Di sebuah kafe bertuliskan Atlas, kami berhenti. Poster yang tertera di atas sana terlihat menggugah selera.
Berbagai macam olahan makanan ada yang familiar dan juga asing, mungkin makanan dari lokal juga luar negeri.
Melihat harga yang terpampang di sebelah menu yang cukup mahal itu aku langsung mengelus dada. Kaget. Jadi begini rasanya kalau diajak oleh orang kaya. Mampirnya ke restoran yang harganya tak terjangkau untuk kantong orang sepertiku.
Uang yang kubawa tidak lebih dari dua puluh ribuan.
"Pak," Aku meringis sembari menggaruk tengkuk.
"Hm?" Lelaki itu menolehkan pandangan padaku.
"Saya nggak punya duit banyak buat makanan di sini, bisa nggak pindah ke tempat lain aja? Yang lebih sederhana gitu?"
"Yang bilang kamu bayar, siapa? Saya yang traktir. Ayo masuk," katanya lagi.
Setelahnya, lelaki itu melangkahkan kaki memasuki teras kafe dan tidak menoleh lagi padaku. <
"Terlalu banyak motif," "Terlalu simpel," "Gak enak dilihat," "Coba lihat yang lain," Satu kali lagi dia bilang begitu akan kupukul kepalanya. Andai saja, andai. Memikirkannya saja sudah membuatku geram setengah hidup. Aku menanggapinya dengan senyum tertahan dari tadi. Terus menarik bibir dan mengakibatkan pipi ini kaku. Untung saja sabar. Sudah siap sedia kantong kesabaran bergentong-gentong ini. Aku memiringkan kepala ke sebelah kiri, terus mencari kira-kira mana kalung paling indah dan menawan, setidaknya begitu menurut Pak Malik. Kulihat lelaki itu serius menyipitkan matanya ke dalam kaca di mana berbagai macam bentuk kalung berada. Mungkin agar penglihatannya lebih jelas. Dia berseru tatkala aku ingin menolehkan pandangan ke sisi lain, lumayan terkejut dibuatnya. Kini penjual wanita itu yang beraksi. Tahu saja kalau ada yang ganteng. Aku mencebik sembari menyilangkan tan
Matahari terlihat menyilaukan tatkala kutengadahkan kepala. Aku tiba di halaman rumah megah itu tepat pukul sembilan. Jaket denim dengan baju dalaman kaus cream dipadukan dengan celana kain hitam yang kugunakan saat ini terlihat tidak terlalu mencolok, syukurlah. Padahal tadi aku buru-buru mengambil baju apa saja yang kulihat. Tak peduli cocok atau tidak yang penting cepat selesai dan cepat pergi, karena aku bangun terlambat sekitar jam setengah sembilan. Tadi malam setelah mengakhiri panggilan dari Pak Malik, Arumi mengajakku untuk melakukan video call sampai tengah malam dan ternyata Daniel juga ikut. Aneh, tidak biasanya mereka mengajakku sekalian untuk video call. Baru saja ingin menekan bel, tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan tepukan di bahu. Tersentak aku dibuatnya, menoleh ke belakang kulihat Pak Dani--satpam rumah ini menunjuk ke dalam sana. Dan, kulihat juga Pak Slamet berdiri di sana dengan tangannya menggantung di udara.
"Malik! Sean!" Suara itu sukses membuat kami terkejut. Cepat-cepat aku menoleh ke belakang, melihat apa gerangan kiranya yang membuat ibu Pak Malik berteriak. Pak Malik kutebak sama paniknya. Terbukti dia langsung menjatuhkan kardus di tangannya dan langsung berlari menghampiri sang ibu. Aku menyusulnya. Setengah berlari hingga akhirnya sampai juga. "Kenapa, Tante?" "Tikus," Wanita itu menunjuk ke dalam bagasi mobil. Benar saja, seekor tikus ada di sana, dengan santainya dia menaiki kardus yang tersusun rapi. Sepertinya tikus itu tidak takut manusia. Karena aku tidak geli ataupun takut dengan makhluk tersebut. Dua langkah mendekat kuambil kemoceng yang ada di dalam bagasi. Jangan tanya untuk apa fungsinya. Sudah pasti mengusir tikus itu. Aku menakutinya dengan mendekatkan kemoceng itu padanya, dengan memukul pelan, tak sampai hati jika harus menyakitinya. Tak lama akhinya tikus itu pergi. Melom
