"Saya bahkan belum pernah lihat dia seceroboh ini," kata Mama, entah kenapa Mama jadi sering membuka aibku di depan Pak Malik. Spontan aku menoleh pada Mama dengan tatapan tak suka.
"Iya, benar, Tan."Mama ikut tersenyum setelah mendengar lelaki itu berbicara. Wanita itu menaruh piring di atas meja.
Aku mencebik.
Lelaki itu tampak menarik kursi meja untuk dia duduki. Setelahnya pandangan menyebalkan itu lagi-lagi dia perlihatkan.
Aku mendelik sinis. Mengumpat sejadi-jadinya dalam hati.
Dia duduk di kursi yang langsung menghadap ke dapur. Satu meja berwarna cokelat tua yang memanjang dengan 6 kursi yang tersedia di sana sudah tersedia berbagai macam makanan.
Dia tidak tahu apa kalau aku itu grogi? Gara-gara pergerakanku diawasi olehnya, aku jadi kurang fokus. Dan itu menyebabkan kue yang kuletakkan di atas meja jadi berantakan bentuknya karena terpeleset jatuh dari tanganku.
Aku membereskannya cepat. Kue
Pagi ini langit dihiasi awan cirrus. Langkahku berhenti tepat di gerbang dengan nama Panti Asuhan Kasih Bunda. Di bawah pohon ketapang itu seorang wanita berkerudung tengah duduk dikelilingi oleh para anak-anak yang mana mereka menoleh saat aku menggeser gerbang. Ternyata suara berisik dari gerbang mengejutkan mereka. Dua orang gadis kecil mendekat padaku. Alea dan Syana, gadis yang usianya belum genap 14 tahun. Dua orang yang paling sering berinteraksi denganku saat datang ke sini. Hari ini aku memang menyempatkan diri mampir ke panti. Setelah lama tak pernah datang lagi karena setiap harinya sibuk bekerja dan tak ada waktu untuk libur Berniat untuk menyapa lagi para anak-anak panti, membawa sedikit cemilan dan pakaian yang mungkin nantinya bisa mereka pakai. Tujuan utamaku kemari adalah untuk kembali mengenang almarhum Papa. Mengenang lewat kenangan saat bagaimana Papa dengan ra
"Pak Malik udah dua minggu nggak ada kabar. Gimana menurut lo, Nad?" Aku yang baru saja mengalihkan pandangan ke luar jendela kantor dikejutkan dengan keberadaan Arumi yang tiba-tiba sudah ada di seberang meja. Arumi menatapku lekat sembari menyandarkan tangannya pada kursi di seberang meja. Seperti sedang berpikir. Sambil memainkan jemarinya di sana. "Gue juga nggak tau, Rum," jawabku. Hal itu membuat gadis itu menatap tak percaya padaku. "Bukannya lo dekat sama dia?" Dekat katanya. Aku tertawa hambar sembari menggelengkan kepala. Hubungan kami tidaklah lebih dari majikan dan pembantu. Juga bos dan karyawan. Mana bisa dibilang dekat. "Mungkin ada tugas di luar kota." Lelaki itu menggedik. Daniel ikut menyambar. Dia melewati meja kerjaku dengan setumpuk lembaran di kedua tangannya. Bisa kulihat bagaimana ekspresinya yang sedang menahan berat. Seperti orang sesak boker. Ya, persis se
Sepintas saat melewati koridor ruangan. Punggung tegap membelakangi itu tampak familiar bagiku. Dia sedang sibuk berbincang dengan seseorang yang aku yakin penting. Dilihat dari caranya menatap agak segan. Hingga akhirnya bayangan kedua lelaki itu menghilang saat pintu lift tertutup. Aku terdiam. Sepertinya sekilas tadi mata kami saling terpaut. Aku yakin dia melihatku di sini. Tapi ... kenapa rasanya tatapan miliknya terasa begitu asing? Seperti tidak saling mengenal satu sama lain. Rasanya seperti itu. Aku berjalan melewati lurus. Berniat mampir untuk mengambil beberapa cangkir kopi di sini. "Mau dibantu?" Suara bariton itu mengagetkan lamunanku. Kudongakkan kepala melihat siapa pemiliknya. Rafi. Aku sedikit tergagap saat satu tangannya mengambil cangkir kopi di tanganku. Dan satu cangkir lagi dia ambil dari mesin itu saat sudah terisi penuh. Kulihat lelaki itu mengulas senyum. Tipis namun manis.
