"Kebetulan kamu bawa temen, Fi. Mama udah masak banyak, gimana kalo makan bareng?" tawar wanita itu.
Ibu Rafi barusaja menduduki sofa, menghadap pada kami yang duduk agak berjauhan. Dia menatap aku dan Rafi satu per satu. Manik kelam miliknya terlihat berbinar cerah.
Aku dan Rafi saling berpandangan sembari mengumbar senyum, canggung.
Rafi menunggu jawabanku, sepertinya dia memintaku memberi jawaban akan pertanyaan ibunya.
Aku meremas celana, ragu menjawabnya.
Aku menepis anggapan menolak permintaan ini. Tidak baik menolaknya, tapi apa tidak merepotkan mereka?
"Ah ... gimana ya, Tan. Saya takut merepotkan," ujarku pelan. Wanita itu menggeleng lalu berucap,
"Enggak boleh nolak, ya. Tamu itu istimewa, Tante enggak merasa direpotkan sama kamu. Malahan seneng!" jawabnya antusias. Dia bangkit dari sofa menuju dapur.
"Mau bantu Tante siapin makan malam?" Langkahnya terhenti sejenak. Wanita itu menoleh
POV RAFIAku selalu mengamatinya. Dari jauh saja, sebab tak pernah kuasa mendekat untuk sekedar berbincang ringan. Bukan, aku bukan pengecut yang tak berani menyapa, mengatakan bahwa sebenarnya hati ini terpaku pada sosoknya. Semua yang ada pada dirinya, membuatku tak bisa berpaling. Senyum ramah, kebaikan dan sikap barbar-nya mungkin? Yah, sulit mengalihkan hati ini. Bukan tanpa sebab aku mengaguminya. Sosok pemberani tanpa rasa takut di matanya, aku masih mengingat jelas pertama kali kami bertemu.***Tanganku gemetar meraih kacamata yang tergeletak jauh dari tempatku tersungkur. Lebam pada seluruh tubuh membuatku agak sulit untuk berdiri. Rasa sakit mendera saat aku mulai menggerakkan badan. Dua orang laki-laki yang umurnya di atasku itu tertawa, mereka berhasil membuatku babak belur dalam waktu singkat, mereka juga merampas tasku. Seragam abu-abu itu menandakan bahwa mereka duduk di bangku SMA. Darah segar mengalir dari
POV RAFI"Raf, nanti malam mau ke Bar bareng gak? Kebetulan lagi diskon harga di sana. Dan lo bisa diskon lebih gede lagi karena pelanggan baru?" ucap Erga, dia adalah salah satu teman yang sering berinteraksi denganku di kantor. Ramah dan dan terlihat nakal. Sering kali dia mengajakku untuk ikut dengannya ke Bar. Setiap itu pula selalu kutolak dengan alasan masih banyak pekerjaaan yang belum kuselesaikan. Padahal nyatanya tidak, aku hanya menghindar karena tidak suka keramaian, apalagi Bar itu bukannya tempat yang menyajikan minuman beralkohol seperti beer, wine, liquer, serta lengkap dengan diskotik? Aku sama sekali tidak tertarik. "Rugi ....!" Tak kupedulikan lagi ucapannya. Melenggang pergi setelah selesai melaksanakan ritual membuang air kecil dan mencuci tangan. Memutar hendel pintu, lalu melihat sekitaran. Tadi setelah mengantar berkas pada Pak Amri, aku mampir ke toilet untuk menyelesaikan hajat.
POV NADABagian cerita mana yang ingin kamu perbaiki?Kalau bisa bagian paling menyakitkan ingin kulupakan selamanya.Tapi, kenangan menyakitkan itu berharga. Sebab tak bisa kulupakan semua cerita penuh kasih sayang tentang orang tercinta. . Hujan lebat mengguyur bumi. Aroma petrikor merambat indra penciuman. Entah kenapa rasanya banyak hal melintas di pikiran. Aku menggerutu kesal karena sampai sekarang belum bisa tertidur nyenyak. Wajah menyeramkan miliknya kembali membayangi isi kepala. Aku mendekap bingkai foto, merebahkan kepala di atas bantal. Lintas ingatan kembali terbayang, pandanganku menerawang langit-langit kamar. "Nada, Papa minta maaf sampai sekarang belum jadi yang terbaik buat kalian." Suara Papa kala itu bergetar. Penyakit komplikasi membuatnya harus terbaring lemah di ranjang rumah sakit, selang-selang yang menempel di tubuhnya itu sungguh membuat hatiku teriris. Pedih rasanya melihat Papa seperti ini. Ak
