"Kamu tahu? Harusnya jam segini udah pulang?"
Suara bariton itu mengejutkan lamunanku.
Pak Malik berdiri di depan pintu ruangan kerja. Dia berjalan mendekati meja kerjaku, dimana aku masih sibuk mengerjakan tugas kantor yang belum selesai. Hari ini memang aku berniat lembur.
Arumi bilang dia ada acara keluarga jadi pulang duluan begitu juga dengan Daniel yang minta maaf tak bisa menemaniku. Sedang Rafi hari ini tak masuk bekerja. Izin tidak masuk kudengar, tapi tidak tahu alasannya.
Sebuah cangkir berukuran telapak tangan dia sodorkan padaku. Tangannya menggeret kursi ke belakang untuk duduk. Manik kelam itu menatapku, lekat.
Buru-buru kupalingkan wajah ke sisi lain.
"Sudah makan?" tanyanya.
Aku menggeleng lemah. Tak ada yang bisa diminta bantu untuk membeli makanan. Aku juga sedang sibuk mengerjakan tugas. Jadi, nanti saja saat pulang makannya. Pikirku.
"Jangan terlalu memaksakan diri. Kal
Dua hari lalu Pak Malik mengirimkan pesan padaku untuk mengajak bertemu di sebuah kafe. Aku juga tidak mengerti untuk apa. Dan yang paling menyebalkan darinya adalah, lelaki itu mengancamku dengan embel-embel yang biasa dia gunakan pada saat jam bekerja. 'Pecat'. Tak asing lagi, tapi masih sangat menyebalkan jika mendengarnya. Yah ... mau tidak mau aku menerimanya. Padahal kalau saja tidak diancam pun aku juga akan datang. Sebenarnya aku agak aneh dengan pertemuan hari ini. Padahal kami sering bertemu tanpa sengaja di kantor atau di mana saja. Tapi, karena pertemuan ini adalah yang sudah direncanakan, olehnya. Entah kenapa rasanya sangat aneh. Pikiranku mengatakan bahwa ini adalah sebuah kencan. Terdengar seperti ... ah, aku juga tidak mengerti harus bilang apa. Memikirkannya saja cukup membuatku bergidik ngeri, tentang apa yang sebenarnya sudah dia rencanakan. Pasti ada alasan lelaki itu mengajakku untuk bertemu. Ah
POV 3"Kamu aneh," "Kenapa?" "Semua orang butuh teman, sedangkan kamu lebih suka menyendiri. Kenapa enggak minta seseorang buat jadi teman kamu? "Aku udah biasa sendiri," "Jadi maksudmu enggak butuh teman?" "Ya, aku rasa begitu," "Kalau begitu, hari ini aku jadi teman kamu. Ingat, jangan nolak." Seulas senyum terukir di bawah terik matahari yang mengganggu pemandangan. Tangan pucat itu terulur pada bocah laki-laki di hadapannya, sedang gadis itu berambut cokelat dengan hiasan pita abu-abu di kepalanya itu menunggu balasan. Saat bocah laki-laki ingin menggapainya seketika siluet gadis itu lenyap bersama angin. Malik terbangun dari tidurnya. Ia sadar bahwa saat ini mimpi itu datang lagi setelah cukup lama. Malik menarik napas pelan untuk menetralkan degup jantung yang tak beraturan. Pelipisnya berkeringat, napasnya tersengal. Malik mengerjapkan m
"Ada sesuatu yang mau saya kasih ke kamu." "Apa?" "Rahasia." "Oke ... kalo sampe hadiahnya mengecewakan, saya pastikan di lain waktu nggak akan pernah mau ketemu sama Bapak lagi." Malik terlihat kaget mendengar ucapan Nada. Raut wajah gadis itu terlihat sangat serius saat mengatakannya. Malik menimbang-nimbang permintaan Nada. "Baiklah, kalo itu maunya kamu saya nggak masalah. Tapi misalnya saya kalah terus kita enggak bisa jumpa lagi, memang kamu enggak bakal kangen sama saya?" Malik melipat tangan di depan dada. Menatap ke dalam sepasang bola mata indah milik gadis di hadapannya dengan serius. Lalu di detik selanjutnya, tawanya pecah melihat pipi si gadis bersemu merah. Nada memang semenarik itu bagi Malik. Entah sejak kapan, hatinya terpaku pada gadis aneh ini. Malik kembali mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Saat ia sedang memesan jajanan khas khas Yogyakarta yaitu gudeg.