Aku berteriak kencang padanya. Berharap lelaki itu mengakhiri kegilaannya. Namun nyatanya semakin aku berteriak, semakin senang dia membuatku takut. Dia tertawa sinis sambil memperhatikan bagaimana raut wajahku yang begitu ketakutan. Itulah kenapa aku tidak menyukainya. Lelaki ini membuatku gila. "Stop Tama! Stop!" Kukuatkan pegangan pada kedua sisi bangku mobil agar tak ikut terantuk ke dasboard mobil. Menahan napas yang ikut memburu saat melihat jalan di depan terlewati dengan begitu cepat. Tanpa terasa airmata sudah menganak sungai di sudut mata. Tinggal menunggu jatuh saja. Isak tangisku tercekat. Tenggorokanku sakit karena dari tadi berteriak histeris. "Kenapa takut?" Dia berucap datar seolah tak terjadi apa-apa. Sedang aku gemetaran setengah mati. Memang benar-benar sialan. Laju mobil dipelankan. Aku sedikit bersyukur karena hal itu. Melihat bagaimana tangannya terulur mencapai tanganku. Kutepi
"Maaf ...." Berulang kali kuucapkan kata itu padanya. Merasa bersalah karena telah melibatkan Pak Malik dengan masalah pribadiku dan membuatnya terluka. Ada yang teriris kala melihatnya berbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan banyak selang menempel di tubuh itu untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Tanganku menyentuh kaca tembus pandang di mana lelaki itu sedang ditangani oleh para dokter. Luruh kakiku ke lantai. Menggumamkan kata maaf, berulang kali.ĺ Hanya bisa berdoa semoga saja lelaki itu cepat bangun dari tidurnya. Tiga jam sudah aku menunggu. Jam tangan hampir menunjukkan pukul 24:00. Sudah hampir pagi dan operasinya belum juga selesai. Aku sudah menelpon ibunya Pak Malik, mengatakan kejadian yang sebenarnya terjadi. Mereka sedang dalam perjalanan kemari. Aku tidak tahu menjelaskan bagaimana. Takut keluarga itu membenciku karena sudah membuat Pak Malik celaka lalu mereka a
Di atas sana, langit kelihatan cerah. Aku sedikit menyipitkan mata saat mendongak akibat sinar matahari yang terlalu terang. Aku baru saja tiba di halaman rumah sakit setelah turun dan membayar ojek online tadi. Satu set buah-buahan kubawa di tangan. Sengaja kubeli untuknya sebagai tanda terima kasih karena dia sudah membantuku tadi malam. Mungkin tanpa bantuannya entah seperti apa nasibku sekarang. Tak bisa kubayangkan. Aku mengbuang napas kasar sebelum melangkahkan kaki masuk ke rumah sakit. Berjalan masuk ke dalam lift hingga akhirnya menyusuri lorong demi lorong untuk sampai ke ruangan tempatnya berada sekarang. Lantai 8 ruangan nomor 144. Aku terus mengulang kata yang sama agar tak lupa. Kebiasaan yang sangat sulit dihilangkan meski sudah diusahakan agar tak lupa. Aku hanya tak ingin nyasar di rumah sakit yang terlalu banyak ruangan ini. Ruangan yang disebut ibunya Pak Malik pukul lima pagi untuk memberitahu kond