Aku memaki dalam hati. Melihat lembaran tugas yang harus diselesaikan begitu banyak. Yakin sekali, jika tidak akan selesai jika kukerjakan di kantor. Aku paling anti lembur sampai tengah malam, selain takut dengan makhluk astral penghuni di sini, juga tidak ingin Mama dan Alif khawatir di rumah menunggu pulang. Jam sudah menunjuk pukul enam sore. Kami semua masih terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing, suasana ruangan sepi tanpa ada obrolan. Aku berdehem. "Napa Nad?" Daniel bertanya sembari menguap, dia menaikkan tangannya, merilekskan badan sepertinya. "Capek," keluhku padanya. Dia tergelak setelah mendengar pengakuan-ku. Orang mengeluh malah diketawain, kurang waras memang si Daniel itu. Aku mencebik. Menaikkan sebelah bibir menatapnya sinis. Lain kali saat mengeluh lagi tidak akan kuberitahu padanya. Kualihkan pandangan sekilas setelah menyeka sudut mata, menekan pangkal hidung dengan tangan
"Kamu tau?" Pak Malik menjeda, dia menatapku serius. Lalu tak lama berbalik, dia berjalan mendahuluiku. "Ganggu orang itu adalah salah satu kerjaan yang menyenangkan!" serunya. Manik itu menatap tajam lalu tak lama menyipit karena tertawa. Sungguh, bisakah kulempar saja kepalanya dengan tas berat ini supaya dia sadar kalau dia itu menyebalkan? Perlakuannya sungguh membuatku muak. "Bapak pikir itu lucu?" Aku menggigit bibir bawah. Mengejarnya, berusaha mensejajarkan langkah kami. Mengamati wajahnya dari samping. Alisnya kelihatan naik turun, mulutnya komat-kamit. Entah apa yang dia bicarakan, sedang aku fokus mengamatinya. Setelah keluar dari pagar pembatas. Di luar aku menemukan mobil sedan hitam mengkilap itu lagi ... mobil yang sangat mirip saat aku berada di rumah Rafi. Hahaha. Mana mungkin Pak Malik mengikutiku sampai ke rumah Rafi. Kurang kerjaan mungkin dia. Tapi ... bisa jadi juga. Aku
Di sebuah kafe bertuliskan Atlas, kami berhenti. Poster yang tertera di atas sana terlihat menggugah selera. Berbagai macam olahan makanan ada yang familiar dan juga asing, mungkin makanan dari lokal juga luar negeri. Melihat harga yang terpampang di sebelah menu yang cukup mahal itu aku langsung mengelus dada. Kaget. Jadi begini rasanya kalau diajak oleh orang kaya. Mampirnya ke restoran yang harganya tak terjangkau untuk kantong orang sepertiku. Uang yang kubawa tidak lebih dari dua puluh ribuan. "Pak," Aku meringis sembari menggaruk tengkuk. "Hm?" Lelaki itu menolehkan pandangan padaku. "Saya nggak punya duit banyak buat makanan di sini, bisa nggak pindah ke tempat lain aja? Yang lebih sederhana gitu?" "Yang bilang kamu bayar, siapa? Saya yang traktir. Ayo masuk," katanya lagi. Setelahnya, lelaki itu melangkahkan kaki memasuki teras kafe dan tidak menoleh lagi padaku.
"Terlalu banyak motif," "Terlalu simpel," "Gak enak dilihat," "Coba lihat yang lain," Satu kali lagi dia bilang begitu akan kupukul kepalanya. Andai saja, andai. Memikirkannya saja sudah membuatku geram setengah hidup. Aku menanggapinya dengan senyum tertahan dari tadi. Terus menarik bibir dan mengakibatkan pipi ini kaku. Untung saja sabar. Sudah siap sedia kantong kesabaran bergentong-gentong ini. Aku memiringkan kepala ke sebelah kiri, terus mencari kira-kira mana kalung paling indah dan menawan, setidaknya begitu menurut Pak Malik. Kulihat lelaki itu serius menyipitkan matanya ke dalam kaca di mana berbagai macam bentuk kalung berada. Mungkin agar penglihatannya lebih jelas. Dia berseru tatkala aku ingin menolehkan pandangan ke sisi lain, lumayan terkejut dibuatnya. Kini penjual wanita itu yang beraksi. Tahu saja kalau ada yang ganteng. Aku mencebik sembari menyilangkan tan
Matahari terlihat menyilaukan tatkala kutengadahkan kepala. Aku tiba di halaman rumah megah itu tepat pukul sembilan. Jaket denim dengan baju dalaman kaus cream dipadukan dengan celana kain hitam yang kugunakan saat ini terlihat tidak terlalu mencolok, syukurlah. Padahal tadi aku buru-buru mengambil baju apa saja yang kulihat. Tak peduli cocok atau tidak yang penting cepat selesai dan cepat pergi, karena aku bangun terlambat sekitar jam setengah sembilan. Tadi malam setelah mengakhiri panggilan dari Pak Malik, Arumi mengajakku untuk melakukan video call sampai tengah malam dan ternyata Daniel juga ikut. Aneh, tidak biasanya mereka mengajakku sekalian untuk video call. Baru saja ingin menekan bel, tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan tepukan di bahu. Tersentak aku dibuatnya, menoleh ke belakang kulihat Pak Dani--satpam rumah ini menunjuk ke dalam sana. Dan, kulihat juga Pak Slamet berdiri di sana dengan tangannya menggantung di udara.