Pagi hari.Semalaman Malik tak bisa menutup mata. Ia terjaga hingga pukul 4 Pagi dan hanya tertidur sekitar dua jam. Malik meremas seprai kasur. Marah pada diri sendiri kenapa tidak bisa melawan. Ia terlalu lemah untuk melawan sang ayah. Sejak kecil, setelah kepergian ibu kandungnya, Malik merasa kehilangan sesuatu yang paling berharga di hidupnya. Walaupun seluruh keluarganya mengatakan bahwa sang ibu adalah seorang penjahat yang ingin membunuhnya. Malik tak pernah percaya hal itu. Ibunya tidak seperti yang orang-orang sialan itu katakan. Sekarang baginya, tak ada yang bisa dipercaya sepenuhnya, termasuk orang terdekat sekali pun. Bangkit dari duduknya, Malik mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas lalu menekan sebuah nama di layar. Tak lama telepon tersambung. "Aku ingin kau mengambil surat balasan di tempat kemarin kau menaruhnya. Simpan sampai aku memintanya kembali. Men
Part 41"Saya harus pergi sebentar," ujar Malik tiba-tiba. Melepaskan pelukan itu lalu tanpa menoleh lagi langsung melangkahkan kaki ke luar ruangan. Ketiga wanita itu terlihat memasang tampang berbeda-beda. Ada yang biasa saja, tidak peduli, lalu Irish sedikit kaget karena dekapannya dilepaskan. Ia melihat kemana punggung tegap itu menghilang. "Irish, kamu hebat! Malik sampe nggak bisa berbuat apa-apa. Kamu memang hebat, Sayang!" ujar Tante Anin mendekap gadis berusia sekitar 25 tahun itu. Bola mata berwarna hazel Irish terlihat berbinar senang. Sama seperti kedua wanita yang menatapnya, ia merasakan kesenangan. Entah kenapa, baru kali ini Malik tidak menolak seperti biasanya. Apa karena Malik mulai menaruh perasaan padanya. Atau mungkin ada hal lain? Entahlah. "Kapan kamu bangun?" "Tiga hari lalu, Kak," jawab Irish tenang. Ia menuntun tangan kakaknya unt
"Tidak apa-apa! Malik ....!" Irish terkesiap saat tahu yang menyentuh pundaknya adalah Malik. Air matanya kembali mengalir deras. Tapi mulutnya tetap tak bisa mengatakan apa-apa. "Benarkah?" Pelan, Malik mundur. Memutar jalannya menuju ke sebelah, menarik kursi mendekat. Lalu duduk. Pandangannya menatap bingung pada gadis di hadapannya. Air mata dari pipi pucat gadis itu terus keluar dari sudut matanya. Malik ingin menyentuh pundak itu, namun ditahannya keinginan itu. Gadis di hadapannya bukanlah orang yang diharapkannya. "Benar tidak apa-apa? Terus kenapa kamu enggak berhenti menangis?" tanyanya. Malik terus mengamati gadis itu dengan tatapan bingung. Cepat-cepat tangan pucat dan kurus milik Irish menyeka sudut matanya yang terus saja mengeluarkan air mata. "Enggak tau, Malik. Tiba-tiba aja mata aku perih." Sekilas sebelum menjatuhkan pandangan ke bawah. Gadis itu sempat ters
"Kak ... aku ingin tanya sesuatu. Apakah selama ini Malik dekat dengan perempuan lain?" Pertanyaan dari Irish begitu saja muncul saat Sarah ingin memasukkan kue ke dalam mulutnya. Sejak tadi, ia sangat tidak nyaman dengan bayang-bayang seorang perempuan yang sedang dekat dengan Malik. Tangan Sarah terhenti, sementara ia menarik kursi agar lebih dekat dengan ranjang gadis itu. Menatap lekat pada sepasang manik hazel milik Irish dan tak lama tersenyum. "Tentu saja tidak ...." Irish tersenyum getir, tahu bahwa sang kakak berbohong. Ia tahu hal itu dilakukan tidak lain untuk membuatnya agar tidak khawatir dan kembali jatuh sakit. Sarah mengelus rambut panjang adiknya. Walaupun wanita itu sangat kasar dan tegas, di depan Irish ia tidak lain adalah seorang kakak yang sangat penyayang dan perhatian. "Jangan khawatirkan lelaki itu. Kakak yakin kalian akan bersama. Kau tahu? Kami sudah menyiapkan pern
"Malik!" Teriakan itu spontan membuat si empunya nama menoleh. Kasak-kasuk orang berbicara terdengar samar-samar. Seorang wanita melambaikan tangan pada Malik. Malik bisa merasakan banyak pandangan terarah pada dirinya karena teriakan Sarah tadi cukup membuat perhatian teralihkan pada mereka. "Malik! Kau mau kemana hah? Tunggu sebentar. Aku mau bicara." Suara teriakan seorang wanita, Malik kenal dengan suara ini. Malik menghentikan langkah, membalikkan badan. Ia sudah menduga, wanita itu lagi. "Tak perlu menatap sedatar itu. Aku juga malas berurusan denganmu kalau saja bukan karena adikku. Ingat! Karena adikku!" "Saya tidak peduli." Malik berucap datar, meluruskan pandangan, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Berusaha tak acuh pada wanita pengganggu di sebelahnya. Selama ini apa tidak cukup dia sering mengganggu hari-hari Malik? Sekarang kenapa har