"Kamu tahu? Harusnya jam segini udah pulang?" Suara bariton itu mengejutkan lamunanku. Pak Malik berdiri di depan pintu ruangan kerja. Dia berjalan mendekati meja kerjaku, dimana aku masih sibuk mengerjakan tugas kantor yang belum selesai. Hari ini memang aku berniat lembur. Arumi bilang dia ada acara keluarga jadi pulang duluan begitu juga dengan Daniel yang minta maaf tak bisa menemaniku. Sedang Rafi hari ini tak masuk bekerja. Izin tidak masuk kudengar, tapi tidak tahu alasannya. Sebuah cangkir berukuran telapak tangan dia sodorkan padaku. Tangannya menggeret kursi ke belakang untuk duduk. Manik kelam itu menatapku, lekat. Buru-buru kupalingkan wajah ke sisi lain. "Sudah makan?" tanyanya. Aku menggeleng lemah. Tak ada yang bisa diminta bantu untuk membeli makanan. Aku juga sedang sibuk mengerjakan tugas. Jadi, nanti saja saat pulang makannya. Pikirku. "Jangan terlalu memaksakan diri. Kal
Dua hari lalu Pak Malik mengirimkan pesan padaku untuk mengajak bertemu di sebuah kafe. Aku juga tidak mengerti untuk apa. Dan yang paling menyebalkan darinya adalah, lelaki itu mengancamku dengan embel-embel yang biasa dia gunakan pada saat jam bekerja. 'Pecat'. Tak asing lagi, tapi masih sangat menyebalkan jika mendengarnya. Yah ... mau tidak mau aku menerimanya. Padahal kalau saja tidak diancam pun aku juga akan datang. Sebenarnya aku agak aneh dengan pertemuan hari ini. Padahal kami sering bertemu tanpa sengaja di kantor atau di mana saja. Tapi, karena pertemuan ini adalah yang sudah direncanakan, olehnya. Entah kenapa rasanya sangat aneh. Pikiranku mengatakan bahwa ini adalah sebuah kencan. Terdengar seperti ... ah, aku juga tidak mengerti harus bilang apa. Memikirkannya saja cukup membuatku bergidik ngeri, tentang apa yang sebenarnya sudah dia rencanakan. Pasti ada alasan lelaki itu mengajakku untuk bertemu. Ah
Setelah melewati berjam-jam perjalanan. Kini Malik tiba di depan halaman rumah sakit. Sebelumnya Kyla telah ia titipkan pada Rama. Awalnya gadis itu meminta ingin ikut, tapi Malik menolak karena tak ingin membuat Kyla kembali kambuh sakitnya. Sebab gadis itu baru saja sembuh. Langkah kakinya lebar-lebar saat memasuki pintu otomatis. Dalam kekalutan, hanya ada satu nama yang terus digaungkan di hatinya. Nama yang terus melekat kuat, hingga meski datang padanya adalah hal yang sungguh sulit, akan tetap dilewati Malik. Semuanya hanya demi satu nama ....... Nada. Tangannya menekan tombol lift. Diketuknya beberapa kali sepatu pada lantai keramik. Dipijatnya pangkal hidung demi meredakan pusing yang mendera. Malik mendongakkan wajah, nomor yang tertera di atas sana masih terlalu jauh untuk tiba ke lantai satu. Sialan. Tak ada waktu. Umpat Malik. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju tangga darurat. Lantai 4
Hari ini setelah berbicara dengan dokter tentang kepulangan mereka ke Indonesia, Malik sudah menyiapkan segalanya agar bisa segera pulang ke tanah air. Ia meminta asistennya-Rama--untuk menyiapkan keperluan ini dan itu. Termasuk membayar seluruh biaya rumah sakit Kyla.Setelah drama yang cukup lama dan menguras emosi dengan Tante Anin dan Sarah yang berkeras menahannya untuk tetap tinggal di rumah sakit lebih lama, akhirnya dengan persetujuan dari Irish sendiri Malik bisa pulang tanpa harus lebih lama meladeni dua wanita menyebalkan itu. Sepertinya sekarang, Irish itu jauh lebih baik dibandingkan mereka berdua. Pikir Malik.Bandara.Kyla sudah bersiap dengan kursi rodanya. Gaun selutut yang dikenakan gadis itu terlihat feminin dengan warna peach dan putih corak bunga anggrek. Pita pink di rambut Kyla, menambah kesan imut pada gadis itu.Malik mendorong kursi roda Kyla. Melangkah pelan sambil sesekali mengecek jam tangan. Pukul 8 pagi. Itu berarti dua jam