Aku mendelik. Sesekali membuang napas kasar, memijit pelipis dan berakhir dengan menggerutu sendiri dalam hati. "Eh, Nad? Apa kabar?" Daniel barusaja tiba. Pintu ruangan dia geser hingga terbuka lebar. Bisa kulihat walaupun dalam posisi menunduk. Kuangkat wajah, menatapnya sinis. Lelaki itu sudah dadah-dadah manja padaku. Dia sepertinya minta ditabok. Aku sedang sakit kepala hari ini. Untungnya tak lupa membeli koyo saat kemari, kutaruh di dahi untuk menghilangkan rasa sakit yang menyergap kepala. Belum lagi dengan hidungku yang sejak malam bersin-bersin. Bertambah sudah penderitaanku hari ini. Berkat kemarin hujan-hujanan pergi bersama Alif membeli jajanan di pinggir kota. Membuat kami pulang dengan keadaan basah kuyup karena tak sanggup lagi menunggu lebih lama. Alif, kulihat dia baik saja, tak ada yang salah dengan tubuhnya, tapi kenapa hanya aku yang demam? Padahal kami sama-sama kehujanan. Sepertinya daya tahan tubuh bocah itu lebih bagus d
"Bapak! Loh ngapain sampe di sini?" Aku mengamati lelaki itu untuk sesaat, bus yang kami tumpangi sudah melaju pelan. "Kenapa?" "Bukannya punya mobil? Kenapa nggak pake itu saja buat pulang?" "Sesekali saya juga mau naik kendaraan umum. Lalu kenapa kamu harus protes? Padahal ini untuk umum?" tanyanya. Seketika pertanyaan darinya membuatku mengatupkan bibir rapat-rapat menelan kekesalan. Aku menghela napas kasar. Tak ingin bertanya lebih dalam. Mengedarkan pandangan, sekilas kulihat banyak penumpang ibu-ibu dan anak gadis yang berbisik dengan teman duduk di sebelahnya. Mungkin kehadiran Pak Malik alasannya. Lelaki dengan tatapan tajam itu, terlihat tak peduli saat aku kembali menoleh padanya. Kuarahkan pandangan ke arah lain, asalkan tidak menatapnya saja. Duduk di kursi bagian tengah dengan kedua tangan menyilang. Tak lama kudengar deheman darinya. Aku menoleh sebentar tanpa
"Saya bahkan belum pernah lihat dia seceroboh ini," kata Mama, entah kenapa Mama jadi sering membuka aibku di depan Pak Malik. Spontan aku menoleh pada Mama dengan tatapan tak suka. "Iya, benar, Tan." Mama ikut tersenyum setelah mendengar lelaki itu berbicara. Wanita itu menaruh piring di atas meja. Aku mencebik. Lelaki itu tampak menarik kursi meja untuk dia duduki. Setelahnya pandangan menyebalkan itu lagi-lagi dia perlihatkan. Aku mendelik sinis. Mengumpat sejadi-jadinya dalam hati. Dia duduk di kursi yang langsung menghadap ke dapur. Satu meja berwarna cokelat tua yang memanjang dengan 6 kursi yang tersedia di sana sudah tersedia berbagai macam makanan. Dia tidak tahu apa kalau aku itu grogi? Gara-gara pergerakanku diawasi olehnya, aku jadi kurang fokus. Dan itu menyebabkan kue yang kuletakkan di atas meja jadi berantakan bentuknya karena terpeleset jatuh dari tanganku. Aku membereskannya cepat. Kue
Pagi ini langit dihiasi awan cirrus. Langkahku berhenti tepat di gerbang dengan nama Panti Asuhan Kasih Bunda. Di bawah pohon ketapang itu seorang wanita berkerudung tengah duduk dikelilingi oleh para anak-anak yang mana mereka menoleh saat aku menggeser gerbang. Ternyata suara berisik dari gerbang mengejutkan mereka. Dua orang gadis kecil mendekat padaku. Alea dan Syana, gadis yang usianya belum genap 14 tahun. Dua orang yang paling sering berinteraksi denganku saat datang ke sini. Hari ini aku memang menyempatkan diri mampir ke panti. Setelah lama tak pernah datang lagi karena setiap harinya sibuk bekerja dan tak ada waktu untuk libur Berniat untuk menyapa lagi para anak-anak panti, membawa sedikit cemilan dan pakaian yang mungkin nantinya bisa mereka pakai. Tujuan utamaku kemari adalah untuk kembali mengenang almarhum Papa. Mengenang lewat kenangan saat bagaimana Papa dengan ra
"Pak Malik udah dua minggu nggak ada kabar. Gimana menurut lo, Nad?" Aku yang baru saja mengalihkan pandangan ke luar jendela kantor dikejutkan dengan keberadaan Arumi yang tiba-tiba sudah ada di seberang meja. Arumi menatapku lekat sembari menyandarkan tangannya pada kursi di seberang meja. Seperti sedang berpikir. Sambil memainkan jemarinya di sana. "Gue juga nggak tau, Rum," jawabku. Hal itu membuat gadis itu menatap tak percaya padaku. "Bukannya lo dekat sama dia?" Dekat katanya. Aku tertawa hambar sembari menggelengkan kepala. Hubungan kami tidaklah lebih dari majikan dan pembantu. Juga bos dan karyawan. Mana bisa dibilang dekat. "Mungkin ada tugas di luar kota." Lelaki itu menggedik. Daniel ikut menyambar. Dia melewati meja kerjaku dengan setumpuk lembaran di kedua tangannya. Bisa kulihat bagaimana ekspresinya yang sedang menahan berat. Seperti orang sesak boker. Ya, persis se