung berdiri sesaat setelah melihatku. Arumi menuntunku duduk di sofa ruang tamu. Matanya menerawang pada wajahku, menyentuh daguku lalu memiringkannya ke kanan lalu ke kiri, setelahnya dia berucap gelisah, "Enggak ada yang lecet kan?" Pertanyaan konyol darinya membuatku merasa kesal. Dia kira aku diapakan sa
Jam sudah menunjuk angka 5 petang. Warna mendung dominan menghias di cakrawala. Sepertinya akan hujan deras. Angin berembus kencang di luar sana, buktinya pohon di depan kantor bergoyang kuat. Aku mengamati dari dalam ruangan, lewat jendela. Tanganku berhenti merapikan berkas penting di atas meja saat panggilan dari Arumi terdengar. "Kenapa, Rum?" tanyaku padanya yang berjalan mendekat dengan berlari kecil ke meja kerjaku. Dia baru selesai beres-beres dan sepertinya akan langsung pulang. "Gue buru-buru, Nad! Duluan ya, dah! Semuanya gue duluan ya," ujarnya pada kami. Rafi dan Daniel kulihat mengangguk tanpa menoleh. Mungkin masih sibuk dengan pekerjaan. Gadis itu mempercepat larinya. Memutar hendel pintu lalu membukanya. Punggung itu sudah jauh, kulihat pintu ruangan dibiarkan tetap terbuka. Daniel melesat seperti angin. Dia dadah-dadah padaku entah untuk apa. Aku mencibir dalam hati. Pasti mencari kesempatan untuk me
"Kebetulan kamu bawa temen, Fi. Mama udah masak banyak, gimana kalo makan bareng?" tawar wanita itu. Ibu Rafi barusaja menduduki sofa, menghadap pada kami yang duduk agak berjauhan. Dia menatap aku dan Rafi satu per satu. Manik kelam miliknya terlihat berbinar cerah. Aku dan Rafi saling berpandangan sembari mengumbar senyum, canggung. Rafi menunggu jawabanku, sepertinya dia memintaku memberi jawaban akan pertanyaan ibunya. Aku meremas celana, ragu menjawabnya. Aku menepis anggapan menolak permintaan ini. Tidak baik menolaknya, tapi apa tidak merepotkan mereka? "Ah ... gimana ya, Tan. Saya takut merepotkan," ujarku pelan. Wanita itu menggeleng lalu berucap, "Enggak boleh nolak, ya. Tamu itu istimewa, Tante enggak merasa direpotkan sama kamu. Malahan seneng!" jawabnya antusias. Dia bangkit dari sofa menuju dapur. "Mau bantu Tante siapin makan malam?" Langkahnya terhenti sejenak. Wanita itu menoleh
POV RAFIAku selalu mengamatinya. Dari jauh saja, sebab tak pernah kuasa mendekat untuk sekedar berbincang ringan. Bukan, aku bukan pengecut yang tak berani menyapa, mengatakan bahwa sebenarnya hati ini terpaku pada sosoknya. Semua yang ada pada dirinya, membuatku tak bisa berpaling. Senyum ramah, kebaikan dan sikap barbar-nya mungkin? Yah, sulit mengalihkan hati ini. Bukan tanpa sebab aku mengaguminya. Sosok pemberani tanpa rasa takut di matanya, aku masih mengingat jelas pertama kali kami bertemu.***Tanganku gemetar meraih kacamata yang tergeletak jauh dari tempatku tersungkur. Lebam pada seluruh tubuh membuatku agak sulit untuk berdiri. Rasa sakit mendera saat aku mulai menggerakkan badan. Dua orang laki-laki yang umurnya di atasku itu tertawa, mereka berhasil membuatku babak belur dalam waktu singkat, mereka juga merampas tasku. Seragam abu-abu itu menandakan bahwa mereka duduk di bangku SMA. Darah segar mengalir dari
POV RAFI"Raf, nanti malam mau ke Bar bareng gak? Kebetulan lagi diskon harga di sana. Dan lo bisa diskon lebih gede lagi karena pelanggan baru?" ucap Erga, dia adalah salah satu teman yang sering berinteraksi denganku di kantor. Ramah dan dan terlihat nakal. Sering kali dia mengajakku untuk ikut dengannya ke Bar. Setiap itu pula selalu kutolak dengan alasan masih banyak pekerjaaan yang belum kuselesaikan. Padahal nyatanya tidak, aku hanya menghindar karena tidak suka keramaian, apalagi Bar itu bukannya tempat yang menyajikan minuman beralkohol seperti beer, wine, liquer, serta lengkap dengan diskotik? Aku sama sekali tidak tertarik. "Rugi ....!" Tak kupedulikan lagi ucapannya. Melenggang pergi setelah selesai melaksanakan ritual membuang air kecil dan mencuci tangan. Memutar hendel pintu, lalu melihat sekitaran. Tadi setelah mengantar berkas pada Pak Amri, aku mampir ke toilet untuk menyelesaikan hajat.
POV NADABagian cerita mana yang ingin kamu perbaiki?Kalau bisa bagian paling menyakitkan ingin kulupakan selamanya.Tapi, kenangan menyakitkan itu berharga. Sebab tak bisa kulupakan semua cerita penuh kasih sayang tentang orang tercinta. . Hujan lebat mengguyur bumi. Aroma petrikor merambat indra penciuman. Entah kenapa rasanya banyak hal melintas di pikiran. Aku menggerutu kesal karena sampai sekarang belum bisa tertidur nyenyak. Wajah menyeramkan miliknya kembali membayangi isi kepala. Aku mendekap bingkai foto, merebahkan kepala di atas bantal. Lintas ingatan kembali terbayang, pandanganku menerawang langit-langit kamar. "Nada, Papa minta maaf sampai sekarang belum jadi yang terbaik buat kalian." Suara Papa kala itu bergetar. Penyakit komplikasi membuatnya harus terbaring lemah di ranjang rumah sakit, selang-selang yang menempel di tubuhnya itu sungguh membuat hatiku teriris. Pedih rasanya melihat Papa seperti ini. Ak