Malik duduk di sebelah ranjang Kyla. Mengumbar senyum saat gadis itu membuka mata, tangan mungil itu mengucek mata sembari duduk. "Abang?" "Hm?" Malik tak mengalihkan pandangannya dari buku milik Kyla. Tangannya sibuk meneruskan membaca hampir di bagian pertengahan. Setelah dilihat-lihat lagi. Kini Kyla malah terlihat malu. Pipinya semerah kepiting rebus. Ditarik kasar buku itu dari tangan Malik, lalu mendekap kuat-kuat seolah akan diambil lagi oleh lelaki itu. "Jangan dilihat, Bang!" "Loh ... kenapa?" "Semua rahasia Kyla ada di sini. Jadi, jangan dipegang dan baca titik!" "Kan, abang cuma mau lihat, Kyla." Malik mencoba membujuk. Mengulurkan tangan pada gadis itu. Sedangkan Kyla tetap tidak mau memberikan buku itu, lalu memasukkan buku tadi ke bawah bantalnya. Dengan wajah cemberut, sekilas dipandangnya ke arah Malik lalu tidur berbalik memunggungi lelaki itu.
Malam hari "Tunggu saja, aku akan membuatmu kembali secepatnya ...." Tin. Suara klakson mobil membuat sosok dengan penutup kepala hoodie dengan masker hitam itu menggeser tempatnya dengan hati-hati lalu menunduk, bersembunyi di balik tembok agar tak terlihat. Untungnya ia sudah masuk ke dalam pagar secara diam-diam sejak tadi. Matanya masih sibuk memperhatikan bayangan seorang gadis dari balik gorden. Sudah cukup lama ia mengawasinya. Mendengar suara pagar yang terbuka, secepat kilat langkahnya berlari ke tempat rerumputan lebat. Dengan napas memburu dan kaki yang gemetaran. Dipilihnya untuk duduk sembari memerhatikan terlebih dahulu. Aman atau tidak. Dan benar saja, dari arah pagar matanya menangkap sosok seorang wanita dan seorang bocah. Mereka akan masuk ke dalam rumah itu. Matanya membulat tak percaya. Sepertinya ia mengenal mereka. *** Nada mondar-mandir di sisi ranja
Malik mengetuk pintu di hadapannya. Ruangan dokter yang menangani Kyla selama di sini. Rencananya, pria itu ingin mengajak Kyla berjalan-jalan di luar, mungkin sekedar lihat-lihat suasana kota ini dan juga membeli hadiah untuk gadis itu. Untuk itu Malik menanyakan pada sang dokter untuk meminta izin pada dokter membawa Kyla berjalan-jalan keluar sebentar. Pintu diketuk tiga kali. Suara dari dalam menyahut, menyuruh Malik masuk. Diputarnya knop pintu, lalu wajah pria bertubuh gemuk dengan kacamata bertengger di hidungnya itu tersenyum ramah. "Pak Malik, senang melihatmu lagi!" Pria itu berujar dalam bahasa inggris, tangannya masih sibuk mengetik di laptop. Sedang senyumnya merekah sehingga membuat keriput di wajahnya terlihat. Malik menutup kembali pintu, berjalan mendekat ke meja kerja pria itu lalu menarik kursi untuk duduk. "Saya juga," balas Malik. Matanya memperhatika
"Irish! Sudah hampir setengah jam kamu di dalam sana. Buka pintunya sekarang! Tak ada jawaban. Masih seperti setengah jam yang lalu, hening sekali seperti tidak ada aktivitas. "Irish, kuhitung sampai tiga. Kalau kamu tidak membukanya akan kudobrak sekarang juga!" Tetap saja, tak ada jawaban. Sarah menggigit bibir bawah, antara kesal dan khawatir. "Satu ... dua ... tiga ....!" Sarah menghantam tubuhnya pada toilet di hadapannya. Sekali, pintu masih masih terkunci, dua kali tetap saja terkunci. Lalu yang ketiga. Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan Irish yang sedang berdiri di sana. Tertunduk lesu dengan wajah yang muram. Rambut dan pakaiannya terlihat berantakan. Seperti kena embusan angin yang begitu kencang. Habis apa anak ini di dalam kamar mandi lama sekali? Ada yang tidak beres dengannya. Pikir Sarah. Sarah mendorong pintu agar lebih terbuka lebar. Adiknya kelihatan seperti mayat hidup. Wajahnya pucat, dan sa
Malik sejak tadi bolak-balik di depan ruangan nomor 302 A. Wajahnya memperlihatkan kekhawatiran yang berlebihan. Sarah duduk di bangku yang tersedia. Sesekali menghela napas kasar karena kesal Malik dari tadi mondar-mandir di depannya. Sebenarnya ingin sekali diberitahunya pada pria itu untuk duduk tenang di bangku saja. Namun, melihat ekspresinya seperti tak ingin diganggu. Sarah memilih bungkam saja. Daripada nanti kena siraman rohani dari Malik. Pintu ruangan terbuka. Seorang dokter berperawakan gemuk dengan kacamata bertengger di hidung mancungnya mendekati mereka. "She's fine, but need to get rest. She just late eating and causing stomach problems. Maybe because she was too happy that you came earlier and forgot her meal time. Though normally, she always eats on time." "Dia baik-baik saja, hanya butuh istirahat. Dia hanya telat makan dan menyebabkan lambungnya bermasalah. Mungkin karena terlalu senang
"Malik!" Teriakan itu spontan membuat si empunya nama menoleh. Kasak-kasuk orang berbicara terdengar samar-samar. Seorang wanita melambaikan tangan pada Malik. Malik bisa merasakan banyak pandangan terarah pada dirinya karena teriakan Sarah tadi cukup membuat perhatian teralihkan pada mereka. "Malik! Kau mau kemana hah? Tunggu sebentar. Aku mau bicara." Suara teriakan seorang wanita, Malik kenal dengan suara ini. Malik menghentikan langkah, membalikkan badan. Ia sudah menduga, wanita itu lagi. "Tak perlu menatap sedatar itu. Aku juga malas berurusan denganmu kalau saja bukan karena adikku. Ingat! Karena adikku!" "Saya tidak peduli." Malik berucap datar, meluruskan pandangan, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Berusaha tak acuh pada wanita pengganggu di sebelahnya. Selama ini apa tidak cukup dia sering mengganggu hari-hari Malik? Sekarang kenapa har
"Kak ... aku ingin tanya sesuatu. Apakah selama ini Malik dekat dengan perempuan lain?" Pertanyaan dari Irish begitu saja muncul saat Sarah ingin memasukkan kue ke dalam mulutnya. Sejak tadi, ia sangat tidak nyaman dengan bayang-bayang seorang perempuan yang sedang dekat dengan Malik. Tangan Sarah terhenti, sementara ia menarik kursi agar lebih dekat dengan ranjang gadis itu. Menatap lekat pada sepasang manik hazel milik Irish dan tak lama tersenyum. "Tentu saja tidak ...." Irish tersenyum getir, tahu bahwa sang kakak berbohong. Ia tahu hal itu dilakukan tidak lain untuk membuatnya agar tidak khawatir dan kembali jatuh sakit. Sarah mengelus rambut panjang adiknya. Walaupun wanita itu sangat kasar dan tegas, di depan Irish ia tidak lain adalah seorang kakak yang sangat penyayang dan perhatian. "Jangan khawatirkan lelaki itu. Kakak yakin kalian akan bersama. Kau tahu? Kami sudah menyiapkan pern